tag:blogger.com,1999:blog-50963918283087885062024-02-06T18:14:40.954-08:00World Lettersthe spaces of world figures, literature studies, new school of thought in the world of literature (art, letters, etc.)PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.comBlogger277125tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-28710295968556596502021-09-05T07:35:00.004-07:002021-09-05T07:35:21.949-07:00KEKUATAN NARASI-NARASI FRANZ KAFKA<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhnfvYSxqqNd_3VHJyO45cdZ8aQrlFU7SLjV-yhVZT1PPl88rWD9jZi3Bbp23X9QuV1O2XYN5d4DmKOdNLnxCt1wNuBJ-3aA59Qs-1GPhDN8BHziDPcIiLfQDEdi-x09dH-ZpbbdFBsOfJ/s448/Metamorfosa+Samsa%252C+Franz+Kafka%252C+Penerjemah+Sigit+Susanto.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="284" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhnfvYSxqqNd_3VHJyO45cdZ8aQrlFU7SLjV-yhVZT1PPl88rWD9jZi3Bbp23X9QuV1O2XYN5d4DmKOdNLnxCt1wNuBJ-3aA59Qs-1GPhDN8BHziDPcIiLfQDEdi-x09dH-ZpbbdFBsOfJ/s320/Metamorfosa+Samsa%252C+Franz+Kafka%252C+Penerjemah+Sigit+Susanto.jpg" width="203" /></a><span><a name='more'></a></span><div>Judul buku: Metamorfosa Samsa<br />Penulis: Franz Kafka<br />Penerjemah: Sigit Susanto<br />Penerbit: Baca<br />Cetakan: Tahun 2018<br />Tebal: 100 halaman<br />ISBN : 978-602-6486-19-6<br />Peresensi: Mahmudi<br />Radar Madura, 5 Agu 2018<br /> <br />Salah satu problem terbesar dalam membaca karya sastra adalah menyelami
sisi gramatis-psikologis pengarang. Seorang pembaca membutuhkan seperangkat
hermeneutika dalam usaha memahami karya sastra. Hal ini disebabkan karya sastra
tidak seperti karya non-fiksi yang alur logikanya mudah ditebak. Kenyataan ini
mendapatkan momentumnya ketika kita disuguhkan buku Metamorfosis Franz Kafka.<br /> <br />Dalam buku Metamorfosis-nya ini, pembaca dibuat bingung, kemana arah Kafka
dalam pesan tulisannya. Tidak sedikit para pengkaji sastra dan peneliti
melakukan kajian terhadap karya Kafka yang berjudul Metamorfosis ini, namun
semuanya tidak mewakili pesan utuh apa yang hendak disampaikan Kafka. Yang
terjadi adalah sebatas interpretasi-interpretasi. Dalam hal ini, Gustav Janouch
menafsirkan sosok Gregor Samsa dalam novel ini sebagai Kafka itu sendiri karena
ada kesamaan tempat, perihal orang, dan suasana pekerjaan. Gabriel Garcia
Marquez, novelis pemenang nobel sastra, berpendapat Kafka adalah penulis yang
tidak punya perencanaan yang baik. Jadi, setiap orang bisa menulis dengan gaya
Kafka.<br /> <br />Dengan demikian, Kafka sebenarnya berhasil memantik pembaca untuk melakukan
berbagai interpretasi terhadap karyanya. Inilah keunikannya yang tak dimiliki
penulis-penulis lain. Kafka merupakan novelis yang hidup pada abad ke 19,
dimana kehidupan urban sangat mempengaruhinya.<br /> <br />Berikut ini adalah sebagian interpretasi yang bisa kita peroleh dari
Metamorfosis, yaitu bahwa setiap manusia terpenjara di dalam kehidupannya. Hal
ini ditunjukkan Kafka dengan metamorfosa manusia (Samsa) menjadi binatang
(Serangga) yang menjijikkan. Namun demikian, interpretasi tersebut akan
melahirkan interpretasi-interpretasi berikutnya, karena tidak jelasnya pesan
yang hendak disampaikan Kafka. Pembaca secara bebas boleh menafsirkan apa maksud
Kafka dengan metamorfosis tersebut.<br /> <br />Di sisi lain, bisa jadi Kafka sebenarnya
hanya ingin berimajinasi tentang pribadinya sendiri. Tapi, pembaca umum
menganggap itu sebuah karya yang fenomenal. Bahkan Kafka mengatakan bahwa draft
tulisan metamorfosis ini jelek dan menakutkan. Sehingga tidak patut untuk
dibaca (hlm. Viii).<br /> <br />Ada sebagian yang mengatakan Kafka dipengaruhi oleh psikonalisis Sigmund
Freud tentang kompleksitas keluarga. Disitulah digambarkan sosok Gregor yang
terkurung dalam tubuh serangga raksasa yang sulit berkomunikasi dengan
lingkungan keluarganya sendiri. <br />Dalam buku yang berjudul Truth and Method, Gadamer menggambarkan bahwa
pemahaman manusia itu ditentukan oleh dirinya sendiri. Pemahaman berdiri
sendiri di dalam subyek yang memahami. Pemahaman tidak bergantung kepada obyek.
Setidaknya Kafka berada pada semangat Gadamerian ini. Ia menggelindingkan
“bola” karyanya sehingga pembaca bebas menafsirkannya. Dalam perspektif
Gadamer, penafsiran manusia itu bergerak melingkar. Tak ada kebenaran yang
absolut di dalam memahami sesuatu.<br /> <br />Dalam interpretasi berikutnya, apa yang ingin disampaikan Kafka adalah jauh
lebih filosofis. Akibatnya, pembaca dituntut untuk berpikir keras dalam
memahaminya. Kita dapat menganalogikan serangga dengan manusia yang terkurung
dalam alam semesta. Dengan demikian, Kafka telah mengembangkan filsafat dalam
dunia sastra.<br /> <br />Kita juga diingatkan dengan karya Nietzsche. Dalam bukunya, Thus Spoke
Zarathustra, Nietzsche mengumandangkan kematian Tuhan dan Kebebasan Manusia
yang dikenal dengan Ubermensch (manusia super). Nietzsche memperbanyak metafora
dalam karyanya tersebut. Demikian juga karya Kafka, mirip dengan apa yang telah
ditulis oleh Nietzsche. Hanya saja, bila Thus Spoke Zarathustra terkesan
optimistis, maka dalam Metamorfosis ini terkesan pesimistis.<br /> <br />Setelah menghatamkan novel singkat Kafka ini, kita mungkin sempat mengharap
sebuah ending yang bagus dibalik kematian Gregor Samsa di kamarnya. Namun
alih-alih mendapatkannya, Kafka malah menjebak pembaca dengan berbagai macam
pertanyaan yang sepertinya tak kan berkesudahan. Inilah kekuatan narasi novel
Kafka yang sesungguhnya. Sebuah novel yang menantang pembaca untuk merenungi
makna filosofis yang terkandung di dalamnya.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/09/kekuatan-narasi-narasi-franz-kafka/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/09/kekuatan-narasi-narasi-franz-kafka/</span></a></span></p>
<p class="MsoNormal" style="tab-stops: 99.25pt 288.45pt;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></p>
</div>PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-57792506977048622402021-09-03T16:28:00.001-07:002021-09-03T16:28:06.518-07:00ANTI-MUAL MACONDO©FORTE DARI RONNY AGUSTINUSDwi Pranoto *<br /> <br />“Tak seorangpun menulis untuk tulisan itu sendiri, tak seorang pun ngomong
sekedar untuk omongan itu sendiri”. (Sismondi dalam Jacques Ranciere, Mute
Speech, 2011)<br /> <br />Aku tidak punya ketertarikan khusus terhadap sastra Amerika Latin. Namun
bukan bararti aku tidak membaca karya sastra Amerika Latin, meskipun hampir
semua karya sastra Amerika Latin yang pernah aku baca, aku baca lewat
terjemahan Bahasa Indonesianya. Paling tidak ada dua novel Amerika Latin yang
saat mulai menulis ini aku ingat secara samar-samar, novel tentang tukang kaca
di jalanan tandus Guadalajara dan buku harian seorang narapidana yang meringkuk
di penjara Badajoz. <span><a name='more'></a></span>Apakah aku tidak ingat Seratus Tahun Kesunyian-nya Gabriel
Garcia Marquez? Aku ingat. Namun novel itu baru aku baca setelah aku mendengar
istilah “Boom” dan “Realisme Magis”. Ada perasaan jengah dan mual yang aku rasakan
saat mendengar dua istilah itu. Istilah Boom dan Realisme Magis seperti
menghamparkan padaku pemandangan hiruk-pikuk dan hingar-bingar pasar malam.
Keramaian dan kegaduhan memang tidak pernah membuatku kerasan. Mungkin aku
takut ditelan keramaian dan tidak menjadi siapa-siapa, tidak dikenali.
Entahlah, bagiku, barangkali, lebih menantang menelusuri penulis seperti Stefan
Tsanev. Lucunya, meskipun setelah bertahun-tahun berupaya memburu karya-karya
penulis Bulgaria itu, aku baru membaca satu karya naskah drama yang ditulisnya:
naskah terjemahan tak diterbitkan, ketikan tangan, drama tentang tokoh
perempuan petani yang menghidupkan kembali Perawan Orleans dalam penjara
berdinding batu Rouen dengan membaca baris-baris kalimat suatu naskah drama.
Quixotic memang, tapi aku suka. Aku bukannya tidak berhasil mendapatkan
naskah-naskahnya, beberapa aku mendownloadnya bila gratis. Masalahnya sedikit
naskah Stefan Tsanev yang pernah aku punya itu semuanya berbahasa Bulgaria dan
sebagian beraksara Sirilik. Kira-kira lebih setahun lalu, naskah-naskah itu
lenyap bersama meletusnya mesin komputerku. BOOM!<br /> <br />Barangkali perasaanku terhadap istilah Boom dan Realisme Magis mengada-ada.
Barangkali perasaan itu muncul karena betapa seringnya istilah itu aku baca dan
aku dengar, bahkan sampai sekarang: berapa banyak pengarang Indonesia yang
dibandingkan dengan dan dianggap dipengaruhi oleh karya sastra Amerika Latin
generasi Boom atau dianggap mempunyai bentuk Realisme Magis? Mungkin Ronny
Agustinus perlu menghitung. Barangkali aku tidak pernah menemukan atau malas
mencari penjelasan yang cukup atau memuaskan kenapa generasi Boom lahir? Apa
kaitan bentuk Realisme Magis dengan sejarah, budaya, politik, dan ekonomi
kawasan sub benua Amerika bagian Selatan itu? Sebagian besar dari sedikit yang
aku baca tentang bentuk Realisme Magis hanya berkisar dan mengulang-ulang
tentang narasi novel yang membaurkan antara yang realis dan yang magis.
Sedangkan istilah Boom sendiri cuma diterangkan sebagai ledakan karya sastra
Amerika Latin tahun 60-an di kawasan dunia pertama yang berbahasa Inggris yang
kemudian merembet menjadi tren Internasional.<br /> <br />Sore hari itu aku menerima kiriman Macondo, Para Raksasa, dan Lain-Lain Hal
bersama tiga buku lainya dari Ronny Agustinus. Sebetulnya yang aku tunggu-tunggu
adalah salah satu dari empat buku itu, buku yang paling tua dari ketiga buku
lainnya, buku itu Border Country-nya Raymond Williams. Tapi bukan berarti aku
sama sekali tidak tertarik dengan tulisan-tulisan upaya tentang seputar sastra
Amerika Latin karya Ronny Agustinus itu. Saat pertama kali aku membaca berita
di facebook bahwa Ronny menerbitkan buku yang berisi tulisan-tulisannya tentang
sastra Amerika Latin, aku sudah berencana akan membacanya. Tapi orang itu kan
memang “dot-nyeng”, belum tentu rencana yang pada awalnya diikuti dengan niat
menggebu itu segera dieksekusi. Begitupun saat ia membuka bungkusan paket buku
sore itu; bukannya ia antusias segera mencarik-carik halaman Border Country, ia
malah menumpuk buku tua itu dengan dua buku lainnya dan mengambil Macondo, Para
Raksasa, dan Lain-lain Hal untuk dibaca.<br /> <br />Mari kita lompati saja “Pengantar Penulis”, tulisan yang di beberapa
bagian, entah kenapa, mengingatkanku pada seorang laki-laki muda kurus,
berkacamata, berambut kusam panjang, dan dengan baju sobek yang memanjang dari
ketiak ke bawah yang dilapis dengan sweater buluk, yang suatu saat di dalam
taksi yang melaju mengajakku untuk tak menepati janji ketemu dengan seorang
kawan kami.<br /> <br />Dua kutipan dari sastrawati Puerto Rico dan sastrawan Chile yang lahir di
antara generasi Macondo dan McOndo yang membuka “El Boom dan Fiksi Amerika
Latin Sesudahnya”, judul pertama dari “Macondo” yang merupakan bagian pertama
dari tiga bagian buku, seperti memberi peringatan perihal semangat apa yang
bakal menghidupi seluruh isi buku. Kebetulan atau tidak, Giannina Braschi dan
Roberto Bolano sama-sama lahir tahun 1953; terlalu tua untuk masuk dalam
generasi McOndo yang rata-rata lahir di akhir tahun 1960-an dan terlalu muda
untuk masuk generasi Boom yang meledak tahun 1960-an – jika ingin tahun yang
lebih tepat, menurut Ronny, tahun 1959 menyusul berhasilnya Revolusi Cuba.
Pandangan Bolano yang menyinyiri sekaligus menghormati generasi Boom dan
keterbukaannya “menemani” generasi McOndo yang mungkin dapat diekspresikan
dengan bagaimana ia menyebut generasi Boom sebagai “grandpa” dan menyebut
generasi pengekor realisme magis sebagai “retarded children”. Tentu saja
generasi Boom tidak identik dengan realisme magis (“Macondo”), tapi secara
tersirat, dengan menyebut para pengekor sebagai “retarded children”, Bolano
boleh jadi menyokong generasi McOndo yang menyeru putus dengan generasi Boom,
khususnya dengan bentuk realisme magis yang meskipun bukan ciri bentuk sastrawi
total El Boom tapi, bagaimanapun, sangat mendominasi. Sebagaimana pernyataan
Bolano yang dikutip Ronny, “Boom adalah konsep yang tak pasti”, begitu juga
McOndo yang penolakannya atas konvensi tunggal sastra Amerika Latin membawa
kecenderungan mencampurbaurkan yang tinggi dan “kacangan” dan karenanya juga menerima
realisme magis yang ditolaknya. Dalam sub judul “Setelah Pasca Macondo”, Ronny
memandang runtuhnya kediktatoran di sebagian besar negara-negara Amerika Latin
mendorong sastra mengartikulasikan politik dari ranah privat dalam kehidupan
urban yang kosmopolit. Sementara, dalam “Bukan Sekedar Macondo vs McOndo”,
selain membela orientasi politis El Boom, Ronny juga memaparkan problem klaim
konsep kekhasan sastrawi McOndo yang tidak teridentifikasi dalam karya-karya
para pengarang gerakan itu. Ronny tidak membabi-buta membela kehebatan generasi
El Boom.<br /> <br />Seperti Bolano, Ronny juga kritis menyoroti ketimpangan generasi El Boom,
terutama tidak adanya pengarang perempuan dalam generasi tersebut. Kutipan
puisi Giannina Braschi yang menjadi epigraf pada judul pembuka dalam buku ini
seperti isyarat awal sokongan Ronny untuk gugatan pengarang perempuan atas
kultur jantan dalam generasi El Boom. “Bukan Boom tapi B(l)oom”, yang
mengapresiasi kiprah perempuan dalam sastra Amerika Latin, dan “Carmen
Balcells: Di Balik Layar El Boom”, yang mengetengahkan perempuan hebat yang
menggerakkan El Boom, cukup merepresentasikan gugatan atas kultur jantan
tersebut. Namun, ironisnya, Giannina Braschi yang puisinya dikutip jadi epigraf
dan penembakan narrator dalam puisi tersebut ditafsir sebagai “penolakan
Braschi untuk disetir dalam warisan kanon boom” tidak aku temukan nama dan
karyanya di “Daftar Bacaan”.<br /> <br />Barangkali penembakan narrator dalam “Manifesto on Poetic Eggs” memang
penolakan untuk disetir kanon Boom. Tapi bunyi “Boom! Boom!” dan pemberitahuan
“Ia mati. Ia mati. Mariquita telah membunuh Narator. Revolusi terjadi di The
Intimate Diary of Solitude” hanya cangkeman. Tidak ada yang terjadi. Narator
masih segar bugar. Empire of Dream, terutama bagian ketiganya – “The Intimate
Diary of Solitude” – adalah a book of nothing. Pengulangan nama-nama dalam “The
Intimate Diary of Solitude” mungkin meneladani pengulangan nama-nama yang
membingungkan dalam Seratus Tahun Kesunyian, tapi pengulangan dalam puisi
Braschi itu juga dikuti oleh pengulangan-pengulangan ruang dan waktu.
Karakter-karakternya tidak pernah benar-benar menjadi “karakter” seperti dalam
Seratus Tahun Kesunyian. Mariquita Semper, Uriberto Semper, Marquita
Eisensweig, Uriberto Eisensweig, Berta Singerman, bahkan Giannina Braschi
sendiri adalah avatar-avatar yang hidup dalam simultanitas ruang waktu panggung
teater simulakra bahasa. Sampai pikiranmu kembung, kau tak bakal kelar mencerna
secara semantik puisi Giannina Braschi tersebut. Daripada menjadi sapi yang
berkali-kali memuntahkan apa yang kau cerna untuk kembali mengunyahnya sambil
bengong-bengong, lebih baik kau membaca puisi Braschi tersebut dengan cara
lain. “The Intimate Diary of Solitude” itu puisi arabesque, ia tak menggambar
dengan kalimat – sudah pasti Braschi tak pernah ikut kursus menggambar dengan
kalimat. Braschi menggambar dengan pola ritmik sebagaimana pola ritmik bentuk
geometris atau natural yang mengisi bidang ornamen arabesque. Barangkali
puisi-puisi Giannina Braschi tak dapat dilepaskan dari gerakan garda depan
Diepalismo tahun 1921 yang dicetuskan oleh dua penyair Puerto Rico sebelumnya,
Luis Pales Matos dan Jose I. de Diego Padro – Diepalismo merupakan akronim
gabungan kedua nama tersebut – yang walaupun dikatakan diilhami oleh bunyi
musik dan gerak tarian dalam kultur Afro-Antillean, tapi akarnya mungkin bisa
dilacak sampai ke Stephane Mallarme. Tapi di sini kita tak akan membicarakan
Giannani Braschi atau “The Intimate Diary of Solitude” lebih lanjut.<br /> <br />Sudah pasti aku tidak membaca karya Braschi atau karya-karya penulis
Amerika Latin lainnya dalam bahasa Spanyol. Masalah penyimpangan atau reduksi
tak mungkin dapat dihindari dalam proses penerjemahan dari bahasa pertama ke
bahasa kedua, apalagi proses penerjemahan dari bahasa kedua ke bahasa ketiga. Masalah
semacam ini tentu tak ditemui oleh Ronny yang menguasai Bahasa Spanyol.
Penguasaan Bahasa Spanyol yang dimiliki Ronny, bagaimanapun, membuatnya dapat
mengakses ke sumber-sumber langsung yang lebih melimpah dan nyaris tak
terdistorsi mengenai kesusastraan Amerika Latin dan segala macam wacana yang
berkaitan dengan kesustraan Amerika Latin. Keleluasaan dan tentunya ditunjang
dengan ketajaman pikir inilah yang membuat Ronny mampu merekonstruksi dunia
kesusastraan Amerika Latin dengan baik. Kesusastraan Amerika Latin, terutama
generasi Boom, tidak dilihat dan dipaparkan sebagai pulau tersendiri yang
terpisah dari, terutama, politik dan sejarah. Karya-karya pengarang generasi
Boom dilacak sampai zaman generasi realisme-natural yang memperinci deskripsi etnografis
dan pola narasi percintaan dalam kerangka kesadaran politik nasional hingga
sejarah gerakan pembebasan militeristis Simon Bolivar menemukan momentum
kebangkitannya sebagai kesadaran politik kawasan menyusul keberhasilan revolusi
sosialis Cuba. Pada sisi lain,tokoh-tokoh legendaris, terutama pada bagian
“Para Raksasa”, yang diletakkan dalam hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa
personal yang penuh pasi dan “tersembunyi” membuat mereka menjadi benar-benar
hidup dalam gagasan dan tubuh berdaging. Bagaimana, misalnya, raksasa Jorge
Luis Borges yang saat itu sudah nyaris buta menerima undangan untuk mengajar
murid-murid sekolah di daerah pelosok Argentina dan bahkan menyediakan diri
untuk membaca dan menulis prolog kumpulan cerita murid-murid ingusan tersebut.
Barangkali judul yang paling menarik bagi kita di Indonesia adalah “Mundo
Nuevo: Kerja Antikomunis di Amerika Latin” yang bukan hanya menguraikan oparasi
kultural CIA di Amerika Latin pun juga membandingkan sikap sejumlah sastrawan
Indonesia, – seperti Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, dan Mochtar Lubis – yang
menolak dianggap sebagai kaki tangan CIA lewat CCF dengan para sastrawan
Amerika Latin yang merasa dikibuli dan terlibat mengibuli berkait kampanye
kultural CIA sejenis.<br /> <br />Aku harus berterima kasih pada Ronny; Macondo, Para Raksasa, dan Lain-Lain
Hal yang meletakkan El Boom dan Realisme Magis dalam perspektif jalinan
kesusastraan, politik, budaya, dan sejarah kawasan seperti menjadi obat anti
mualku terhadap sastra Amerika Latin, terutama istilah Realisme Magis. Tapi,
omong-omong ke mana Augusto Boal ya, Ron; seorang dramawan Brazil yang pada
masa pengasingannya di Argentina tahun 1970-an menyelesaikan dan menerbitkan
Theatre of the Oppressed yang konsep pentransformasian spectators menjadi spec-actors
dan konsep teater legeslatif di dalamnya mungkin berkaitan dengan Superbarrio
Gomez?<br /> <br />31 Agustus 2021<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Dwi Pranoto, sastrawan dan penerjemah, tinggal di Jember, Jawa Timur. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/09/anti-mual-macondoforte-dari-ronny-agustinus/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/09/anti-mual-macondoforte-dari-ronny-agustinus/</span></a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-84131088036402536222021-08-23T19:04:00.004-07:002021-08-23T19:04:26.610-07:00Octavio Paz dan Sajak “Tetangga Jauh”Nurel Javissyarqi<br /><a href="http://pustakapujangga.com/?p=501">http://pustakapujangga.com/?p=501</a><br /> <br />Setiap penyair mempunyai pamor tersendiri, memancarkan kharisma
masing-masing, menebarkan daya pikat sekuat pencariannya menyetubuhi hidup
dalam kehidupan. Mereka berjenis-jenis burung mengisi hutan belantara, memadu
kicauan, kadang berbentur saing, demi telinga yang menyusuri tapakan sunyi,
menuju dataran tinggi kesaksian.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Dalam belantara kata bersimpan sejarah bersama kandungannya pelbagai
pengetahuan, mengikuti putaran bumi mengelilingi matahari, memusari milenium
cahaya, mendekami relungan kelam kemanusiaan. Renungan hari-hari peperangan, di
antara berkabar pendapat, membagi-bagi bebijian perolehan, rasa buah-buahan, pula
saling hadiahi berita ke tanah-tanah yang dipijaknya.<br /> <br />Ia yang hadir di penghujung abad dengan sayap-sayap berkilauan atas
mempurnakan pendapatan abad silam-semilam akan cukup lama dikenang, jikalau aku
masih ragu menyebutnya abadi. Atau yang mampu menjebol tanggul kebuntuan untuk
paras cantik kebijakan dunia sealunan sejati rasa; keadilan demi kemakmuran
bersama.<br /> <br />Paz, pemilik background antropologi, dengan leluasa menyinahui
gejala-gejala terkandung dalam gerak peredaran bumi. Bacaannya yang menawan pada
sejarah panjang perpuisian, dan menemui belahan-belahannya di berbagai negeri
lain, cukuplah bisa meringkas sebagai pengetahaun tersendiri bagi jiwanya.<br /> <br />Ku kira gaya Paz membaca pelbagai keilmuan puitik seimbang, berusaha
seobyektif mungkin demi tiada pemberontakan di kemudian hari. Ia penggal
kebijakan kuasa, lewat memadukan harmoni berserakan sedari puing-puing
kepurbaan direkatkan kemenjadian atas keadaan diri. Menempati pribadinya di
sudut lapang serupa teaterawan telah akrab batasan panggung, serta jangkauan
cahaya sejarah yang diyakininya.<br /> <br />Bersegenap pengetahuan diimani mampu menjelma kata-katanya menyihir. Atau
diri memiliki keyakinan lebih itu, menujum yang diandaikan para penerusnya sudi
mendengar setiap lekuk-liku ocehannya. Melalui esai-esainya ia tebarkan faham
seolah pewaris abad 20 serta abad-abad sebelumnya, dan yang memberi pencerahan
selanjutnya.<br /> <br />Tidak diragukan, yang langsung menelan tutur katanya tanpa curiga, sebab
tersedot nilai-nilai kebenaran logika yang diusungnya, merasa jadi bagian
sejarah kata-katanya. Tertarik bagaikan jarum terikat kuat pada lempengan
magnet, imbasnya banyak corak perpuisian semodel pencarian di atas perolehan
kepenyairannya.<br /> <br />Mereka terpedaya mengamini, mengusahakan diri sampai tetahap ditentukannya,
seperti perkawinan silang burung-burung hampir sejenis menghasilkan bentuk
percontohan, jenis Paz. Di sini tak menafikan beburung saling belajar, demi
mempurnakan fitroh diembannya. Namun kukira seorang penyair bukan sejenis
burung pentet, yang lihai memainkan suara-suara burung lain hingga lupa kodrat
suara aslinya.<br /> <br />Kemarin diriku menziarahi percandian peninggalan kerajaan Majapahit, sambil
jiwa ini teruapi bencah tanah tua nenek moyang, debu-debunya purbawi
mengabarkan jalinan riwayat terus terdengar, bagi bathin senantiasa merawat
kepekaan. Aku telusuri kembali siapakah Paz? Penyair yang meninggal di tahun
1998, di mana waktu tersebut aku sedang getol-getolnya membabat alas jiwa,
perbanyak memuntahkan kalimah semasa di Jogjakarta.<br /> <br />Octavio Paz pernah berujar: “begitu banyak teori, dan tak satu pun yang
benar-benar meyakinkan.”<br /> <br />Dan diriku yang dipenuhi keyakinan atas tapak langkah kaki seiring takdir
diberikan, terpukau dengan karya-karya nun purna penggarapannya, meski dari
seorang tak banyak kubaca guratannya. Adalah sepotong wajah, selembar puisi pun
dapat dijelajahi masa-masa silam sang penyampai atas segala daya tercenung.
Lalu perasaan sampai kala merasai kesaksiannya luar biasa bereaksi dalam tubuh
seorang diri.<br /> <br />Kali ini aku petik buah puisinya yang bertitel:<br /> <br />TETANGGA JAUH<br /> <br />Semalam pohon abu<br />Nyaris bicara-<br />Tapi tak.<br /> <br />Dan entah di tahun berapa, aku mengguratkan jawaban puisi tersebut dengan
pahatan penaku, bertinta warna merah sebagaimana di bawah ini:<br /> <br />JAWABAN NUREL<br /> <br />Sapaanmu meragukanku<br />diri<br />memendam rindu<br />dendam, cemburu.<br /> <br />Untuk puisi Paz di atas, aku dapatkan di buku berjudul OKTAVIO PAZ, Puisi
dan Esai Terpilih, Penerjemah Arif B. Prasetyo, Cetakan Pertama, Mei 2002,
Bentang Budaya Yogyakarta. Dan di bawah ini, aku kan mencoba meneruskan melalui
sesirat karyanya tersebut, ke dalam bentukan penafsiran.<br /> <br />Tetangga Jauh:<br /> <br />Suara lain yang tak terdengar telinga jasad, tapi terngiang sekabar berita
yang disampaikan angin perkiraan, musim cuaca rindu, kawasan terdekat akrab,
namun masih punya sekat. Bukan jarak, tetapi serasa masa peralihan, wilayah
penerjemah, di situ Paz berkehendak mensucikan tradisi puitika, seperti yang ia
utarakan:<br /> <br />“Kita bukannya tengah mengalami akhir puisi seperti kata sebagian orang,
tetapi akhir dari tradisi puitik yang dimulai Zaman Romantik agung: tradisi
yang memuncak bersama para penyair Simbolis dan memasuki wilayah senjakala yang
menakjubkan dengan datangnya kaum seniman garda-depan abad kita. Seni yang lain
kini menyembul di ufuk fajar.”<br /> <br />Yang menujum punya pengharapan, akan berjubel penerima, yang menjual
doa-doa semakin banyak mengamini, lantas puncaknya, jiwa dihisap digiring
menuju jurang lamunan. Cita-cita melenakan tapak pencarian lama, yang
disampaikan menjelma buah simalakama bagi melayarkan sampan pelita hatinya.
Para pencari di belakangnya terpesona kilauan agung kalimah, silau gelap mata
melangkah, terbentur lupa.<br /> <br />Tidakkah penyadaran berimbas kelupaan lainnya? Yang diterima sekarang,
belum tentu berguna sama di kemudian. Seperti bisikan tetangga jauh, ataupun
dokter mendiagnosa pasien, adanya kumandang berbeda dari obat-obatan; sugesti
mencanangkan kesembuhan.<br /> <br />Pada gilirannya, penyampai ditinggalkan kehendak masing-masing pribadi,
yang tidak puas mendedah bangsanya dari ahli bedah yang kurang dikenalnya. Maka
awan perkiraan tiada lagi dijadikan tolak ukur dalam membaca pegunungan tinggi
diliputi kabut. Namun atas seluruh daya mereka insaf menyimak sejarah
pertikaian bangsanya, sebagai suara lain (para pencari setelahnya) sedari yang
lain (suara Paz), dan tak berlaku sama meski adanya seirama.<br /> <br />Olehnya, pokok bukan pokok, sebab jiwa terbelah sejumlah tirai kabut yang melingkupi
bathin tiap pencari. Sang nabi meneruskan jejak para nabi sebelumnya, kumandang
itu menyempurnakan kehadiran lama, menancapkan tonggak lain di sisinya.<br /> <br />Atau gema suara universal selalu berkembang, lebih jauh dari keberadaan
awal. Lewat menolak sisi-sisi melenakan, tak harus menunggu fajar, senjakala
pun hadirkan gemintang. Makin tenang lagi hakiki berkumandang, di bencah bathin
pelosok lain yang tidak terdengar.<br /> <br />Semalam pohon abu<br /> <br />: Sejarah dimumikan, mitos diucapkan ulang dari mulut ingin tersimak kekal,
atas alam kekekalan yang diandaikan. Yang dilahirkan dinaya puitik, keringat
berasal bacaan lama, bertapa meyakini siratan cahaya kesaksian dalam gua. Lalu
keluar merasa telah dicernakan kediriannya, membawa yang dianggap mampu
mensucikan sesamanya.<br /> <br />Ia genggam biji-bijian misalkan buliran jagung, ditebarkan di lahan-lahan
diperkirakannya subur, sebagai penyimpan ide. Ia membelah kesilauan kabut,
mengendap mengikuti laluan lawas, sambil membuat tapakan lain bagi
kehadirannya; warna berbeda demi dianggap pencerah jaman sesudahnya.<br /> <br />Tidakkah kita curiga? Penanam jagung juga menyebarkan hama. Bersamaan
tangannya memberi hasrat meneruskan salamnya? Jika kita tak mau mencium
punggung jemarinya, meski yang digagas seolah berasal perkawinan silang, dari
darah negeri kita pijak, nuanse puitik terhirup sehari-hari.<br /> <br />Yang pernah membelai membelah tubuh, bukan kepemilikan meski sedenyutan
rasa, seperti ia merasai sendiri, kita pun menikmati. Kesendirian bulan sewarna
muasal datangnya daya tarik, tapi yang mendengar suara sebelumnya, pula berdaya
goda.<br /> <br />Laksana orang berjalan di atas bumi, dibutuhkan oleh orang-orang di
bawahnya. Atau kematian memerlukan denyutan hidup sebagai saksi balasan, dan
kesaksian tak harus mengamini.<br /> <br />Nyaris bicara-<br /> <br />: Paz yang mempercayai hadirnya sejenis wahyu turunnya puisi, seperti sabdo
pandito ratu dalam istilah Jawa. Ia (:puisi) bukanlah kehendak untuk mengatakan
sesuatu, melainkan sesuatu yang terucap, dan tak dapat ditarik kembali (Octavio
Paz Lozano, lahir di Mexico 31 Maret 1914, meninggal tertanggal 19 April 1998).<br /> <br />Ada sisi kesamaan, antara penyair dengan seorang raja; medan pengalaman,
kekuasaan benda, tanda, dan kesunyian paling dingin melebihi rasa hilangnya
nyawa, kala kata-katanya tak mampu menggerakkan persendian jiwa. Lebih buruk
dari memperistri budak paling hitam; hilangnya wibawa, sebab yang terucap tak
terlaksana.<br /> <br />Paz melewati jalan berbisik. Menyusuri gelombang udara, kabar bayu pada
daun-daun terjatuh, terus sembunyi menjadi misteri tiada terfahami, kecuali senada
capaiannya terasa dangkal. Yang digemakan rahasia intinya hati, membuyar tak
jadi kerahasiaan puitis. Seperti batu ditelanjangi alur waktu, ditarik
ucapannya: “Nyaris bicara-”<br /> <br />Ada dinaya lain, hantu sesal serupa gadis telanjang di sebuah lukisan
realis, senantiasa dijejali ruang-waktu menyungkup; gugusan takdir di ujung
belati, sebentangan rambut dengan bayangnya memendar. Demikian wewarna lamat
menyusuri jalur rahasia, benang melintang di depan mata, matahari selalu
memancar, dan kedipan menyimpan suatu kecewa.<br /> <br />Penyesalan itu rahasia terungkap dari keangkuhan bicara melalui kata-kata.
Makna hidupnya meminta jatah; adanya diingat, lebih banyak dilupa. Hanya
bersuara lain yang sama darinya dapat berbangkit. Sayang kembali semula,
begitulah kepada titik was-was dalam tanda hidup ke masa depannya.<br /> <br />Tapi tak<br /> <br />: Akhir yang meragukan. Betapa daya luar biasa, tinggal sejengkal saja,
keraguan datang tiba-tiba menghakimi. Seayunan pedang melesat, tetapi sebelum
menimpahi sasaran, ada secercah cahaya membuat hawatir. Aturan tidak terlihat;
di mana perasaan memasok tenaga, hati menggerakkan kelenjar berkekuatan ke
sebuah keinginan.<br /> <br />Jikalau dilukiskan, di ujung jalan tempatnya tega; kausalitas ngigirisi,
sebab akibat yang mengandung gemas sekaligus cemas. Kesuntukan kesumat namun
juga lenyap oleh angin lewat, ingatan yang terhapus.<br /> <br />Telempap lain, tumbuh igauan-igauan sejarah semakin merangsek di
malam-malam dengan lampu terbatas, terus perbanyak jumlah di tempat remang, di
sudut ruang, di tengah-tengah belukar yang tidak keluar.<br /> <br />Apa yang ditakutnya? Cemas dirinya lenyap di bawah terang benderang?
Bayang-bayang gesit menyelinap, bukan kerja sugesti, atau demikian?<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">31 Agustus 2010 <span style="mso-spacerun: yes;"> </span><a href="http://sastra-indonesia.com/2010/08/octavio-paz-dan-sajak-tetangga-jauh/">http://sastra-indonesia.com/2010/08/octavio-paz-dan-sajak-tetangga-jauh/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-5459777567463904352021-08-23T18:45:00.004-07:002021-08-23T18:45:24.102-07:00Octavio paz, amerika latin, dan senjakala modernismeNirwan Dewanto *<br />tempointeraktif.com<br /> <br />BERTAHUN-TAHUN lalu saya mengenal nama Octavio Paz melalui sebuah sajaknya
dalam terjemahan Indonesia. Baris-baris sajak itu tidak dapat saya ingat lagi,
tetapi yang tertinggal pada saya adalah “inti”-nya: aku yang melihat
perlahan-lahan berubah menjadi aku yang dilihat, aku yang menyatakan
bermetamorfosis menjadi aku yang dinyatakan.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Bertahun-tahun kemudian saya sadar, ketika itu saya tengah dan telah
terpesona oleh nada tragis dan sentimental pada sajak-sajak Indonesia — mulai
dari Amir Hamzah sampai para penyair tahun 1970-an — yang justru terjadi karena
sang aku telah memisahkan diri dan memberontak dengan serta-merta, aku yang
menguasai “kenyataan” yang telah dimurnikan dari kenyataan sehari-hari.<br /> <br />Modernisme Indonesia, sebutlah demikian, telah memuncak dengan cara seperti
itu. Saya, yang begitu tergoda oleh lirikisme Indonesia, tidak sampai pada
penglihatan kritis pada sajak Paz itu. Untuk selanjutnya, Paz adalah nama yang
menghilang dalam khazanah sastra yang saya jelajahi.<br /> <br />Bertahun-tahun kemudian, saya menemukan lagi Octavio Paz sebagai bagian
dari Amerika Latin, yakni faset yang melakukan reaksi terhadap modernisme
Eropa. Dan reaksi itu, bagaimanapun serunya, dilakukan baik setelah percumbuan
maupun pertarungan dengan Eropa.<br /> <br />Ada banyak cara untuk memahami modernisme, namun yang ingin saya kutip
adalah diktum Immanuel Kant: pengetahuan, atau pengertian, tidak menurunkan
hukum-hukumnya dari, melainkan memaksakannya pada, alam.<br /> <br />Diktum inilah yang dipraktekkan, secara terang-terangan maupun terselubung,
oleh ekonomi, politik, dan seni modern. Inilah juga sisi tersembunyi dari
humanisme — terbit dan terang-benderangnya akal budi (rasio, reason).<br /> <br />Dan humanisme mempunyai konsekuensi logis: penaklukan, yakni penaklukan
terhadap yang hadir di luar aku: alam. Yang disebut kemudian sebagai Dunia
Ketiga — emas, rempah-rempah, manusia kulit berwarna, eksotisme — adalah bagian
dari alam.<br /> <br />Pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi sebuah mata uang. Penaklukan
Amerika Latin dibungkus dengan eufemisme Eropa: bahwa benua itu adalah sebuah
Dunia Baru.<br /> <br />Beratus-ratus tahun setelah mata Eropa terbuka pada Asia, Amerika Latin
bukan saja sebuah wilayah yang teramat jauh, melainkan tak dikenal sama sekali.
Amerika Latin adalah sebuah kenyataan dalam dirinya sendiri, yang harus
dilahirkan oleh manusia Eropa sebagaimana kaidah-kaidah ilmu pengetahuan: ia
lebih merupakan invention daripada discovery, kata sejarawan Edmundo O’Gorman.<br /> <br />Kebudayaan Indian Pra-Kolombia sebelum masa kolonialisme adalah kebudayaan
yang paling murni dalam sejarah kemanusiaan, karena ia terisolasi selama ribuan
tahun oleh dua lautan besar: ia ada untuk dirinya sendiri, tidak dikalahkan dan
tidak menaklukkan. Ia tidak mengenal sesuatu di luar dirinya, yakni yang lain
(the other, otherness). Inilah benih kehancuran yang dikandungnya sendiri,
karena Dunia Baru adalah otherness bagi Eropa.<br /> <br />Penaklukan bukanlah kejahatan, demikian menurut pikiran sadar Eropa,
melainkan penyebaran sabda Tuhan dan akal budi. Pertemuan antara si penakluk dan
si tertakluk adalah kenyataan yang fantastis bagi yang pertama namun pembalasan
dendam ilahiah bagi yang terakhir.<br /> <br />Amerika Latin terhukum untuk menjadi utopia Eropa. Orang-orang Spanyol,
kata Pablo Neruda, mengambil emas kita, tapi kita mendapatkan emas mereka:
kata-kata. Marilah kita urai kata-kata penyair Cile itu. Dengan kedatangan para
conquistadores kebudayaan Pra-Kolombia hancur sama sekali kecuali
artifak-artifaknya.<br /> <br />(Bandingkan dengan, misalnya, pertemuan antara Jawa dan Islam, atau Jawa
dan Belanda.) Pun kolonialisme Spanyol tidak merekayasa salah satu bahasa
pribumi untuk mempersatukan wilayah jajahan mereka. (Marilah kita ingat bahwa
Belanda, karena alasan-alasan obyektif, telah merekayasa politik bahasa, yakni
menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi.<br /> <br />Dan modernisme Indonesia berawal ketika politik bahasa itu mencapai
kematangannya.) Dengan itu Amerika Latin menghubungkan sekaligus
mempertentangkan dirinya terhadap Eropa. Itulah hubungan yang tidak perlu lagi
dinyatakan secara normatif, misalnya dengan menyatakan “kami adalah ahli waris
yang sah dari kebudayaan dunia” seperti dalam Surat Kepercayaan Gelanggang.<br /> <br />Bahasa Spanyol (dan bahasa Portugis di Brasil), dalam penggunaannya oleh
para pengarang Amerika Latin bagaikan cermin bagi sejarah yang koyak moyak oleh
penaklukan dan kekalahan, sejarah yang harus menghancurkan dirinya sendiri dan
kemudian bangkit lagi dari abu reruntuhannya seperti burung phoenix.<br /> <br />Bertahun-tahun lalu, mungkin pada masa cinta pertama saya dengan sastra,
saya meyakini bahwa karya sastra adalah sesuatu yang direbut oleh pengarangnya
dari kenyataan, yakni dengan jalan menghancurkan kenyataan itu terlebih dulu.
Dengan kata lain: sebuah tour de force dari pengarangnya, kombinasi bakat dan
teknik yang leluasa — hampir-hampir bersifat ilahiah — untuk merebut inti
kenyataan, yakni bagian terdalam kenyataan yang tak tersentuh oleh hal-hal di
luar sastra.<br /> <br />Pengarang dan penyair menempati posisi sangat khusus, dan akibatnya, sang
aku dalam karya sastra, meski sering bersifat tragik dan absurd, tetaplah pusat
dan penguasa benda-benda. Kritik sastra rupanya juga terseret oleh kepercayaan
ini: ia hanya ingin mengusut dari mana imajinasi berasal dan bagaimana
imajinasi bekerja. Mungkin inilah pukulan pertama bagi saya dari modernisme
Indonesia. Sampai saya menerima “pelajaran” tentang imajinasi dari halaman
pertama novel Seratus Tahun Kebisuan.<br /> <br />Bertahun-tahun kemudian, ketika Kolonel Aureliano Buendia menghadapi regu
tembak, ia terkenang akan sebuah sore yang jauh tatkala ia bersama ayahandanya
menyaksikan es untuk pertama kali. Ketika itu Macondo adalah sebuah desa dengan
dua puluh rumah batu bata, terpacak di tepi sungai teramat jernih yang dasarnya
ditempati oleh batu-batu berwarna putih, berkilauan dan besar-besar seperti telur-telur
zaman purba.<br /> <br />Dunia seakan baru saja diciptakan sehingga segala sesuatu belum mempunyai
nama, dan untuk menyebut suatu benda, orang harus langsung menunjuknya.
Imajinasi bukanlah pembebasan serta-merta. Melalui novel Gabriel Garcia Marquez
itu kita memperoleh beberapa pelajaran. Pertama, si tokoh justru terseret oleh
masa lalunya, yakni sejarahnya yang kongkret, bukan sejarah yang dinyatakan
oleh yang lain — justru pada saat paling gawat, saat hukuman matinya.<br /> <br />Meskipun kita selalu kehilangan kesempatan untuk merumuskan kapan hukuman
mati itu dilaksanakan. Di sini, waktu adalah irama yang berdetak dalam diri
kita. Seseorang hampir mati, dan kenyataan menjadi hidup pada saat itu juga.
Kedua, manusia dan benda mulai pada posisi yang sama: kenyataan adalah sesuatu
yang dikenali, bukan terberi. Namun kemudian kita tahu, penduduk Macondo —
miniatur Amerika latin — tidaklah leluasa berbuat demikian, karena tanpa mereka
maui mereka diperkenalkan dengan temuan-temuan dari Eropa: magnet, suryakanta,
es, dan kemudian jalan kereta api dan partai politik.<br /> <br />Di sini sejarah adalah penguasaan oleh yang lain. Penamaan mereka terhadap
benda-benda ditelikung oleh temuan-temuan Eropa, yang jika diperlakukan dengan
perilaku murni mereka justru membuat mereka kandas. Inilah kesepian (soledad)
Amerika Latin, karena pengenalan tergerus oleh penaklukan. Bukan saja kesepian,
tetapi labirin kesepian, atau seratus tahun kesepian, yakni saat menunggu
kesempatan kedua di bumi, jika sejarah hanyalah surga bagi Eropa.<br /> <br />Namun, jika pengenalan bisa dilakukan, yakni jika sejarah menjadi bagian
dari eksistensi mereka, berlangsunglah penghancuran, dan mereka harus mulai
dari awal lagi. Terceriteralah kemudian dalam novel itu, bahwa setelah
terserang wabah insomnia, seluruh penduduk Macondo hilang ingatan, sehingga
Aureliano Buendia harus menyelamatkan mereka: ia menulisi benda-benda dengan
nama mereka semula: meja, kursi, jam, dinding, ranjang, sapi, kambing, babi,
ayam. Dan: Pada permulaan jalan menuju rawa-rawa mereka memasang papan
bertuliskan MACONDO dan sebuah papan lebih besar lagi di jalan utama
bertuliskan TUHAN MASIH ADA.<br />***<br /> <br />JELASLAH tidak ada tradisi yang diterima dengan serta-merta. Tradisi adalah
himpunan pecahan-pecahan yang tersembunyi di bagian tak sadar, menunggu
kesempatan untuk meledak, menunggu saat diberi nama. Meksiko, dan Amerika Latin
secara umum, semenjak saat kemerdekaannya, masih terus bergulat dengan masa
lampaunya.<br /> <br />Meksiko, yang dalam kesaksian Carlos Fuentes, telah lahir sebanyak tiga
kali. Kelahiran pertama ditebus dengan hancurnya kebudayaan Pra-Kolombia, yakni
kelahiran kolonialisme. Kelahiran kedua, pembebasan dari Spanyol, dan Meksiko
adalah bandul yang bergerak antara Amerika Serikat dan Prancis. Ideologi
universal yang dipercaya sebagai kekuatan yang lain hanyalah topeng bagi
luka-luka Meksiko yang lama. Kelahiran ketiga adalah Revolusi Meksiko pada awal
abad ini.<br /> <br />Orang-orang Meksiko mengenal satu sama lain dalam letupan kesadaran akan
kami — sebuah nasionalisme romantik. Cita-cita revolusi kandas oleh momentum
Amerika Serikat: negeri utara itu menancapkan diri sebagai sisi lain Meksiko.
Paz, lebih dari sekadar pribadi, adalah sebuah faset dalam pencarian Meksiko.<br /> <br />Pada masa kanak ia telah terpesona pada artifak-artifak Pra-Kolombia, yakni
seni yang dianggapnya paling enigmatik dan orisinal, karena ia bermula dan
berakhir pada dirinya sendiri, tidak mengenal otherness.<br /> <br />Pada saat ia mulai menulis, Meksiko membakar Amerika Latin dengan gerakan
seni rupa yang besar, yang mengiringi Revolusi: kaum muralis dan Rufino Tamayo.<br /> <br />Tak terlupakan adalah nyala api modernismo yang ditinggalkan Ruben Dario:
bahwa bahasa Spanyol bukanlah terberi, tetapi media yang bebas merdeka bagi
pengucapan Amerika Latin, artinya eksperimen harus dipercayai. Dan di depan Paz
pula sosok para penyair Spanyol zaman Barok berdiri teguh. Ia pun tak menampik
gaung teman-temannya, para penyair berbahasa Spanyol pada awal abad ini.<br /> <br />Saya ingin meletakkan Paz periode ini, dengan meminjam terma dari Julia Kristeva,
dalam tahap semiotik, yakni suatu tahap pra-bahasa, tahap disintegrasi ketika
pola-pola muncul tetapi tidak mempunyai identitas tetap: mereka kabur dan
berubah-ubah.<br /> <br />Puisi-puisinya bagaikan celoteh atau melodi yang keluar dari mulut
kanak-kanak. Dengan kata lain: citra dari ketidakstabilan tubuh. Paz bagaikan
zone erotogenik yang gampang terpesona secara ekstrem ataupun acuh tak acuh
sama sekali. Itulah keadaan perubahan yang permanen yang bahkan bisa menjurus
ke penghilangan diri. Pokoknya tidak ada identitas yang pasti.<br /> <br />Inilah rangsangan untuk bersentuhan langsung dengan pusat-pusat kebudayaan
dunia, upaya untuk membongkar posisi pinggiran. Dan Paz bersentuhan dengan
surealisme secara aktual. Ia memasuki tahap maturasi: pencerminan akan
kesadaran diri yang berhadapan dengan bahasa (bahasa di sini dipahami sebagai
pola yang jelas dari tanda-tanda, dalam hal ini kepenyairan adalah bahasa.)<br /> <br />Surealisme, bagi Paz ketika itu, adalah gerakan seni terbesar yang terakhir
pada abad ini, adalah juga kesadaran yang menyadari adanya ketidaksadaran, atau
rasio yang menganggap kegilaan bagian dari dirinya, dan dengan demikian adalah
perlawanan terhadap masyarakat borjuis yang mapan, positif, tapi dekaden.<br /> <br />Pengalaman Paz yang pertama adalah pengalaman dengan yang disebutnya
sebagai negasi dan disonansi. Modernisme tidak tertarik terhadap obyek-obyek,
melainkan struktur obyek-obyek, karena obyek-obyek sudah dikorupsi oleh
moralitas borjuis. Secara simultan pula, Paz menerima pengaruh dari paham-paham
yang sudah surut: Blake, kaum Romantisis Inggris dan Jerman, kaum Simbolis
Prancis.<br /> <br />Apakah ini artinya? Percumbuan dengan pusat-pusat kebudayaan dunia tidak
dapat dianggap sebagai hal permanen karena ia, sekali lagi, sebagai satu faset
Amerika Latin telah terbeban oleh trauma penaklukan dan kekalahan.<br /> <br />Bagaimana jika ia terbongkar sebagai yang lain padahal sesungguhnya ia
ingin membongkar yang lain dalam rangka mengenali wujudnya sendiri? Dan
bagaimana jika yang lain itu justru terbongkar dalam dirinya sendiri, jika ia
pulang?<br /> <br />Pertanyaan ini tidak saja menggoda Paz, tetapi juga Alejo Carpentier, Jorge
Luis Borges, Pablo Neruda, Gabriel Garcia Marquez, Carlos Fuentes, Mario Vargas
Llosa, dan sejumlah pengarang lain yang melakukan kontak langsung dengan Eropa.<br /> <br />Maka, sampailah mereka di ambang reaksi terhadap modernisme Eropa. Dan
bertahun-tahun kemudian Paz menulis: Seni modern adalah modern sebab ia kritis.
Kini kita menyaksikan pembalikan: seni modern mulai kehilangan kekuatannya
untuk melakukan negasi. Selama beberapa tahun ini daya dobraknya tengah menjadi
pengulangan ritual: pemberontakan jadi prosedur, kritik menjadi retorik,
perlawanan jadi upacara. Negasi tidak lagi kreatif.<br /> <br />Saya tidak berkata bahwa kita hidup di akhir seni: kita hidup di akhir
gagasan (tentang) seni modern. Beratus-ratus tahun lamanya Eropa menjadi pusat
kebudayaan dunia karena ia mempercayai Rene Descartes. Bahwa pusat dari
segala-galanya adala cogito atau kesadaran.<br /> <br />Pernyataan Kant yang telah saya kutip menyempurnakan kepercayaan Cartesian
ini. Dilihat dari sudut pandang Eropa sendiri, ini adalah pembebasan dari kegelapan
epistemologis, yang berarti juga humanisasi.<br /> <br />Penaklukan dilihat dalam kerangka bahwa humanisasi harus mendunia. Cogito
melihat sesuatu di luar dirinya sebagai yang harus ditaklukkan. Tetapi, apakah
penaklukan total terjadi? Kemungkinan besar tidak, karena cogito pada akhirnya
dirongrong oleh yang tidak disadarinya, yakni basis ekonomi (Marx),
ketidaksadaran (Freud), dan bahasa (Saussure).<br /> <br />Namun, posisi antara pusat dan pinggiran sudah telanjur terjadi. Dan seni
Eropa adalah anak dari kepercayaan Cartesian. Ia menegaskan posisi puncak sang
aku: memuntahkan diri dengan spontan (romantisisme), menahan diri untuk
menguasai detail (realisme), dan pada akhirnya mengatakan bagaimana ia terancam
keretakan.<br /> <br />Di sinilah ide modernisme mulai. Dengan penemuan Marx dan Freud, seni (yang
menjadi) modern berusaha membongkar kenyataan yang menyelubungi konflik ekonomi
dan konflik erotik: berusaha menemukan secercah “kebenaran”. Namun jika
“kebenaran” itu ada, ia tak berguna.<br /> <br />Di sinilah dua anak kandung kepercayaan Cartesian, yakni seni modern dan
kapitalisme, menempuh dua jalur berbeda dan akhirnya bertentangan prinsip satu
sama lain: sebuah kontradiksi budaya dalam kapitalisme.<br /> <br />Jika modernisme dipahami sebagai puncak pemujaan — dan kebangkrutan —
cogito, ada dua jalan reaksi yang ditempuh oleh Paz dan generasinya. Jalan
pertama, seperti yang dilakukan oleh Gabriel Garcia Marquez, ketika ia
menyatakan bahwa Eropa adalah tawanan abstraksi-abstraksi. Eropa sudah terlalu
lama, dan terlalu banyak, memberi nama. Dan nama-nama itu adalah bagian dari
sejarahnya, yakni sejarah yang mencintai penaklukan.<br /> <br />Kami telah diajari untuk melupakan waktu asal-muasal kami, yakni waktu yang
serta-merta, sirkular dan mitis atas nama waktu yang progresif dan irreversible
demi masa depan yang terbatas, padahal itu adalah masa depan mereka. Kami
adalah sejarah tersendiri: dalam diri kami terkandung pecahan-pecahan Eropa,
yang harus dibaca dan ditulis kembali. Kami harus mulai lagi memberi nama-nama,
karena pilihan yang lain hanyalah kematian.<br /> <br />Paling tidak ada dua kecaman yang dilancarkan ekstrem ini pada sastra
Eropa. Novel-novel Eropa, terutama dari abad ke-19, hanya bermain di dalam kota
dan rumah-rumah. Itu tak lain adalah penggambaran milik dan pemilikan pribadi
yang, jika tak aman, memerlukan pahlawan untuk menyelamatkannya.<br /> <br />Jika sastra Eropa mengetengah alam di luar Eropa, yang mewadahi pertemuan
antara manusia Eropa dan manusia kulit berwarna — sub-manusia — yang terjadi
adalah eksploitasi kultur primitif demi penelanjangan diri. Maka, para penulis
Amerika Latin itu menemukan Amerika Serikat sebagai cermin baru.<br /> <br />Mengapa? Mungkin, karena Amerika Serikat pada mulanya adalah juga utopia
Eropa (ia, seperti halnya Amerika Latin, ditemukan oleh Eropa melalui
Columbus), tetapi akhirnya ia mendahului Eropa dalam waktu progresifnya. Ia
adalah anak reformasi, sementara Amerika Latin anak Kontra-Reformasi. Ia
non-intelektual, ia Protestan, percaya pada pengaturan moral, dan tumbuh dari
kota-kota kecil.<br /> <br />Modernisme di sana (tidak dalam isi, tapi dalam bentuk, demikianlah kata
Daniel Bell) tidaklah merupakan konsekuensi dari filsafat, tetapi lebih
merupakan reaksi terhadap fungsi, seperti yang terjadi dalam jazz dan
fotografi.<br /> <br />Modernisme itu baru dipertegas ketika ia menerima orang-orang buangan:
seniman dan cendekiawan Eropa antara dua perang dunia. Ia sangat berpengalaman
dalam regionalisme (Melville, Cooper, Whitman), dan akhirnya yang melahirkan
William Faulkner, yang pengaruhnya tak terelakkan dalam prosa Amerika Latin
tiga dasawarsa ini.<br /> <br />Faulkner adalah eksperimentalis yang leluasa menggunakan pergantian dan
penyejajaran berbagai sudut pandang namun dengan keterikatan yang kuat pada
geografi (Yoknapatawpha County bagi Faulkner, Macondo bagi Garcia Marquez.)<br /> <br />Jalan kedua ditempuh oleh orang-orang seperti Jorge Luis Borges dan Octavio
Paz. Bagi mereka, Eropa sudah pudar karena sudah melewati puncaknya, tetapi tak
mungkin ditolak karena ia merupakan sejarah yang kongkret. Perjalanan ke Eropa
adalah sebuah donquixotisme: sebuah perjalanan untuk melancarkaan kritik
terhadap yang sudah dibaca di “rumah” dan yang di luar “rumah” dilihat sebagai
kenyataan.<br /> <br />Seberapa layak kita memperlakukan Eropa, dan bagiannya, yang mana saja
berarti untuk aktualisasi kita. Menulis berarti menuliskan kembali. Para
literati Eropa adalah kawan kita menulis. Amerika Latin dan Eropa mestilah
sama-sama bercermin.<br /> <br />Di sini anggapan tentang pusat kebudayaan dengan sendirinya ditolak. Teks
Eropa harus dibongkar dan dituliskan kembali. Borges membongkar dan menuliskan
lagi, misalnya, teks Cervantes dan Dante.<br /> <br />Setiap penulis menciptakan sendiri para pendahulunya, dan karyanya mengubah
masa lampau sebagaimana masa depan, demikianlah kata Borges. Maka, identitas
dimengerti sebagai suatu penggandaan: suatu kesadaran yang terurai menjadi yang
membaca (dan menulis) dan yang dibaca (ditulis).<br /> <br />Dengan demikian, posisi aku yang original, yang menguasai secara tunggal
berbagai sumber teks, ditolak. Sastra bukanlah sebuah kategori yang agung,
karena posisi pusat pengarang dibongkar. Seni modern adalah kegilaan yang
(menjadi) bijak, kata Paz.<br />***<br /> <br />KONTAK Paz dengan salah satu puncak modernisme, yakni surealisme, ibarat
mengoyak lagi psike dari sejarah Amerika Latin. Seandainya surealisme hanyalah
sekadar teknik yang bisa dipakai, mungkin Paz tidak akan merelakan kejatuhan
modernisme. Namun sejarah Amerika Latin adalah kenyataan yang sureal, seperti
contoh-contoh berikut ini.<br /> <br />Raja Aztec Mentezuma mengira Hernan Cortez si Penakluk adalah Dewa
Quetzalcoatl yang membalas dendam. Sebelas ribu ekor keledai masing-masing
mengangkut seratus pon emas meninggalkan Cuzco pada suatu hari untuk membayar
upeti pada Raja Atahualpa namun mereka tak pernah sampai ke tujuan.<br /> <br />Jenderal Antonio Lopez de Santana — diktator Meksiko tiga kali — mengadakan
upacara pemakaman besar -besaran untuk kaki kanannya yang hilang dalam sebuah
perang.<br /> <br />Sastra Amerika Latin mulai dengan kronik-kronik yang ditulis oleh
orang-orang Spanyol dan Mestizo pertama yang berada di Meksiko pada masa
penaklukan dan sesudahnya. Maka, suatu psychic automatism seperti yang
dipraktekkan kaum surealis adalah suatu pembebasan dari kesadaran aku untuk
menjadi yang lain.<br /> <br />Dalam keadaan demikian khazanah Meksiko menjadi siap dihidupkan lagi.
Meksiko dan Paz menjadi kita yang hadir pada wilayah yang lain, atau
sebaliknya. Pada periode ini Paz menulis sajak-sajak panjang seperti Batu
Matahari yang didasarkan pada bentuk kalender Aztec: tentang aku yang
terpecah-pecah dan terserap oleh berbagai perbatasan dan tentang mitologi
matahari Aztec.<br /> <br />Dalam sajaknya Kendi Pecah kita baca kalimat-kalimat ini: Kita mesti tidur
dengan mata terbuka, kita mesti bermimpi dengan tangan-tangan kita, kita mesti
bermimpi tentang sungai yang mencari alurnya sendiri, tentang matahari yang
memimpikan semestanya sendiri, kita mesti bermimpi habis-habisan, kita mesti
bernyanyi sampai nyanyian mencabuti akar, batang, reranting, burung-burung,
bintang-bintang, kita mesti bernyanyi sampai impian di sisi orang yang tertidur
membuahkan gandum merah-kuping kebangkitan, air keibuan, sumber di mana kita
minum dan mengenal diri kita dan bangkit, sumber yang berkata bahwa kita adalah
manusia, air yang bicara sendiri di malam hari dan memanggil nama kita, sumber
kata-kata yang berkata aku, kau, ia, kita, di bawah pohon besar, patung hujan
yang hidup, di mana kita mengucap kataganti dengan takjub, mengenal diri kita
dan mempercayai nama-nama kita.<br /> <br />Kalimat-kalimat di atas tidak mempunyai kepastian subyek. Si subyek memecah
karena ledakan kita dan mengalihkan diri pada benda-benda dan pada gilirannya
terjadi yang sebaliknya: sebuah daur ulang. Suatu pengenalan dengan keretakan
subyek: bahwa hal itu tidak dapat ditopengi melainkan harus dikenali dalam
wacana. Kesadaran tergusur dari dominasinya sampai ia harus mengingat “yang
dikatakan oleh darah, air pasang, tanah, dan tubuh dan kembali ke titik
permulaan”.<br /> <br />(Sajak ini kurang lebih memperlihatkan pengaruh Tanah Gersang, satu bukti
bahwa Paz dengan cepat menumpuk arsip-arsip kaum modernis Eropa dalam dirinya.)
Dan di sini juga Paz sampai di ambang kritik terhadap modernisme. Mungkin lebih
tepat dikatakan: suatu pembongkaran terhadap khazanah Eropa yang, karena
melewati begitu banyak puncak, hanya meledak ke arah dalam (implosi).<br /> <br />Namun, dunia di luar Eropa mengalami hal yang justru karena ia
mendefinisikan dirinya dari sudut pandang “pusat kebudayaan dunia”. Paz tidak
memilih satu posisi diametral terhadap Eropa (dan Amerika Serikat). Yang ia
lakukan adalah perjalanan keluar-masuk, menyaksikan dan menyentuh kulit Eropa
yang mengelupas selapis demi selapis.<br /> <br />Memang, Paz menyaksikan yang kemudian dikatakan oleh Milan Kundera: “Jika
Tuhan sudah pergi dan manusia bukan lagi tuan, lalu siapakah tuan kini? Bumi
ini bergerak terus tanpa tuan. Itulah the unbearable lightness of being.” Eropa
menjadi korban dari bobotnya sendiri, yakni penumpukan temuan-temuan atas dasar
kepercayaan Cartesian, dan kini ia menginginkan pembongkaran atas dirinya
sendiri.<br /> <br />Jika kaum (pasca)-strukturalis dan dekonstruksionis — sebagai faset Eropa —
berupaya membongkar dan membalikkan tradisi filsafat aku karena Eropa sudah
terlalu lama berkuasa, Paz, sebagai faset Meksiko yang pernah menjadi korban
Eropa, hanyalah perlu melintasi fragmen-fragmen aku yang hadir serempak di
mukanya untuk memastikan bahwa Meksiko adalah yang lain.<br /> <br />Demikianlah, penaklukan adalah risiko dari rekonsiliasi yang terlambat
(orang-orang Aztec mengusir Quetzalqoatl, dan kemudian sang dewa menyamar
sebagai penakluk berkuda dan bersenjata petir yang datang dari arah timur).
Bertahun-tahun kemudian Paz pergi ke arah timur, ke India, dan ia berziarah ke
Galta, sebuah kota kuno yang memuliakan Hanuman: Pada sebuah tebing batu
pegunungan, Hanuman menulis Mahanataka, yakni kisah yang sama dengan Ramayana.<br /> <br />Valmiki membacanya, dan ia cemas jika karya Hanuman membayang-bayangi puisi
besarnya. Ia memohon Hanuman untuk merahasiakan kisahnya kepada siapa pun. Dewa
kera itu mengalah pada permintaan si penyair: ia pun menjebol pegunungan batu
itu dan membenamkannya ke dasar laut. Maka tinta dan pena Valmiki adalah
metafor bagi petir dan hujan yang telah digunakan Hanuman untuk menuliskan
riwayat hidupnya.<br /> <br />Bagi Paz, Hanuman telah menghancurkan “teks”-nya agar Valmiki dapat
menuliskannya lagi dengan leluasa. Hanuman adalah metafor bagi bahasa: bahwa
bahasa mengatasi cara pengungkapan diri. (Prinsip ini menunjukkan kesejajaran
dengan prinsip para penyair Simbolis yang menolak puisi sebagai ungkapan aku
yang mengaku, the confessional I).<br /> <br />Di sini ingin juga ditunjukkaan bahwa tidak ada kesadaran yang mendominasi:
Galta adalah jalan menuju Hanuman, Hanuman adalah jalan menuju Valmiki, Valmiki
adalah jalan menuju puisi, dan Paz adalah jalan menuju Galta.<br /> <br />Kita menolak makna absolut yang pernah dianggap hadir dalam teks. Roland
Barthes mengumumkan kematian pengarang karena ia sudah terlalu lama memerintah
sejarah sastra. Karena pembaca harus lahir, yakni pembaca yang tanpa sejarah,
riwayat hidup, dan psikologi.<br /> <br />Ada perbedaan penting: pengarang-nya Barthes harus dibunuh karena ia
menempatkan diri sebagai pusat semenjak Abad Pertengahan, dan Hanuman-nya Paz
menyingkir dengan sukarela karena ia tidak mungkin menulis di luar sejarah (ia
telah menulis yang ilahiah untuk dirinya sendiri.)<br /> <br />Penyair bukanlah ia yang menamai benda-benda, tetapi ia yang menghapuskan
nama benda-benda, seseorang yang menemukan bahwa benda-benda tidaklah mempunyai
nama dan bahwa nama yang biasa kita sebut bukanlah milik mereka. Dengan menulis
kita meniadakan benda-benda, kita mengubahnya menjadi makna: dengan membaca
kita meniadakan tanda-tanda, kita memeras makna daripadanya, dan segera kita
menghamburkan makna itu maka makna menjadi zat purbani.<br /> <br />Eropa telah menderita karena terlalu lama dan terlalu banyak memberi nama.
Cogito telanjur mempercayai bahwa dirinya berjarak dari kenyataan dan mengira
pengenalan dan penamaan adalah niat baik, padahal itu adalah kehendak untuk
berkuasa.<br /> <br />Jika ia melawan kekuasaan atau tatanan yang mapan dari nama-nama, ia
mengira dirinya berada di luar kekuasaan. Bertahun-tahun kemudian kepercayaan
Cartesian (dan Kantian) ini dikhianati dari dalam.<br /> <br />Bukan cogito yang menjadi pusat dan membuat “pola besar dunia”, justru
dialah yang dipolakan: ia bukan sebab melainkan akibat (Lacan) kekuasaan tidak
terkonsentrasi, misalnya pada negara, tetapi terbagi secara halus, terkandung
dalam praktek pengenalan, dalam wacana (Foucault).<br /> <br />Namun, jika jalan pikiran ini diterima begitu saja, Eropa akan sampai pada
kontradiksi baru. Ia menolak pusat dalam dirinya sendiri, padahal ia telanjur
menciptakan ketimpangan di dunia luar karena penaklukannya.<br /> <br />Dunia Ketiga jelas-jelas tersedot pada kekuasaan nama-nama, yang dikatakan
dengan sopan sebagai “masyarakat informasi”. Maka, alternatif bagi si kulit
berwarna adalah “menghapuskan nama benda-benda, menemukan bahwa benda-benda
tidak mempunyai nama dan nama-nama yang kita sebut bukanlah milik mereka.”<br /> <br />Dalam konteks ini wacana bukanlah sebuah hermeneutika (tentang) kecurigaan.
Karena aku bukan lagi tuan di rumah sendiri karena terkendali oleh pola yang
tak disadarinya, melainkan penampakan aku di dalam yang lain atau penampakan
yang lain di dalam aku, aku yang berusaha pulang, aku yang adalah “kita yang
tak pernah tiba di tempat kita sekarang”.<br /> <br />Dalam sajak-sajaknya yang kemudian Paz memperlihatkan aku yang bening dan
berlapis-lapis, selang-seling lapisan aku dan lapisan yang lain, yang saling
memandang tanpa kekuasaan nama-nama. Seperti dalam sajak “Seteguk bayangan”:<br /> <br />Aku tengah di mana aku pernah: aku berjalan di belakang bisikan, langkah
kaki dalam diriku, mendengar dengan mataku, bisikan berada dalam pikiranku,
akulah langkah kakiku, aku mendengar suara-suara yang kupikirkan, suara-suara
yang memikirkanku seperti aku memikirkan mereka, akulah bayangan yang dibentuk
oleh kata-kataku.<br /> <br />Amerika Latin adalah tempat orang seperti para conquistadores, Charles
Darwin, dan Claude Levi-Strauss merealisasikan dirinya. Ia adalah bahan yang
menyumbang pada tradisi besar Eropa, mulai fajar sampai senja harinya, tanpa
sadar.<br /> <br />Sebagai realisasi dari utopia Eropa, ia tetap ditempatkan di luar sebagai
yang lain. Baru belakangan ia, melalui Paz dan generasinya, menyaksikan Eropa
ingin membebaskan diri dari rasa bersalahnya — namun itu pun sebuah active
forgetting of history. Karena sejarah bagi Eropa adalah penumpukan pengetahuan
melalui kekuasaan atau sebaliknya, yakni suatu risiko dari Cartesianisme.<br /> <br />Bagi Paz dan generasinya, senjakala modernisme adalah kontradiksi antara
dua anak sah dari kepercayaan Cartesian (dan Kantian): antara modernisme dan
kapitalisme, dan modernisme harus bertekuk lutut, atau menerima akibat-akibat
kapitalisme sebagai bagian dari eksistensinya.<br /> <br />Maka, akibat-akibat modernisme adalah bahan mentah bagi Amerika Latin.
Sejarah bukanlah beban, bukanlah tradisi: mengenali sejarah adalah menerima
diskontinuitas.<br /> <br />Sejarah menjadi paradoks, sebab Borges menulis juga sejarah, yakni sejarah
tentang malam hari dan sejarah tentang keabadian. Sejarah adalah wabah insomnia
(Garcia Marquez). Sejarah adalah aku — kenangan yang menemukan dirinya sendiri
(Paz).<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) NIRWAN DEWANTO adalah penyair dan esais. Pernah belajar di Jurusan Geologi
ITB, sampai tamat. Semasa mahasiswa, ia memimpin Grup Apresiasi Sastra ITB.
Pernah bekerja di bidang eksplorasi perminyakan. Kini membaca, menulis, dan
berjalan-jalan adalah kegiatan utamanya. <a href="http://sastra-indonesia.com/2010/07/octavio-paz-amerika-latin-dan-senjakala-modernisme/">http://sastra-indonesia.com/2010/07/octavio-paz-amerika-latin-dan-senjakala-modernisme/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-59872212211529267712021-08-23T18:43:00.002-07:002021-08-23T18:43:18.830-07:00GASTROKRITIK SASTRA: KAJIAN SASTRA GASTRONOMIS<b>(GASTROCRITICISM: GASTRONOMIC LITERARY STUDIES)</b><br /> <br />Djoko Saryono *<br /> <br />/1/<br />Sampai sekarang pada umumnya masyarakat atau kita memandang boga dan
puisi-fiksi merupakan dua dunia yang berbeda, bahkan terpisah sangat jauh, yang
mustahil bertemu, apalagi bersatu bahu-membahu. Dunia boga merupakan urusan
tata boga dan ‘perut dan mulut’, sedangkan dunia puisi-fiksi merupakan urusan
seni atau sastra dan ‘rasa dan jiwa’. Di samping itu, dunia boga ditempatkan
sebagai bagian gastronomi, sedangkan dunia puisi-fiksi ditempatkan sebagai
bagian teori sastra atau kritik sastra. Tak heran, <span><a name='more'></a></span>dalam beberapa kurun
belakangan, hampir-hampir tidak ada kitab, artikel, makalah, kertas kerja, dan
atau wacana, yang mengulas dan membahas perjumpaan dan pertemuan serta kerja
sama antara boga dan puisi-fiksi (sastra), apalagi memaparkan perpautan dan
perjodohan antara boga dan puisi, gastronomi dan kritik sastra atau kajian
sastra. Setahu saya perbincangan khalayak tentang boga dan puisi-fiksi belum
pernah berlangsung, bahkan secara sambil lalu pun belum terbetik berita.<br /> <br />Benarkah boga dan puisi-fiksi memang tidak bisa bertemu dan berjumpa,
lebih-lebih berpaut dan berjodoh secara serasi, saling mengada dengan mesra?
Jika memandang (perjalanan) kehidupan susastra lokal, susastra Indonesia,
apalagi susastra mancanegara niscaya kita ‘mau tak mau harus membuang’
pertanyaan tersebut. Menghikmati perjalanan kehidupan susastra lokal (daerah), Indonesia,
dan mancanegara, yang sudah terlaksana berpuluh tahun, laksana menjelajahi
perjumpaan dan pertemuan boga dan puisi-fiksi yang selalu berlangsung mesra dan
penuh keindahan, bahkan kita menyaksikan perpautan dan perjodohan boga dan
puisi-fiksi dalam dulang (ke)seni(an) sekaligus penghidupan; keduanya saling
mengada (koeksistensi) dalam arung budaya khususnya arung kehidupan sastra dan
boga di dunia. Tidak berlebihan dikatakan di sini bahwa keduanya merupakan
representasi nyata perpautan dan pertautan dunia boga dengan dunia puisi-fiksi,
perjodohan nyata gastronomi (tata boga) dengan kritik sastra (kajian sastra).
Perpautan, pertautan atau perjodohan gastronomi dan kritik sastra tersebut saya
beri nama atau istilah frasal gastrokritik sastra: kajian sastra gastronomis
atau gastrocriticism: gastronomic literary studies (biar tampak gagah).<br /> <br />Sudah barang tentu istilah atau frasa gastrocriticism: gastronomic literary
studies atau gastrokritik sastra belum akrab di telinga parapihak (stakeholder)
yang berkecimpung di dunia sastra, terutama di kalangan gastronomi dan kritik
sastra atau kajian sastra karena setahu saya belum pernah dikemukakan atau
dipakai oleh berbagai kalangan, setidak-tidaknya berdasarkan penelusuran saya
melalui mesin pencari google dan penelusuran saya di berbagai laman digital.
Artikel dan makalah, apalagi buku bertajuk gastrocriticism dan atau gastronomic
literary studies pun belum dapat saya termukan. Istilah atau frasa tersebut
saya pakai (perkenalkan?) dengan menganalogi istilah ecocriticism yang
merupakan perpautan, pertautan atau perjodohan antara ekologi/lingkungan dan
kritik sastra; dan atau geocriticism: spatial literay studies yang merupakan
perpautan, pertautan atau perjodohan antara keruangan (spasialitas) dan kritik
sastra.<br /> <br />Kedua istilah tersebut (baik ecocriticism maupun geocriticism) sudah
dikenal di dunia sastra dan diperkenalkan oleh beberapa pihak (baca antara lain
tulisan Cheryll Glotfelty, Gregg Garrad, Robert J Tally Jr, dan Betrand
Westphal) meskipun di dunia sastra Indonesia khususnya dunia kritik atau kajian
sastra Indonesia juga masih ‘sayup-sayup’. Oleh sebab itu, tulisan tentang
gastrocriticism: gastronomic literary studies ini masih merupakan eksplorasi
dini atau perkenalan awal kepada peminat, penikmat, penghikmat, pencinta, dan
atau pengkaji sastra Indonesia. Sebagai eksplorasi dini atau perkenalan awal,
esai ini mencoba menguraikan konsep dasar atau definisi gastrocriticism, nalar
pentingnya gastrocriticism, dan wilayah garapan (subject matter) gastrocriticism
serta asas-asas utama gastrocriticism: gastronomic literary studies.<br /> <br />/2/<br />Sudah disinggung di atas, secara terminologis, gastrocriticism atau dapat
diindonesiakan menjadi gastrokritikisme atau gastrokritik sastra merupakan
paduan atau gabungan istilah (terma) gastronomy dengan literary
criticism/literary studies. Gastronomy atau gastronomi yang sudah lazim juga
disebut tata boga merupakan bidang yang mengurusi hal-ihwal makanan-minuman
yang baik, sedang literary criticisme/literary studies atau kritik sastra/kajian
sastra merupakan bidang yang mengurusi hal-ihwal karya sastra. Dengan
menganalogi paduan atau gabungan istilah geography atau geografi spasial dengan
literary criticism/literary studies atau kritik sastra/kajian sastra yang
menghasilkan frasa spatial literary studies yang berarti bidang kajian atau
kritik sastra yang memusatkan perhatian pada matra spasialitas atau geografi
sastra, maka paduan atau gabungan istilah gastronomy dengan literary
criticism/literary studies dapat membuahkan frasa gastrocriticism/gastronomic
literary studies, yang berarti bidang kajian atau kritik sastra yang memusatkan
perhatian pada matra-matra gastronomis atau boga dalam sastra. Dengan demikian,
secara bahasawi dapat dikatakan di sini bahwa gastrocriticism/gastronomic
literary studies adalah bidang kajian atau kritik sastra transdisipliner yang
memusatkan perhatian pada dan mempelajari hal-ihwal saling paut dan
jalin-kelindan gastronomi atau boga dengan sastra.<br /> <br />Saling-paut dan jalin-kelindan gastronomi dengan sastra yang dipelajari dan
digarap gastrocriticism tersebut bukan hanya hal-ihwal boga yang terefleksi
atau terepresentasi dalam teks sastra (baca: boga sebagai isi karya sastra),
melainkan juga hal-ihwal boga yang menjadi elemen pembentukan teks sastra
(baca: boga sebagai imajinasi, metafora, bahasa figuratif, dan sejenisnya).
Bahkan tradisi dan budaya boga, terentang mulai perlakuan terhadap jenis-jenis
minuman dan makanan sampai dengan cara-cara dan kebiasaan memasak dan makan
juga dapat dijadikan bidang yang digarap dan dipelajari oleh gastrocriticism.<br /> <br />Sebagai contoh, kalau kita baca secara lengkap dan cerat Serat Centhini
yang merupakan karya sastra klasik Jawa yang legendaris, niscaya kita temukan
taburan dan bauran boga atau kuliner yang luar biasa, bisa menjadi satu kajian
tersendiri. Demikian juga jika kita simak dan selidiki secara cermat kolom
karya Umar Kayam, yaitu Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Banda, dan Madhep
Ngalor Sugih Madhep Ngidul Sugih, yang amat naratif dan literer, kita bisa
menjumpai taburan unsur gastronomis baik penganan, minuman, makanan maupun
cara-cara memasak dan makan di dalam kolom-kolom tersebut. Novel Para Priyayi
dan Jalan Menikung karya Umar Kayam juga mengandung banyak tebaran unsur
gastronomis atau boga di dalamnya. Di samping itu, jika baca, simak, dan
selidiki secara jeli novel Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak malah
dapat kita saksikan semarak karnaval atau parade gastronomis. Novel Aruna dan
Lidahnya bukan sekadar menjadikan boga sebagai latar, melainkan sebagai tema,
pokok persoalan, bahkan kunci cerita. Lebih lanjut, antologi cerita dan prosa
Filosofi Kopi karya Dee, terutama cerita Filosofi Kopi dan Sepotong Kue Kuning,
yang dinobatkan Majalah Mingguan Tempo sebagai karya sastra terbaik tahun 2006,
menjadikan kopi dan kue sebagai tema, pokok persoalan, pusat penceritaan,
imajinasi, dan metafora yang membentuk, mengendalikan, dan menggerakkan cerita
dan alur. Dalam Filosofi Kopi boga telah menjadi sumbu cerita dan alur. Anatomi
Rasanya Ayu Utami contoh punya kandungan kuat boga.<br /> <br />Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa (a) unsur boga atau gastronomis
bisa direpresentasikan di dalam teks sastra, (b) unsur boga atau gastronomis
bisa dijadikan pembentuk teks (dijadikan imajinasi, metafora, dan gaya), dan
(c) unsur boga atau gastronomis beserta tradisi dan budaya yang menyertainya
bisa dijadikan penanda keberadaan teks secara tersurat, tersirat, dan tersorot.
Pendek kata, boga dapat menjadi tanda, lambang, metafora, imajinasi, dan bagian
struktur karya sastra.<br /> <br />/3/<br />Gastrocriticism: gastronomic literary studies tersebut masih merupakan
tawaran sangat dini. Pengembangan lebih lanjut secara konseptual dan sistematis
harus dilakukan. Pengembangan tersebut sangat penting sebagai alternatif
perspektif kajian sastra. Mengapa penting? Paling tidak ada 4 (empat) alasan
berikut. Pertama, secara historis puisi-fiksi dan boga sesungguhnya merupakan
sejoli di rahim yang sama karena kata gastronomi pertama kali muncul pada zaman
modern tepatnya di Prancis pada puisi yang dikarang oleh Jacques Berchoux
(1804). Kedua, ilmu-ilmu disipliner termasuk di dalamnya teori formalisme,
strukturalisme, dan kritik sastra baru (dalam kajian sastra) sekarang semakin
memudar, bahkan menuju kematian sebagaimana dijelaskan oleh Spivak dalam The Death
of Disciplines, Terry Eagleton dalam After Theory, dan Raman Selden dalam
post-theory. Ketiga, kajian-kajian ilmu kemanusiaan sekarang semakin mengarah
pada transdisiplinaritas sehingga kajian gastrokritik sastra memiliki kecocokan
(kompatibilitas) dengan tren besar kajian ilmu kemanusiaan. Keempat, kajian
gastrokritik sastra atau kajian sastra gastronomis dapat memperkaya khazanah
teori sastra transdisipliner sekaligus memperluas ruang-ruang kajian sastra di
Indonesia. Bahkan dapat menjadi pilihan pemikiran dan kajian sastra setelah
(apa yang disebut Raman Selden dalam bab akhir bukunya) kecenderungan “after
theory”. Siapa berani mengembangkan lebih lanjut?<br /> <br />______________<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia
di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak
menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi
pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga
Internasional.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span><a href="https://sastra-indonesia.com/2020/07/gastrokritik-sastra-kajian-sastra-gastronomis/">https://sastra-indonesia.com/2020/07/gastrokritik-sastra-kajian-sastra-gastronomis/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-55243728349654068362021-08-23T18:31:00.005-07:002021-08-23T18:31:56.012-07:00Inovasi dalam Cerpen KoranNenden Lilis A *<br />kompas.com<br /> <br />NIRWAN Dewanto, pada periode 90-an, sempat memuji cerpen koran, “Harus kita
akui, bahwa cerpen-cerpen terbaik di Indonesia selama lima tahun terakhir
muncul di Kompas dan Matra, bukan di Horison.” (lihat Pengantar Nirwan Dewanto
dalam Pelajaran Mengarang, Cerpen Pilihan Kompas 1993). Dalam pengantar yang
sama, melihat kondisi cerpen koran pada saat itu, Nirwan pun sempat berkomentar
bahwa ruang cerpen di surat kabar, betapa pun terbatas, menyediakan potensi
penyegaran sastra yang tidak kecil.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Akan tetapi, dalam tulisan, “Masih Perlukah Sejarah Sastra? (Kompas,
4/3/2000), Nirwan menulis kalimat yang agak mengejutkan, “…penulis yang ada
sekarang hanya mampu menghasilkan cerpen koran.” Tersirat pada peremehan
terhadap mutu cerpen koran dalam kalimat tersebut.<br /> <br />Sikap Nirwan yang seolah berbalik di atas memang mengherankan. Namun perlu
segera disadari bahwa cerpen koran memang telah lama dan telah banyak mendapat
kritik yang tidak mengenakkan.<br /> <br />Kritik yang ditujukan terhadap cerpen koran mengarah pada penilaian bahwa
cerpen koran mengecewakan dari berbagai seginya, terutama dalam upaya melakukan
pencapaian estetika.<br /> <br />Salah satu hal yang dianggap menjadi penyebabnya adalah terbatasnya ruang
(jumlah halaman) yang disediakan. Mengenai ruang ini, para pengamat maupun para
penulis cerpen sering membandingkannya dengan majalah.<br /> <br />Seperti diketahui bersama, pada awal perkembangannya (1945-1970-an), cerpen
tumbuh dalam majalah. Terutama majalah kebudayaan/kesusastraan, seperti Pantja
Raya, Zenith, Indonesia, Kisah, Sastra, Zaman Baru (majalah Lekra), Horison,
Basis, dan lain-lain. Majalah-majalah tersebut memiliki visi-misi untuk pengembangan
kebudayaan/kesusastraan. Dengan karakteristiknya ini, majalah-majalah tersebut
memberikan ruang yang leluasa bagi cerpen. Longgarnya ruang ini diyakini
merupakan faktor yang menyebabkan cerpen dapat melakukan eksplorasi dalam
bidang estetika.<br /> <br />Sekarang, seiring dengan kematian majalah, cerpen tumbuh dalam koran dengan
ruangan yang terbatas. Terbatasnya ruang ini menjadi masalah tersendiri bagi
para penulis cerpen, terutama penulis generasi cerpen majalah. Pendeknya, dari
keterbatasan koran tersebut, para pengarang merasakan berbagai “kehilangan”.
Adapun para pengamat merasakan berbagai penurunan kualitas, yang menimbulkan
semacam keyakinan bahwa cerpen majalah lebih berhasil melakukan pencapaian
estetika daripada cerpen koran.<br /> <br />Harus diakui bahwa tak semua cerpen koran berhasil melakukan pencapaian
estetika. Namun juga tak semua cerpen majalah berhasil melakukannya.
Karya-karya dari cerpen majalah yang sering disebut berhasil melakukan
pencapaian estetik tentunya hanya sebagian atau beberapa saja yang memang
merupakan masterpiece. Begitu pula dengan cerpen koran. Tak semua cerpen koran
bersifat lugas, topikal, dan permukaan. Banyak pula yang berhasil melakukan
pencapaian estetik sekalipun ruangnya terbatas. Bahkan, pencapaian estetika
dari cerpen koran, dapat dikatakan telah sampai pada tahap inovasi, seperti
yang dilakukan Joni Ariadinata.<br />***<br /> <br />INOVASI dalam karya sastra sudah terjadi sejak 1942-an tatkala konsep
estetika Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru dirombak oleh angkatan
1945-an. Inovasi ini terjadi lagi tahun 1970-an, dan terjadi juga sekarang,
terutama dalam bidang cerpen.<br /> <br />Idrus adalah salah seorang pengarang yang sering dinyatakan sebagai
pembaharu dalam bidang prosa. Ia adalah pemisah antara prosa zaman revolusi
dengan angkatan Pujangga Baru. Inovasinya adalah hal isi, gaya dan penggunaan
bahasa dianggap revolusioner. A. Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia I (1980)
pernah mengulas bahwa berbeda dengan angkatan Pujangga Baru yang mementingkan
keindahan dan kehalusan, Idrus justru memilih kenyataan yang kejam, kasar,
hal-hal yang menyinggung dan kata-kata yang dikemukakan kepada pembaca dengan
cara yang agak menentang. Kekterusterangan dan kesederhanaan menjadi norma
karya prosanya. Kalimat-kalimat yang digunakan dalam karyanya pendek-pendek dan
bersahaja dengan kecenderungan terhadap pembentukan kalimat nominal. Kata dasar
banyak menggantikan kata berimbuhan. Ia pun tak segan-segan memasukkan bahasa
Jakarta-Jawa sehari-hari, dan bahasa-bahasa asing menggantikan bahasa Melayu
resmi.<br /> <br />Pada tahun 1970-an, inovasi terjadi dalam cara melihat kenyataan. Pada
waktu itu, meminjam ungkapan Th Sri Rahayu Prihartini (Kompas, 14/6/1998),
sastra realis “dirongrong” oleh para inovator seperti Putu Wijaya dan Danarto.
Begitu pula segi estetika. Alur tidak harus terikat hukum kausalitas, peristiwa
bukan hanya yang masuk akal, latar waktu tidak hanya terikat lampau dan kini,
pencerita pun kadang-kadang tidak pasti kedudukannya.<br /> <br />Pada Joni Ariadinata (salah seorang cerpenis yang tumbuh lewat koran),
cerpen-cerpennya masih bersifat realis. Inovasinya ini nampak pada bidang
bahasa. Dikatakan inovasi karena bahasa yang digunakan Joni berbeda dengan
bahasa yang digunakan atau yang terdapat dalam karya-karya sastra sebelumnya
dan karya sastra pada umumnya. Inovasi ini tidak tampak sebagai upaya
“beraneh-aneh”, tetapi dilakukan dalam upaya untuk mengedepankan, mengaktualkan
(foreground) sesuatu yang dituturkan sehingga pas dengan ide yang ingin
disampaikan.<br /> <br />Dalam menulis cerpen, Joni sangat mempertimbangkan kepekatan dan
efektivitas bahasa. Kesungguhan dalam memperoleh kepekatan tersebut sejajar
dengan cara penyair mengeksplorasi kata untuk puisi: mencari kata yang paling
pas untuk suatu ide, mengupayakan tumbuhnya berbagai efek dari bahasa yang
disajikannya sehingga terdengar bunyinya, terasa iramanya, terlihat bentuknya,
dan seterusnya, seperti ini: Kalimas berdengung, lalat menemplek di tiang besi,
tembok-tembok: air surut. Pada lumut tersembul, dan lumpur. Para keting
-dagingnya tak enak -ikan betok berkecipluk memakan kotoran; bulet-bulet, warna
hitam. Gelepok! Keciprak Mak Nil membuang sampah… (cerpen “Rumah Bidadari”).<br /> <br />Selain upaya membuat efek seperti di atas, Joni cenderung tak mau
berpanjang-panjang dengan kalimat dalam mendeskripsikan sesuatu. Ia cukup
menyimpan satu kata atau satu frasa, tetapi efektif dalam memberi gambaran
sesuatu. Bahkan demi efektivitas ini, Joni tak segan-segan melakukan
penyimpangan kebahasaan. Pada umumnya berupa pemendekan kalimat, yakni
pemenggalan kata-kata yang seharusnya merupakan satu kalimat menjadi beberapa
kalimat sehingga terjadilah penghilangan (baca: pelesapan) unsur subjek,
predikat atau objek. Pemendekan kalimat tersebut menjadikan bahasa dan
informasi yang disampaikan lebih efektif. Kalimat-kalimat pendek (umumnya hanya
terdiri atas satu kata atau frasa) ternyata mencapai efek estetis tertentu,
yakni sekalipun hanya satu kata/frasa, tapi berbicara banyak. Lihatlah petikan
berikut:<br /> <br />Ini rumah. Cuma satu. Atap seng bekas, berkarat, triplek templek-templek,
ditambal plastik, ada tikar: tentu, ember buat cebok. Dua ruang: satu untuk
Siti, tak boleh diganggu gugat. Yang lain, tempat Mak Nil biasa kerja… Tak
butuh jendela. Kalau masuk membungkuk. Sumpek. (Cerpen Rumah Bidadari).<br /> <br />Dalam dialog, Joni pun tak mau berpanjang-panjang dengan kalimat
penjelasan. Contohnya seperti ini: “Siti itu anakmu… Kuwalat!! Dasar bajingan.
Kalian meniduri anakmu sendiri heh?! Ya Gustiii…” beledek.<br /> <br />atau: “Aku tak ingin Mak diam di sini!” gelisah. “Aku ingin kau segera
enyah dari sini,” diam.<br /> <br />Satu kata, seperti beledek, gelisah, diam, bagi Joni cukup menjelaskan
situasi/suasana, gerak-gerik tokoh, atau siapa yang bicara.<br />***<br /> <br />BEGITULAH, ternyata dari tumpukan keluhan dan kekesalan terhadap mutu
cerpen koran, kita menemukan mutiara yang terpendam jauh di dasar samudra
sastra. Ia tak akan kita temukan jika hanya mencari di atas permukaan. Kita
harus menyelaminya terlebih dahulu hingga ke dasarnya untuk menemukan kelebihan
dan eksplorasi-eksplorasi yang ada. Di sini pula terlihat bahwa persoalan
eksplorasi estetika tidak selalu tergantung pada ruangan. Apalagi kini terlihat
tak ada perbedaan mencolok antara cerpen majalah dan cerpen koran. Sastra
adalah sastra di manapun ia berada.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Nenden Lilis A, cerpenis. <a href="http://sastra-indonesia.com/2009/03/inovasi-dalam-cerpen-koran/">http://sastra-indonesia.com/2009/03/inovasi-dalam-cerpen-koran/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-35756746939358640352021-08-23T18:24:00.004-07:002021-08-23T18:25:54.447-07:00Adakah ‘Bangsa’ dalam Sastra? *Nirwan Dewanto **<br />korantempo.com<br /> <br />Karya-karya sastra Indonesia yang terbaik tak menggambarkan tokoh-tokoh
lurus, utuh, positif, yang dapat menjadi teladan masyarakat luas.<br /> <br />Bahkan dalam prosa realis pun, termasuk karya yang menjadi santapan politik
masyarakat luas, keteladanan itu hampir absen, terutama bila kita menggunakan
kaidah moral dan agama. Ada juga novel yang menubuhkan cita-cita sosial ke
dalam tokoh yang positif, heroik, namun novel demikian biasanya novel khotbah
yang menjemukan.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Sementara itu, dalam prosa absurd kita, kewarasan dan rasionalitas telah
tergantikan oleh kegilaan. Lantas, bukankah kegilaan akan membatalkan sang
manusia dan sang “bangsa” untuk hidup di dunia modern yang rasional?<br /> <br />Puisi kita yang cemerlang bahkan berisi “aku” yang meradang-menerjang di
tengah “kami” atau “kita.” Dengan kata lain, para penyair kita menulis puisi
yang baik bila mereka mengesampingkan gagasan tentang cita-cita sosial. Jika
puisi modern yang mengambil bentuk pantun, sonnet, atau mantra, si “aku” di
dalamnya sama sekali bukan menyerah pada masyarakat dan tradisi, melainkan
sebaliknya, yaitu menunjukkan ketegangan yang tinggi terhadapnya.<br /> <br />Sebuah paradoks yang menarik: bentuk tradisional digunakan untuk mewadahi
keterpecahan diri, pergulatan penuh sakit di alam modern. Bahkan dalam puisi
religius mereka, para penyair itu membebaskan Tuhan dari rutin tafsir
keagamaan, sesuatu yang dapat menimbulkan amarah para pemeluk teguh–atau justru
pemahaman keagamaan yang lebih kreatif?<br /> <br />Pelbagai contoh di atas dapat menyatakan bahwa sastra yang baik tak
bersesuaian dengan cita-cita sosial yang jelas, katakanlah cita-cita
kebangsaan. Saya tak mengatakan bahwa untuk menulis karya bermutu penulis harus
menjauh dari politik atau, lebih jauh lagi, mengkhianati sendi-sendi
kemasyarakatan atau kebangsaan. Ada saatnya kaum penulis kita memaksakan
“gagasan besar”–katakanlah niat untuk membimbing orang luas–namun, sebagaimana
telah terbukti, karya sastra didaktik tersebut tak dapat mengungguli karya
pemikiran politik (misalnya karya-karya Hatta, Soekarno dan Sjahrir, Tan
Malaka), baik dari segi mutu, pengaruh, maupun keawetan.<br /> <br />Di titik ini saya ingin mengingatkan kembali dua sifat yang sesungguhnya
melekat erat dalam sastra kita, namun sering kali diingkari kaum sastrawan
sendiri, yakni pertama, modernisme dalam sastra kita mempunyai banyak kesamaan
dengan modernisme artistik di belahan dunia mana pun. Kedua, sastra lebih dulu
sebuah disiplin–seketat disiplin keilmuan, seperti fisika dan
arsitektur–sebelum dia menjadi faktor sosial.<br /> <br />Modernisme kita pada dasarnya bukanlah perlawanan sengaja terhadap tradisi,
melainkan usaha mengaitkan diri dengan dunia yang sedang berubah. Kaum modernis
bukanlah pertama-tama kaum pemberontak, melainkan pencari bentuk yang cocok
untuk mewadahi aspirasi masyarakat baru. Jika aspirasi ini begitu cepat
dibakukan oleh birokrasi dan industri, bentuk seni yang seharusnya cocok itu
ternyata harus terpiuh (atau dipiuhkan) karena menampung apa yang belum
terwadahi: ironi, disharmoni, cacat, luka, dan kegilaan.<br /> <br />Modernisme dalam lingkup nasional bisa juga wajar, sekiranya “bangsa”
Indonesia dapat terus-menerus memelihara hubungan mesra dengan khazanah dunia.
Kita melihat hal ini dalam kasus, misalnya, sinema Iran pasca-Revolusi 1979,
seni rupa Meksiko pada dekade 1930-an, dan sastra negritude di Karibia dan
Afrika pada dekade 1930-an.<br /> <br />Jika khazanah dunia dianggap terlalu luas dan jauh, diperlukan sebuah
“dunia antara”–jika saya boleh meminjam istilah Milan Kundera ketika si
“bangsa” beroleh kesempatan memekarkan diri dengan bergaul dengan khazanah
sebahasa yang sudah lebih dulu menyerap dan menyumbang ke dunia. Itulah Amerika
Latin bagi orang Argentina, khazanah Frankofonik bagi orang Senegal, misalnya.<br /> <br />Tanpa “dunia antara,” sebuah “bangsa” berpeluang kian merasuk ke dalam
dirinya, ibarat burung merak yang hanya mampu mengagumi tampilannya sendiri.
Barangkali kita, juga pendahulu kita, tak merasa perlu mempunyai “dunia antara”
itu, lantaran kita begitu “besar”: Indonesia merupakan puncak yang menaungi
sekian banyak khazanah bahasa dan budaya Nusantara.<br /> <br />Dengan kata lain, Indonesia terlalu sibuk menjaga kesatuan dari
unsur-unsurnya sehingga lalai, mungkin lupa, terhadap dunia. Padahal, kesatuan
(dan keluasan) ini bukanlah sebuah hakikat budaya, melainkan hanya peninggalan
hukum dan politik Hindia Belanda.<br /> <br />Nasionalisme pada sastra Indonesia bukanlah terutama dipancarkan oleh isi
atau kualitas karya sastra, melainkan oleh pendirian (kredo) kaum sastrawan dan
upaya kaum sejarawan sastra dalam menulis sejarah sastra nasional. Pada umumnya
kaum sastrawan kita adalah “budayawan” atau “juru penerang”, yang juga merasa
mengemban tugas sebagai penunjuk arah bangsa.<br /> <br />“Tradisi” ini muncul semenjak masa kebangkitan dan pergerakan nasional: hal
ini sungguh wajar dan alamiah karena kaum terdidik–mereka yang mengenyam
pendidikan modern–sangat sedikit, dan di antara yang sedikit itulah muncul kaum
politikus, intelektual, wartawan, dan sastrawan.<br /> <br />Dalam pelbagai polemik dan pemikiran, kaum sastrawan kita sangat menikmati
peran sebagai pencari atau perumus identitas kebudayaan Indonesia, meski dalam
karya sastra mereka, perihal identitas nasional ini tak harus jadi taruhan
utama, bahkan kerap terabaikan sama sekali. Pun peran ini tampak tak
terelakkan, lantaran bahasa Indonesia tumbuh bersama negara-bangsa Indonesia.<br /> <br />Sementara itu, sejarah sastra Indonesia yang ditulis oleh siapa pun adalah
sejarah sastra sebagai akibat atau penyerta sejarah sosial-politik sebuah
negara-bangsa. Demikianlah, misalnya, pertanyaan kapan sastra Indonesia mulai
dan bagaimana membagi angkatan-angkatan dalam sastra–bagaikan kepeloporan dalam
politik–jadi begitu penting.<br /> <br />Demikianlah setiap karya atau pemikiran sastra muncul sebagai penguat
Indonesia Raya. Baik “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” maupun
“penggali sumur asli” menerima beban-menjadi-Indonesia. Baik kaum “universalis”
(mereka yang menerima sastra sebagai tak terikat pada ruang dan waktu) maupun
“kontekstualis” (mereka yang bersikeras bahwa sastra tumbuh dari dan untuk
masyarakatnya) belum bebas dari bahasa-(demi)-bangsa.<br /> <br />Dalam lingkup kesadaran nasional, modernisme kita–yang menyajikan jiwa
pencari yang resah dan terpecah di tengah abad mesin dan birokrasi–seakan-akan
merupakan arus bawah. Modernisme artistik kita, sekalipun memiliki kesejajaran
dengan modernisme di mana pun, tumbuh di dalam semangat nasional. Pernah ada
kesempatan untuk berwatak kosmopolit, dalam arti bebas melanglangi khazanah
dunia. Kesempatan ini terselenggara bagi mereka yang sempat mengenyam
pendidikan Belanda, bukan karena Belanda merupakan kekuatan budaya penting
dalam khazanah dunia, tapi karena pendidikan itu membuat mereka menguasai
sejumlah bahasa asing.<br /> <br />Namun, kesempatan menyatu-dengan-dunia ini tak pernah termanfaatkan
benar-benar. Kaum modernis Meksiko atau Senegal, misalnya, bisa enak menjadi
bagian dari pusat budaya Eropa. Sementara itu, kaum modernis kita cepat
tertarik ke cangkang kebangsaan, lantaran kondisi sosial-politik memaksa mereka
demikian. Mereka mengganti “dunia” dengan “masyarakat” atau “bangsa”:
demikianlah mereka telah memilih kepada siapa mereka harus membayar “utang
kebudayaan” mereka.<br /> <br />Kita menyaksikan politisasi besar-besaran pada zaman Soekarno, sebuah
nasionalisme yang keras kepala, yang membuat para seniman kita bukan hanya
tersedot ke politik praktis, mengilusikan seni dan sastra sebagai alat politik,
setidaknya bidang yang harus dirasuki politik. Demikianlah “bangsa” atau “rakyat”
jadi mitos terpenting bagi penciptaan karya. Modernisme tidak mati: kaum
modernis, dari seorang pemberontak berubah jadi pembimbing masyarakat luas,
semacam nabi kecil.<br /> <br />Ketika Soekarno jatuh dan Partai Komunis Indonesia dibasmi, seakan-akan
datanglah masa “kebebasan kreatif”: sang modernis mendapat kesempatan lagi
untuk menjalankan kembali eksperimen tak terbatas. Namun, segeralah modernisme
artistik memisah dari “modernisme” (baca modernisasi) ekonomi yang dijalankan
rezim kuasi-militer bernama “Orde Baru.”<br /> <br />Kaum penguasa ini pada dasarnya kaum pragmatis yang berwatak filistin:
berbeda dengan pendahulu mereka yang berpendidikan Barat dan sempat bergaul
dengan khazanah intelektual dunia, mereka dibesarkan di alam pikiran fasisme
Jepang, “berjuang” dengan senjata dalam revolusi kemerdekaan Indonesia, dan
muak (juga menang akhirnya) atas kaum “kiri”.<br /> <br />*) Tulisan ini digarap khusus menyambut sidang ke-41 Majelis Bahasa Brunei
Darussalam-Indonesia-Malaysia dan sidang ke-7 Majelis Sastra Asia Tenggara di
Makassar, 11-12 Maret 2002.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">**) Ketua Redaksi Jurnal Kebudayaan Kalam. <a href="http://sastra-indonesia.com/2009/03/adakah-bangsa-dalam-sastra/">http://sastra-indonesia.com/2009/03/adakah-bangsa-dalam-sastra/</a></span></p>
<p class="MsoNormal" style="tab-stops: 99.25pt 288.45pt;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-82028165262410318582021-08-23T18:21:00.007-07:002021-08-23T18:25:35.175-07:00Menegasi Indentitas Sastra IndonesiaDamhuri Muhammad *<br />Republika<br /> <br />Corak historiografi kesusastraan Indonesia modern yang masih berpijak dan
bertolak dari ‘asal muasal’ dan pendekatan teleologis, memang sudah amat
melelahkan dan terlalu banyak menguras tenaga dan pikiran. Sebagian pemerhati
sastra mulai pesimis, kehilangan gairah, bahkan apriori.<br /> <br />Nirwan Dewanto, dalam esainya (Kompas, 4/3/2000) mempertanyakan, masih
perlukah sejarah sastra? Ini mencerminkan ketidakpercayaannya pada konstruk
sejarah yang ditegak-berdirikan tanpa ‘kesadaran sejarah’ itu sendiri. Sejarah
sastra yang ‘penuh lupa’ atau sengaja lupa berkepanjangan.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Andai seorang novelis atau penyair mengetahui sejak kapan sejarah sastra
bangsanya bermula, dan bagaimana munculnya angkatan-angkatan dalam sastra,
akankah ia tertolong untuk menghasilkan karya bermutu? Tidak!. Tak ada
keterkaitan antara sejarah sastra dengan pergulatan sastrawan meraih kompetensi
literer.<br /> <br />Bagi Nirwan, kita tak perlu sibuk berselisih paham untuk mempertahankan
pendapat bahwa sastra Indonesia bermula sejak zaman Balai Pustaka, atau jauh
sebelumnya. Tak perlu bersitegang urat leher memperdebatkan angkatan-angkatan
dalam sejarah sastra. Masa depan sastra Indonesia tidak bergantung pada
penulisan sejarah yang bercorak tautologis itu.<br /> <br />Namun, tidak segampang itu penyelesaiannya bagi Maman S. Mahayana. Melalui
buku terbarunya, 9 Jawaban Sastra Indonesia, Sebuah Orientasi Kritik (Jakarta,
Bening Publishing, 2005), penggiat dan pemerhati sastra ini justru hendak
bersitegas bahwa wajah sejarah sastra yang ‘buruk rupa’, bopeng, dan
bolong-bolong itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tapi mesti ditambal,
diluruskan, dan (bila perlu) ditulis-ulang.<br /> <br />Betapa tidak? Selain problem pemutakhiran data, buku-buku sejarah sastra
yang terlanjur dikunyah dan dimamahbiak oleh para siswa di sekolah menengah,
juga tidak luput dari keterceceran data. Banyak data yang mestinya dicatat,
raib begitu saja. Tak sedikit nama yang telah berjasa dalam perjalanan sejarah
kesusasteraan Indonesia terabaikan, dan terlupakan.<br /> <br />Tak dapat disangkal, buku-buku HB Jassin telah memberikan kontribusi amat
besar. Banyak nama dan karya telah dicatat dan diangkatnya, berlimpah arsip
yang didokumentasikannya, hingga nama Jassin pun kukuh sebagai dokumentator
sastra dan tokoh penting dalam penulisan sejarah sastra Indonesia. Problemnya,
kharisma sang ‘paus’ sastra itu, diterima para peneliti lain, tanpa pandangan
kritis. Hal ini yang terjadi pada buku karya Zuber Usman, Ajip Rosidi, Bakri
Siregar, A Teeuw dan Jacob Sumardjo.<br /> <br />Kekeliruan mencolok adalah adanya lompatan dari periode Pujangga Baru ke
periode pasca-kemerdekaan. Sementara, sastra Indonesia zaman Jepang hanya
disinggung sepintas lalu. Itupun, hanya mengacu pada gagasan Jassin.
Karya-karya yang dibicarakan pada masa itu hampir selalu jatuh pada dua novel
terbitan Balai Pustaka, Palawija (Karim Halim) dan Cinta Tanah Air (Nur Sutan
Iskandar). Dalam hal ini, para peneliti sastra merujuk pada dua buku karya HB
Jassin: Kesusateraan Indonesia di Masa Djepang (1954) dan Gema Tanah Air
(1959).<br /> <br />Tapi, yang dilakukan Jassin dalam kedua buku itu, (dalam batas-batas
tertentu) tidak berdasar. Mestinya karya-karya yang termuat dalam Kesusateraan
Indonesia di Masa Djepang adalah karya-karya yang muncul dalam rentang waktu
1942-1945. Tapi, karya-karya yang muncul selepas merdeka juga tercatat dalam
buku itu, sedangkan karya-karya yang seharusnya masuk zaman Jepang justru
tercatat dalam Gema Tanah Air.<br /> <br />Akibatnya, orang akan menyangka Chairil Anwar dan Idrus termasuk sastrawan
zaman Jepang, sedangkan Darmawidjaja justru ditempatkan pada masa sesudahnya.
Dalam kedua buku itu, tidak ditemukan nama-nama seperti Muhammad Dimyati,
Yousouf Sou’yb dan Merayu Sukma. Lebih parah, dalam buku Jacob Sumardjo, Zuber
Usman bahkan A Teeuw (yang mengacu pada Jassin), nama-nama itu tetap tenggelam
tanpa alasan. Padahal, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, karya-karya
mereka tidak kalah penting dari yang lain. “Inilah blunder para peneliti yang
hanya bersandar pada satu sumber,” kata Maman S Mahayana.<br /> <br />Selain ‘berikhtiar’ mengurai-jelaskan keterceceran data dalam sejarah
sastra Indonesia, buku itu juga hendak mendudukkan sebuah konsepsi sastra yang
bertolak ‘dari dan menjadi Indonesia’. Maman seperti hendak menyuarakan
‘kegelisahan akademik’ yang dialaminya selama malang melintang di jagad sastra.
Kegelisahannya melihat geliat perjalanan sastra Indonesia yang belum menemukan
identitas. Ibarat pohon yang berdiri-tegak, bersitumbuh tanpa akar.<br /> <br />Apakah benar sastra Indonesia itu ada? Kalau ada, dari manakah ia berasal?
Di manakah akar identitas sastra Indonesia itu dapat dilacak? Inilah
pertanyaan-pertanyaan hipotetik yang belum terjawab dalam penulisan sejarah
sastra Indonesia dewasa ini.<br /> <br />Menurut Maman, kita tak perlu ‘malu-malu’ mengakui bahwa ‘darah daging’
kesusastraan Indonesia adalah ‘sastra etnik’ yang ditulis menggunakan bahasa
Indonesia (bahasa nasional yang diangkat dari bahasa Melayu). Pencapaian
jelajah tematik dan eksplorasi estetik para sastrawan, tidak terlepas dari
latar belakang etnik yang melahirkan dan membesarkan mereka.<br /> <br />Ketika novel-novel awal Balai Pustaka terbit (Azab dan Sengsara, 1920 dan
Siti Nurbaya, 1922), masalah kawin paksa seolah-olah menjadi tema sentral.
Lalu, ke manakah ‘etos merantau’ yang menjadi salah satu ciri kultur
Minangkabau? Periksalah, novel-novel Balai Pustaka masa itu, sebagian besar
tokoh utamanya nyaris tak pernah lepas dari semangat berkelana, ideologi
perantauan. Tapi, etos ini seolah-olah sengaja dikesampingkan.<br /> <br />Begitu pun ketika ST Alisjahbana menyatakan, kebudayaan tradisional (kultur
etnik) harus mati semati-matinya, dalam kenyataan hanya sekedar slogan belaka.
Majalah Poedjangga Baroe yang dikelolanya justru banyak memuat tulisan yang
mengangkat kebudayaan tradisional atau sastra yang berakar dari kultur etnik.<br /> <br />Seperti dicatat Poerwoto Prawirahardjo (1933), Majalah Poedjangga Baroe
pernah memuat tulisan Hoesein Djajadiningrat, Arti Pantoen Melajoe jang Gaib,
yang menolak pandangan orang-orang Barat tentang pantun. Pada tahun yang sama,
juga dimuat artikel Armijn Pane, Kesoesasteraan Baroe, yang menegaskan bahwa
kebudayaan daerah tidak dapat diabaikan dalam kesusasteraan baru. Sejumlah
puisi karya Imam Soepardi, Amir Hamzah, Tatengkeng, dan A Tisna juga
memperlihatkan pengaruh kebudayaan etnik.<br /> <br />Karena itu, suara Alisjahbana sesungguhnya tak cukup representatif mewakili
suara angkatan Pujangga Baru. Di sana, masih ada Armijn Pane dan Amir Hamzah
yang tak berpaling dari kebudayaan etnik. Hal yang sama juga terjadi pada
seniman dan budayawan Gelanggang yang memproklamirkan sikap berkesenian lewat
Surat Kepercayaan Gelanggang. Dari sejumlah sastrawan Gelanggang, hanya Chairil
Anwar yang mempertahankan kekaguman Alisjahbana pada kebudayaan Barat. Meski
Chairil tidak menelannya secara mentah-mentah, tapi menerjemahkan semangat
Barat untuk kepentingan proses kreatifnya.<br /> <br />Rentang panjang perjalanan sastra Indonesia yang tak pernah tercerabut dari
akar budaya etnik itu dapat terlacak hingga babakan sejarah paling mutakhir
sekalipun. Lihatlah, tokoh imajiner Ajo Sidi garapan AA Navis dalam cerpen
Robohnya Surau Kami, yang tak lepas dari kultur Minang. Demikian pula yang
dilakukan Chairul Harun (Warisan, 1979), Darman Moenir (Bako, 1983), Wisran
Hadi (Orang-orang Blanti, 2000), dan Gus Tf Sakai (Tambo: Sebuah Pertemuan,
2000).<br /> <br />Ekplorasi tematik yang digali dari kultur etnik merupakan peluang yang
menjanjikan lahan berlimpah. Warna lokal seperti mata air yang tak pernah
kering. Tengoklah Arswendo Atmowiloto (Canting, 1986), Ahmad Tohari (Ronggeng
Dukuh Paruk, 1982), Umar Kayam (Para Priyayi, 1992), Kuntowijoyo (Pasar, 1994),
beberapa contoh pengarang yang menggauli kultur Jawa dengan cara amat cerdas.<br /> <br />Sampai di titik ini, maka sejarah sastra tidak hanya perlu, tapi juga
penting. Sebab, hanya dengan penelusuran, pelacakan dan penulisan sejarahlah
dapat ditemukan dan dirumuskan sebuah konsep sastra Indonesia yang
‘beridentitas’ kokoh dan orisinil (asali). Semesta sastra yang ‘meng-indonesia’
tanpa harus menghamba dan mengekor pada budaya Barat. Ya, sastra yang hidup,
tumbuh, berkembang dan membiak dengan kultur etnik sebagai ruhnya.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Penyair dan pengamat sastra. <a href="http://sastra-indonesia.com/2009/08/menegasi-indentitas-sastra-indonesia/">http://sastra-indonesia.com/2009/08/menegasi-indentitas-sastra-indonesia/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-73454548305862101442021-08-23T15:16:00.000-07:002021-08-23T15:16:03.453-07:00Komentar Pramoedya Ananta Toer dan Hadiah NobelZ. Afif<br /> <br />Seingat saya pada tahun 1991 di Swedia terbit terjemahan Bumi Manusia
Pramudya Ananta Toer dalam bahasa Swedia. Penterjemahnya seorang wanita
keturunan Belanda kelahiran Surabaya dan menetap di Swedia. Dia adalah ibu
kandung pengarang novel dan drama Agneta Pleijel, seorang Profesor bidang
sastra dan filsafat. Ketika itu dia menjadi Ketua Pen-Club Swedia. Saat itu
sastrawati Marianne Katoppo datang ke Swedia dan bertemu juga dengan Rondang
Erlina Marpaung, mantan wartawan Sulindo dan salah seorang redaktur Berita
Minggu di Jakarta sebelum kudeta militer atas pemerintah Sukarno. Marianne
teman baik Agneta.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Kedatangannya itu dalam rangka mengusahakan agar Pram dapat menjadi calon
yang akan memperoleh Hadiah Nobel sastra. Pada rapat penutupan tahun PEN-Club
saat itu, Agneta mengundang Rondang dan saya untuk menghadirinya dan ketika itu
juga kami didaftarkannya menjadi anggota baru PEN.<br /> <br />Yang menetapkan Hadiah Nobel adalah Akademi Ilmu Swedia. Di sana duduk para
ahli dalam berbagai bidang, yang setiap tahun memilih siapa yang berhak
mendapat Hadiah Nobel untuk sastra, fisika, ekonomi, dan lain-lain. Pen-Club
sama sekali tidak dapat mempengaruhi para ilmuwan di Akademi itu, walaupun bisa
saja mengajukan calonnya. Pen-Club punya daftar siapa saja pengarang-pengarang
terkemuka di setiap negeri, termasuk di Indonesia. Akademi itu tentu juga punya
sumbernya sendiri selain dari Pen tentang pengarang di berbagai negeri.<br /> <br />Suatu saat Agneta menaruh harapan, bila ada dari salah seorang mantan Ketua
Pen-Club menjadi Ketua Komisi Hadiah Nobel sastra di Akademi itu, maka akan ada
kesempatan untuk mencalonkan Pram sebagai penerima hadiahnya. Tetapi yang
menentukan bukan siapa Ketuanya, melainkan imbangan atau komposisi dalam Komisi
itu. Saya mendapat informasi dari orang yang sangat tahu seluk beluk kerja
Komisi Hadiah Nobel, bahwa suatu saat yang menerima Hadiah pengarang dari
Amerika Latin yang berbahasa Spanyol. Tepat kala itu, komposisi Komisinya
didominasi oleh mereka yang menggunakan bahasa Spanyol.<br /> <br />Contoh lainnya, ketika yang terpilih sebagai penerima hadiah adalah seorang
pengarang Tionghoa Gao Xingjian yang menetap di Perancis. Banyak reaksi; “Apa
di Cina tidak ada pengarang sastra yang lebih baik dari dia?” Hal ini saya
tanyakan kepada anak saya Nyala Baceh, Magister Sinologi, bagaimana
pendapatnya. Katanya, Gao Xingjian yang di Perancis, yang setelah tinggal di
Eropa banyak terpengaruh dengan gaya sastra pengarang Nordik (terutama drama),
yang dianggap telah membuat pembaruan tehnik dalam karyanya, tetapi pengarang
di Tiongkok lebih baik dari segi isi dan nilai estetikanya.<br /> <br />Di Tiongkok pun para pengarang mengadakan pembaruan juga, dan mestinya yang
di Tiongkok itu lebih berhak mendapat Hadiah Nobel. Menurut Nyala, Hadiah Nobel
tidak bebas dari motif politik juga. Yang di Perancis itu dianggap korban
Komunis, sedangkan yang di Tiongkok berbau Komunis.<br /> <br />Guo Xingjian sendiri ketika di Tiongkok merupakan anggota Partai Komunis,
kemudian banyak mengkritik bekas Partainya dan ideologi Komunis. Tidak semua
hasil sastra di Tiongkok masa kini mempropagandakan ideologi Komunis. Memang
ada kesamaan antara Guo Xingjian dengan pengarang yang di Tiongkok, yaitu,
dalam melakukan kritik sosial sangat berani dan tajam. Ditambahkannya, mestinya
pengarang kemanusiaan seperti Lu Shun dan Ba Chin di Tiongkok layak mendapat
Hadiah Nobel, tetapi mereka dianggap penganut ideologi Komunis.<br /> <br />Beda dengan Pram, karya-karya Guo Xingjian diterjemahkan ke dalam Bahasa
Swedia oleh Prof. Göran Malmqvist, seorang sinolog dan anggota Akademi. Dia
menilai gaya Guo absurd, humoristis, satiris, tetapi mengandung rasa sendu yang
lembut dan memancarkan lirik natural. Agaknya hubungan Prof. Göran dengan Guo,
dan kedudukannya sebagai anggota Akademi, telah memainkan peranannya terhadap
Guo Xingjian untuk mendapat Hadiah Nobel sastra. Apalagi Profesor itu membela
gerakan mahasiswa Tiongkok pada tahun 1989 di Tian An Men, Beijing.<br /> <br />Saya pernah membaca pendapat Ramadhan KH. Katanya karya sastra Pram lebih
menarik daripada karya Mahfud dari Mesir, tetapi Mahfud dapat Hadiah Nobel.
Pendeknya, kejanggalan dalam pemberian Hadiah Nobel menjadi pembicaraan juga di
Swedia setiap tahun.<br /> <br />Sehubungan dengan karya sastra Pram, baru Bumi Manusia yang diterjemahkan
ke dalam Bahasa Swedia, sehingga belum banyak diketahui oleh peminat sastra di
Swedia karya-karyanya yang lain. Padahal faktor ini sangat penting. Soalnya,
belum ada seorang pun penterjemah sastra Indonesia yang baik di Swedia. Namun,
mestinya para ahli sastra di Akademi itu dapat membaca karya-karya Pram yang
telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa lainnya. Bahwa ada kecurigaan
tentang hubungan Pram dengan Komunis sebagai hambatan baginya untuk mendapat
Hadiah Nobel sastra bukanlah hal yang mustahil.<br /> <br />Mengenai Pablo Neruda, pengarang Chili ini mempunyai kekhususannya sendiri.
Selain pengarang yang berfaham Marxis, dia juga seorang diplomat dan menjadi
duta besar di beberapa negeri. Lebih-lebih lagi, yang mengajukan dia untuk
mendapat Hadiah Nobel sastra adalah pengarang yang bertaraf dunia, Sastre.<br /> <br />Saya pikir, kalau banyak ahli sastra dunia mempersoalkan masalah ini dan
mengajukannya ke Akademi di Swedia, tentu mereka akan berfikir untuk
mempertimbangkannya. Tetapi Hadiah Nobel apakah merupakan sebuah mukjizat bagi
yang memperolehnya, sehingga dia menjadi pengarang agung dan legendaris di
dunia, maka harus diperjuangkan dengan segala cara untuk meraihnya?<br /> <br />Saya pikir tentu tidak begitu, sebab begitu banyak pengarang di berbagai
negeri yang mempunyai karya berkawalitas tidak kalah dengan yang dihasilkan
oleh mereka yang memperoleh Hadiah Nobel. Lu Shun misalnya.<br /> <br />Pram saya rasa juga begitu.<br />***<br /> <br />NB: Sebagai tanggapan atas perbincangan Ikranagara, H. Ubes, Roni Wijaya,
Ramses, dan lain-lain tentang Hadiah Nobel untuk Pramudya Ananta Toer.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">24 September 2004. <a href="http://sastra-indonesia.com/2013/11/komentar-pramoedya-ananta-toer-dan-hadiah-nobel/">http://sastra-indonesia.com/2013/11/komentar-pramoedya-ananta-toer-dan-hadiah-nobel/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-393511702092835592021-08-21T18:16:00.005-07:002021-08-21T18:16:29.255-07:00REALITAS-FIKSIONAL OLENKA -BUDI DARMA *Maman S. Mahayana **<br /> <br />Syahdan, menurut para pandita sastra, sastra kerap dirubung ketegangan
antara tradisi dan inovasi, antara konvensi dan eksperimentasi. Tarik-menarik
dua kekuatan itulah yang menjadikan sastra dan dalam pengertian yang lebih
luas, kesenian, kebudayaan, menggelinding menghancurkan sakralitas tradisi,
sehingga menghasilkan karya-karya inovatif. Ketegangan itu pula yang memaksa
terjadinya tabrakan yang lalu melahirkan karya-karya eksperimental. Begitulah
dalam sejarah kesusastraan dan kesenian di belahan dunia mana pun ketegangan
itu sering kali menghadirkan benturan keras yang berakibat lahir, tumbuh, dan
berkembangnya kesusastraan sejalan dengan tuntutan dan perubahan zaman.
Semangatnya adalah merengkuh capaian-capaian estetik. Tanpa itu, perjalanan
kesusastraan akan mandek, stagnan, dan mati rasa.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Jika Thomas Khun berbicara tentang paradigma ilmu pengetahuan yang
berhadapan dengan situasi krisis dan anomali, atau Karl R Popper menempatkannya
dalam kerangka problem -solving dengan segala trial and error-nya, maka dunia
sastra -dan kesenian pada umumnya- berada dalam situasi ketegangan itu.
Tujuannya menghasilkan capaian estetik. Jika capaian itu diterima masyarakat,
ia akan ditempatkan sebagai konvensi (baru) dan karyanya akan menjadi monumen
dalam perjalanan sejarah kesusastraan masyarakatnya.<br /> <br />Meskipun demikian, tentu saja usaha membangun monumen melalui inovasi dan
eksperimentasi itu tidaklah semata-mata didasari oleh semangat asal beda dengan
karya-karya sebelumnya; atau sekadar hendak menunjukkan gerakan pemberontakan
pada konvensi dan tradisi. Selalu, di sana dituntut sebuah konsep estetik yang
diusungnya. Dengan begitu, masyarakat akan dapat mengapresiasi gerakan
pemberontakan itu, sebab, di belakangnya, ada estetika yang hendak ditawarkan.
Jadi, inovasi dan eksperimentasi itu, tetap berada dalam koridor estetika.<br /> <br />Para pioner, seniman avant garde, atau mereka yang menempatkan kegelisahan
sebagai tanda hidup adalah seniman yang memahami perkara harga kreativitas.
Itulah semangat seniman sejati. Tanpa itu, ia hadir sekadar melengkapi
karya-karya yang ada, dan senimannya cukup ditempatkan dalam senarai nama yang
segera akan dilupakan orang. Ia gagal menyedot perhatian. Dan masyarakat pun
sesaat itu cukup berkomentar sebagaimana yang sering kita dengar dari mulut
Tino Sidin, “Bagus!”<br />***<br /> <br />Budi Darma mengawali langkah kakinya dalam pentas sastra Indonesia melalui
antologi cerpennya, Orang-Orang Bloomington (Jakarta: Sinar Harapan, 1980) dan
novel pertamanya, Olenka yang berhasil tampil sebagai pemenang pertama
Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1980. Novel ini kemudian
diterbitkan Balai Pustaka tahun 1983 (261 halaman, cetakan IX, 2009). Memasuki
dasawarsa tahun 1980-an itu, ketika gerakan estetik Angkatan 1970-an yang oleh
Abdul Hadi WM dikatakan sebagai “kembali ke akar, kembali ke tradisi” masih
memancarkan auranya. Kehadiran Budi Darma ketika itu, boleh juga diasumsikan
masih sejalan semangat itu. Maka, dalam konteks perbincangan perjalanan sejarah
novel Indonesia, tidak pelak lagi, Olenka, niscaya tidak dapat diabaikan,
lantaran ia berada di dalamnya.<br /> <br />Meskipun begitu, baik Orang-Orang Bloomington, maupun Olenka, seperti tidak
punya cantelan pada tradisi kultur etnik, sebagaimana yang jelas dinyatakan
Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Kuntowijoyo, Putu Wijaya, bahkan juga Iwan
Simatupang yang menjadi perintisnya. Budi Darma laksana melenggang sendiri
dengan kisah-kisah di negeri asing dengan tokoh-tokoh asing di Bloomington dan
sekitarnya. Di sinilah uniknya tempat Budi Darma, meski secara tematik, problem
keterasingan dan kekosongan manusia bersifat universal. Maka, tokoh-tokoh yang
diangkat Budi Darma, terutama dalam novel Olenka, seperti hendak
merepresentasikan kegamangan manusia (modern) ketika kehidupan sering
menciptakan peristiwa-peristiwa tidak terduga, ketika manusia diyakini sebagai
misteri bagi dirinya sendiri. Keterasingan, alienasi, dan absurdisme adalah
beberapa masalah yang dihadapi manusia modern. Jadi, dalam konteks itu, problem
yang dihadapi tokoh-tokoh dalam Khotbah di atas Bukit -Kuntowijoyo, Ziarah
-Iwan Simatupang, atau Telegram -Putu Wijaya, dapat pula kita jumpai pada
Olenka.<br /> <br />Jika Olenka kemudian berhasil menyedot perhatian masyarakat sastra
Indonesia, lalu apanya yang “baru, khas, unik, beda” dengan karya-karya yang
terbit sebelumnya. Meskipun berbagai tanggapan atas novel ini bermunculan
dengan segala kontroversinya itu cenderung memasukkannya ke barisan Angkatan
70-an, bagi saya, rasanya tidak tepat benar. Boleh jadi penggarapan novel ini
dengan pretensi menawarkan model estetika yang berbeda dengan Angkatan 70-an
itu. Ada model estetika yang hendak ditawarkannya yang tidak persis sama dengan
semangat “kembali ke akar, kembali ke tradisi.” Budi Darma cenderung bermain
dengan khazanah sastra dunia, khasnya Inggris, Rusia, dan Amerika, sebagaimana
yang kemudian menjadi bagian integral novel itu, dan kemudian dinyatakan dalam
Bagian VI, “Asal-Usul Olenka” (hlm. 240-250). Di balik itu, kita juga melihat,
betapa besarnya apresiasi Budi Darma pada sosok Chairil Anwar. Dengan begitu,
Olenka boleh juga dikatakan sebagai usaha Budi Darma memancangkan sebuah
tonggak estetika yang berbeda dengan karya-karya yang lainnya. Maka, tonggak
itu tentu saja jadi tak gampang dirobohkan.<br /> <br />Jika kita memperhatikan model kisahan dan karakterisasi Olenka, maka yang
segera dapat kita tangkap adalah model kisahan yang seperti sengaja dilanturkan
ke mana-mana. Konsep lanturan yang dalam novel konvensional dianggap sebagai
kelemahan -karena dianggap melenceng dari alur utama- maka dalam Olenka,
peristiwa-peristiwa itu justru hadir lantaran di sana peristiwa lanturan
sengaja dibebaskan bergerak ke mana-mana. Dialog antar-tokoh-tokohnya selalu
tidak fokus membincangkan satu pokok persoalan. Dengan begitu, pembicaraannya
seperti mencang-mencong ke sana ke mari. Tetapi, justru dengan begitu, bangunan
alur sesukanya menggelinding sesuai dengan tuntutan tokoh-tokohnya. Akibatnya,
karakterisasi setiap tokohnya juga menclak-menclok. Dengan demikian, alur tidak
lagi bertumpu pada hubungan kausalitas, melainkan jatuh pada rentetan
peristiwa. Bukankah dalam kehidupan yang sebenarnya, kita (manusia) kerap
terjebak pada peristiwa yang mencang-mencong itu? Itulah kehidupan yang absurd,
yang tak terpahami, yang tak berurutan menurut tuntutan logika formal. Itulah
kehidupan manusia yang sebenarnya: absurd, mencang-mencong, dan penuh berbagai
lanturan.<br /> <br />Jika disederhanakan, novel ini berkisah tentang kehidupan yang aneh
suami-istri, Wayne Danton-Olenka. Di antara itu, bermain pula perselingkuhan
Olenka dan Fanton Drummond yang juga tidak kalah anehnya. Tetapi perpisahannya
dengan Olenka yang sering kali berkelebat mengganggu pikirannya, memaksa Fanton
Drummond menggelandang hingga sampai ke Chicago dan berjumpa dengan Mary
Carson, perempuan aneh lainnya yang akhirnya cacat lantaran kecelakaan pesawat.
Dengan tokoh Fanton Drummond sebagai pencerita, latar sekitar Tulip Tree dan
terjadinya hubungan yang serba aneh, ganjil, absurd, lengkap dengan segala
kegilaannya itu, terus bergerak menabrak banyak hal, meledek seniman picisan,
pendeta dan rohaniawan, bahkan juga tradisi ilmiah yang oleh kalangan akademisi
dipuja sebagai keniscayaan dan kebenaran mutlak. Muaranya adalah kesadaran
eksistensial tentang keberadaan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan.<br /> <br />Dilihat dari aspek kesastraan, Olenka disajikan dengan semangat tidak
memanjakan sentimentalisme pembaca. Horison harapan pembaca terus diganggu,
dihancurkan, sehingga tragedi yang terjadi pada hubungan suami istri Wayne
Danton-Olenka, tidak membuat kita ikut bersedih atau berpihak pada salah satu
tokohnya. Kerja keras Olenka untuk menghidupi keluarganya, juga tidak
menggiring kita simpati atau empati. Kemalasan Wayne Danton yang lebih suka
hidup dalam ketiak istrinya, juga tidak memaksa kita harus membenci dan
memusuhinya. Segalanya berjalan penuh ketidakwajaran atau seperti adanya.
Begitu juga perselingkuhan tokoh saya (Fanton Drummond) dengan Olenka, tidak
membawa kita bersikap antipati atau setuju. Maka, ketika tokoh Fanton berhasrat
menjadikan Olenka sebagai istrinya dan bercita-cita membangun rumah tangga yang
bahagia yang kemudian gagal karena terjadi perpisahan, tidak ada kesedihan atau
kebahagiaan yang tiba-tiba mengganggu kita.<br /> <br />Jika begitu, apa yang kita peroleh dari cara penyajian yang seperti itu dan
bagaimana kita menyikapinya? Lalu di mana pula estetikanya jika segalanya
berjalan liar tak terduga dan pembaca tidak diberi ruang untuk menghadirkan
perasaannya di sana? Dalam hal ini, teks itu menawarkan banyak hal yang memaksa
kita membuka saklar imajinasi kita seluas-luasnya, sebebas-bebasnya.<br /> <br />Jika dicermati benar, sesungguhnya Budi Darma coba memotret kehidupan real
yang sering terjadi dalam peristiwa keseharian kita. Hidup yang penuh paradoks,
tidak terduga, tak terpahami, dan tumpang-tindih tidak beraturan. Jika
novel-novel konvensional coba mengangkat kehidupan ini sebagai sebuah rentetan
peristiwa yang teratur, mensyaratkan adanya hubungan kausalitas, dan segalanya
tersusun secara bertahap, maka Olenka, menghancurkan semua itu. Logika formal
tidak berlaku lagi di sana. Rentetan peristiwa bisa berseliweran begitu saja.<br /> <br />Perhatikan kutipan berikut:<br /> <br />Inilah permintaannya: izin untuk menggigit tubuh saya, kemudian mengisap
darah saya. Kemudian dia akan meneliti dan mencium tubuh saya, inci demi inci,
tanpa terlewati. Saya takut, jangan-jangan perpisahan sudah hampir tiba.<br /> <br />Memang dia menghilang tanpa meninggalkan pesan pada waktu saya tertidur.<br /> <br />Di luar ada suara ramai. Saya tidak tahu apa sebabnya. Kemudian saya turun.<br /> <br />Orang-orang masih sibuk memperbincangkan balon Trans-Amerika da Vinci yang
baru saja melewati udara Bloomington dan kebetulan melayap di atas Tulip Tree.
(hlm 60)<br /> <br />Apa hubungan permintaan Olenka dan perpisahannya dengan tokoh saya, dengan
peristiwa balon Trans-Amerika da Vinci yang menjadi perbincangan masyarakat?
Model rangkaian peristiwa itulah yang sering menimpa kita dalam kehidupan
sehari-hari. Ketika kita melakukan sesuatu, bukankah pada saat yang sama fakta
dan peristiwa berseliweran di sekeliling kita? Begitulah, sejumlah peristiwa
lain dalam novel itu kita jumpai sebagai rentetan peristiwa, tanpa perlu ada
hubungan sebab-akibat. Jadi, dalam hal ini, Budi Darma melalui Olenka hendak
mengajari kita menjadi pembaca yang cerdas, yang berpikir, yang ikut terlibat
aktif dalam memaknai peristiwa-peristiwanya, dan bukan sebagai pembaca yang
pasif, yang menerima begitu saja apa yang disampaikan pengarang. BudiDarma
hendak mengembalikan kekuasaan pemaknaan teks di tangan pembaca. Dengan cara
itu pula, teks hadir ke hadapan pembaca sebagai sesuatu yang inspiring, memaksa
pembaca untuk memainkan saklar imajinasinya sekehendak pembaca.<br /> <br />Perhatikan pula metafora berikut ini yang terasa segar dan inspiratif.<br /> <br />Seperti biasa, saya memperlakukan tubuh Olenka sebagai sebuah peta dunia.
Saya hafal benar segala liku-liku tubuhnya. Bahkan degup jantungnya pun saya
ketahui dengan terperinci. Sering dia, saya letakkan di atas tempat tidur,
kemudian saya pindah ke meja tulis, lalu ke meja setrika, selanjutnya ke bak kamar
mandi, terus ke sofa, terus ke babut, ke meja masak, bahkan kadang-kadang ke
atas lemari pakaian. Kadang-kadang dia tertidur setelah saya letakkan di atas
lemari pakaian. (hlm. 47)<br /> <br />Sesungguhnya banyak hal yang menarik yang sengaja ditampilkan Budi Darma.
Sebutlah penyertaan foto-foto sebagai fakta dalam fiksi. Bukankah dengan cara
ini, fakta dalam kehidupan kita tidak jarang ditaburi dengan kisah-kisah
fiksional, dan sebaliknya, fiksi dalam novel itu, seolah-olah faktual dengan
keberadaan foto-foto itu? Tambahan lagi, keterangan Budi Darma sendiri tentang
“Asal-Usul Olenka” (hlm. 240) sebagai bagian integral dari novel itu,
menjadikan posisi tokoh saya (Fanton Drummond) dan tokoh saya (Budi Darma) bisa
tumpang-tindih, saling mengisi, melengkapi, komplementer? Bukankah dalam banyak
kasus dalam cerpen atau novel, penggunaan pencerita orang pertama (akuan),
tidak jarang diidentikkan juga dengan pengarangnya?<br /> <br />Begitulah, Olenka telah menghancurkan batas fakta?fiksi, termasuk juga di
dalamnya konvensi ilmiah yang ditandai dengan keberadaan footnote (catatan
kaki). Catatan kaki yang d dalam tradisi ilmiah sebagai pengukuh dan alat
legitimasi rujukan faktual, diolok-olok Budi Darma dengan rujuk silang yang
saling melengkapi. Perhatikan keterangan dalam catatan kaki 2 berikut ini:<br /> <br />Di Bloomington saya pernah berkenalan dengan seorang pengarang berasal dari
negara bagian Missouri, kalau tidak salah, namanya Peter Leech atau Peter
Leach. Dia pernah menulis cerpen yang judulnya tidak dapat saya ingat kembali,
dimuat di sebuah majalah sastra yang namanya juga tidak dapat saya ingat
kembali. Cerpen ini masuk ke dalam antologi cerpen terbaik tahun tujuh puluh
sekian. Kalau tidak salah antologi ini berjudul O Henry Award, kalau tidak
salah antologi tahunan untuk memperingati jasa-jasa pengarang cerpen O?Henry.
Cerpen Wayne Danton, “Olenka” irip dengan cerpen di atas.<br /> <br />Bagaimana kita menyikapi novel seperti ini? Jika kita menghadapi sesuatu
yang kita anggap “gila”, maka kita harus mengahadpinya dengan kegilaan yang
lain lagi. Menghadapi novel ini pun, kita harus menyikapinya dengan cara yang
berbeda dengan ketika kita menghadapi novel-novel konvensional. Biarkanlah
pikiran kita berhadapan dengan teks itu tanpa pretensi dan harapan-harapan
tertentu. Dengan cara itu, kita akan dapat merasakan betapa cerdasnya teks itu
memaksa kita memperkaya wawasan kita dengan sejumlah rujukan yang
eksplisit-implisit diisyaratkan di sana. Dengan cara itu pula, pembaca berkuasa
mengarungi lautan tafsir yang disajikan dalam novel itu. Di situlah estetika
novel itu memancarkan auranya.<br /> <br />Olenka sungguh telah tampil sebagai novel luar biasa. Kita tak akan bosan
membacanya berulang-ulang, seperti tokoh saya yang memperlakukan tubuh Olenka
seperti sebuah peta dunia dan kita bebas memperlakukan dan menggerayanginya
berulang-ulang, sesukanya, kapan saja.<br />***<br /> <br />*) Pengantar Talkshow “Membaca Kepengarangan Budi Darma melalui Olenka,”
diselenggarakan Penerbit Balai Pustaka di Istora Gelora Bung Karno, Senayan,
Jakarta, Minggu, 5 Juli 2009, 13.00-15.00<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">**) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia
salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden
Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan
pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan
sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana
Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di
Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies,
Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa
hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia”
(LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim
Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI,
2000). <a href="http://sastra-indonesia.com/2010/10/realitas-fiksional-olenka/">http://sastra-indonesia.com/2010/10/realitas-fiksional-olenka/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-49688991386129715272021-08-18T11:10:00.006-07:002021-08-18T11:11:22.808-07:00Seorang Seniman Lapar, Franz Kafka<iframe allowfullscreen="" class="BLOG_video_class" height="266" src="https://www.youtube.com/embed/AyMkuyYuro0" width="320" youtube-src-id="AyMkuyYuro0"></iframe><br /><div>Sigit Susanto<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Puluhan tahun silam daya tarik masyarakat pada seniman lapar terjadi
penurunan. Padahal dulu pertunjukan itu sangat besar peminatnya. Tapi sekarang
ini sangatlah tak mungkin.<br /> <br />Dahulu itu seluruh warga kota sibuk dengan pertunjukan seniman lapar.
Pengunjungnya dari hari ke hari selalu meningkat, bahkan sampai ada penonton
yang berlangganan untuk menyaksikan seniman lapar yang duduk di dalam sangkar
besi. Paling tidak tiap orang ingin melihat seniman lapar itu sekali dalam
sehari.<br /> <br />Pada cuaca yang cerah, sangkar itu dibuka dan terutama bagi anak-anak
menjadi tontonan yang menarik. Bagi orang dewasa ya dianggap sebagai hiburan
saja. Berbeda kalau anak-anak menonton dengan sangat takjub, bahkan mulutnya
menganga dan saling bergandengan tangan satu sama yang lain.<br /> <br />Seniman lapar itu mengenakan kaus hitam duduk di jerami tampak tulang
iganya memalukan sekali mengangguk dengan ramah menjawab pertanyaan dengan
senyuman yang berat. Ia meregangkan lengannya di jeruji sambil merasakan
kelaparannya yang menjadikannya kurus itu, lalu menenggelamkan diri. Tak ada
orang yang peduli, tak sedetak jam yang dianggap penting, kecuali mebel kursi
di sangkar besi itu. Dengan mata tertutup ia menenggak air dari gelas mungil supaya
bisa membasahi bibirnya.<br /> <br />Penonton silih berganti. Penjaga yang terus menerus mengamati seniman lapar
siang dan malam. Penjaga itu punya tiga pekerjaan lain yang dijalankan secara
bersama-sama, salah satunya sebagai tukang penjual daging. Tugas utama penjaga
itu melarang, supaya seniman lapar itu tidak mendapatkan makanan dari penonton.<br /> <br />Untuk mengalihkan perhatian kelaparannya sang seniman lapar kadang
menyanyi, supaya penonton tahu ia masih bisa bergerak. Sebenarnya Sang Seniman
Lapar lebih senang kalau dirinya dan penjaga di aula itu disorot lampu
elektronik yang disediakan oleh panitia. Lampu yang terang buatnya tidak
mengganggu, toh semalaman bersama penjaga itu dia tak tidur.<br /> <br />Seniman lapar itu bercerita tentang pengalaman petualangannya. Ini semata-mata
untuk meyakinkan penonton untuk terus menyaksikan, bahwa dirinya tak ada
makanan di sangkar jeruji yang tak bisa dilakukan oleh yang lain.<br /> <br />Yang paling membahagiakan jika pagi tiba datang berlimpah sarapan. Tapi tak
ada penjaga yang sanggup siang dan malam selalu mengawasinya.<br /> <br />Penonton bisa dibilang puas menyaksikan seniman lapar, sebaliknya Sang
Seniman anggap tak ada penonton yang puas. Kemungkinan tubuhnya yang kurus itu
bukan karena dari kelaparan. Ada anggapan, karena ketidakpuasan pada diri sendiri.
Cuma sayangnya, penonton menyaksikannya agak jauh dari sangkar besi itu.<br /> <br />Ia sadari betapa mudahnya orang menjadi lapar dan dianggap sebagai
peristiwa paling mudah di dunia. Panitia memberikan waktu 40 hari bagi penonton
untuk menyaksikan seniman lapar. Penonton dari kota dan desa berbondong-bondong
untuk menyaksikan. Jika hari ke 40 tiba, maka sangkar besi itu dibuka dan
dihias bunga.<br /> <br />Di saat sangkar dibuka itu diumumkan memakai toa, ada parade militer,
dokter disiapkan untuk mengontrol kesehatannya. Makanan di meja kecil dengan
sangat hati-hati disiapkan oleh dua perempuan. Perempuan itu merasa bahagia,
bahwa masa tayang seniman lapar diakhiri. Mereka menjulurkan tangan untuk
membantu Seniman Lapar keluar dari sangkarnya, tapi Seniman Lapar itu enggak
mau bangun. Bahkan ia mempermasalahkan kenapa baru 40 hari sudah berhenti,
padahal ia merasa masih bisa bertahan lebih lama lagi.<br /> <br />Harusnya Seniman Lapar itu tetap duduk di jerami dan diberi makan. Seniman
Lapar itu tak mampu mengangkat kaki dan tubuh bagiaan atas. Sementara dua
perempuan itu pucat melihatnya. Ia tergeletak di dadanya. Tentu saja seorang
perempuan yang bantu itu kepayahan.<br /> <br />Seniman Lapar itu tangannya menggigil. Kedua kakinya tertekan ke bawah
seperti berlutut.<br /> <br />Kontan saja yang tadinyaa penonton tertawa kecil berubah seketika menjadi
isak tangis.<br /> <br />Saat musik bergema, tentu saja percakapan antara panitia dengan Seniman
Lapar menjadi terganggu. Seniman Lapar itu kelak akan beristirahat secara
teratur dalam beberapa tahun, maka pertunjukan itu akan lebih berhasil dan
dihormati di seluruh dunia.<br /> <br />Kenapa Seniman Lapar perlu dihibur? Mungkin ia bisa menjelaskan peristiwa
paling berat yang dialami, apakah di saat puncak kelaparan? Namun ia menjawab
dengan marah seperti hewan yang menggoyang-goyangkan sangkarnya.<br /> <br />Kejadian itu membuat panitia harus meminta maaf di depan penonton banyak.
Akan tetapi sikap Seniman Lapar itu masih bisa dimaafkan. Pada saat itu pun
dijual foto saat Seniman Lapar itu tergeletak tanpa daya.<br /> <br />Pertunjukan Seniman Lapar itu dihentikan, karena ada pihak yang tak paham
yang dianggap bertentangan dengan pemahaman seisi dunia ini. Tapi penonton
segera bergembira, karena Seniman Lapar itu bisa bergerak-gerak dan bisa
meninggalkan sangkarnya kapanpun dia suka.<br /> <br />Suatu saat Seniman Lapar yang manja ini ditinggalkan banyak penonton. Para
penonton beralih menonton di tempat lain. Panitia sampai keliling di separuh
Eropa mempertanyakan apakah penonton masih setia menonton Seniman Lapar?<br /> <br />Lalu apa yang harus dilakukan oleh Seniman Lapar? Panitia membawanya ke
sebuah sirkus besar. Sirkus besar ini memiliki banyak penonton. Harapannya
penonton akan berbondong-bondong ke sangkar binatang dan melewati sangkar
Seniman Lapar. Barangkali mereka akan berhenti sejenak atau berlama-lama menikmati
tontonan Seniman Lapar. Di sangkar Seniman Lapar memukau penonton.<br /> <br />Ada seorang bapak dengan anak-anaknya ikut menonton. Sang bapak menunjuk
dengan telunjuknya ke arah Seniman Lapar, menjelaskan kenapa orang itu ada di
dalam sangkar? Kenapa harus lapar?<br /> <br />Suasana menjadi ramai karena suara binatang yang tak tenang di waktu malam
dan juga saat diberi makan.<br /> <br />Timbul keributan baru, penonton menyukai hiburan yang aneh, sementara
Seniman Lapar hanya melakukan yang ia mampui. Ia merasa ditipu, padahal dia melakukan
dengan sejujurnya. Dunia menipunya pada jumlah bayarannya.<br /> <br />Hari berikutnya penjaga membuka sangkar dan pelayan ditanya, kenapa sangkar
yang berisi jerami usang itu tidak dipakai? Seorang memakai tongkat
mengaduk-aduk jerami itu, didapati ada Seniman Lapar di situ.<br /> <br /><b>Dialog: Penjaga dan Seniman Lapar</b><br /> <br />Pada halaman terakhir prosa ini diisi dialog. Penjaga bertanya kepada
Seniman Lapar, “Kamu masih ingin selalu kelaparan dan kapan akan
mengakhiri?“ Seniman Lapar menjawab
dengan berbisik “Maafkan, semuanya.“ Penjaga itu menempelkan telinganya ke
sangkar jeruji, “Tentu,“ sambil menaruh jarinya ke dahi, biar orang yang
bertugas mengurusnya memahami keadaan Seniman Lapar. “Kami memaafkan kamu.“
“Saya masih ingin melanjutkan, supaya kalian mengagumi,“ kata Seniman Lapar.
“Kami mengagumi kamu juga,“ kata penjaga itu. “Tapi kalian tidak perlu
mengagumi,“ kata Seniman Lapar itu. “Sekarang ini, kami juga tak mengagumi,“
kata penjaga. “kenapa kami harus tak mengagumi?“ “Karena saya harus lapar, saya
tak bisa melakukan yang lain,“ kata Seniman Lapar. “Itu hanya tampak satu sisi
saja,“ kata penjaga, “Kenapa kau tak bisa melakukan yang lain?“ “Karena saya,“
kata Seniman Lapar sambil mengangkat sedikit kepalanya dan bicara kepada
penjaga dengan cara meruncingkan bibirnya ke telinga seperti hendak mencium,
supaya kata-katanya terdengar, “karena saya tak bisa menemukan makanan yang
saya sukai. Seandainya saya temukan, percayalah, tanpa pikir panjang, pasti
saya lahap seperti kamu dan semua orang.“<br /> <br />Itu kata-kata terakhirnya dengan mata yang sayu, meskipun tidak lagi
optimis, bahwa dia akan melanjutkan melakukan aksi kelaparan.<br /> <br />“Tapi sekarang, kita rapikan,“ kata penjaga dan Seniman Lapar itu dengan
sangat berhati-hati dikubur dengan jerami. Tetapi di dalam sangkar itu ada
binatang buas panter muda. Tentu saja itu bermakna kreatif sebagai hiburan yang
menyenangkan. Dari sebuah sangkar yang tak dihiraukan terlihat ada binatang
buas di dalamnya.<br /> <br />Makanan yang disukai Seniman Lapar itu tanpa banyak pertimbangan diantar
oleh penjaga. Sepertinya Seniman Lapar itu tidak merasa rindu pada kebebasan.
Tapi minat dalam hidup semakin membara yang berasal dari rasa dendamnya. Tentu
saja bagi penonton sulit memahaminya. Mereka paham tak merangsek ke sangkar dan
benar-benar tak ingin melanjutkan menonton lagi.<br /> <br /><b>Komentar:</b><br /> <br />Prosa panjang ini selesai ditulis oleh Kafka pada tahun 1922. Pada saat
Kafka menjelang ajal, hanya ada dua karya yang sedang dikerjakan 1). Josefin,
Sang Penyanyi atau Masyarakat Tikus 2). Seorang Seniman Lapar. Karya Josefin
selesai ditulis, tetapi Seorang Seniman Lapar masih diperbaiki susunan
kalimatnya. 3 juni 1924 ia meninggal di sanatorium, Kierling, Wina, Austria
pada usia 41 tahun.<br />***<br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhToydO9NYkDQExoZTOhGInXxIm5bSugx6olJWe3IIhlDnKOlD6cBQ1NwYfR9-piqt-kniFLVjthTQFFe-q15BOcoq2b0rCG6FZF4xo6SYOKd8ljsCt5BIhrcoo1henKvWSxVKNXQfc5rfK/s448/Franz+Kafka%252C+gambar+dari+dwdotcom.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="252" data-original-width="448" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhToydO9NYkDQExoZTOhGInXxIm5bSugx6olJWe3IIhlDnKOlD6cBQ1NwYfR9-piqt-kniFLVjthTQFFe-q15BOcoq2b0rCG6FZF4xo6SYOKd8ljsCt5BIhrcoo1henKvWSxVKNXQfc5rfK/s320/Franz+Kafka%252C+gambar+dari+dwdotcom.jpg" width="320" /></a></div><div>Keterangan Foto: Franz Kafka, gambar dari dwdotcom<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/seorang-seniman-lapar-franz-kafka/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/seorang-seniman-lapar-franz-kafka/</span></a></span></p>
</div></div>PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-29426419232027452162021-08-14T10:37:00.000-07:002021-08-14T10:37:05.776-07:00Franz Kafka & James Joyce, Prosais Modern<p> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2iDlchQttmERBnKMIYH0EcLNTn2ScmCaOfWTtQT7jDD7zRZg1N1LDVZn874FSiL2Yd1YaMjwnFAlGYB7IBLEijhyjeOq70aa8DMZ8LTg2TAjZuiHgc2G8dC-Xj99YrQxu_pSq6schp74/s448/Kafka+dan+Joyce%252C+Prosais+Modern.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="252" data-original-width="448" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2iDlchQttmERBnKMIYH0EcLNTn2ScmCaOfWTtQT7jDD7zRZg1N1LDVZn874FSiL2Yd1YaMjwnFAlGYB7IBLEijhyjeOq70aa8DMZ8LTg2TAjZuiHgc2G8dC-Xj99YrQxu_pSq6schp74/s320/Kafka+dan+Joyce%252C+Prosais+Modern.jpg" width="320" /></a></p><p><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Sigit Susanto</span></p><a name='more'></a><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Jika kita bicara tentang sastra dunia khususnya pengarang prosa modern, paling tidak ada tiga sastrawan yang sering disebut. Pertama, dalam sastra Prancis akan muncul nama Marcel Proust. Kedua, dalam sastra Inggris akan muncul nama James Joyce. Ketiga, dalam sastra Jerman akan muncul nama Franz Kafka.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span lang="FR-CH" style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Aku ingin membatasi membicarakan pengarang yang kedua dan ketiga saja, yakni James Joyce dan Franz Kafka sesuai yang aku pelajari karya-ka</span><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">r</span><span lang="FR-CH" style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">yanya.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">James Joyce lahir pada 2 Februari 1882 di Dublin, Irlandia dan meninggal pada 13 Januari 1941 di Zürich. Joyce berusia 59 tahun.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Franz Kafka lahir pada 3 Juli 1883 di Praha, Cheko dan meninggal pada 3 Juni 1924 di Kierling, Austria. Kafka berusia 41 tahun.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"><b>Karya Kafka dan Joyce</b></span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Kafka hanya menulis prosa berupa 3 novel: </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Amerika, Proses</i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> dan </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Kastil,</i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> novelet, cerita pendek, buku harian, catatan perjalaan dan surat-surat kepada para pacar dan keluarga. Sedang Joyce menulis puisi, cerita pendek dan 2 novel, </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ulysses</i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> dan </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Finnegans Wake</i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Max Brod menyebutkan, bahwa novel </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Amerika </i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">sebagai Tesis,</span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> Proses </i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">sebagai Antitesis dan </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Kastil</i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> sebagai Sintesis.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Dari semua karya prosa Kafka yang paling banyak mendapatkan apresiasi pembaca adalah novelet </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Metamorfosis</i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Karya James Joyce yang paling mendapatkan apresiasi paling banyak dari pembaca adalah novel </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ulysses.</i><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><b><i><span lang="FR-CH" style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Metamorfosis </span></i><span lang="FR-CH" style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">dan <i>Ulysses</i></span></b><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><i><span lang="FR-CH" style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Metamorfosis </span></i><span lang="FR-CH" style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">bercerita tentang seorang salesman kain bernama Gregor Samsa yang pada suatu pagi ia bangun dari mimpi buruknya dan didapati di ranjangnya sudah berubah menjadi kecoak raksasa.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Tentu saja Gregor bingung sekali bagaimana ia harus beradaptasi dengan lingkungan manusia baik di kantor maupun di keluarga. Apalagi di depan pintu kamarnya sudah datang atasan dari kantor untuk meminta Gregor segera berangkat kerja. Pegawai kantor itu ditemani ayah, ibu dan adik Gregor.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Gregor adalah tulang punggung keluarga. Ayahnya banyak punya hutang, sehingga ia harus bertahan bekerja menjadi salesman.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span lang="FR-CH" style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Kafka menjiwai perubahan sosok manusia menjadi serangga. Ada dua contoh yang bisa dibuktikan. Pertama, Sang kecoak tak sudi makan keju dan apel segar, melainkan lebih suka makanan yang basi. Cara berjalanpun ikut berubah, ia tak suka berjalan tegak seperti</span><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> manusia,</span><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> <span lang="FR-CH">melainkan merayap. Bahkan tempat bersembunyi paling menjadi idamannya adalah di bawah sofa, karena ia bisa melihat sekitar dengan leluasa tanpa terusik.</span></span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Manusia serangga ini hanya bertahan hidup dua bulan. Setelah pembantu keluarga memukul dengan sapu punggung kecoak dikiranya tidur, ternyata sudah mati. Grete, adik kandung Gregor yang masih muda diharapkan bisa hidup layak mendapatkan pasangan, hingga bisa bahagia membantu keluarga.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><i><span lang="FR-CH" style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ulysses</span></i><span lang="FR-CH" style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> adalah novel biografi sang pengarang, Joyce sendiri dengan Nora Barnacle, gadis room-girl di hotel Finn, Dublin. Kencan pertama pada tanggal 16 Juni 1904 di jalan Nassau, Dublin diabadikan pada novel yakni bertemunya tokoh protagonist Leopold Bloom asal Dublin dengan perempuan Molly keturunan keluarga di Gibralta.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Belakangan para penggemar karya</span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> Ulysses</i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> di berbagai negara memperingati kisah pertemuan itu setiap tanggal 16 Juni yang kemudian dikenal dengan sebutan Bloomsday.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Adapun kisah </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ulysses</i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> total berada di Dublin mulai pukul 08.00 sampai pukul 02.00 dini hari.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Joyce menyublin kedalam dua tokoh yakni menjadi Leopold Bloom, seorang pekerja iklan yang kebapakan dan Stephen Dedalus, seorang guru yang sekaligus sastrawan kritis.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Novel setebal 18 bab ini ditutup dengan sebuah eksperimen yang bernama </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Monolog Interior</i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">. Sebuah model igauan sebanyak 40 halaman tanpa koma dan hanya ada dua titik.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Joyce menyukai epos </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Odyssey</i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> karya Homer sejak usia 12 tahun. Sebuah kisah heroik raja Ithaca bernama Odysseus yang dalam bahasa Latin bernama Ulysses berperang ke kerajaan di Troya selama 20 tahun. 10 tahun berperang dan 10 tahun kembali, namun banyak kesasar tempat menuju Ithaca.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Atas kesukaan Joyce itu, epos </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Odessey </i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">yang bercerita tentang dewa, ia rekonstruksi menjadi cerita manusia yang hidup sehari-hari di dublin. </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ulysses</i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> mengkritik Inggris Raya yang menjajah negerinya, juga ia kritik kaum Katolik fanatik.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Joyce punya argumen, jika suatu saat kota Dublin lenyap dari peta dunia, maka Ulysses siap direkonstruksi.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Novelet </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Metamorfosis</i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> berani keluar dari pakem konvensional yang membuat manusia berubah menjadi serangga. Sebuah fabel yang berani membetot nalar sehat manusia. Ciri surealisme yang mencolok bahwa kecoak itu tetap sebagai manusia bernama Gregor Samsa, Cuma posturnya yang berubah.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Banyak analisis mengatakan bahwa </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Metamorfosis</i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> Kafka merupakan kritik kepada manusia modern dan birokrasi yang rumit.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ketika Kafka ditanya alasan memilih cerita fabel oleh Gustav Janouch, ia jawab, karena manusia merasa dipenjara, kemudian timbul sebuah kerinduan dengan binatang.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><i><span lang="DE-CH" style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ulysses </span></i><span lang="DE-CH" style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">merupakan novel yang punya kerumitan kompleks. Joyce memasukan berbagai teknik menulis maupun berbagai bahasa dan slang dunia. Ada sebuah resensi di Italia yang menyebut, protagonist <i>Ulysses</i> adalah bahasa. Memang akrobatik bahasa di nove</span><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">l</span><span lang="DE-CH" style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> ini terasa. Joyce berharap atas kerumitan itu supaya para profesor beratus tahun mendiskusikannya, dengan begitu namanya akan tetap dikenang.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"><b>Sosok dan Keunikan</b></span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Kafka adalah tipe orang pemalu, introvert dan takut kepada ayahnya. Waktu paling ideal untuk menulis adalah malam hari. Menulis baginya sebagai terapi. Ketika aku berziarah ke makamnya di kuburan di luar Praha, di depan nisannya banyak kertas kecil yang ditindih kerikil. Kertas-kertas kecil itu dari para penggemar Kafka di seluruh dunia. Satu kertas terdesak angin dan terbuka, maka aku baca tertera tulisan tangan, </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">I have benn seeing you</i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">. Aku disuruh istri untuk ikut membuat tulisan di kertas kecil dan aku tulis sesuatu dalam bahasa Indonesia.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span lang="DE-CH" style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Joyce adalah lelaki penyuka minuman beralkohol dan mendengarkan musik. Ia pun kadang ikut grup menyanyi. Saat pecah Perang Dunia I Joyce tetap tekun menulis <i>Ulysses </i>di tiga kota, Trieste, Zürich, dan Paris. Ketika ada temannya mencemoohnya, jawab dia, “<i>I wrote Ulysses and what did you do?</i></span><a name="_Hlk62979663"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">”</span></a><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Suatu saat Joyce berada di Paris duduk di kafe bersamaan Marcel Proust. Kontan para pengarang dan wartawan muda penasaran, mereka menunggu loncatan percakapan apa di antara dua maestro itu? Setelah ditunggu lama, ternyata mereka tidak bicara apa-apa.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Aku pernah mendatangi Dublin khususnya ke Martello Tower, di pantai Sandycove, tempat pembuka novel </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ulysses</i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">. Yang menakjubkan adalah trotoar di Dublin di sekitar patung Thomas Moore banyak pahatan metal berisi teks dari </span><i style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ulysses</i><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Kedua pengarang di atas belum pernah mendapatkan hadiah nobel sastra, tetapi karya mereka dianggap sebagai prosa modern dan menginspirasikan banyak penulis muda.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">***</span><br /><p class="MsoNoSpacing"><span lang="FR-CH" style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">*</span><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">) </span><span lang="FR-CH" style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Sigit Susanto, Penerjemah karya-karya Franz Kafka dan khatam lima kali novel <i>Ulysses </i>karya James Joyce. Sejak tahun 1996 sampai kini ia domisili di Zug, Switzerland</span><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">. <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/kafka-dan-joyce-prosais-modern/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/kafka-dan-joyce-prosais-modern/</a></span></p>PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-87490674921955231922021-08-14T05:01:00.006-07:002021-08-14T05:01:44.003-07:00Prof Dr Abdul Hadi WM: Indonesia tak Punya Rumah Kebudayaan SendiriAbdul Hadi W. M.<br />Syahruddin El-Fikri (Pewawancara)<br />republika.co.id<br /> <br />Sistem pendidikan modern telah mengajarkan paham materialistik sehingga
menafikan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah bahasa.<br /> <br />Agama Islam banyak memengaruhi kebudayaan bangsa Indonesia, khususnya
bidang sastra. Munculnya sastra Melayu juga dipengaruhi oleh sastra Islam. Tak
heran bila kemudian bangsa ini melahirkan banyak tokoh sastra yang andal.
Sayangnya, kini kesusastraan Melayu yang menjadi ciri khas bangsa ini mulai kehilangan
arah. ”Indonesia sudah tak memiliki rumah secara kultural lagi,” kata Prof Dr
Abdul Hadi WM, guru besar Universitas Paramadina Mulya (UPM), Jakarta, kepada
Syahruddin El-Fikri, wartawan Republika.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Hal ini disebabkan adanya kesalahan dalam sistem pendidikan Indonesia yang
mengajarkan bahasa hanya sebagai alat komunikasi dan cenderung materialistik.
Berikut petikannya.<br /> <br />Bagaimana sejarah masuknya Islam di Melayu dan pengaruhnya terhadap
kebudayaan setempat?<br /> <br />Islam mulai berkembang pesat pada masa berdirinya Kerajaan Samudera Pasai
di Indonesia sekitar akhir abad ke-13 M. Dan, bersamaan dengan selesainya
perang salib serta penaklukan Baghdad oleh tentara Mongol yang dipimpin Hulago
Khan. Itu menimbulkan banyak pengungsian besar-besaran. Di antara mereka ada
intelektual, ulama, dan lainnya dari India hingga Indonesia. Mereka yang pindah
tersebut bukan hanya dari Arab, tetapi Islam dari pemerintahan masa Abbasiyah
di Baghdad dengan kebudayaan Persia. Dan, mazhabnya menganut Mazhab Syafi’i.<br /> <br />Dari sini, kemudian, agama Islam masuk ke Indonesia melalui Kerajaan
Samudera Pasai. Dengan berdirinya kerajaan tersebut, institusi Islam terus
berkembang, termasuk institusi pendidikannya dan kesusastraan. Pendidikan pada
masa itu pertama kali mengenalkan huruf Arab (Melayu). Kemudian, bahasa Melayu
menjadi pengantar bahasa pendidikan. Itulah yang berkembang pesat waktu itu.<br />Seiring dengan dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan,
bahasa Melayu pun makin berkembang luas. Karena itu, bahasa Melayu dijadikan
sarana untuk menafsirkan, menerjemahkan, atau menyadur karya-karyta penulis
Arab dan Persia ke dalam bahasa yang ada di Nusantara. Dari sinilah
kesusastraan berkembang.<br /> <br />Pada abad ke-13, berkembang bahasa Melayu dan orang menulis dalam huruf
Arab. Bagaimana awal mulanya?<br /> <br />Kita tidak terlalu banyak mengetahui. Tapi, tulisan-tulisan pada makam
raja-raja itu telah menunjukkan hal tersebut. Misalnya, dalam Prasasti
Trengganu di Kedah (Malaysia) atau makam di Binjei Tujuh, itu masih bercampur
dengan bahasa Melayu lama. Kemudian, kita mengetahui teks pertama yang sampai
kepada kita sekarang, yaitu satu teks kuno pada zaman raja Pasai setelah
Samudera Pasai ditaklukkan Majapahit pada 1380. Dari sini, kita bisa lihat
peralihan bahasa Melayu dalam prasasti di Trengganu ke Binjei Tujuh. Kondisi
ini menujukkan bahwa bahasa Melayu telah berkembang luas.<br />Bukti-bukti ini sering kali diabaikan oleh peneliti sastra. Bukan sengaja
diabaikan. Tapi, karena kurang fokus. Padahal, bahasa Melayu sekarang ini
adalah hasil perkembangan agama Islam di Nusantara.<br /> <br />Jadi, bahasa Melayu itu dipengaruhi oleh perkembangan agama Islam ketika
masuk ke Indonesia?<br /> <br />Ya. Pertama, sebuah bahasa harus menampung konsep-konsep sebelumnya. Jadi,
bahasa Melayu mengandung muatan bahasa Arab yang sangat banyak. Istilahnya,
kata-kata dalam bahasa Arab dan Parsi (Persia) paling banyak diserap oleh
bahasa Melayu. Sedangkan, bahasa Jawa lebih banyak menyerap bahasa Sansekerta
yang berafiliasi dalam bahasa Hindu.<br /> <br />Bagaimana kondisi sastra Arab-Melayu saat ini bila dibandingkan sebelumnya
atau awal masuknya Islam?<br /> <br />Khazanah sastra Melayu yang dihasilkan atau berasal dari Islam itu sangat
banyak, terutama yang ditulis sejak abad ke-14 sampai abad ke-19.<br /> <br />Saat itu, banyak sekali bahasa Arab yang ditulis dalam bahasa Melayu. Itu
hampir sebagian besar khazanah yang ada dalam sastra Persia dan Arab karena ada
pengaruhnya ke Persia secara kultur. Kalau mazhab, baru ke Arab. Kita kaya
sekali dengan khazanah dalam saduran sastra Arab yang ditulis dalam sastra
Melayu.<br /> <br />Ada dua jenis sastra, yaitu sastra kitab dan sastra fiksi. Sastra kitab
adalah karya-karya mengenai fikih, ushuluddin, kalam, tasawuf, tafsir, dan
hadis yang ditulis dalam bahasa sastra. Bahkan, bahasa sastra juga masuk dalam
bahasa undang-undang (yurisprudensi), seperti yurisprudensi pemerintahan, adat,
dan sebagainya. Karena itu, tidak mengherankan bila Undang-Undang Minangkabau
atau UU Aceh terdapat syair-syair di dalamnya. Sedangkan, UU kita sekarang ini
sangat kering dari nilai-nilai sastra.<br /> <br />Adapun sastra fiksi terdapat prosa dan puisi, termasuk sastra hikayat dan
syair. Ada sastra Adab (undang-undang politik dan pemerintahan). Ini memang
tidak ada sangkut pautnya dengan agama, tetapi punya tata pemerintahan,
undang-undang, dan lainnya. Di sinilah sumber adat. Karena itu, ada istilah
“adat bersandi syarak dan syarak bersandi kitabullah”. Sastra adab dan fiksi
sumbernya dari Alquran dan hadis.<br /> <br />Di dunia Melayu, ada dua pilar kebudayaan, yaitu syariah dan tasawuf.
Selain budaya lokal, juga diperkuat dengan syariah dan tasawuf. Inilah pilar
utama kebudayaan di Indonesia. Karena itu, kebudayaan Islam di Indonesia dan
kesusastraannya tidak bisa melupakan syariah dan tasawuf.<br />Orang-orang yang lex pengetahuannya tentang ini tidak mengerti bahasa dan
kesusastraan Melayu. Mereka juga menurunkan masalah estetika dan etika (ilmu
jiwa dan psikologi) tentang pentingnya hati dan perasaan dari tasawuf. Tetapi,
pucuknya metafisika, pandangan yang tersembunyi di balik intuisi kita.<br /> <br />Ketika sastra Melayu dipengaruhi dengan dua pilar tadi, bagaimana dengan
sastra yang dilakukan Hamzah Fansuri?<br /> <br />Sastra Hamzah Fansuri itu macam-macam. Dia masuk pada sastra sufi. Ketika
dia belajar tentang asas metafisik dalam melihat kehidupan ini, hal itu
diimplementasikan dalam estitika dan etika.<br />Estetika sufi melihat bahwa apa yang ada dalam dunia ini merupakan
kendaraan untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Jadi, bagaimana seni
dijadikan kendaraan untuk membebaskan diri dari tiga hawa nafsu. Nafsu
lawwamah, amarah, dan sufiyah dari badaniah untuk mencapai nafsu muthmainnah
(ketenangan jiwa). Mereka membebaskan diri dari hal-hal kebendaan yang dapat
merusak alam pikiran dan kesadaran mereka dengan hal-hal yang bersifat
keduniawian.<br /> <br />Jadi, ketika kemudian ada orang menganggap Hamzah Fansuri terlalu
melebih-lebihkan kedekatan dirinya kepada Tuhan, sebenarnya pandangan itu
salah?<br /> <br />Ya, itu nggak apa-apa. Hal itu tidak masalah. Bahasa berlebih-lebihan
adalah melampaui batas. Artinya, kalau kita berlebih-lebihan dan melampaui
batas, memang dilarang. Tetapi, apa yang dilakukan oleh seorang Hamzah Fansuri
karena nilai-nilai dan semangat keberagamaannya dalam bidang tasawuf sehingga
dia dekat dengan Tuhannya. Bukan berarti hal ini berlebih-lebihan. Dalam bidang
lain pun, kalau kita berlebih-lebihan, itu salah. Jadi, orang yang menyamakan
Hamzah Fansuri dengan paham wujudiyah karena orang tersebut belum sampai pada
maqam seperti yang dialami Hamzah Fansuri. Kalau kamu mampu, tidak apa-apa.
Artinya, mampu itu tidak sampai merusak.<br /> <br />Berarti, semuanya tergantung cara memandangnya dalam pendekatan apa.
Begitu?<br /> <br />Y. Apakah kalau saya membaca 1000 buku sastra dianggap berlebih-lebihan?
Tidak karena saya mampu. Tapi, kalau anak kecil membaca buku sebanyak itu,
tentu akan berlebih-lebihan karena mereka tidak mampu.<br /> <br />Jadi, seperti Al-Hallaj, karena adanya orang yang salah dalam memahaminya?<br /> <br />Selama sesuatu itu bisa ditafsirkan, tidak hanya secara formal (takwil),
hal itu masih boleh. Tapi, kalau tidak bisa, akan lain masalahnya. Misalnya,
Alquran mengatakan, ”Ke mana pun kamu memandang, akan senantiasa tampak wajah
Allah.”<br /> <br />Lalu, pertanyaannya, wajah Allah itu seperti apa? Kalau kalimat wajah Allah
di sini ditafsirkan dengan harfiah atau panteistik, semuanya akan kacau. Di
sinilah perlunya pandangan lain yang menjelaskan secara nyata maksud dari wajah
Allah itu yang bermakna, wajah batin. Wajah batin bahwa Allah itu mempunyai
berbagai macam sifat. Sifat Tuhan itu seperti apa, Rahman dan Rahim serta
lainnya. Jadi, melihat sifat itu dengan mata hati.<br /> <br />Begitu juga kalau orang memaknai hadis Nabi. Misalnya, ”Malaikat tidak akan
masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya terdapat gambar binatang.” Kalau
begitu, malaikat maut tidak akan masuk. Jadi, ini bisa ditafsirkan. Maksudnya
adalah hadis ini lebih bersifat khusus. Begitu juga ketika Sulaiman membuat
gambar patung dan lainnya.<br /> <br />Al-Ghazali dalam menafsirkan hadis ini menjelaskan, janganlah membuat
gambar yang menjijikkan atau mengajarkan orang seperti sifat kebinatangan.
Secara umum, hadis itu bisa dimaknai bahwa malaikat tidak akan masuk ke rumah
orang yang memiliki hati atau sifat-sifat binatang. Jadi, maknanya sangat luas.<br /> <br />Kembali ke sastra Melayu. Agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam
membangun kebudayaan dan kesusastraan Melayu?<br /> <br />Ya. Pertama, jika kita membaca sastra Melayu, itu sangat luar biasa. Namun,
untuk kondisi sekarang ini, bangsa Indonesia tercerabut dari akarnya setelah
pendidikan modern. Contohnya, ketika kita menggunakan huruf Latin, generasi
Indonesia abad ke-20 ini tak bisa lagi membaca warisan nenek moyang mereka yang
ditulis dalam bahasa Arab-Melayu atau Pegon, huruf Lampung, huruf Bugis, dan
lainnya.<br /> <br />Kedua, kita tidak diajarkan tentang sejarah dengan benar. Dan, ketiga,
bahasa hanya dijadikan sebagai alat komunikasi semata. Padahal, bahasa
menyimpan wacana warisan yang sangat penting dalam membentuk karakter budaya
bangsa. Jadi, seharusnya yang dikenalkan kepada peserta didik adalah bagaimana
teks-teks di zaman dulu untuk menumbuhkan semangat anak didik untuk mempelajari
sastra.<br /> <br />Anak-anak di Jepang bisa menulis huruf kanji. Begitu juga di India. Tapi,
di Indonesia, anak-anak kita tak ada yang mengetahui lagi bagaimana huruf
Melayu, seperti Pegon, huruf Jawi, dan lainnya.<br /> <br />Berarti, ada kesalahan dalam sistem pendidikan kita saat ini?<br /> <br />Jepang tidak mengubah huruf. Jepang menjadi modern karena keberanian mereka
mengenalkan kebudayaan dan kesusastraan Jepang kepada anak didiknya, tapi
mengubah kebudayaannya. Sementara itu, di Indonesia, hal itu tidak lagi
dilakukan.<br /> <br />Bagaimana dengan sistem pendidikan sekarang yang mencoba mengenalkan bahasa
daerah di sekolah masing-masing?<br /> <br />Ya, ini bagus. Namun, bahasa tersebut masih diajarkan sebagai bahasa
komunikasi semata, bukan sebagai bahasa yang memiliki nilai-nilai yang sangat
tinggi.<br />Ketika dulu saya masih sekolah rendah (SR), kita sudah mendapatkan bahasa
pengantar dalam bahasa ibu (Madura), baru masuk kelas tiga dipelajari bahasa
Indonesia. Bahasa ibu itu sangat membantu kita untuk mengenal suatu
konsep-konsep kehidupan dunia sekitar. Kemudian ketika SMP dan SMA, saya
belajar sastra Jawa kuno sastra Melayu, dan Indonesia.<br /> <br />Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab dalam masalah ini ketika anak-anak
Jawa sudah tidak lagi mengenal, bahkan menulis huruf Honocoroko?<br /> <br />Mestinya, pertanyaan ini diajukan pada pemegang kebijakan bangsa ini. Sudah
benarkah sistem pendidikan modern kita sekarang? Sejak beberapa tahun Orde Baru
berkuasa, sistem pendidikan kita menjadi ala Amerika. Padahal, Amerika itu
tidak punya sejarah, seperti Eropa. Pendidikan Amerika itu pragmatis dan
tertuju pada hal yang konkret dan tidak belajar tentang sesuatu yang abstrak.
Akibatnya, dalam menyelesaikan masalah, selalu yang konkret saja.<br /> <br />Berbeda dengan Jepang, gonta-ganti perdana menteri dan dimasuki kebudayaan
Hindu dan Buddha. Namun, mereka tidak terpengaruh dengan kebudayaan itu,
apalagi mengubah kebijakan yang sudah baik. Ibarat software, sekarang ini
kondisi kita sudah rusak.<br /> <br />Apakah karena masyarakat kita yang terpengaruh dengan sesuatu yang instan
(sesaat) juga?<br /> <br />Iya. Ini karena masalah pendidikan juga. Zaman Belanda mengajarkan materi
tentang kebudayaan hingga 90 persen budaya barat dibandingkan kebudayaan
sendiri.<br />Anak-anak muda Indonesia saat ini lebih familiar dengan tarian balet, jazz,
disko, dan sebagainya ketimbang Reog Ponogoro. Ini kan nggak lucu.<br /> <br />Bagaimana membenahi sastra Melayu agar bisa lebih diterima kembali?<br /> <br />Saat ini, di Sumatra sudah mulai dilakukan. Batasan sejarahnya jelas.
Paling baik diutamakan karya-karya unggul, misalnya puncak-puncaknya dulu.
Selanjutnya, baru masuk pada karya-karya lainnya. Jadi, anak didik itu mengenal
kebudayaan mereka sendiri-sendiri. Ajarkan kembali sastra Melayu dan kebudayaan
bangsa sendiri. Bahasa bukan alat komunikasi saja. Bagaimana mau mempelajari
karya Bung Karno atau Bung Hatta kalau tidak memahami perkembangan bahasa.<br /> <br />Jadi, akibat ini adalah banyak anak didik kita yang perilakunya menjadi
menyimpang?<br /> <br />Ya. Akhirnya, akhlak dan pendidikan budi pekerti terabaikan karena lebih
mengejar persoalan materi. Saat ini, kita tidak memiliki rumah secara
kebudayaan. Secara politik sudah kacau balau, ekonomi tidak punya, lebih parah
lagi tidak punya rumah kebudayaan.<br /> <br />Pemahaman terhadap agama juga makin hari makin dangkal. Agama dipelajari
cuma sebatas ritual, bukan penghayatan. Agama dipandang sudah cukup bila sering
mengikuti pengajian di kantor-kantor, hotel, dan gedung mewah. Mereka mengukur
keberagamaan seseorang dari banyaknya orang mengikuti pengajian, bukan dari
kualitas yang diajarkan.<br /> <br />Apa yang membedakan sastra Islam dan sastra Islami di Indonesia?<br /> <br />Sastra Islam di Indonesia sudah ada sejak masuknya Islam ke Indonesia.
Kemudian, hal ini dikenal dengan sastra Melayu yang mengadopsi kebudayaan
Islam. Sastra Islam itu lebih luas, sedangkan sastra Islami itu lebih terbatas.<br />Sementara itu, sastra religi lebih luas lagi karena dia bisa berupa sastra
Hindu, Islam, Buddha, dan sebagainya.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2009/04/prof-dr-abdul-hadi-wm-indonesia-tak-punya-rumah-kebudayaan-sendiri/">http://sastra-indonesia.com/2009/04/prof-dr-abdul-hadi-wm-indonesia-tak-punya-rumah-kebudayaan-sendiri/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-43333491292711007892021-08-14T04:59:00.004-07:002021-08-14T04:59:21.412-07:00Lorca dan Magi PuisiAngela<br />korantempo.com<br /> <br />Karya Lorca memadukan unsur tradisional dan tema kontroversial.<br /> <br />Sekali waktu, Joko Pinurbo, penyair sederhana yang disayangi banyak orang,
pernah berkata tentang puisi. “Kerja bermalam-malam membangunkan alam bawah
sadar, mencatat kehidupan sekeliling, memain-mainkan kata, memadukan paradoks
dan ironi dengan usaha keras luar biasa”. Dan setelah itu menyihir pembacanya.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Pinurbo sedang bicara tentang puisinya sendiri. Tapi bermain-main dengan
perangkat kata yang dikumpulkan dari alam bawah sadar serta paradoks dan ironi
luar biasa itu juga sudah lebih dulu melambungkan nama Federico Garcia Lorca.<br /> <br />Kekuatan Lorca terletak pada kemampuannya menjadikan puisi sebagai alat
untuk memukul pembacanya, mengajarkan sesuatu, menuntun orang untuk kembali ke
suatu tempat. Jauh-jauh hari, Lorca memang mengakui kemampuannya “membangunkan
unsur mistik dalam puisinya”. Lorca menyebutnya duende. Roh suci orang-orang
gipsi. Semacam roh penjaga yang mengendap dalam puisinya. Kadang-kadang ia
membangunkannya lewat kata-kata yang dahsyat, tidak jarang pula hanya berwujud
dalam kalimat-kalimat sederhana.<br /> <br />Kemampuan Lorca itu lahir dari kesukaannya pada Flamenco, seni musik rakyat
Spanyol. Flamenco berawal dari tradisi gipsi, Deep Song. Orang Spanyol
menyebutnya cante jondo. Irama inilah yang tampak pada banyak karyanya. Rima
yang berulang-ulang, yang tidak muncul pada kebanyakan puisi pada pengujung
tahun 1920-an dan awal 1930-an. Tidak heran jika saat berdiam di New York, ia
dikenal sebagai penyair Andalusia, seniman gipsi yang berdendang lewat
puisinya.<br /> <br />Puisinya yang berjudul City That Does Not Sleep (1929)–yang berkisah
tentang New York–dengan jelas menguarkan gaya berdendang:<br /> <br />Careful! Be careful! Be Careful!<br />The Men who still have marks of the claw and the thunderstorm<br /> <br />Pengaruh itu juga tampak pada banyak naskah drama yang ia bikin. Selain
Gypsy Ballad yang sudah banyak dikenal publik, ia juga memasukkan elemen
tradisional Andalusia pada Thus Five Years Pass, The Public (yang secara
gamblang menggambarkan kehidupan homoseksual), dan Donna Rosita.<br /> <br />Tidak hanya dalam karya, ketertarikannya pada tradisi gipsi itu tampak pula
pada kepeduliannya pada aktivitas yang berhubungan dengan itu. Salah satu
kuliah terkenalnya yang disampaikan di Argentina–tiga tahun sebelum meregang
maut–berjudul Theory and Play of the Duende. Dalam kuliah itu ia mengekplorasi
kaitan duende dan puisi.<br /> <br />Ketertarikannya pada unsur tradisional berkembang lebih luas saat ia
bermukim di New York. Di kota itu ia menggali unsur surealisme dan spiritual
budaya Afrika-Amerika. Ia mengeksplorasi jazz, musik Latin, yang diakuinya
sendiri banyak berkaitan dengan budaya nenek moyangnya. Tidak heran jika
membaca puisi Lorca orang tidak ubahnya memelototi sebentang lansekap yang kaya
detail dan ornamen.<br /> <br />Meski napas tradisional sangat menguasai karya-karya Lorca, tema yang ia
tampilkan sesungguhnya amat beragam. Saat menjalin pertemanan dengan seniman
Salvador Dali dan sineas Luis Bu?uel, aroma surealis menguar dengan jelas. Kali
yang lain ia asyik dengan puisi cinta yang suram dan penantian akan maut yang
mencekam. Duo puisi Gaciela of the Memory of Love dan Gaciela of Distracted
Love adalah puisi cinta sekaligus maut yang menggambarkan kemuraman hidup
Lorca.<br /> <br />Tema-tema yang kontroversial, seperti kehidupan percintaan sejenis, gugatan
atas nilai-nilai sosial, juga mendominasi karya-karya puisi dan naskah
panggungnya. Ini pula yang mendatangkan nasib buruk pada karyanya, bahkan
setelah bertahun-tahun ia menjemput maut. Banyak naskah yang terpaksa disensor dan
tidak beredar di kalangan luas karena dianggap tidak layak dibaca. Ini
diperburuk pula dengan banyaknya naskah yang raib dan terbakar pada tahun
kematiannya.<br /> <br />Ada sebuah naskah drama yang ia beri judul Oda a Walt Whitman, yang
mengendap belasan tahun dan hanya bisa ditampilkan di tengah kalangan terbatas.
Penggalan soneta Sonetos Amor Oscuro yang memuat kehidupan homoseksual Lorca
bahkan tidak bisa dibaca hingga awal 1980-an.<br /> <br />Teks-teks berkonotasi seksual yang sangat pekat kabarnya sempat pula
dicerabut dari bagian Poet in New York yang diterbitkan pada awal 1930-an.
Puisi Habla la sant?sima Virgen bahkan tidak ditemukan lagi hingga sekarang.
Kabarnya, teks pada puisi itu memuat hubungan seks dan agama.<br /> <br />Ada pula yang tidak kalah nyentrik dari sisi alur ceritanya. Sebuah naskah
drama yang dibikin di ujung usianya, Lorca bahkan membikin tokoh utamanya mati
digebuki penonton. Tidak aneh, bahkan saat ia masih memimpin teater keliling La
Barraca, banyak naskah yang tidak bisa dimainkan di atas panggung.<br /> <br />Meski sensor pemerintah Spanyol lenyap setelah kekuasaan Jenderal Franco
berakhir pada 1975, sensor institusi keagamaan tetap berlaku jauh setelah itu.
Sebagian besar tidak terlalu nyaman dengan eksplorasi tema seks yang begitu
gamblang, sebagian tidak siap menyerap pikiran-pikiran baru milik Lorca.<br /> <br />Meski penolakan dan penyumpalan naskahnya terjadi bertahun-tahun lamanya,
Lorca tidak kehilangan pengikut. Sejarah mencatat ia menjadi satu-satunya
penyair Spanyol paling berpengaruh pada rentang masa yang sangat panjang.<br /> <br />Lorca tidak bisa memberi kesaksian pada pengaruh karyanya itu. Namun
puluhan tahun setelah kematiannya, banyak penyair yang mengikuti jejaknya.
Vicente Aleixandre, Pablo Neruda, Francisco Ayala, Luis Cernuda, Cipriano Rivas
Cherif, Rafael Mart?nez Nadal, Giner de los R?os, Guillermo de Torre, Manuel
Altolaguirre, Jos? Bergam?n, dan Manuel Ben?tez Inglott, menjadi rangkaian
panjang pemuja Lorca.<br /> <br />Di Indonesia, orang tidak bisa tidak harus mengakui citraan Lorca mengalir
dalam darah Rendra. Sebagaimana Lorca, Rendra juga bisa membikin puisi menjadi
sebuah pertunjukan spektakular. Serupa Lorca pula, Rendra menunjukkan balada
sebagai kekuatan puisi tak terbantahkan.<br /> <br />Karena terlampau identik itu pula, tidak heran jika banyak yang menduga
Rendra sudah tidak sanggup lepas dari bayang-bayang Lorca. Mendiang Subagio
Sastrowardoyo yang penyair dan kritikus sastra menyebut Rendra terlampau kuyup
terbenam dalam pengaruh Lorca. Ia menunjukkan “dakwaan” itu dalam studi
komparatif karya keduanya. Subagio juga membeberkan studi komparatif itu dalam
bukunya Sosok Pribadi dalam Sajak (1980). Subagio melihat banyak citraan pada
balada Rendra yang memikat itu sebagai alih bahasa dari citra-citra sajak
Lorca.<br /> <br />Rendra, dalam banyak kesempatan, mengakui ia membaca puisi-puisi Lorca.
Namun untuk menyebutnya menjiplak, “Itu yang harus dibuktikan,” katanya.<br /> <br />Selain Rendra, yang tampak terpesona pada karya Lorca adalah mendiang
Ramadhan KH dan Asrul Sani. Sebagai dramawan, Asrul banyak menyadur dan
menerjemahkan karya Lorca, di samping ssejumlah karya lainnya.<br /> <br />Sementara ketertarikan Ramadhan menemukan jalannya setelah ia berkunjung k
Spanyol. Pada 1952, Ramadhan KH mendapat undangan dari Sticusa (Yayasan
Kerjasama Kebudayaan) untuk berkunjung ke Belanda bersamaan waktunya dengan
Asrul Sani. Untuk beberapa lama dia bekerja sebagai penerjemah di Kantor Pusat
Sticusa, dan sebagai hasilnya dia bisa tinggal beberapa lama di El Salir,
Spanyol, untuk memperdalam bahasa Spanyol karena dia jatuh hati kepada sastra
Spanyol.<br /> <br />Karya-karya Frederico Garcia Lorca termasuk yang gemar dilahap Ramadhan,
untuk kemudian dia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan begitu,
keindahan Lorca–di tengah kontroversinya yang tidak berkesudahan–menyebar dan
menemukan penggemarnya di zamannya masing-masing.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2008/12/lorca-dan-magi-puisi/">http://sastra-indonesia.com/2008/12/lorca-dan-magi-puisi/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-6219497565934527252021-08-14T04:45:00.003-07:002021-08-14T04:45:12.217-07:00Parodi Harus Lebih Asyik Ketimbang Karya Asli<b>Adam Roberts (Penulis Novel Parodi Va Dinci Cod)</b><br /> <br />Angela Dewi<br />ruangbaca.com<br /> <br />Tidak lama setelah novel fenomenal Da Vinci Code (2004) karya Dan Brown
terbit, beragam karya ‘tandingan’- nya muncul di pasaran. Mulai dari tulisan
ilmiah yang membantah seluruh hipotesa dan ‘kegilaan’ Brown, hingga olok-olok
semacam parodi. Di antara sekian karya ‘tandingan’ itu, Va Dinci Cod termasuk
yang mencorong. Ditulis oleh Adam Roberts, novel ini mem-parodikan seluruh isi
novel.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Dari alur sampai tokohnya. Tidak sekadar menjadi parodi, novel ini kemudian
dengan lincah melompat menjelajahi dunia fiksi ilmiah. Mengajak pembaca
berandai-andai tentang teori penciptaan semesta. Setahun setelah muncul di
pasaran, novel ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk
Indonesia. Di Indonesia novel ini diterjemahkan akhir tahun silam oleh penerbit
Pustaka Primatama.<br /> <br />Di luar Va Dinci Cod, Profesor Sastra Abad ke 15 Royal Halloway University,
London, Inggris yang berusia 40 tahun ini sudah menelurkan banyak novel.
Sebagian di antaranya parodi dari fiksi ilmiah dan fantasi epik terkenal,
termasuk parodi karya Tolkien dan sekuel Star Wars karya George Lucas.
Sementara sebagian lainnya adalah karya orisinal (novel, novelet, karya bertema
fiksi ilmiah, dan esai fiksi ilmiah dan sastra Inggris klasik).<br /> <br />Lewat serangkaian obrolan surat elektronik, peraih gelar doktoral untuk
disertasi karya Robert Browning dari Cambridge University ini menjawab
pertanyaan panjang Ruang Baca Tempo. Dengan manis, pria yang mengisi waktu
luangnya dengan menggambar sketsa ini mengawali obrolan dengan permintaan maaf
karena terlambat membalas surat elektronik dan berterima kasih karena pujian
yang memabukkan dan merontokkan jiwa.”<br /> <br />Berikut petikan wawancara panjang dengan pelahap karya Charles Dickens dan
pujangga Inggris John Keats ini.<br /> <br />T: Novel Va Dinci Cod disebut- sebut banyak orang sangat liar dan jauh
menjelajah meninggalkan tema aslinya.<br /> <br />R: Liar? Ha ha ha… Jika Anda membaca novel Brown, apalagi yang terlintas di
benak Anda selain mengembang-biakkan gagasan liar untuk ermainmain dengan
seluruh bagian novel? Saya hanya melihat, banyak sekali unsur fiksi ilmiah yang
bisa dieksplorasi dari novel ini. Saya kemudian memasukkan unsur-unsur fiksi
ilmiah. Mulai dari teori penciptaan alam semesta, pertanyaan tentang Opus Dei
hingga ramuan thriller tekno-religius yang sudah ditawarkan Brown. (Roberts
mengganti nama tokoh utama Brown, Robert Langdon, menjadi Robert Donglan,
memelesetkan “Code” menjadi Cod untuk menunjuk konspirasi kejahatan dengan
menggunakan ikan cod, dan bermain-main dengan karakter Mona Lisa dalam lukisan
Leonardo Da Vinci?ia menyebut Mona Lisa sebagai karya adik Da Vinci yang
bernama Eda Vinci dan tokoh dalam lukisan itu sebagai jelmaan lain Da Vinci
dalam sosok perempuan)<br /> <br />T: Mengapa ada teori penciptaan alam semesta segala macam dalam novel Anda
itu?<br /> <br />R: Saya melihat banyak sekali gugatan yang muncul karena Brown mengusung
tema teknoreligius dalam novelnya. Saya tidak menyebut karya Brown sebagai
fiksi ilmiah karena belum sampai ke sana. Teori Opus Dei, konstelasi tata
surya, dan semacamnya itu hanya hendak menunjukkan banyak sekali kemungkinan
dan pertanyaan terbuka jika Anda meragukan batas-batas keyakinan Anda. Saya
hendak menunjukkan bahwa fiksi ilmiah jauh lebih banyak menawarkan kemungkinan
untuk pertanyaan religius. Yang masuk akal atau yang sangat gila sekalipun.<br /> <br />T: Anda lebih suka menyebut novel Anda parodi atau fiksi ilmiah?<br /> <br />R: Dua-duanya. Di sanalah letak kepiawaian sebuah parodi dalam
bermain-main. Jika dibuat dengan semangat tidak hanya mengolok-olok, parodi itu
bisa lebih asyik ketimbang karya aslinya.<br /> <br />T: Anda piawai sekali mengeksplorasi sisi-sisi fiksi ilmiah. Mana yang
lebih memikat Anda, sastra klasik atau fiksi ilmiah?<br /> <br />R: Sejak kecil saya gemar melahap karya fiksi ilmiah. Di kepala saya
berputar-putar pertanyaan, mengapa ada sedotan udara ketika pintu pesawat
dibuka, berapa jauh jarak ke Mars, apa yang ada di balik matahari. Semacam itu.
Saya suka Ursula Le Guin karena karyanya banyak mengeksplorasi faktor fiksi
ilmiah dan ramuan fantasi epik. Ada mitos, konstelasi bintang, hampir semuanya.
Setelah itu, saya mulai menekuni sastra klasik. Sastra di masa ini kental
sekali dengan unsur epik. Saya membaca Tolkien, lalu karya-karya yang lebih
bertema sosial seperti Dickens, karya- karya romantis era Victoria juga saya
suka. Saya membaca puisi-puisi Browning dan menjadikan itu salah satu
spesialisasi saya. Kenikmatannya sama, hanya saja fiksi ilmiah lebih membuat
saya tergelitik dan ingin menjelajah lebih jauh.<br /> <br />T: Parodi Anda lebih banyak tentang fiksi ilmiah. Sastra klasik tidak
menggelitik untuk diekplorasi?<br /> <br />R: Saya memang lebih tertantang untuk menggali banyak hal jika membaca
fiksi ilmiah. Itu kesempatan saya untuk memunculkan banyak karakter. Saya bisa
jadi jenius, saya bisa jadi terbelakang sekalipun. Saya bebas.<br /> <br />T: Saya menilai fiksi ilmiah Anda berbeda dengan kebanyakan. Anda tampaknya
punya kemampuan untuk memberi “rasa seni” pada karya Anda. Bahkan yang parodi
sekalipun.<br /> <br />R: Saya memang punya latar belakang seni dan humanistik, bahkan gelar PhD
saya dapat dari sastra Inggris, saya juga mengajar sastra. Jadi saya
menceburkan diri ke dunia penulisan dengan latar belakang sastra dan sisi
estetik itu. Selain itu, saya melihat hal-hal yang berkaitan dengan sains akan
menarik jika diekplorasi dari sisi metafora. Selebihnya, sebuah karya fantasi
ilmiah akan berubah menjadi keras karena penulisnya adalah orang-orang yang
berhadapan langsung dengan dunia sains. Mereka berpikir hanya dengan sisi
sains, lalu membuatnya menjadi fiksi. Itu juga tidak buruk, tapi segi
artistiknya tidak begitu tertangani dengan baik. Di sanalah saya masuk. (Tiga
novel orisinal Roberts memadukan fiksi ilmiah dengan tema-tema yang lebih
‘membumi’. Sebagian besar dengan sangat jelas menampakkan unsur seni. Salt,
yang seirama dengan novel karya Frank Herbert, Dune, berkisah tentang negeri
yang dipenuhi lautan garam. Ia meminjam seting Serbia sebagai negeri yang baru
dicabik perang. Dalam satu bagian digambarkan bagaimana perempuan disiksa oleh
segerombolan penjahat. Stone berkisah tentang konstelasi bintang dan proses
yang berhubungan dengan terjadinya tata surya. Novel terbarunya, Snow berkisah
tentang kembalinya abad es dalam kehidupan manusia dan pembantaian masal. Situs
fiksi ilmiah Inggris Alienonline menyebut novel ini sebagai yang terbaik yang
pernah dihasilkan Roberts)<br /> <br />T: Sebagai akademisi Anda menghasilkan kritik yang banyak dipuji. Bagaimana
Adam Roberts yang kritikus fiksi ilmiah melihat Adam Roberts yang penulis fiksi
ilmiah?<br /> <br />R: Mereka punya hak asuh bersama atas otak saya, jadi mereka harus saling
berbaik-baik, setidaknya setiap akhir pekan. Ha ha ha…<br /> <br />T: Bagaimana Anda melihat pengakuan publik atas novelnovel Anda? Bukankah
ada anggapan penulis parodi hanya bisa menghasilkan karya dengan membonceng ide
orang lain?<br /> <br />R: Saya harus berhati-hati dengan pertanyaan ini. Ha ha ha… Dalam banyak
hal memang nikmat menulis parodi, tapi saya tidak ingin dikenang sebagai
pemutarbalik atau pencemooh karya orang. Itu saya buktikan dengan menulis novel
yang lebih serius, katakanlah lebih mengekplorasi akar kemampuan saya. Saya
juga mengasah kemampuan dengan menerbitkan banyak kumpulan tulisan, esai,
kritik sastra. Terus membaca karya-karya klasik. Orang tidak akan dapat
menggambarkan satu sisi dalam diri saya. (Roberts berkali-kali masuk nominasi
penghargaan fiksi ilmiah bergengsi Inggris. Pada 2001, novelnya Salt masuk
dalam daftar C. Clarke Award. Tahun ini, Snow masuk nominasi British Science
Fiction Award untuk kategori novel bergengsi fiksi ilmiah terbaik. Ia juga
lumayan intens menelurkan esai fiksi ilmiah dan sastra klasik. Yang terbaru
Reading The Lord of The Rings mengantarkan pembaca memahami Tolkien. Di salah
satu esainya, Roberts menyebut simbol cincin yang digunakan Tolkien menunjukkan
betapa kuat pengaruh ikatan perkawinan dan nilai-nilai Katolik dalam novel
klasik itu)<br /> <br />T: Va Dinci Cod sudah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Mengapa novel
serius Anda sukar meraih hal yang sama?<br /> <br />R: Orang mungkin lebih melihat momennya. Lagipula untuk Va Dinci Cod,
penerbit saya PS Publishing pandai memanjakan penerbit kecil di seluruh dunia.
Jadi mudah bagi mereka untuk mengakses novel ini. Tapi, soal akses, novel-novel
serius saya akan segera masuk ke Amerika lewat penerbit Gollancz. Mungkin itu
jalan paling cerdas untuk masuk pasar dunia. Siapa tahu?<br /> <br />T: Anda kelihatannya sibuk sekali. Profesor Sastra Inggris, pembicara di
forum fiksi ilmiah, kritikus, penulis novel. Waktu luang Anda diisi apa?<br /> <br />R: Saya tergila-gila internet dan mulai melukis. Anak saya Lily,4, sering
jadi model. Dia mulai menunjukkan tanda-tanda yang ‘membahayakan.’ Mulai suka
hal-hal yang berbau luar angkasa. Ia membayangkan saya, ibunya, dan dia punya
hubungan keluarga dengan ‘sesuatu’ di Mars sana. (Roberts sangat mencintai
anaknya. Sebuah puisi berbahasa Latin dengan translasi bahasa Inggris ia
sertakan di akhir percakapan. “Oh Anakku. Yang lahir dari anyaman zaman. Bebas
dari segala macam kungkungan. Biar kudendangkan lagu masa silam dan masa depan
untukmu. Sekadar menunjukkan apa yang sudah terjadi dan apa itu menjadi
sesuatu.” Di akhir surat, ia menyertakan kalimat yang sama manisnya seperti
ketika membuka surat. “Saya senang mendengar kita menjadikan anak sebagai
penyeimbang di dunia yang gagap ini,” tulisnya).<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2010/06/parodi-harus-lebih-asyik-ketimbang-karya-asli/">http://sastra-indonesia.com/2010/06/parodi-harus-lebih-asyik-ketimbang-karya-asli/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-90458766427202873812021-08-14T04:41:00.001-07:002021-08-14T04:41:02.931-07:00Fiksi dan Semiotika Umberto EcoAnwar Holid *<br />Pikiran Rakyat, 19 Juli 2008<br /> <br />UMBERTO Eco merupakan salah seorang novelis kontemporer paling terkemuka di
dunia. Novelnya The Name of the Rose legendaris dan mengukuhkan dirinya sebagai
penulis utama sastra posmodern. Sebagai bestseller terbitan 1983 di Italia,
buku itu masih mudah dijumpai dan jadi salah satu standar fiksi jenis thriller.
Hampir semua kritik mengakui bahwa The Name of the Rose merupakan karya dia yang
paling terkenal sekaligus enak dinikmati, sebab novel itu bisa tampil sebagai
karya yang bermanfaat dan menghibur pembaca.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Namun bagi sebagian pihak, Eco merupakan filsuf ahli semiotika—sains
tentang tanda dan simbol. Di kedua ranah tersebut dia sama-sama terkemuka,
hingga sulit menentukan apa dia lebih terkenal sebagai novelis atau
cendekiawan. Sebenarnya di luar itu dia juga ahli sastra dari abad pertengahan,
kritikus budaya populer yang produktif dan tajam. Namun lebih dari itu,
sejumlah karyanya memberi sumbangan amat penting dan karena itu berpengaruh
kuat di ranah masing-masing.<br /> <br />The Name of the Rose juga sukses diadaptasi sebagai film pada 1986, arahan
Jean-Jacques Annaud, dibintangi Sean Connery sebagai William of Baskerville dan
Christian Slater sebagai Adso of Melk. William dan Adso ini, dua tokoh utama
upaya pembongkaran misteri rangkaian pembunuhan brutal yang terjadi di biara di
abad pertengahan, persisnya tahun 1327. Di zaman yang begitu lama berselang
itu, Eco bisa mengubahnya jadi pertunjukan kisah yang mencekam, misterius,
sekaligus merupakan petualangan detektif memecahkan persoalan pelik melibatkan
masalah iman (ketuhanan), bidah, dan logika. Eco memadukan unsur sejarah,
agama, dan sastra sebagai teka-teki berisiko tinggi.<br /> <br />Umberto Eco lahir pada 5 Januari 1932 dari keluarga besar di Alessandria,
kota kecil di wilayah Piedmont, yang beribu kota di Turin—markas klub sepak
bola Italia legendaris Juventus. Ayahnya punya tiga belas saudara. Menurut
situs themodernword.com, nama keluarga Umberto, yaitu Eco, merupakan akronim
dari ex caelis oblatus, bahasa Latin yang artinya “bingkisan dari surga.” Nama
itu berasal dari kakeknya yang lahir tanpa diketahui orang tuanya, dirawat di
panti asuhan, dan oleh petugas kependudukan diberi nama demikian. Ayahnya,
Guilio, sebenarnya ingin Umberto jadi pengacara, tapi dia rupanya lebih
tertarik pada filsafat dan sastra.<br /> <br />Waktu Perang Dunia II berkecamuk, dia dan ibunya, Giovanna, pindah ke desa
di kaki Pegunungan Piedmontese, sementara ayahnya dipanggil ikut wajib militer.
Di desa itu, Umberto mendapat pendidikan dasar dari ordo Salesian (didirikan
oleh Santo Francis de Sales pada 1845), yang mengabdikan diri di bidang
pendidikan. Dari sanalah Umberto mula-mula tertarik pada segala yang terkait
dengan abad pertengahan. Komentarnya tentang zaman antara akhir Kekaisaran
Romawi di abad ke-5 hingga awal 15 itu, “Di sana ada skema/bagan rasional
sederhana tentang bagaimana mestinya suatu keindahan hadir, di sisi lain ada
kehidupan seni inspiratif dan intuitif dengan bentuk dan kedalaman
dialektikanya—seolah-olah kedua-duanya merupakan irisan dari permukaan kaca
satu sama lain.” Maka di Universitas Turin dia kuliah jurusan filsafat abad
pertengahan dan sastra sampai menjadi doktor pada 1954. Namun suatu krisis iman
yang terjadi padanya selama masa itu menyebabkan dirinya keluar dari Gereja
Katolik Roma.<br /> <br />Umberto, yang dahulu pernah menggunakan nama alias Dedalus, sebentar
bekerja di radio pemerintah, RAI (Radiotelevisione Italiana) sebagai editor
program budaya, bareng nyambi sebagai dosen di almamaternya. Selama kerja di
RAI, dia berkawan dengan Gruppo 63 yang berisi seniman, perupa, pemusik, dan
penulis avant-garde. Gruppo 63 berpengaruh penting dalam karier kepenulisan
Umberto, karena di sini dia memantapkan pendalaman terhadap studi abad
pertengahan, terlebih ketika dia menerbitkan buku pertamanya Il Problema
Estetico di San Tommaso (1956), risalah tentang estetika menurut Thomas
Aquinas, yang kelak dia kembangkan sebagai tesis. Begitu lulus jadi doktor, dia
memulai karier sebagai dosen, mengembangkan riset serta studi kajian sastra dan
penulis.<br /> <br />Dia mengukuhkan diri sebagai ahli abad pertengahan tiada banding berkat
Sviluppo dell`estetica Medievale (1959). Dua buku ini membuatnya malang
melintang sebagai dosen estetika dan semiotika di berbagai universitas Italia,
dan hingga kini kerap diundang jadi dosen tamu di sejumlah universitas Amerika
Serikat. Setelah kira-kira 15 tahun mengabdi, dia dilantik jadi profesor
semiotika pada 1971 di Universitas Bologna. Menerima lebih dari 30 gelar doktor
honoris causa dari berbagai universitas di dunia, kini Umberto Eco jadi
Presiden Scuola Superiore di Studi Umanistici, Universita Bologna. Prestasi
Umberto membuktikan pada sang ayah bahwa ia tepat memilih sastra.<br />***<br /> <br />DI akademik, lelaki yang biasa tampil brewok ini mengasah ketajaman
pemikiran sebagai eksponen utama semiotika. Buku-bukunya mengalir deras. Boleh
jadi nonfiksi dia yang paling terkenal ialah A Theory of Semiotics (1976),
Travels in Hyperreality (1986), dan Semiotics and the Philosophy of Language
(1984). Meski sebenarnya kira-kira sudah 25 judul dia tulis, mencakup
semiotika, linguistik (kajian bahasa), estetika, filsafat, dan moralitas. Misal
In Cosa Crede Chi Non Crede? (1996), sebuah buku berisi dialog antara dirinya
dengan kardinal Carlo Maria Martini mengenai orang beriman dan murtad. Nonfiksi
terakhirnya terbit tahun lalu, Storia della bruttezza, sebuah kajian estetika
mengenai keburukan.<br /> <br />Umberto memberi sumbangan pemikiran orisinal pada semiotika; secara
bergurau dia memelesetkan semiotika sebagai “ilmu berbohong.” Tulis dia,
“Semiotika ialah studi tentang segala yang bisa diambil secara signifikan
sebagai pengganti (tanda) untuk sesuatu yang lain. Yang lain ini tidak perlu
ada atau benar-benar di suatu tempat persis ketika sebuah tanda menggantinya.
Maka pada prinsipnya semiotika merupakan disiplin untuk mempelajari segala
sesuatu yang bisa digunakan untuk berbohong. Jika sesuatu gagal digunakan untuk
menceritakan kebohongan, sebaliknya ia gagal digunakan untuk menceritakan
kebenaran—bahkan tentu mustahil ia bisa digunakan untuk bercerita apa pun. Saya
pikir definisi sebagai teori untuk berbohong harusnya ditempuh sebagai program
yang cukup komprehensif bagi semiotika secara umum.”<br /> <br />Tanda (sign) dan simbol (symbol) merupakan sesuatu yang kompleks dan sulit.
Di satu sisi semiotika bukan berarti bisa menyangkut segala-galanya, tanda dan
simbol ternyata tidak melulu berupa teks (tertulis), melainkan bisa mulai dari
proses alamiah komunikasi spontan hingga ke sistem budaya yang kompleks, kode,
komunikasi visual, dan komunikasi massa. Di sinilah karyanya Opera Aperta
(1962) menjadi landasan yang mengundang pembaca (pemirsa) agar terlibat lebih
aktif menafsirkan dan kreatif.<br /> <br />Di fiksi pun demikian, dia telah menulis lima novel yang semua merupakan
pergulatan mental dan pemikiran yang disampaikan dalam dunia fiktif dan
imajinatif, namun dengan telak mempertanyakan agama, sejarah, analisis teks
alkitab, dan penafsiran tentang kebenaran. Novel keduanya Foucault`s Pendulum
(1988), disebut Jane Sullivan sebagai “Da Vinci Code milik orang cerdas”,
membahas adanya konspirasi kelompok jahat rahasia berkedok agama yang hendak
menguasai dunia dan terkait sisa-sisa peninggalan bersejarah Knights
Templar—sebuah ordo militer Kristen di zaman Perang Salib I. Fiksi terakhirnya
ialah La Misteriosa Fiamma Della Regina Loana (2004). Umberto bahkan masih
sempat menulis cerita anak, bekerja sama dengan ilustrator Eugenio Carmi,
antara lain I tre Cosmonauti (Tiga Astronot) dan Gli Gnomi di Gnu.<br /> <br />Pergumulan Umberto yang begitu intens dengan berbagai macam teks dengan
baik menggambarkan konsep intertektualitas, yakni keterkaitan segala jenis
karya sastra sekaligus menerapkan bangunan gagasan bernama opera aperta (karya
terbuka), dipadankan dengan konsep teks tertutup dan terbuka (open and closed
texts). Dia mengkaji teks dari zaman pertengahan hingga zaman internet,
sementara di rumah dia mengoleksi lebih dari 50.000 judul—yang disimpan di
rumah keluarga dan rumah liburan. Keterkaitan teks dalam semua karyanya bisa
sangat imajinatif sekaligus kreatif, melibatkan tokoh faktual, tokoh fiktif,
termasuk menghadirkan tokoh fiktif dengan karakter berdasar tokoh sejarah.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Anwar Holid, Eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. <a href="http://sastra-indonesia.com/2011/11/fiksi-dan-semiotika-umberto-eco/">http://sastra-indonesia.com/2011/11/fiksi-dan-semiotika-umberto-eco/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-61924132623529815932021-08-14T04:31:00.008-07:002021-08-14T04:31:53.685-07:00Perjalanan Mencari Cinta SpritualJudul : Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada<br />Penulis : Leo Tolstoy<br />Penerjemah : Atta Verin<br />Penerbit : Serambi Ilmu Semesta<br />Edisi : Pertama, Februari 2011<br />Tebal : 200 halaman<br />Peresensi : Wildani Hefni<br />Lampung Post, 17 Juli 2011<span><a name='more'></a></span><br /> <br />TAK bisa dibayangkan, ketika kehidupan dipenuhi dengan cobaan, dijejali
penderitaan, diisi kesepian, mesti akan terasa hampa. Kehidupan akan berbalik
dari bahagia menjadi melankolis, dari perasaan senang menjadi sedih, dari
senyum dan canda tawa akan beralih menjadi gelisah dan duka. Tentu semua orang
menginginkan kebahagiaan, kesenangan, keceriaan, dan keindahan. Tapi apa daya
jika pada kenyataannya tak sesuai dengan apa yang diinginkan, jauh dari apa
yang diharapkan.<br /> <br />Jika sudah demikian, siapa yang patut disalahkan? Apakah mengubur diri
dalam ketidakpastian, atau menyalahkan orang di sekeliling kita, atau bahkan
berdemonstrasi pada Tuhan dengan omelan-omelan yang kasar?<br /> <br />Tentu tak demikian caranya. Leo Tolstoy, seorang sastrawan besar Rusia
dalam novel ini memberikan cara yang baik dengan menunjukkan bahwa dalam setiap
sendi kehidupan, di sana terdapat kasih Tuhan yang selalu menemani setiap
hamba. Novel ini terdiri dari lima cerita terbaik Leo Tolstoy yang semuanya
berisi ajaran untuk mengampuni dan berdamai dengan orang lain.<br /> <br />Salah satu cerita dalam novel ini berkisah tentang seorang perajin sepatu
bernama Martin Adveich, yang merasa kesepian setelah ditinggal mati istri dan
putra semata wayangnya. Istri Martin meninggal dunia ketika ia masih tinggal
dengan majikannya. Anak Martin tak ada yang hidup, semua anak yang lebih tua
meninggal sejak masih kanak-kanak, yang hidup hanya anak terakhirnya, Kapiton.
Apa yang terjadi, lambat laun Kapiton jatuh sakit, merana selama dua minggu dan
akhirnya meninggal dunia.<br /> <br />Anak semata wayang yang mulai membantu Martin juga telah tiada. Hal ini
menjadikan hidup Martin Melankolis dan selalu mengeluh kepada Tuhan, mengomel
agar Tuhan menghentikan hidupnya. Martin yang awalnya rajin ke gereja, menjadi
malas karena merasa disiksa oleh Tuhan.<br /> <br />Setelah tujuh tahun Martin tak datang ke gereja, akhirnya ada seorang
lelaki tua datang dari Biara Trinitas untuk menjenguk Martin.<br /> <br />Lelaki itu menanyakan perihal ketidakmunculan Martin di gereja. Martin pun
mengeluhkan akan kepedihan hidup yang ia alami. Akhirnya, lelaki tua itu
menyuruh Martin untuk tak putus asa karena hidup hanya untuk Tuhan. Ketika
hidup dipasrahkan pada Tuhan, tak akan pernah mengalami putus asa karena
kesengsaraan hidup. Lelaki itu menyuruh Martin untuk membeli Alkitab agar hidup
Martin benar-benar untuk Tuhan.<br /> <br />Tak ayal, pagi hari dalam setiap degup Martin, hanya bayangan akan sosok
Tuhan. Aktivitas Martin tak lain duduk di ambang jendela dan lebih banyak
memandang keluar jendela dari pada bekerja. Setiap ada orang, ia melongok ke
jendela. Banyak orang yang melewati rumahnya, tapi tak seorang pun yang
berhenti, apalagi singgah.<br /> <br />Harapan untuk bertemu dengan Tuhan kembali menjadi pikiran Martin. Namun,
orang kedua yang ada adalah seorang wanita dengan bayi di gendongannya yang
tampak kedinginan, tak mampu melindungi anaknya. Maka, Martin mengundang wanita
itu masuk untuk menghangatkan diri. Hidangan roti dan sup hangat menemani percakapan
Martin dan wanita itu. Dengan penuh kegetiran, wanita itu bertutur tentang
kemalangan dirinya yang ditinggal suaminya perang hingga ia jatuh miskin,
bahkan selendang untuk menghangatkan diri pun harus ia gadaikan.<br /> <br />Martin memberinya uang sekadarnya untuk bisa menebus kembali selendangnya,
dan membekalinya mantel usang untuk dapat melindunginya dan si bayi dari
kedinginan.<br /> <br />Hari itu ternyata berlalu dan tak mempertemukan Martin dengan sosok Tuhan.
Yang ada hanya kejadian-kejadian kecil yang menuntut Martin untuk menolong
penderitaan mereka. Cerita ini tentu mengajarkan kebajikan mulia. Dikemas
dengan piawai, apik nan indah.<br /> <br />Buku ini adalah sebuah karya kitab klasik karya maestro sastra dunia, tak
hanya melipur hati, tapi mencerahkan dan menusuk relung jiwa dengan menyadarkan
bahwa Tuhan tak perlu dicari-cari, ia hadir dalam diri setiap orang yang
membutuhkan. Setiap detik, menit, jam, hari, dan setiap saat. Maka bergantung
pada diri kita, jika kita peka terhadap eksistensi Tuhan yang selalu menolong
hambanya, kita akan selalu dibarengi cinta, bukan hanya cinta biasa, melainkan
cinta spritual dari Tuhan.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca Pesma Darun Najah, IAIN Walisongo,
Semarang. <a href="http://sastra-indonesia.com/2011/07/perjalanan-mencari-cinta-spritual/">http://sastra-indonesia.com/2011/07/perjalanan-mencari-cinta-spritual/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-65177634687911165442021-08-14T04:29:00.006-07:002021-08-14T04:29:25.180-07:00Perjalanan Mencari CintaLeila S. Chudori<br />majalah.tempointeraktif.com<br /> <br />Sutradara Teddy Soeriaatmadja melahirkan film terbarunya sebagai alternatif
dalam peta perfilman Indonesia. Para aktor senior menyalakan cahaya dalam film
ini.<br /> <br />BANYU BIRU Sutradara: Teddy Soeriaatmadja Skenario: Rayya Makarim, Prima
Rusdi, Jujur Prananto Pemain: Tora Sudiro, Slamet Rahardjo, Didi Petet, Butet
Kertaredjasa, Dian Sastrowardoyo Produksi: Salto Films dan M&M
Entertainment.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Perjalanan melalui gelombang biru laut itu terasa tak akan pernah usai.
Perjalanan menemui ayahnya yang pernah ditemuinya selama 10 tahun adalah
perjalanannya menguak sebuah ruang gelap bernama “masa kecil” yang ditutupnya
rapat-rapat. Hanya, kali ini, setelah 10 tahun yang penuh amarah, Banyu baru
berani membuka kotak pandora yang selalu dikuncinya rapat: tentang kematian
adiknya, Biru, tentang kematian ibunya, tentang cinta ayahnya pada mereka
semua.<br /> <br />Pertemuan Banyu (Tora Sudiro) dengan sang ayah (Slamet Rahardjo dalam
penampilan yang luar biasa) adalah sebuah klimaks yang menjelaskan seluruh isi
film, sekaligus menuju pada sebuah konklusi yang -insya Allah- akan membuat
penonton ternganga sejak awal film karena tak memahami gerak langkah sutradara
Teddy Soeriaatmadja, itu new kid on the block yang baru saja menelurkan
debutnya yang dianggap “aneh” dan “ndak mudeng” (sebelumnya, Teddy sudah pernah
melahirkan film Culik, yang tidak beredar di bioskop?Red).<br /> <br />Film Banyu Biru diklaim oleh para sineasnya sebagai tayangan visual yang
“terinspirasi oleh pakem realisme magis (magic realism), sebuah gaya penulisan
sastra yang terkenal antara lain lewat karya Gabriel Garcia Marquez”.
Demikianlah bunyi berita pers yang dikeluarkan produsernya.<br /> <br />Saran saya? Mungkin Teddy dan semua sineas serta produsernya akan lebih
baik melupakan isme-isme itu, mencoba tidak terlalu terpesona oleh label-label
itu, karena karyanya sendiri sudah memiliki pesona dan tak perlu lagi
penjelasan-penjelasan yang membutuhkan nama.<br /> <br />Terminologi magical realism, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
menjadi realisme magis, mulai menggema ketika pemenang Nobel Sastra, Miguel Angel
Asturias, menggunakan istilah ini untuk menjelaskan novel-novelnya. Tetapi
sesungguhnya pada akhir tahun 1920-an, kritikus seni dari Jerman, Franz Roh,
sudah menggunakan istilah realisme magis untuk menggambarkan lukisan yang
berupaya menggambarkan realitas dengan cara yang baru. Istilah ini kemudian
digunakan kritikus sastra asal Venezuela, Uslar Pietri, untuk menggambarkan
kecenderungan sastra Amerika Latin saat itu. Sejak itu, novel-novel dunia-
bukan hanya Gabriel Garcia Marquez dengan One Hundred Years of Solitude, tapi
juga Salman Rushdie (Midnight’s Children dan Shame), Umberto Eco (Foucault’s
Pendulum), Milan Kundera (Immortality)-kemudian dianggap sebagai novel yang
memiliki unsur realisme magis. Realisme magis tentu saja bukan sebuah cara bertutur
yang serta-merta harus menampilkan segala sesuatu yang menampilkan keajaiban
atau keahlian memanipulasi realitas-seperti sosok penyihir atau lampu aladin-
tetapi lebih pada kemampuan melebihi batasan realitas hingga menciptakan sebuah
realitas baru dengan dunia yang baru.<br /> <br />Syahdan, Teddy Soeriaatmadja menendang realitas baru itu, mendorong
melebihi batasan-batasan realitas itu, dengan sebuah dunia baru dalam
perjalanan Banyu. Pada awal cerita, Teddy menampilkan sosok kecil di awal film
sebagai saksi kematian adiknya diiringi Juwita Malam karya Ismail Marzuki
(dinyanyikan Slank, dahsyat!). Kamera beralih pada Banyu dewasa, yang
diperankan Tora Sudiro, dalam penampilan yang diam, sunyi, bingung, dan
terus-menerus didera migrain yang jahanam. Sebagai seorang pelayan customer
service sebuah hipermarket, Banyu kemudian mencari penyebab migrainnya pada
seorang dokter, dan dokter menyarankan dia mencari jawaban masa lalunya itu
dengan berdamai dengan dirinya sendiri. Demikianlah para penulis skenario
memberi alasan bagi perjalanan “road movie” ini. Perjalanan ini melibatkan
pertemuannya dengan gadis tetangga yang jelita, Sula (Dian Sastrowardoyo),
seorang peramal yang terus-menerus menatap matanya membaca masa depan (Ladya
Cheryl), agen perjalanan yang komikal (Butet Kertaredjasa), seorang penjaga
warung yang senantiasa mengorek ketiaknya, sebuah kampung yang hanya
berpenduduk waria, teman masa kecil, Arief (dengan penampilan Oscar Lawalata
yang flamboyan), yang menghapus demarkasi gender dalam tubuhnya, lalu Om Wahyu
(Didi Petet yang tampil gila-gilaan dan, by the way, mengapa tak ada produser
yang menampilkan aktor dahsyat ini sebagai pemain utama?) yang tengah sibuk
menikah untuk kelima kalinya.<br /> <br />Di dalam berbagai pertemuan Banyu itu, sosok Banyu kemudian hilang. Kamera
lebih sibuk pada visual sebuah negara antah-berantah, sebuah mimpi yang
menampilkan warna-warni pada batang pohon, langit yang tak bertepi, dan
daun-daun yang berguguran entah pada musim apa. Teddy memberikan perhatian yang
detail pada sosok-sosok aneh yang timbul-tenggelam di hadap-an Banyu hingga
kita sendiri kemudian melupakan reaksi Banyu, perasaan hatinya yang
berdarah-darah oleh dua kematian yang menghantamnya. Padahal, sosok itu
seharusnya menjadi faktor sekunder. Banyu adalah subyek utama pembawa dunia
baru itu, dari sebuah dunia lama yang nyata menuju pada sebuah pencerahan
dirinya.<br /> <br />Jika Teddy berupaya memberikan alternatif baru dalam perfilman Indonesia,
dia telah berhasil. Dia tak perlu menggunakan label realisme magis atau
memusingkan pengaruh Woody Allen. Itu adalah bagian dari autodidaknya. Karyanya
sendiri menjadi sesuatu yang baru, yang agak sinting (karena ada produser
seperti Shanty Harmayn yang bersedia memberi ruang pada kesintingan ini), dan
sekaligus memberi gelora kebahagiaan kepada mereka yang percaya pada
penciptaan.<br /> <br />Tentu ada beberapa catatan: bintang dalam film ini tetap saja
bintang-bintang lama. Bukan saja pada persoalan latar belakang teater, tetapi
Slamet Rahardjo, Didi Petet, dan Butet Kertaredjasa bak pelari maraton yang
dengan santai berlari sembari terkekeh mencari-cari lawan main mereka yang
sangat jauh tertinggal di belakang. Lihat bagaimana Didi Petet cengar-cengir
menceritakan perkawinannya yang kelima sembari duduk mengorek mata kakinya. Ini
didikan teater seorang aktor yang mempunyai jam terbang sangat tinggi. Tugas
Teddy sebagai sutradara adalah menggeber para pemain “baru” (tanda kutip ini
hanya untuk membedakan mereka yang jauh lebih muda daripada trio oldies
Slamet-Didi-Butet tadi) dengan disiplin yang lebih ketat dan lebih keras.<br /> <br />Catatan lain, Teddy dan para penulis skenario, sebagai sineas yang baru
saja memasukkan diri dalam sebuah cara bertutur yang tak lazim, tentu sangat
menyadari bahwa kata “magis” dalam “realisme magis” tak berarti kisah itu bisa
membelok ke mana saja dengan menampilkan sosok apa saja. Tokoh agen perjalanan
yang judes, tokoh Arief yang gemulai, dan tokoh sopir yang dramatis memang
penting sebagai bagian dari perjalanan emosi Banyu. Tokoh Om Wahyu penting
untuk “penunjuk jalan” bagi Banyu dari masa lalu ke masa depan, sekaligus
memasukkan unsur jenaka (percaya atau tidak, film ajaib ini sangat lucu dan
penuh ger-geran). Tetapi tokoh peramal yang diperankan Ladya Cheryl itu jika
dibuang juga tak melukai jalan cerita. Jika pertemuan antara Sula dan Banyu
mampu memberi getaran kepada penonton- melebihi sekadar persoalan ciuman- pasti
kita akan langsung memahami: Banyu menemukan cinta pada akhir perjalanannya.
Cinta ayahnya, dan cinta seorang perempuan.<br /> <br />Di luar catatan itu, selamat datang, Teddy!<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2009/03/perjalanan-mencari-cinta/">http://sastra-indonesia.com/2009/03/perjalanan-mencari-cinta/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-68153121896921184482021-08-14T04:21:00.006-07:002021-08-14T04:22:20.334-07:00Belajar dari PerjalananUtami Widowati<br />korantempo.com<br /> <br />Kisah tentang retaknya persaudaraan yang dipertautkan kembali oleh sebuah
pengembaraan.<br />Honeymoon with My Brother<br />Pengarang: Franz Wisner<br />Penerbit: Serambi, Desember 2008<br />Tebal: 485 halaman<br /> <br />Dua lelaki bersaudara, secara tradisional dan universal, tampaknya tak
bakal bisa kompak 100 persen. Ada saat ketika mereka akan berpisah jalan dan
memilih lingkungan pergaulan sendiri-sendiri. Saat itulah yang biasanya dimulai
di usia remaja, ketika mereka mulai merasa terasing satu sama lain.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Franz dan Kurt Wisner merasakannya. Kakak-beradik yang berbeda usia dua
tahun ini bak Kutub Utara dan Selatan ketika Franz, sang kakak, berusaha
menjauh dari adiknya jika ingin diterima oleh lingkungan anak-anak remaja
keren.<br /> <br />Titik balik hubungan keduanya terjadi saat menjelang pernikahan Franz.
Sepekan sebelum pernikahan, Annie, tunangan Franz selama 10 tahun,
mencampakkannya. Padahal undangan sudah tersebar dan sebagian besar biaya
perayaan serta bulan madu sudah dibayar.<br /> <br />Kekuatan persaudaraan dan pertemanan diuji pada saat genting seperti ini.
Franz punya dua pilihan, membatalkan semua rencana pestanya atau tetap berpesta
tanpa mempelai wanita. Dikompori oleh adik dan teman-temannya, Franz memilih
alternatif kedua dan berpesta gila-gilaan.<br /> <br />Tapi penderitaan belum selesai. Sepekan kemudian Franz mendapat hantaman
lagi: di kantornya. Jabatannya diturunkan, meski tetap mendapat bonus tahunan
yang sangat besar.<br /> <br />Buat pembaca perempuan, kisah ini membuktikan satu hal: pria hetero yang
tangguh di dunia karier sekalipun bisa termehek-mehek ketika sendirian merutuki
nasib. Juga bahwa ketika tertimpa musibah, kesedihan berlipat justru hadir
ketika tak ada lagi teman yang menepuk punggung memberi dukungan dan selesainya
pesta-pesta pengusir duka.<br /> <br />Beruntung, Franz punya Kurt, yang sikapnya tak pedulian. Sayangnya, tak
terlalu banyak digali bagaimana mungkin dua lelaki bersaudara yang sudah
menjadi dua orang asing tiba-tiba sepakat untuk jalan bersama. Kurt sepertinya
tak membuat banyak pertimbangan ketika setuju pada rencana Franz berkeliling
dunia.<br /> <br />Mereka merencanakan perjalanan keliling dunia begitu saja. Mereka
memutuskan berhenti bekerja, menjual rumah, menyumbangkan pakaian dan perabot
mereka, membuang ponsel dan menghancurkan penyeranta dengan palu. Lalu
bertualang yang diawali dengan memanfaatkan paket bulan madu yang telanjur
dibayar.<br /> <br />Franz berangkat dengan kekhawatiran mereka akan berakhir saling mencekik
dalam perjalanan. Franz sering khawatir atas Kurt, yang selalu percaya
pemecahan masalah selalu ada di detik-detik terakhir yang menegangkan.<br /> <br />Pemanasan dilakukan dengan mengunjungi teman di Rusia dan Praha.
Selanjutnya, mereka bertualang selama empat tahun. Bolak-balik ke Amerika dan
60 negara, termasuk Indonesia. Padahal, dalam dunia backpacker, pergi hingga
lima tahun berturut-turut sama dengan sudah waktunya memeriksakan otak ke
psikiater.<br /> <br />Juga berbagai pesan bagi calon pengembara. Misalnya, buku Lonely Planet
boleh jadi panduan tapi bukan buku suci. Bisa saja Anda mendatangi suatu tempat
yang disebut di buku wisata sedang populer, ternyata pada saat Anda
mendatanginya tempat itu sudah ketinggalan zaman.<br /> <br />Mereka mencoba menikmati hidup baru, mulai di Amerika Latin, Eropa Timur,
Timur Tengah, Afrika, Australia, hingga Asia Tenggara. Setiap petualangan baru
membawa mereka ke tempat yang lebih unik dan menarik, diwarnai kisah seru yang
mereka alami.<br /> <br />Bertanya pada orang setempat, meski dengan bahasa tarzan, biasanya lebih
menyenangkan dan kadang akurat. Dari orang-orang yang berpapasan di jalan Franz
banyak belajar tentang makna hidup.<br /> <br />Bergabung dengan kaum backpacker juga menarik. Meski Franz tak bisa tidak
mengkritik kaum ini, yang seolah menjadi duta tak resmi bangsa kulit putih yang
melancong ke negeri asing. Mengagumi kekompakan dan keberanian mereka tapi juga
ngeri pada cara hidup yang terlalu menyerahkan diri pada nasib di perjalanan.<br /> <br />Banyak petualangan aneh yang dicatat Franz dengan cukup terperinci, dari
disangka pasangan gay, hingga terpaksa kabur dari perempuan di Praha, Trinidad,
sampai Vietnam. Lalu dijebak menikahi gadis setempat hingga dicopet banci yang
beroperasi di jalan. Mereka juga berhasil mengumpulkan sepuluh cara gila tapi
efektif menangani pedagang asongan setempat.<br /> <br />Sayang, seperti pelancong mancanegara lainnya, mereka hanya menuju Bali
saat di Indonesia. Sedikit cerita tentang Lombok, Nusa Tenggara Barat, dan
Pulau Komodo, serta kacaunya pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Atau
gagalnya rencana menjadi ahli sabung ayam ala Bali karena muntah-muntah saat
salah satu ayam mati terpenggal. Semua disajikan dengan gaya bertutur yang
menggelitik.<br /> <br />Di beberapa bagian, alur yang berulang dengan menceritakan petualangan yang
sama lewat surat kepada sosok LaRue agak mengganggu. Atau kisah sakitnya Annie
yang tak terlalu relevan dengan keseluruhan cerita. Sementara itu, kesadaran
Franz akan cintanya pada Annie saat bertemu dengan banyak wanita cantik di
dunia yang penuh petualangan hampir membuat tergelincir menjadi cerita yang
cengeng.<br /> <br />Secara keseluruhan, membaca buku ini mengulik hasrat untuk bertualang.
Minimal menjadi LaRue dan teman-temannya di rumah pensiun Eskaton, yang selalu
bergairah mendengar petualangan Wisner bersaudara. Atau mengingatkan kembali
bahwa beberapa ikatan persaudaraan dalam keluarga yang hilang tak berarti
putus. Hanya perlu waktu dan kesempatan bersama untuk menemukannya kembali.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2009/03/belajar-dari-perjalanan/">http://sastra-indonesia.com/2009/03/belajar-dari-perjalanan/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-1205692996113530282021-08-14T04:15:00.006-07:002021-08-14T04:15:53.797-07:00Berthold Damshauser: Sastra Indonesia Kurang DikenalBerthold Damshauser<br />Pewawancara: Seno Joko Suyono, Ibnu Rusydi<br />korantempo.com<br /> <br />Ia menjepit rokok dengan telunjuk dan jempol tangan kanan. Di sela-sela
kalimat-kalimat Indonesianya yang lancar, ia mengisap kretek A Mild itu
dalam-dalam. Berthold Damshauser, 52 tahun, adalah salah satu ahli sastra
Indonesia di Jerman yang tersisa. Sejak 1986, dia menerjemahkan sastra
Indonesia ke bahasa Jerman dan sebaliknya.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Ia datang lagi ke Jakarta sebagai pendiri Komisi Indonesia-Jerman dalam
bidang bahasa dan sastra. Pada Oktober 1996, Kanselir Helmut Kohl berkunjung ke
Indonesia. Saat itu disepakati dibentuk komisi bilateral Indonesia-Jerman dalam
bidang bahasa dan sastra. Sayangnya, komisi itu bertepuk sebelah tangan. Hingga
kini hanya pihak Jerman yang aktif.<br /> <br />Senin sore lalu, wartawan Tempo, Seno Joko Suyono dan Ibnu Rusydi, serta
fotografer Panca Syurkani menemui Damshauser. Ia bercerita mengenai betapa
sastra Indonesia sesungguhnya marginal di dunia.<br /> <br />Bisa Anda ceritakan Komisi Indonesia-Jerman ini?<br /> <br />Komisi ini dibentuk oleh mantan Kanselir Helmut Kohl dan mantan Presiden
Soeharto. Komisi ini bertujuan menyebarkan sastra Jerman di Indonesia dan
sastra Indonesia di Jerman. Tapi cuma pihak Jerman yang berupaya mewujudkan
cita-cita komisi itu. Indonesia masih pasif. Saya harapkan pihak Indonesia mau
bergerak.<br /> <br />Apa produknya?<br /> <br />Saya telah menerjemahkan puisi Paul Celan, Bertold Brecht, dan Goethe. Kini
saya sedang menerjemahkan puisi-puisi Nietzche, Zarathustra. Saya kini juga
menyiapkan antologi puisi penyair Indonesia periode 1980 hingga 2005. Ada 10
penyair dalam antologi itu. Ini bakal diterbitkan oleh Pusat Bahasa Indonesia.<br /> <br />Tahun depan saya berencana akan membawa delegasi penyair Indonesia ke
Jerman. Mungkin ini pertama kali delegasi penyair diutus negara. Perkenalan
kebudayaan jangan dengan tarian melulu, tapi dengan aksara. Sudah saatnya Indonesia
membuktikan kepada dunia mempunyai budaya modern, khususnya budaya aksara. Saya
harap Pusat Bahasa bisa mencarikan sponsor.<br /> <br />Sudah berapa novel Indonesia yang diterjemahkan dalam bahasa Jerman?<br /> <br />Mungkin (total) sekitar 25. Sekitar 6-7 karya Pram (Pramoedya Ananta Toer),
Umar Kayam, Ayu Utami, dan Oka Rusmini.<br /> <br />Bagaimana tanggapan masyarakat Jerman atas novel Indonesia?<br /> <br />Harus diketahui bahwa sastra Indonesia di Jerman terbit di penerbit kecil.
Buku-bukunya tak muncul di toko-toko. Tirasnya hanya 1.000-2.000, jelas tidak
laris dan jarang dibicarakan kritikus terkenal di harian nasional Jerman
ternama, seperti Frankfurt Allgemeine Zeitung. Terjemahan novel Ayu Utami,
misalnya, belum banyak tanggapan. Bahkan karya Pram tidak diresensi dari segi
sastra, tapi lebih kepada dia sebagai korban politik Orde Baru.<br /> <br />Bukankah Pram saat bertemu Gunter Grass mendapat perhatian besar media di
sana?<br /> <br />Oh tidak, sama sekali tidak.<br /> <br />Dibanding novelis Afrika atau Asia lain, Indonesia bagaimana?<br /> <br />Cina dan Jepang agresif memperkenalkan sastranya. Juga India dan Korea.
Turki dengan sendirinya dilirik karena Orhan Pamuk meraih Nobel. Sastra Amerika
Latin bahkan best seller. Dengan Vietnam saja, Indonesia masih kalah.<br /> <br />Bagaimana kajian sastra Indonesia di universitas di Jerman?<br /> <br />Ada perkembangan yang merisaukan. Jurusan-jurusan itu digeser program studi
baru, yaitu studi kawasan. Akibatnya, pengkaji sastra Indonesia berkurang,
diganti oleh ahli etnologi, antropologi, dan ekonomi. Bahasa dan sastra hanya
jadi pelengkap pengetahuan para ahli kawasan, misalnya kawasan Asia Tenggara.<br /> <br />Di Bonn dulu, misalnya, ada program studi penerjemahan yang saya pimpin
selama 20 tahun. Namun, sekarang tak ada lagi. Bahkan kini saya jadi abdi untuk
(studi) kawasan itu. Dulu masih ada mahasiswa saya yang menulis skripsi tentang
sastra Indonesia, sekarang tak ada lagi.<br /> <br />Di Jerman, sekarang Anda sendirian menekuni sastra Indonesia?<br /> <br />Di Bonn, ya. Di Koln dan Hamburg mungkin masih ada (penggiat lain).<br /> <br />Bagaimana Anda melihat fenomena meledaknya novel populer Indonesia?<br /> <br />Saya baca Ayat-ayat Cinta tahun lalu. Saya tergiur membaca novel ini.
Sebab, ada yang menyebut novel ini layak dinominasikan Nobel karena
mengembangkan sastra Islami. Pada 10-20 halaman pertama, novel ini mengalir
tanpa kerikil, tapi gaya bahasanya sangat pop.<br /> <br />Yang mengganggu saya adalah penggambaran hitam-putih si tokoh pemuda
Indonesia di Mesir, seperti insanulkamil. Sempurna betul. Dia berpoligami untuk
menyelamatkan perempuan Koptik yang mencintainya. Saya terganggu pesan utama
novel itu bahwa yang bisa masuk surga cuma orang Islam. Saat si perempuan
Koptik itu sakit, ia bermimpi melihat sebuah gedung indah. Banyak orang
berpakaian putih masuk, tapi dia dihalangi.<br /> <br />Itu merupakan sikap eksklusif yang agak berlebihan, sama sekali tak sesuai
dengan jiwa rakyat Indonesia. Saya sempat ceritakan novel ini kepada seorang
teman di Jerman. Dia katakan ini pelecehan terhadap Tuhan. Mengapa? Sebab,
novel ini membayangkan Tuhan menerima makhluknya berdasarkan semacam KTP.<br /> <br />Bagaimana Anda membandingkan penyair mutakhir Indonesia dengan penyair
Jerman?<br /> <br />Sastra Jerman berkembang sangat gemilang sejak ratusan tahun lalu. Puisi
Jerman sudah mencapai puncak luar biasa pada Goethe dan Nietzche. Di
sekolah-sekolah juga diajarkan penulisan esai. Setiap penulis muda ada dalam
tradisi yang sangat kaya itu. Para penulis di Jerman juga memiliki kemampuan
beberapa bahasa. Saya melihat sastrawan (Indonesia) kurang menguasai
bahasa-bahasa lain. Sastrawan Indonesia berkembang otodidak. Kalau boleh
kritis, ini tak enak, mutu sastra Jerman rata-rata di atas mutu di sini.<br /> <br />Anda lihat peran negara penting untuk penyebaran sastra?<br /> <br />Ya. Di Jerman, misalnya, Departemen Luar Negeri wajib (memperkenalkan karya
Jerman). Makanya didirikanlah Goethe Institute. Tugasnya menyebarkan kebudayaan
Jerman.<br /> <br />Saya usulkan agar Indonesia membentuk Pusat Budaya Indonesia di Eropa.
Pemimpinnya adalah budayawan, bukan birokrat atau diplomat biasa. Cina,
misalnya, sudah mulai mendirikan pusat-pusat Konfusius. Indonesia sudah
menganggap diri kebudayaannya penting, tapi tak menyadari bahwa sesungguhnya
marginal. Wah!<br />***<br /><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2009/04/berthold-damshauser-sastra-indonesia-kurang-dikenal/">http://sastra-indonesia.com/2009/04/berthold-damshauser-sastra-indonesia-kurang-dikenal/</a></span><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-82692004556460314972021-08-14T04:01:00.001-07:002021-08-14T04:01:06.855-07:00KISI-KOTA, Kalau Sastrawan Tinggal di ApartemenGerson Poyk<br />sinarharapan.co.id<br /> <br />Minggu lalu beberapa sastrawan ibu kota diundang oleh sastrawan (penyair)
Leon Agusta dan istri Amerikanya untuk pesta kecil memasuki rumah baru, yaitu
sebuah apartemen di depan harian Kompas. Bangunan itu setinggi tiga puluh
tingkat.<br /> <br />Mungkin karena pertemuan Leon dengan Maggy di sebuah apartemen bernama
Mayflower di Iowa City, maka setelah bertahun-tahun tinggal di kampung-kampung
dan di kawasan perumahnn indah tidak membetahkan mereka. Mereka rindu pada
apartemen. Maka mereka memilih tingkat tiga, sebuah ruang yang tak terlalu
melayang, Atau mungkin karena keamanan lebih terjaga, sebab ada satpam dan
mobil yang masuk diperiksa dengan teliti.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Setelah gembira bertemu dengan teman-teman dan kenyang menikmati
makan-minum, kami pulang dengan sebuah taksi yang dibayar oleh novelis Hanna
Rambe. Beliau mengantar penyair Kirnanto ke Utan Kayu, kemudian taksi berputar
ke Thamrin lalu kami berpisah, naik bus ke Depok. Inilah susahnya Jakarta kalau
ada acara pertemuan kangen-kangenan dengan teman seniman. Kecuali kalau ada
helikopter yang hinggap di atap apartemaen lalu membawa pulang ke Depok, Grogol
dan Utan Kayu. Itulah khayalan masa depan.<br /> <br />Kenangan masa lampau tinggal di apartemen Mayflower di Iowa juga indah.
Saya menempati tingkat enam. Setiap hari mengetik novel Sang Guru dan beberapa
karya lain yang sudah sering dipesan pemerintah (Inpres) dan sudah diskripsikan
dan ditesiskan oleh beberapa mahasiswa dalam dan luar negeri untuk memperoleh
S1, S2 dan S3.<br /> <br />Mungkin tinggal di apartemen di negeri sendiri agak lebih baik. Karena
tidak ada salju, maka orang bisa keluar cari kopi di warung-warung, nongkrong
di langit terbuka, buka baju pun boleh. Tinggal di apartemen di musim salju di
negeri orang membuat saya diserang penyakit home sick. Tiap seperempat jam di
malam hari yang sunyi saya membuka kotak surat. Mau minum kopi ada tetapi kita
hanya berhadapan dengan mesin. Taruh koin di mesin, kopi keluar. Ini juga yang
membikin sakit. Seorang teman saya, sastrawan terkenal dari Amerika Latin,
memukul-mukul mesin itu karena kopi tidak keluar.<br /> <br />Hal ini membuat saya memperoleh inspirasi untuk membual bahwa saya menolong
sastrawan itu dengan mundur beberapa langkah ke belakang lalu melompat dan
menendang “warung kopi” bego itu. Maka hancurlah mesin itu. Uang dan kopi
berhamburan. “Pantas, kami orang Indonesia gampang membunuh jutaan orang.
Begini caranya!” kata sastrawan itu. Untung cuma fiksi.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2009/04/kisi-kota-kalau-sastrawan-tinggal-di-apartemen/">http://sastra-indonesia.com/2009/04/kisi-kota-kalau-sastrawan-tinggal-di-apartemen/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-73761332393887525512021-08-14T03:56:00.006-07:002021-08-14T03:56:56.260-07:00Kota, Waktu, PuisiGoenawan Mohamad<br />kompas.com<br /> <br />Perlu ada imajinasi arsitektural yang hendak merayakan nostalgia sebagai
kesadaran puitis tentang masa lalu yang intim. Dengan demikian, sebuah kota
membutuhkan sebuah “sajak panjang” dan tak hanya harus didirikan dengan
ketidaksabaran.<br /> <br />Agaknya ada hubungan yang tersembunyi antara kesusastraan Indonesia, kota,
dan sejarah. Hubungan itu tidak lazim dibicarakan, namun sebenarnya bukan
sesuatu yang luar biasa jika kita ingat akan Revolusi Agustus, ketika dari
Jakarta “Indonesia” dimaklumkan, dan sebuah negara-bangsa berangkat dari
pertengahan abad ke-20. Dalam suasana itu dorongan kreatif-dan juga
ketegangan-terbit di Jakarta dalam bentuk semangat modernisme.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Pembawa suara modernisme yang paling jelas tentu saja Chairil Anwar. Saya
kutip sebuah sajaknya yang menunjukkan sebuah hubungan erat antara ekspresi
puitik dengan latar kota dan latar waktu:<br /> <br />Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa<br />Bertukar rupa di pinggir jalan, aku pakai mata mereka<br />Pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda:<br />Kenyataan-kenyataan yang didapatnya<br />(Bioskop Capitol putar film Amerika,<br />Lagu-lagu baru irama mereka berdansa).<br />Kami pulang tidak kena apa-apa<br />Sungguhpun Ajal macam rupa jadi tetangga<br />Terkumpul di halte, kami tunggu trem dari kota<br />Yang bergerak di malam hari sebagai gigi masa.<br />Kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji juga<br />Sandarkan tulang-belulang pada lampu jalan saja<br />Sedang tahun gempita terus berkata<br />Hujan menimpa. Kami tunggu trem dari kota.<br /> <br />Dalam sajak yang ditulis di tahun 1949 ini, Jakarta hadir dalam sebuah
sketsa yang cepat: bioskop Capitol, daerah Kota, arena dansa, trem, halte,
tiang lampu jalan. Tapi, yang juga terasa dari karya Chairil ini adalah sebuah
suasana monoton. Tiap baris berakhir dengan bunyi a yang sama. Tak ada nada
riang, yakin, atau bangga, meskipun sajak ini menyebut gelanggang bersenda,
jam-jam orang menonton film, mendengarkan lagu, dan berdansa.<br /> <br />Agaknya kesatunadaan yang muncul dari sajak itu berasal dari semacam rasa
jemu: ada yang jadi rutin dalam sebuah keadaan di mana apa yang alamiah dan
purba (hujan dan Ajal) telah kehilangan pesonanya di antara benda-benda
teknologi (trem, lampu jalan), yang juga ditongkrongi sebuah tata yang sudah
pasti (dengan halte sebagai penanda).<br /> <br />Paralel dengan itu, sebuah subyek, aku, juga nyaris kehilangan dirinya.
Dalam sajak itu dikatakan, “aku” berkisar antara mereka, “aku” terpaksa
bertukar rupa, dan aku mencoba pakai mata mereka. Ini tentu saja sebuah tema
klasik yang kita kenal: individualitas yang harus bernegogisasi dengan kelompok.
Pada akhirnya dalam sajak ini aku itu pun berbaur menjadi kami, atau
berselang-seling dengan kami.<br /> <br />Menarik bahwa Chairil menyebut kami itu timpang dan pincang dan negatip
dalam janji. Ada kesan bahwa ketika individu berubah jadi himpunan, manusia
jadi acuh tak acuh kepada kefanaannya sendiri yang sunyi. Waktu tak menimbulkan
gentar. Kefanaan itu kini hampir sepenuhnya berada dengan sebuah jarak, di luar
diri: Ajal tampak jadi lazim, (macam rupa jadi tetangga, tulis Chairil); waktu
yang menggerogoti usia datang dalam bentuk trem dari kota yang bergerak malam
hari dengan suara yang seperti gigi yang gemertak.<br /> <br />Ada sikap lalai atau pasrah: orang-orang hanya menyandarkan tubuh mereka ke
tiang lampu, menunggu kereta datang, juga ketika hujan turun. Orang-orang hanya
pasif walaupun semua itu terjadi dalam sebuah tahun yang genting: tahun gempita
terus berkata.<br /> <br />Chairil tak menyebutkan apa yang bergemuruh di saat itu; mungkin di tahun
1949 itu ia merasakan suasana hidup antara harapan dan rasa gentar, antara
merasa berdaulat dan di ambang malapetaka, antara merasa perlu berdoa dan
merasa berdosa, antara bebas dan terkutuk, tak lama setelah Perang Dunia
selesai, Indonesia merdeka, dan Perang Dingin mulai. Saya menduga demikian
karena dalam bagian lain dari sajak ini-yang tak saya kutip lengkap di
sini-Chairil menyebut dalam malam ada doa sebelum ia menyebut segala sifilis
dan segala kusta, dan derita bom atom pula.<br /> <br />Apa pun kurun sejarah yang hendak diungkapkan Chairil dalam sajak itu, di
dalamnya tersirat rasa tertekan yang bergumam: rasa tertekan oleh waktu yang
datang dengan teknologi dan organisasi-waktu sebuah kota besar, yang
menyodorkan diri dalam bentuk jadwal kerja, batas awal dan akhir buat waktu
senggang, jam yang menentukan trem datang dan pergi. Dengan kata lain, waktu
yang telah menjadi sepenuhnya eksterior, yang tak ditentukan di dunia “kecil”
seorang penghuni, dunia “interior”-ku, di momen ketika aku berdaulat.<br /> <br />Tapi, dunia interior itu tak hendak surut, apalagi punah. Justru
sebaliknya. Kita tahu, kita yang tinggal di Jakarta yang kian padat dan kian
mekar ini bahwa makin lama sebuah tempat tinggal makin berangsur jadi sebuah
stasiun transit. Kita di sana seakan-akan hanya singgah, cuma beberapa jam
dalam sehari. Selebihnya kita di tempat kerja atau di jalan yang macet dan
panjang, dalam kendaraan atau dalam kelimun orang-orang yang umumnya tak saling
kenal, sebuah himpunan di mana tiap orang hidup dengan pikiran, fantasi, rasa
cemas, atau bahagia masing-masing.<br /> <br />Pada gilirannya, kepadatan dan mobilitas menyentuh tempat tinggal itu
sendiri. Kamar dengan cepat berubah penghuninya, secepat iklan kontrak dan
jual-beli rumah yang berbaris rapat di halaman surat kabar harian. Ketika
sebuah ruang tinggal kian dialami sebagai komoditas, yang nilai gunanya telah
diubah jadi nilai tukar, maka keadaan transit yang saya sebut tadi jadi
lengkap. Bukan aku saja yang hanya “singgah” di rumahku, tapi rumahku juga
hanya “singgah” dalam diriku.<br /> <br />Tapi, justru di dalam keadaan itulah terjadi apa yang oleh Walter Benjamin
disebut sebagai “fantasmagoria dari yang-interior”. Dalam tiap keadaan yang tak
stabil dan mengalir lekas dari luar, ada dorongan hati manusia untuk menemukan
yang tetap dan mengklaim kembali sifat permanen dalam tiap ruang privat.<br /> <br />Saya kira itu juga yang tersirat dalam puisi Chairil sebagai bentuk:
sesuatu yang tercatat sebagai kesaksian yang akrab, “batin”, tentang sebuah
latar ruang dan waktu. Puisi itu juga sebuah dorongan hati untuk mengembalikan
yang “interior” dengan intens-satu ciri modernisme kesusastraan, yang mulai
tampak secara terbatas bahkan sejak tahun 1930-an, dan kian jadi ekspresif di
sekitar Revolusi Agustus, tatkala luruh, bahkan runtuh, pelbagai konstruksi
sosial yang berkenaan dengan ruang dan waktu.<br /> <br />Di sini kita lihat sesuatu yang paradoksal: dalam arus modernitas-seperti
yang terjadi dengan bangkitnya kota-kota besar, terutama di Dunia Ketiga-justru
ada arus lain yang mencoba melawan atau mengelakkannya; arus itu adalah arus
puisi yang menolak untuk menyerah jadi bagian dari instrumentalisasi ruang dan
waktu, arus yang tak mau tunduk kepada yang eksterior. Mungkin itulah yang
menjelaskan kenapa setelah Chairil, ketika modernitas semakin merasuk ke daam
kehidupan Indonesia, puisi tak bisa kembali ditulis dengan ekspresi seperti
masa sebelumnya, misalnya masa Pujangga Baru.<br /> <br />II<br />Harus saya katakan di sini, waktu yang tersembunyi akrab dalam puisi
modernis adalah waktu yang sebenarnya menjadi bermakna justru karena ia lemah,
lain, dan terasing.<br /> <br />Di luarnya: sejarah.<br /> <br />“Sejarah” di sini punya dua pengertian yang saling bertentangan. Yang
pertama, seperti ketika orang mengatakan “aku ingin membuat sejarah”, adalah
proses melupakan. Inilah yang kita saksikan dalam terjadinya kota-kota di Dunia
Ketiga di masa pascakolonial. Proses melupakan itu ada yang didorong oleh
hasrat memutuskan secara radikal hubungan dengan masa lalu yang dibentuk sang
penjajah.<br /> <br />Kita menyaksikannya di Jakarta bukan saja dengan perubahan nama-nama
wilayah dan jalan, tapi juga dengan hancur atau terabaikannya arsitektur lama.
Tapi, kemudian kehendak “membuat sejarah” itu punya dinamika tersendiri yang
tak ada hubungan langsung dengan politika ingatan. Ledakan penduduk,
ketimpangan antarwilayah, impetus modal dan pasar, dan lain-lain, ikut membuat
Jakarta-seperti kota-kota besar lain di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin-seakan-akan berangkat, dengan tergesa-gesa, dari tahun 0.<br /> <br />Di hari-hari ini agaknya tak ada yang lebih mencengangkan ketimbang
Shanghai sebagai contoh kecenderungan itu. Kota di negeri dengan kebudayaan
yang amat tua ini segera tak akan menyaksikan berdirinya kembali gaya
arsitektur China lama, melainkan sesuatu yang sama sekali berbeda. Perusahaan
Inggris Atkins, misalnya, telah memenangi sebuah kompetisi untuk merancang Kota
Taman Songjiang menjadi wilayah kota kecil dan dusun Inggris, di tengah
sawah-sawah di Pudong. Kota Baru Gaoqiao disulap jadi sebuah wilayah dengan
arsitektur gaya Belanda tradisional-lengkap dengan pahatan bunga tulip raksasa.<br /> <br />Yang menarik dari pembangunan di Shanghai ialah bahwa di sini sejarah
dibuat dalam arti melupakan, tapi sekaligus juga mengingat. Persisnya, di sini
yang direproduksi adalah ingatan yang berbeda. Memang orang dengan mudah akan
mencemooh atau mempersoalkan: tidakkah China punya khasanah ingatannya
sendiri-yang tak juga punah setelah Revolusi? Mengapa harus “Eropa” yang
“asing”?<br /> <br />Di tahun 1957 eseis Mh Rustandi Kartakusuma mengecam tendensi yang
disebutnya sebagai “Indonisasi Ciliwung” dalam kesusastraan dan kesenian
Indonesia: lahirnya, di Jakarta, sebuah kebudayaan “indo” atau “mestizo”, juga
kesusastraannya. Bagi Rustandi, sejarah adalah mengingat, bukan melupakan.
Disuarakan menjelang tahun 1960-an, menjelang “kebudayaan nasional” yang
otentik jadi doktrin resmi yang harus ditaati, ketika semangat “berdikari”
menjulang, pandangan seperti Rustandi itu memang umum berlaku.<br /> <br />Tapi, baik sejarah sebagai produksi yang berdasarkan lupa maupun sejarah
sebagai produksi ingatan, keduanya problematis. Pada akhirnya lupa ataupun
ingatan adalah tafsir atas masa lalu, atau bisa dikatakan, tak ada masa lalu
kecuali tafsir yang tak memadai.<br /> <br />Demikianlah Rustandi menampik lupa, tapi ia sendiri melupakan bahwa sejak
kota ini berdiri, Jakarta adalah sebuah karya hibrida-dan agaknya ia tak
seharusnya disalahkan. Yang bersifat “mestizo” tidak dengan sendirinya sebuah
cela-sebagaimana ide tentang “Indonesia” sendiri adalah ide percampuran yang
tak mudah, dianggit dari dan diperebutkan oleh pelbagai anasir yang
masing-masing “lain” (dan dalam arti tertentu “asing”), meskipun tiap kali ia
bisa memberi makna bagi unsur yang berbeda-beda itu.<br /> <br />Juga para pembangun Shanghai akan selalu bisa mengatakan, sebagaimana
layaknya pewaris Marxisme, bahwa masa lalu, sebagai catatan sejarah, senantiasa
merupakan catatan sejarah dari yang berkuasa. Mereka juga akan bisa menegaskan
masa lalu China yang feodal tak punya tempat di abad ke-21.<br /> <br />Mereka juga akan bisa menunjukkan bahwa Shanghai abad ke-21 berbeda dengan
Shanghai di awal abad ke-20′ Shanghai yang terbagi-bagi dalam pelbagai koloni
orang Eropa dan Jepang, Shanghai dalam novel termasyhur Malraux, La Condition
Humaine. Kini Shanghai ditentukan oleh para penguasa China yang berdaulat.<br /> <br />Sejarah sebagai masa lalu, sebagaimana sejarah sebagai proyek masa depan,
selamanya mengandung unsur “asing” – bukan dalam arti etnis, atau “budaya”,
tapi dalam arti generasi. Di awal abad ke-20 para penghuni Brugges, kota tua di
Belgia itu, adalah orang yang asing dibandingkan dengan mereka yang mendirikan
kota itu di abad ke-9. Tak mengherankan bahwa mereka mengabaikan peninggalan
yang terhantar di dekat mereka. Baru setelah datang orang Inggris yang
berkunjung, pelan-pelan arsitektur tua kota itu dibangun kembali.<br /> <br />Dalam hal ini, ingatan akan ke-“asli”-an tak relevan lagi. Menara yang
menjulang di Balai Pasar kota itu, yang oleh buku panduan turis dikatakan
berasal dari abad ke-14, sebenarnya hanya sebuah tiruan yang dibuat abad ke-19.
Kanal-kanal Brugges yang cantik yang seakan-akan hidup terus berabad-abad itu
sebenarnya berasal dari tahun 1932.<br /> <br />III<br />Sebab itu, perkenankanlah saya di sini menolak memberi sejarah bobot yang
tinggi. Sejarah adalah perkara langkah besar, bagian dari waktu yang eksterior.
Albert Camus, dalam mencoba memberi eulogi buat kota kelahirannya, Oran, di
Aljazair-kota yang punya sedikit petilasan sejarah, dan hanya punya laut biru,
langit lazuardi, gurun perkasa, dan tubuh yang akrab dengan matahari dan
kematian- melihat kota-kota tua di Eropa dengan jeri: di sana, kata Camus,
dalam “pusaran yang memusingkan dari abad-abad revolusi dan kemasyhuran”, ruang
tak cukup memberikan sunyi.<br /> <br />Saya bukan datang dari kota seperti Oran, dan saya kira Camus
berlebih-lebihan, tapi saya juga ingin kembali kepada dorongan untuk merayakan
yang interior. Mungkin di sini kita bisa memakai kata yang tak kalah riskannya:
nostalgia. Saya ingat kata-kata arsitek Meksiko terkenal, Luis Barragan,
(1902-1988): “nostalgia adalah kesadaran puitis tentang masa lalu pribadi
kita”.<br /> <br />Kota-kota perlu membuat peluang bagi “kesadaran puitis” itu -dengan kata
lain, momen nostalgik itu- sebagaimana modernitas memerlukan antidotnya. “Masa
lalu pribadi” dalam konteks ini adalah tafsir atas waktu yang melepaskan diri
dari waktu eksterior, ketika kota-kota besar dibangun sebagai ruang
“geografis”, dengan perspektif seorang penyusun peta dan perencana.<br /> <br />Dengan “masa lalu pribadi” itulah orang sehari-hari menyusuri jalan dan
gang-gangnya. Di sanalah kita akan menemukan kota sebagai apa yang dikatakan
Michel de Certeau: pelbagai ruang “migrasional”. Dengan itu kita akan tahu
sebuah peta adalah sebuah hasil reduksi, dan sebuah rencana selalu mengandung
represi. Hanya dalam momen jalan-jalan kita menemukan yang lebih hidup meskipun
sama-sama tak lengkap. Dalam kiasan de Certeau, jalan-jalan adalah sebuah sajak
panjang yang mempermainkan organisasi ruang.<br /> <br />Maka saya percaya, perlu ada imajinasi arsitektural yang hendak merayakan
nostalgia sebagai kesadaran puitis tentang masa lalu yang intim- sesuatu yang
ditunjukkan oleh para pemenang “Penghargaan A Teeuw” 2007 dari Jakarta. Ketika
Marco Kusumawijaya, salah seorang angota juri, menilai mereka sebagai orang-orang
yang telah “memberi kesempatan kepada sejarah mewujud nyata dan dicintai
melalui arsitektur”, saya lebih memberi tekanan kepada kata mewujud dan
dicintai. Bagi saya, dengan demikian mereka mengingatkan bahwa sebuah kota
membutuhkan sebuah “sajak panjang”, dan tak hanya harus didirikan dengan
ketidak-sabaran.<br /> <br />Jakarta, 15 Agustus 2007<br /> <br />*) Penyair, Pendiri Majalah Tempo.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">(Diolah kembali dari pidato untuk menghormati para penerima “Penghargaan A
Teeuw” 2007: Soedarmadji Damais, Wastu Pragantha Zhong, dan Han Awal di Erasmus
Huis, Jakarta, 10 Agustus 2007). <a href="http://sastra-indonesia.com/2009/04/kota-waktu-puisi/">http://sastra-indonesia.com/2009/04/kota-waktu-puisi/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-37243482454866789882021-08-14T03:08:00.005-07:002021-08-14T03:08:38.080-07:00Terjerembap dalam Budaya Human MaterialHardi Hamzah *<br />lampungpost.com<br /> <br />Dalam siklus kebudayaan global, secara klasik kita mengenal proses
sentrifugal yang diliputi semangat human material. Human material, suatu bentuk
anarkistis manusia untuk mencari nafkah tanpa mengindahkan kaidah-kaidah norma.<br /> <br />DALAM filsafat Aufklarung hal ini disebut sebagai “merengkuh” dunia tanpa
etika. Bahkan, para antropolog modern melihatnya sebagai terma-terma “kebuasan”
makhluk manusia dalam menapaki hidup.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Tumbuh suburnya semangat human material semakin terbentuk ketika Renaisans
muncul di abad ke-15. Kendati ada indikasi positif lewat revolusi industri
dengan ditemukannya mesin uap di Inggris dan secara sosial muncul revolusi
Bastile di Prancis, ternyata human material yang kemudian berkembang lewat
bungkus liberalisme dan kapitalisme merampas sekaligus menyejukkan peradaban di
seantero dunia.<br /> <br />Ukuran paling mutlak atas gugusan itu direfleksikan oleh bersebadannya
peradaban Timur yang dibungkus norma-norma dan dogma agama dengan human
material yang membawa segudang risiko. Di sinilah kemudian peradaban Timur
mengalami benturan meski kemudian lewat ornamen baru yang menyulut nasionalisme
kenyataannya tidak lahir kekuatan rasionalitas bagi bangsa-bangsa di Asia,
Afrika, dan Amerika Latin.<br /> <br />Banyak aspek yang menggoda meski bangsa-bangsa di Asia tetap ingin
melawannya melalui kebersamaan lewat pembentukan Nonblok. Namun, melalui
kacamata budaya, justru tidak terlihat kekuatan baru yang antisipatif bagi
masyarakat di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Indikasi ini terlihat dari
semakin bangkrut dan langkanya nilai-nilai bangsa-bangsa tersebut, dus justru
mereka terbelenggu dalam raksonomi kebudayaan yang tidak menjanjikan bagi
kemajuan bangsanya. Ini ditandai oleh larutnya para pemimpin di Asia, Afrika,
dan Amerika Latin ke arah autoritarianisme.<br /> <br />Spektrum kebudayaan membawa langgamnya sendiri-sendiri, umumnya mereka
(bangsa-bangsa dimaksud) lebih banyak memelintir kebudayaan dan agama
(spritualitas)-nya sendiri agar bisa menikmati hilir mudiknya human material
yang bermuara pada kapitalisme dan liberalisme. Inilah musibah terbesar pada
dasawarsa 60-an meski jauh sebelumnya tokoh pergerakan versus tokoh kebudayaan
telah mencuatkan polemik kebudayaan antara ST Takdir dan ST Syahrir.<br /> <br />Kematangan bangsa-bangsa di Timur lebih ditentukan oleh penetrasi Barat,
mulai dari kesusasteraan, pergerakan kebudayaan, semangat kemanusiaan, dan
berbagai bentuk realitas sosial. Sehingga, yang terlihat pada bangsa-bangsa
yang baru merdeka ini (ketika itu) adalah kultur politik dan kebangsaan yang
tanpa bentuk, sampai kemudian lahir Pan Islamisme, suatu kekuatan Islam dari
poros welanschungnya wahabian (way of live).<br /> <br />Maka, masyarakat di Timur pun kemudian menampilkan bentuk ganda dari sisi moral.
Di satu sisi, melaju dengan norma dan dogma spiritualitas. Di sisi yang lain,
menampilkan sekularisme dengan berbagai pola perilaku yang cenderung menjauhi
norma-norma spiritualitas ketimuran, kalau tidak mau mengatakannya keluar dari
rancang bangun keagamaan. Moralitas ganda ini bergulir terus, dahulu-mendahului
antara sekularisme dan fundamentalisme (puritanisme). Ironinya, tidak tampak
siapa yang di depan dan siapa yang di belakang karena dalam kejar-kejaran
tersebut keduanya menjadi kabur tanpa bentuk.<br /> <br />Pada situasi seperti ini masyarakat dunia ketiga ditekuk-tekuk oleh
rasionalitas di satu pihak dan secara gradual di tengah reduksi akibat
terganjal (terjebak), yang kemudian terjadi keberanian semu (figh pseudo ini
dapat dilihat pada pemikiran Herman Kahn, Gronoboum, dan turunannya), Nurcholis
Madjid (1999), menyebut pseudo society (masyarakat semu). Derap langkah
masyarakat semu biasanya ditandai dengan penjungkirbalikan fakta-fakta
keluhuran sejarahnya sendiri alias ahistoris.<br /> <br />Sebagaimana kita pahami, masyarakat ahistoris selalu bergayut pada variabel
ketidakpastian terhadap keyakinan spiritualitasnya, terkadang memunculkan rasa
percaya diri yang berkelebihan. Dalam arti, sangat sensitif terhadap
nilai-nilai lain. Terkadang ia memberi gincu dan fatwa terhadap hal-hal yang
muskil, sehingga terkesan memaksakan. Yang kerap ditampilkan oleh masyarakat
semacam ini adalah terlalu mengidolakan leluhur walaupun leluhur itu menyimpang
dari nilai spiritual sekalipun, yang pada gilirannya menggeser setting sosial
dan mencerabut akar budayanya sendiri.<br /> <br />Sampai di sini muncullah apa yang disebut oleh Grounoboum, seorang
orientalis terkemuka, bahwa ruang lingkup komunitas ketimuran masyarakat Asia,
Afrika, dan Amerika Latin perlahan tapi pasti terpotong-potong oleh pergeseran
spiritualitasnya yang secara simultan pula mengamputasi kebudayaan. Pada titik
ini, etika, moralitas agama, dan tradisi telah benar-benar tenggelam dalam
lautan kapitalisme dan liberalisme yang dinakhodai (didayung) oleh binatang
human material tadi.<br /> <br />Kini spiritualitas dari Maroko sampai Merauke telah hanyut dalam siklus
wilayah “abu abu”. Bangsa-bangsa di Asia tidak mampu mengungguli dirinya di
antara satu sama lain, semisal China, India, dan beberapa negara di Amerika
Latin yang telah jauh meninggalkan bangsa Asia Timur Jauh. Dalam langgam dan
panggung realitas human material itu, Indonesia tergolek dalam pusaran
masyarakat global, bahkan hampir pasti berkutat di persimpangan jalan.<br /> <br />Kendati poros baru yang dibuka oleh G20, kenyataannya hanya politisasi
ekonomi yang semakin menguatkan oligopoli (di dunia Barat) di satu pihak dan
oligarki (di dunia Timur) di pihak lain. Itulah sebabnya, mimpi kita tentang
the return of religion (kebangkitan agama), bak agamawan yang ngelindur di
siang hari, tentu kita tidak rela melihat pukulan berat ini meski kita dipaksa
untuk rela. Barangkali, benar adanya ketika raja-raja Mataram klasik
menerjemahkan kualitas keagamaan lewat sofistikasi ornamen semacam stupa dan
candi. Di sinilah kidung keagamaan itu terlantunkan dalam masyarakat dan mereka
pun membangun spiritualitas dengan lirik moralitas. Bersamaan dengan itu pula
mampu menggaet seluruh nilai-nilai luhur yang ada.<br /> <br />Dalam bahasa yang lain, terampasnya spritualitas dalam genggaman human
material sesungguhnya telah kita duga jauh-jauh sebelumnya. Misalnya, kita bisa
belajar dari rentetan sejarah panjang Nusantara, mulai dari Sriwijaya,
Majapahit, dan Neo Mataram. Bahkan, era pergerakan, sebagaimana telah
disinggung di muka, merupakan ruas terpenting dari pokok akar permasalahan
spiritual itu. Kita memang tidak boleh menyalahkan hipokrisi partai-partai
(Islam, minus Masyumi) di era Bung Karno, terfusinya partai di era Soeharto dan
terkekehnya partai di era reformasi. Inilah zaman jagad raya yang tak jelas juntrungannya
antara mikrokosmos dan makrokosmos.<br /> <br />Anak-anak bangsa telah dijilat oleh panasnya api liberalisasi. Moralitas
ganda juga menjungkirbalikkan kekuatan spiritualitas yang ritual ansich. Lalu,
bagaimanakah kita memaknai Indonesia dalam siklus keberantakan moral semacam
ini? Sulit memang. Sulit karena kita berlabuh dalam dua kutub yang berbeda.
Kutub pertama, kita mendayung di antara dua karang (meminjam istilah Dawam
Raharjo). Sementara kutub kedua, kita berasyik masyuk dengan paham-paham yang
kosakatanya tidak bermakna.<br /> <br />Pada titik inilah agak sulit untuk kita mempersatukan antara Timur dan
Barat di tengah kebudayaan global yang akarnya human material. Satu-satunya
upaya yang harus kita antisipasi adalah mencari garis batas baru, yakni
bagaimana membangun keilmuan semesta (rakyat ditransformasikan semangat
pedagogis). Juga kalau mungkin, kepercayaan kita terhadap kebudayaan adalah
transformasi langsung untuk menghidupkan budi pekerti. Ini berarti rasionalitas
kita yang kini diremas habis oleh audio visual lewat budaya cangkem (sinetron
dan berbagai tetek bengek nyinyir lainnya) harus benar-benar dipenggal
keberadaannya.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Peneliti INCISS dan Staf Ahli MAHAR Foundation. <a href="http://sastra-indonesia.com/2010/02/terjerembap-dalam-budaya-human-material/">http://sastra-indonesia.com/2010/02/terjerembap-dalam-budaya-human-material/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-33927689427756308062021-08-14T03:06:00.005-07:002021-08-14T03:06:35.692-07:00Kota, Sejarah, NostalgiaSunlie Thomas Alexander *<br />jawapos.com<br /> <br />SETIAP kota tentu punya riwayat. Yang getir, penuh haru biru, heroik,
maupun samar seperti kabar angin sesayup sampai. Ketika melihat foto lama
sebuah kota, misalnya, tentu beragam ”perasaan” bisa hadir. Sebagian kita yang
memiliki ikatan emosional dengan kota tersebut bakal terbuai nostalgia:
kenangan manis, pun ingatan sedih. Namun, bagi yang tak punya tautan batin,
selembar potret masa silam mungkin saja tetap menggelitik.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Selalu ada daya puitis yang melambungkan imaji kita dari sepotong kesilaman
itu. Seolah kita diajak kembali menjenguk ruang yang tak lagi ada, atau
membesuk sebuah tempat lain yang pernah dikenal.<br /> <br />Hal itulah yang agaknya saya alami ketika membaca biodata Nio Joe Lan dalam
Sam Kok: Puncak-Puncak Kisah Tiga Negara (KPG, 2004). Yang mana dalam teks
”lahir pada 1904 di Paalmerah, Batavia, dan meninggal di Jakarta pada 1973”
itu, saya merasa menemukan sesuatu yang lucu sekaligus melankolis menggugah.
Ada semacam ketegangan mesra atau kemesraan yang tegang, tertangkap di sana.
Berkelindan di antara jejak masa lalu dan wajah hari ini, juga bayang-bayang
masa depan.<br /> <br />Tentu saja siapa pun mafhum, Batavia dan Jakarta adalah satu kota yang
sama. Tetapi, membaca biodata Nio Joe Lan, kita seolah sedang mendedah dua
kota. Seakan Batavia memang sebuah kota lain dan Jakarta adalah kota yang
berbeda pula. Padahal, antara dua nama tersebut, kita tahu, yang terbentang
hanya jarak kurun waktu. Sebuah perangkap sang kala.<br />***<br /> <br />DALAM sejarah, kota-kota memang kerap berganti nama. Konstantinopel jadi
Istanbul, Saigon jadi Ho Chi Minh City, St Peterburg menjelma Leningrad lalu
mengenakan lagi nama kunonya, Peking bertukar cara penulisan dalam aksara Latin
menjadi Beijing, dan Ujung Pandang dikembalikan jadi Makassar. Tapi, selalu ada
yang tertinggal. Jejak sejarah yang tak pernah jadi jenazah. ”Biarpun Paris
berubah, tapi tak setitik pun melankoliku pergi,” ungkap Baudelaire lewat salah
satu sajaknya dalam Les Fleurs du mal.<br /> <br />Di sini, saya pun terkenang pada Sitor Situmorang dalam sebaris puisinya
Paris-Janvier yang berbunyi ”Di udara dingin mengaum sejarah”. Sejarah jadi
sesuatu yang garang, bikin gentar seperti auman singa. Ia seperti terus-menerus
mengintai para penghuninya, para pendatang baru, atau sekadar seorang pelancong
yang singgah. Membuat para turis terpukau-takjub pada masa lampaunya yang
eksotis dan agung. Inilah wajah sebagian besar kota-kota di Eropa. Jejak
gedung-gedung tua; kastel, katedral, museum, juga patung, jalan dan jembatan
seolah berhasrat kekal. Kota-kota di Eropa memang memiliki sejarah begitu
hibuk, yang sepertinya tak lengang oleh waktu, tak malu bersanding mesra dengan
modernitas dan luwes menyongsong perkembangan.<br /> <br />Dalam hal ini, kita melihat bagaimana masa lalu diberi penghargaan tinggi
dan sejarah dianggap sesuatu yang bernilai. Bisa jadi karena kesilaman itu
dimaknai sebagai simbol kewibawaan sebuah kota, bahkan sebuah negara-bangsa.
Sejarah dipandang sebagai fondasi peradaban, hancurnya fondasi berarti
runtuhnya peradaban. Karena itu, gedung-gedung tua di Eropa -yang diberi
fasilitas modern dan berganti fungsi- harus tetap terjaga sebagai bagian dari
keagungan budaya, juga kejayaan politik-ekonomi. Orang-orang Prancis menjaga
lanskap sejarah Paris demikian rupa dengan mengembangkan kota supermodern di
tepi kota tua yang menjadi pusat mode dunia itu.<br /> <br />Tetapi, orang Jepang telah mengajari dunia, bagaimana sepotong kesedihan,
sebuah luka mendalam, tak melulu kejayaan, juga mesti dirawat. Monumen
Hiroshima sengaja dijadikan tugu peringatan kemanusiaan (tragedi). Pada puing
gedung menghitam yang dibiarkan tetap tegak itu, kita dapat melihat sebuah
Hiroshima yang lain. Hiroshima lama yang hangus oleh bom atom. Monumen itu
menjadi jejak kekalahan, mungkin juga jejak kesalahan Jepang dalam sejarah.<br /> <br />Sebagian kita -orang Indonesia- mungkin sebagian penduduk negeri dunia
ketiga, barangkali sulit memahami betapa sebuah jalan kecil di Eropa bisa tetap
terpelihara baik nyaris seperti berabad-abad silam. Atau, di sejumlah kota
negara Timur Tengah, masa lalu seakan lebih luhur dari masa kini yang muram.
Modernitas begitu tegang, terutama bagi kelompok-kelompok Islamis yang
frustrasi pada nasionalisme, kapitalisme, dan sosialisme sehingga merindukan
bangkitnya Khilafah Islamiyah.<br />***<br /> <br />SEBAGAI ruang kebudayaan yang dilahirkan melalui proses politik, kota-kota
modern seyogianya adalah konsekuensi logis dari kapitalisme yang ekspresif
secara sosial dan fisik, yang dihidupkan dengan kuasa modal. Jadwal ditetapkan,
rencana disusun dalam optimisme, serta usaha tanah dan bangunan terus
dikembangkan. Dengan begitu, ia pun menjadi semacam antitesis dari pedesaan,
konsentrasi publik yang dianggap lamban, asri, santun, dan bersahaja. Maka
dalam sajak Rendra Rick dari Corona, contohnya, kita menemukan wajah
megapolitan New York digambarkan ”keras dan angkuh, dingin dan teguh”. Gambaran
jahat, licik, brutal, ambisius, tamak, dan penuh kompetisi muncul sebagai
stereotip perkotaan.<br /> <br />Kota adalah mimpi kesuksesan dan dunia gemerlap. Di sini, modernitas pun
diwakili kehidupan kaum urban. Ditandai lanskap para pencari kerja yang setiap
tahun terus membanjiri kota-kota besar pusat perdagangan-industri. Dengan
demikian, kota menjadi identik dengan kepadatan dan hiruk pikuk. Sesuatu yang
jadi potret lumrah kota besar sejak awal abad ke-20, sebuah problem zaman
modern. Kota pun menjadi latar yang mencatat migrasi besar-besaran umat
manusia, kedatangan dan kepergian; ia menjadi sebuah stasiun transit dan ruang
peralihan sekaligus sebuah jendela yang terbuka pada segenap khazanah kebudayaan
dari ragam penjuru. Urbanitas adalah sebuah gaya kebudayaan baru dengan
persoalan paling kompleks, yang memformat dan diformat oleh kota yang
menghidupi dan dihidupinya.<br /> <br />Jika hari ini kita melihat wajah Jakarta yang semrawut, macet, dan berdebu,
yang selalu terendam banjir setiap musim hujan tiba sehingga para penduduknya
-kaum urban yang malang- mesti mengungsi, siapa yang salah atau harus
disalahkan?<br /> <br />Selama masa jabatannya 1966-1977, Gubernur DKI Ali Sadikin sudah berusaha
mengubah Jakarta jadi metropolitan baru. Di bawah kepempinannya, Jakarta
mengalami banyak perubahan dengan proyek-proyek pembangunan seperti Taman
Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan, Proyek Senen, Taman Impian Jaya Ancol,
Taman Ria Monas, Taman Ria Remaja, Kota Satelit Pluit, dan sebagainya. Seiring
itu, berbagai aspek budaya Betawi kembali dihidupkan. Bang Ali juga
menyelenggarakan PRJ (Pekan Raya Jakarta) sebagai sarana hiburan dan promosi
dagang industri barang-jasa. Dia memperbaiki sarana transportasi di Jakarta
dengan mendatangkan banyak bus kota dan menata trayeknya, serta membangun
halte. Sebuah kota modern yang nyaman jadi impian Bang Ali. Meskipun,
kebijakannya itu begitu kontroversial karena menggunakan pajak dari hiburan
malam, lokalisasi pelacuran, dan judi untuk biaya pembangunan.<br /> <br />Dalam sejarah Eropa, Roma dalam mimpi Lucius Nero adalah sebuah dunia yang
lebih baik, sebuah tatanan baru yang teratur, rapi, dan damai. Ketika merasa
gagal mengatur segala kebrengsekan kota itu, dia pun mengambil sebuah langkah
spektakuler yang mengerikan, sesuatu yang tak masuk akal yang tercatat dalam
lembaran hitam sejarah. Dia membakar pusat dunia itu demi kota impiannya!<br /> <br />Namun toh, sebagaimana ujar-ujar termashyur, ”Roma tidaklah (mungkin)
didirikan dalam waktu semalam”, riwayat kota-kota umumnya tumbuh dari sejarah
panjang yang tak terlepas dari peranan warganya. Kendati sejarah sebuah kota
bisa berawal dari apa saja: tempat persinggahan, daerah pelarian, kawasan
pertambangan, tempat peristirahatan kereta, bandar, serta pasar. Juga, tak
terlepas dari perang, penaklukan, intrik politik, dan hijrah.<br /> <br />Dari film Gangs of New York (ber-setting tahun 1863) sebagai contoh, kita
tahu bahwa megapolitan yang dijuluki iThe Big Applei itu dibesarkan oleh para
gangster brutal. Sebuah sejarah kelam pasca pemburuan emas Amerika yang sarat
rasisme dan perseteruan antargeng, juga sejarah imigrasi Irlandia di tengah
perjuangan penghapusan perbudakan oleh Abraham Lincoln.<br /> <br />Tetapi, pada abad ke-20; di atas rawa-rawa, bekas persawahan, atau rimba
belantara, ada banyak kota yang berdiri sekejap tanpa hiruk pikuk masa silam di
dunia ketiga, layaknya disulap. Dalam novel One Hundred Year of Solitude karya
Gabriel Garcia Marquez, kita melihat bagaimana sebuah kota didirikan di
pinggiran rawa. Semuanya seolah belum bernama, sampai modernitas (ala Eropa)
datang menyapa lewat simbol es batu yang dibawa orang-orang gipsi, disusul
pastor, politikus, dan tentara. Gereja, kantor pemerintahan, kantor pos, barak
pun dibangun. Tetapi, semua ketertiban itu agaknya diragukan apakah memang
dibutuhkan oleh penduduk kota baru Macondo. Sebab, di satu sisi justru membuat
ketenteraman Macondo mulai terguncang. Sebagai karya sastra postkolonial, tentu
kita mafhum, Seratus Tahun Kesunyian merupakan reaksi Amerika Latin atas Dunia
Barat Modern.<br /> <br />Sebuah kota memang tak sekadar peta: tapal batas atau urusan administratif,
tata arsitektur dan siasat interior. Cerita kota adalah cerita mobilitas
manusia, cerita pertumbuhan. Di ruang plural itulah, interaksi manusia
berlangsung demikian intens; yang privat dan yang publik mesti terus-menerus
bersitegang. Ia menjadi wajah peradaban, harapan akan kemajuan dan masa depan.
Atau dengan kata lain: ekspresi modernitas. Di sini, ia menjadi wilayah yang
tak pernah selesai, selalu ramai dalam proses dialektika.<br /> <br />Tetapi di kota-kota negeri ini, apakah memang ada yang keliru dengan
sejarah?<br /> <br />Bayangkanlah Jogjakarta sepuluh tahun ke depan. Jika hari ini saja, kita
melihat bagaimana tata kotanya tak pernah siap menghadapi pertumbuhan. Jalanan
mulai kerap macet oleh kendaraan bermotor sehingga kenyamanannya sebagai kota
sepeda pun perlahan tergusur. Bagaimana Jakarta sepuluh tahun lagi jika
penggunaan sumur bor dan pengendalian sampah tak pernah ditangani secara bijak,
jika busway yang dimaksudkan untuk mengatasi kepadatan justru mendapat cacian
dari sopir taksi dan bus umun karena dianggap merampas jalur mereka.<br /> <br />Ah, entahlah. Saya hanya tiba-tiba teringat pada kesan Hemingway tentang
Paris yang begitu mendalam dalam memoarnya “Moveable Feast”: If you are lucky
enough to have lived in Paris as a young man, then wherever you go for the rest
of your life, it stays with you, for Paris is a moveable feast.<br /> <br />Mari kita bernostalgia!<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Cerpenis; periset Parikesit Institute, Jogjakarta. <a href="http://sastra-indonesia.com/2009/12/kota-sejarah-nostalgia/">http://sastra-indonesia.com/2009/12/kota-sejarah-nostalgia/</a></span></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5096391828308788506.post-56779306262586034472021-08-13T17:19:00.001-07:002021-08-13T17:19:10.731-07:00Membaca Dareen Tatour dan Saut Situmorang<b>: Karya Sastra Apa yang Tidak
Politis?!</b><br /> <br />Muhammad Yasir<br /> <br />Bukankah ketika Hugo Chavez mengatakan kekagumannya terhadap Eduardo
Galeano kepada wartawan bahwa “The Open Veins of Latin America adalah monumen
dalam sejarah Amerika Latin kita. Buku ini memungkinkan kita untuk belajar
sejarah, dan kita harus membangun sejarah ini!" menunjukkan bahwa karya
Eduardo Galeano yang satu ini adalah politis untuk kepentingan peradaban
Amerika Latin itu?! Bukankah buku yang diterbitkan pada tahun 1971 dan telah
terjual lebih dari satu juta kopi di seluruh dunia, meskipun dilarang pada
tahun 1970-an oleh pemerintah militer di Chili, Argentina, dan Uruguay <span><a name='more'></a></span>itu
semestinya membelalak sepasang mata kita tentang bagaimana brutalitas Rezim
Soeharto terhadap karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang politis?! Kemudian
bagaimana kita akan mencapai kesadaran bahwa karya Sastra adalah politis? Maka,
sudah semestinya kita berhenti melahirkan, membaca, dan mencoba mengikuti
karya-karya yang menghibur dan berkompromi terhadap penindasan yang terjadi di
Negara Dunia Ketiga ini! Tidak bisa tidak. Karya Sastra merupakan salah satu
kunci terbentuknya suatu peradaban. Dengan karya Sastra, orang-orang bisa
mengetahui kehidupan sebelum kita. Dengan karya Sastra, orang-orang memiliki
waktu untuk menciptakan dunia mereka. Dengan karya Sastra pula, orang-orang
dapat menyimpulkan romantisme kolonial dan native orientalis. Bukan begitu?<br /> <br />Juga diperlukan bagi kita untuk membangun sejarah abad 21 ini dengan karya
Sastra yang politis dan menolak tunduk terhadap kekuasaan rezim yang bahkan
telah berani-beraninya mengatur tata bahasa dan gaya bicara kita sebagai warga
negara dengan Undang-Undang fasis Informasi Teknologi Elektronik (ITE). Jadi,
apa sebenarnya karya Sastra yang politis itu? Dan, bagaimana kita mampu
menciptakannya? Sastra yang politis adalah karya Sastra yang memiliki
nilai-nilai kritik (bukan pesan moral atau oral atau onani) terhadap kekerasan
kekuasaan yang menyebabkan penindasan menciptakan dunia baru, dunia yang
diinginkan kapitalisme dan imperialisme, dunia yang membuat kita tertindas
sedemikian rupa, bahkan kehilangan identitas individual manusia dan terjerembab
dalam kesedihan pesakitan yang panjang dan sukar dilawan. Untuk menciptakan
karya Sastra yang politis, kita harus meletakan tiga pertanyaan ini sebagai
dasar. Pertama, apa yang kita tulis? Bagaimana kita menuliskannya? Kemudian,
untuk siapa? Jika ada yang mengatakan kepadamu, jika engkau ingin menulis tulis
saja tanpa menyertakan tiga pertanyaan itu, maka engkau harus berhati-hati.
Pembodohan seperti ini telah menjadi pemakluman di kalangan penulis yang
kukenal. Dan, di mana juga kita hidup, pembodohan akan selalu berakhir pada
kehancuran, seperti pemilu.<br /> <br />Apakah ketika aku menulis karya Sastra tentang cintaku terhadap Istriku
tidak termasuk dalam karya Sastra yang politis? Bahkan, cinta sekali pun adalah
politis. Ketika aku mencintai Istriku, bukankah aku telah menggunakan kuasaku
sebagai lelaki terhadap perempuan untuk “memilikinya” dan membangun keluarga
bersamanya? Aku tidak naif untuk ini. Ketika kami bersepakat untuk menikah,
sesungguhnya kami telah membawa diri sendiri persoalan kehidupan yang lebih
kompleks dan lebih politis. Kami bercinta dalam keadaan miskin. Istriku hamil
ketika aku tidak memiliki pekerjaan, selain sebagai penulis dan penyair muda
yang malang dan berdiaspora ke Surabaya. Kelahiran anak pertamaku tercampuri
tangan orang lain, keluarga besar Istriku, yang membantu membayar biaya
persalinan. Secara tersirat, aku dan Istriku telah membawa anak kami ke dalam
jalan panjang penderitaan, karena cinta kami. Bukankah ini kejahatan yang
politis dan terorganisir, karena cinta kami? Jadi, apakah karya Sastra yang
menghibur tidak politis? Tentu saja politis! Tetapi, klimaks dari Sastra yang
menghibur membuat kita terpisah dari persoalan kehidupan orang kebanyakan;
ruang hidup yang dirampas, hak-hak yang dipenjarakan, kebengisan kekuasaan seorang
presiden, dan bayang-bayang pembantaian massal tanpa senjata!<br /> <br />Aku tidak kenal W.S. Rendra. Aku tidak kenal Wiji Thukul. Bahwa mengenal
mereka melalui karya-karyanya, itu persoalan lain yang tidak emosional. Tapi
aku mengenal Dareen Tatour, teman korespondensiku dari Palestina. Kami
berkorespondensi pada tahun 2018, hingga sekarang masih saling berbicara lewat
Whatsapp. Dareen Tatour ditangkap pada 2015 lalu terkait dengan tiga pesannya,
termasuk video yang memperlihatkan dia membaca salah satu puisinya Resist, My
People, Resist Them (Lawan, Rakyatku, Lawan Mereka) dengan latar belakang
gambar rekaman pengunjuk rasa. Tetapi dia bersikukuh puisinya telah
disalahpahami dan sama sekali tidak berniat untuk menyerukan tindakan
kekerasan. Tatour, yang telah divonis bersalah oleh pengadilan Israel pada Mei
lalu, dihukum penjara selama lima bulan. Wartawan BBC di Yerusalem, Yolande
Knell mengatakan, kasus yang menimpa penyair berusia 36 tahun ini menjadikan
isu kebebasan berbicara di Israel menjadi perhatian kembali. Dalam dakwaannya,
pengadilan Israel menyatakan puisi-puisi yang ditulis Tatour di media sosial
menyebabkan terjadinya gelombang aksi penikaman, penembakan, dan penabrakan
atas warga Israel.<br /> <br />"Saya sudah menduga bakal dibui dan itulah kenyataannya. Saya tidak
mengharapkan keadilan. Tuntutan ini jelas bersifat politik karena saya orang
Palestina, karena ini tentang kebebasan berbicara dan saya dipenjara karena
saya orang Palestina," kata Tatour kepada surat kabar Israel, Haaretz.<br /> <br />Setahun setelah penangkapan Dareen Tatour, giliran Guruku yang ditangkap,
ditelanjangi, dan dihabisi. Sastrawan Saut Situmorang divonis hukuman percobaan
lima bulan penjara. Vonis ini dibacakan hakim pengadilan negeri Jakarta Timur,
yang menyidangkan Saut atas kasus pencemaran nama baik lewat media sosial,
Facebook. Dia termasuk salah satu penyair yang protes. Dalam tulisan di akun
Facebook-nya, Saut “memaki” Fatin Hamama, salah seorang yang disebut terlibat
dalam penerbitan buku Pembodohan Sejarah Sastra Kita yang ditulis oleh elite
politik Denny JA. Fatin lantas melaporkan Saut ke Polres Jakarta Timur dengan
tuduhan pencemaran nama baik, akhir 2014 lalu. Sejak awal, aku mengikuti
perjuangan dan perlawanan Saut dan kawan-kawan, serta kolektif Seni dan Sastra
yang juga memiliki visi yang sama, menolak tunduk terhadap kekuasaan. Meskipun
kalah, pernahkah kita melihat Saut Situmorang berhenti mengkritik dekadensi
struktural Negara Dunia Ketiga ini melewati karya Sastranya yang politis? Jika
engkau tidak melihat itu, maka orang sepertimu sama saja dengan para medioker
dan parasite yang hidup dalam Sastra Kita dan menikmati keuntungannya seorang
diri!<br /> <br />"Indonesia adalah mimpi, di mana aku tidak perlu lagi bermimpi seperti
ini!" tegas, Saut.<br /> <br /><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">Surabaya, 2021 <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/karya-sastra-apa-yang-tidak-politis/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/karya-sastra-apa-yang-tidak-politis/</a>
<a href="https://pustakapujangga.com/2021/08/membaca-dareen-tatour-dan-saut-situmorang/">https://pustakapujangga.com/2021/08/membaca-dareen-tatour-dan-saut-situmorang/</a></span>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/08895664761223807938noreply@blogger.com0