Selasa, 08 September 2020

Percakapan Dengan Elliot

Amien Kamil *

“Ia telah menjadi mummi!”

Entah apa yang ada di pikiran Isa
hingga menjadikan dirinya layak dikenang bagai Fir’aun.
Kabarnya sebelum singgah hadir ke dunia dan diberi nama “Elliot”,
ia migrasi lewat kiriman paket patung bouroq
seorang teman dari pulau dewata
Wujudnya berupa beberapa butir telur cicak yang tersembunyi
pada sambungan bagian sayap, lantas menetas
saat bulu-bulu angsa luruh beterbangan dari angkasa
saat musim dingin menyelimuti kota Berlin

Entah ada proses evolusi yang terjadi atau tekanan udara
dalam lambung burung besi yang memboyongnya, sebabkan
embrio itu matang lantas menetas hingga akhirnya menghirup
udara jauh dari tanah airnya. Ia hidup langsung yatim-piatu
Embrio lainnya juga menetas namun kawanan bayi cicak itu
langsung mati. Bagi Isa, Kehadirannya menjadi kabut misteri
dan rejeki yang harus disyukuri. Paling tidak, ia punya hewan
piaraan sekaligus teman yang menemaninya kala kesepian

Pikiran Isa menerawang ke negerinya yang jauh di seberang
Ia ingat teman-temannya; ada yang punya hewan piaraan Iguana
bernama Zillo, punya Anggora bernama Betsy atau mengadopsi
Rottweiler bernama Aria atau juga bagai sahabat penanya
yang memiliki Chihuahua bernama Mei Hwa

Malam itu, wajah Isa bercahaya bagai saksikan keajaiban semesta.
Disentuhnya reptil itu, dibaringkan pada kardus sepatu beralas
beludru. Penuh perhatian dan kasih sayang, disuapinya cicak
mungil itu dengan cairan susu dan remah roti yang telah dihaluskan

Isa tinggal sendiri di lantai 5, flat sederhana milik seorang Rusia
di kawasan Kreuzberg, dimana bermukim para imigran Turki
dan Polandia. Ia selalu berusaha kerja apa saja, menabung recehan
koin yang didapat untuk bayar kontrakan kontan tiap bulan
Walau kadang ia masih dapat kiriman uang
dari ayahnya di kampung halaman

Sebelumnya, hampir tiap minggu ia menenteng kopor
loncat kemana saja, kadang tinggal di bekas gudang atau
berbagi ruang dengan tuna wisma atau serdadu punk
di reruntuhan gedung yang ditinggal penghuni saat kota itu
masih terbelah. Ia punya beberapa teman dari negerinya namun
enggan tuk menumpang. Ia tahu, mereka masih berjuang dan
kebanyakan selalu tiarap, penuh alasan untuk buang badan

Temannya bilang, “Hidup itu hanya sekedar permainan kalkulasi
untung rugi antara kecerdikan juga kelicikan”. Tapi Isa bilang,
“Sobat, jadikan pengalaman sebagai pelajaran. Kita akan menyadari
hidup itu penuh keindahan; desir angin, rintik hujan, pelangi juga
wajah bayi juga bisa melahirkan kesadaran. Nikmati hidupmu
jaga nurani dan berjuanglah mengejar mimpi-mimpi.”

Sejak itu, Isa melesat bagai kilat. Mengisi hari dari malam hingga pagi
dengan bernyanyi dan bekerja tanpa surat resmi
bermain kucing-kucingan dengan petugas sebagai pekerja gelap
kadang jadi doorman di sebuah restoran cepat saji
asisten koki di restoran Italy atau cleaning service di sebuah galeri

Absurd!
Ada banyak persoalan yang kita tak tahu
Perkara rejeki hidup, mati, perpisahan dan pertemuan kami pun
terjadi secara kebetulan. Sejak itu kami berteman, kadang kami
temu janji di Café Zapata, ngobrol ngalor ngidul soal Indonesia
sambil menghirup Mai-thai dan menghisap ganja
O, ternyata ia juga meredam rindu pada tanah kelahirannya;
Surabaya!

Suatu ketika, sebelumnya kupikir ia bercanda hingga akhirnya
aku terpesona. Saat ia bilang berteman dengan seekor cicak.
Mulutku menganga menyimak cerita tentang kesulitannya
mencari serangga dan bagai Profesor Calculus eksperimen
di laboratorium, ia beri reptil piaraannya yougurt atau vitamin E
lantas dengan kaca pembesar diteliti reaksi yang terjadi
Peristiwa itu telah terjadi saat cicak itu masih bayi
hingga kalender memasuki musim semi

“Guten Morgen, Elliot!”

Setiap pagi sehabis mandi, ia mematut diri di cermin
menjerang air, mengaduk kopi, mengunyah omelet serta roti
lapis mentega. Setelah merapikan seprai di ranjang, Isa senantiasa
menengok reptil sahabatnya serta melakukan ritus rutin
demi kelangsungan hidup Elliot

Isa tak tahu silsilah keluarga Elliot
Memang sungguh beda dengan Den Sastro Djoko Damono,
carik desa di kampungnya yang memelihara “Kyai Cindil”
perkutut katuranggan berharga jutaan dan sangat percaya bahwa
burung kesayangannya itu keturunan perkutut Songgo Ratu;
reinkarnasi putra Raja Bali jaman Majapahit yang dikejar musuh
dan mati di Banyuwangi

O, Harum seberbak wangi bunga 7 warna
Purnama menyembul dari balik kaca jendela. Kilaunya menerobos
flat kontrakan lantai 5 menerangi paras Isa yang lelap berbalut
selimut batik ibunya, Entah dari mana sumbernya
terdengar suara tapi tiada rupa

“Cinta kasih itu bagai bunga yang bersemai di hatimu
Pabila kau sirami, kelopaknya kan mekar dan aromanya
menyebar pada ragamu.” Suara itu bergema, gaungnya
masih tersisa membekas pada udara. “Cinta kasih itu akan
menerangi hati dan ketulusannya akan menyelubungi jiwa
dengan aura surga.”

Isa merasa seluruh cakra dalam dirinya terbuka
seakan dapat cahaya surga. Isa terpesona, “Astaga!.”
Isa terkejut sampai digaruknya kepala berkali-kali dan ia tak percaya
apa yang dilihatnya saat tahu bahwa cicak piaraannya yang bicara
Lantas perbincangan mereka mengalir lancar hingga menjelang fajar
Namun Isa pun tak tahu, kejadian itu kenyataan atau hanya impian
atau rekaan pikiran yang muncul secara kebetulan
dan terjadi di luar kesadaran

Sejak peristiwa itu Elliot menghilang. Hari-hari Isa terasa hampa
Seakan lagu pilu senantiasa berkumandang dalam jiwanya
Beberapa hari kemudian, saat ketemu di malam Sabtu
Isa kisah kan semua itu padaku. Aku menarik nafas panjang,
me reka kata mencari cara menenangkan dirinya.
“Tak usah galau. Biar semua terjadi dan tak usah disesali.”
Kami beradu pandang, kulihat mendung di bola matanya.
“Bukan tak mungkin, Ia mokhsa!”
Ujarku sambil tertawa

Bukan alarm, tapi teriakan parau Tom Waits yang jadi nada
panggil telpon genggam bangunkan aku dari mimpi di Minggu pagi
Dengan tersedu, Isa kabarkan berita duka cita ; Elliot telah mati
dalam usia 8 bulan 11 hari. Sebab musababnya tak kutanya
Mungkin saja tergencet buku atau terperangkap dalam teko
Mungkin saja ....

Esok harinya, aku kunjungi rumahnya
Kusaksikan Elliot telah dibalsem jadi mummy
dalam bingkai kaca tertempel pada dinding kamar
di hadapannya terjuntai menggantung dari langit-langit
Bouroq terbang di udara. Saat itu Elliot
dengan menunggang kuda terbang mungkin telah ada
di langit ketiga atau kelima dan bisa jadi
telah ada di surga

“Kematian itu hanyalah tidur panjang dan bukan akhir
kehidupan melainkan kelanjutannya. Melewati kematian
kita menyadari indahnya kehidupan, manisnya persahabatan.”

2011

AmienKamil, lahir di Jakarta 1963. Tahun 1983, sempat belajar di Sinematografi Institut Kesenian Jakarta. Tahun 1986-1996, bergabung dengan Bengkel Teater Rendra, terlibat dalam beberapa pementasan di kota-kota besar di Indonesia. Tahun 1988, ikut serta dalam “The First New York International Festival Of The Arts”, sempat juga mengikuti workshop di “Bread & Puppets Theatre” di Vermont, USA. Tahun 1990, pentas di Tokyo & Hiroshima, Japan. Tahun 1999, Tour Musik Iwan Fals di Seoul, Korea. Lighting Design untuk konser musik Iwan Fals hingga tahun 2002, pentas di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Tahun 2003-2005, kolaborasi dengan penyair Jerman Brigitte Oleschinski. Pentas multimedia di Berlin, Koln, Bremen dan Hamburg. Selain itu juga memberikan workshop teater di Universitas Hamburg, Leipzig dan Passau. Mengikuti International Literature Festival “Letras Del Mundo” di Tamaulipas-Tampico, Mexico.

Tahun 2006, Sutradara “Out Of The Sea”, Slavomir Mrozek, Republic of Performing Arts, Teater Utan kayu, Jakarta. Tahun 2007, Antologi puisi “Tamsil Tubuh Terbelah” terbit dan masuk dalam 10 besar buku puisi terbaik Khatulistiwa Literary Award 2007. Tahun 2008, Poetry Performing “Tamsil Tubuh terbelah”, kolaborasi dengan Iwan Fals, Oppie Andaresta, Irawan Karseno, Toto Tewel, Njagong Percusion, Republic of Performing Arts, di Teater Studio, Taman Ismail Marzuki. Tahun 2009, Pameran lukisan & Instalasi “World Without Word” di Newseum Café. Tahun 2010, Sutradara Performing Arts “Elemental”, kolaborasi dengan pelukis mancanegara, Jakarta International School. Tahun 2011, Sutradara “Sie Djin Koei”, Republic of Performing Arts, Mall Ciputra, Jakarta. Di bulan April, Sutradara & Perancang Topeng “Macbeth”, William Shakespeare, Produksi Road Teater, Gedung Kesenian Jakarta. Mei-Juni, Kunjungan Budaya ke Denmark, Germany dan Norway. Juli, Mengikuti “ International Culture Dance Festival 2011” Sidi Bel Abbes, Algier, North Africa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons