Selasa, 04 Mei 2021

SERATUS TAHUN KESUNYIAN: TRAGEDI DAN IRONI YANG DIULANG-ULANG

Novel Seratus Tahun Kesunyian, Gabriel García Márquez
 
A.S. Laksana *
 
“Dengan cara membesar-besarkan setiap kejadian, hingga mencapai tingkat takhyul,
kita bisa menikmati tragedi dengan rileks dan menertawainya sekaligus.”
 
“Bertahun-tahun nanti, saat ia menghadapi regu tembak, Kolonel Aureliano Buendía akan teringat senja yang samar ketika ayahnya membawanya menemukan es.” Kalimat pembuka ini melontarkan kita ke masa depan yang jauh, yang akan kita temui nanti di bagian tengah novel. Dan kalimat kedua setelah itu langsung membawa kita masuk ke awal mula Macondo, di masa ketika “dunia seperti baru saja dibentuk”. Dan seterusnya, cerita akan berjalan maju, seperti sebuah kronologi, dengan sesekali jeda ke masa lalu atau ke masa depan.
Ini adalah cerita tentang keluarga Buendia, pendiri kota fiksional Macondo, atau mungkin sejarah “versi Marquez” tentang Amerika Latin.
 
Ursula, perempuan yang menempati posisi sentral dalam cerita ini, yang hidup sampai mencapai usia 115 tahun dan menjadi saksi segala yang terjadi di Macondo dan apa yang berlangsung di tengah keluarganya, adalah seorang perempuan yang dihantui oleh rasa cemas bahwa perkawinan incest-nya dengan Jose Arcadio akan membawa kutukan: ia selalu cemas melahirkan anak-anak yang memiliki ekor babi. Karena itu ia menolak bersetubuh dengan suaminya. Sampai kemudian Prudencio Aguilar meragukan kejantanan Jose Arcadio, yang membawa akibat pada dua hal: Jose Arcadio memaksa bercinta dengan istrinya sekalipun Ursula Iguaran terus menolak dan Arcadio kemudian membunuh Prudencio Aguilar. Prudencio yang sudah mati itu terus bertandang ke rumah mereka sehingga Arcadio dan istrinya meninggalkan kota tempat tinggal mereka dan membuka daerah baru yang kemudian kita kenal dengan nama Macondo, sebuah kota yang masih muda, para penghuninya berusia di bawah 30 tahun dan belum pernah ada yang mati sebelumnya.
 
Kota yang dihuni oleh 300 orang ini terasing sama sekali dari dunia luar. Arcadio pernah membawa rombongan untuk menempuh perjalanan membuka hubungan dengan dunia luar, tetapi gagal. Hanya rombongan sirkus gipsi yang datang ke Macondo pada setiap bulan Maret, memainkan berbagai atraksi dan membawa ilmu pengetahuan ke penduduk setempat. Yang berhasil membuka jalan itu adalah Ursula, yang melakukan pengembaraan untuk mencari Jose Arcadio, anaknya yang pergi bersama rombongan gipsi, dan pulang lagi dengan kegagalan. Ia tidak menemukan anaknya tetapi ia menemukan rute ke kota lain, yang menghubungkan Macondo dengan dunia luar. Setelah itu, orang-orang luar mulai berdatangan ke Macondo, termasuk Don Apolinar Moscote, seorang hakim yang menjadi utusan pemerintah. Aureliano jatuh cinta kepada Remedios, putri Don Apolinar.
 
Kejadian-kejadian yang mengagumkan diceritakan dengan sangat enteng oleh penulisnya, yang ia tiru dari neneknya yang menceritakan segala takhyul dengan paras muka yang biasa-biasa saja. Sang nenek ini adalah inspirasi bagi Marquez. Dan dalam pencariannya, ia kemudian berpikir bahwa ia harus bercerita seperti neneknya bercerita. Para pengamat memberi nama bagi gaya berceritanya sebagai “realisme magis”, tetapi bagi Marquez, ceritanya adalah realisme semata—ia tidak pernah menyebut ceritanya realisme magis. Ini sekali lagi berangkat dari neneknya. Segala takhyul yang disampaikan oleh neneknya ke dia, semasa dia kecil, adalah kenyataan. Ia selalu menganggap apa yang diceritakan oleh neneknya, cerita-cerita yang menakutkan, bukan sebagai sesuatu yang mengada-ada atau sekadar dimaksudkan untuk menakut-nakuti kanak-kanak. Dan kemudian ia menuturkan hal-hal yang fantastis kepada kita dengan keentengan seseorang yang menceritakan kejadian sehari-hari.
 
Kita bisa menjumpai di dalam cerita ini Jose Arcadio menyesap kadal dan makan telur laba-laba, tentang perempuan yang dikutuk menjadi laba-laba, dan tentang setumpuk keganjilan lainnya. Kita disuguhi tentang hujan yang tidak berhenti selama empat tahun sebelas bulan dan dua hari. Juga kota yang diserang wabah insomnia dan amnesia, semua orang kehilangan ingatan, sehingga mereka lupa cara berbahasa. Benda-benda tidak disebut dengan nama, tetapi ditunjuk. Lalu datanglah Melquiades, kepala rombongan gipsi, yang sudah mati pada bab sebelumnya, dan muncul lagi hanya karena merasa bosan, dan kota diselamatkan oleh sang gipsi ini.
 
Juga kita diajak memasuki kenaifan-kenaifan yang memikat: bagaimana Aureliano terpukau ketika pertama kali melihat es yang dibawa dalam kotak “yang bernafas” oleh kaum gipsi. Betapa terpukaunya Jose Arcadio ketika Melquiades datang lagi dan sudah kelihatan tua sekali dengan gigi yang habis. Tetapi ia menjadi muda lagi setelah ia mengenakan gigi palsunya. Arcadio menyimpulkan bahwa Melquiades, si orang hebat, bisa menjadi tua dan muda sekehendak dia.
 
Kejutan-kejutan, dan ironi, dimunculkan dari waktu ke waktu. Dalam masa-masa mabuk cinta dengan Pilar Ternera, perempuan yang suara ketawanya membuat burung-burung terbang ketakutan, misalnya, Jose Arcadio terus kelihatan mengantuk. Aureliano, yang selalu menunggui kakaknya dengan harap-harap cemas sampai fajar, juga kelihatan selalu bingung dan mengantuk.
 
“Anak-anak itu sudah gila,” kata Ursula Iguaran, “mungkin mereka cacingan.” Lalu ia membuatkan obat cacing dari biji-bijian yang ditumbuk dan setelah itu Jose Arcadio mempertunjukkan kepada orang-orang cacing yang keluar ketika ia buang air. Ini sekaligus untuk menutupi skandalnya dengan Pilar Ternera dan membenarkan dugaan ibunya tentang penampilannya yang terus mengantuk dan bingung. Begitu juga penampilan Aureliano yang menunggui kakaknya sampai pagi, dengan pikiran cemas akan akibat dari percintaan kakaknya dengan Pilar Ternera.
 
Ini strategi yang jitu dan sangat tepat. Marques menjangkau hal-hal yang tragis, yang tidak bisa diceritakan dengan cara lain kecuali seperti itu, dan menyuguhkannya kepada kita dengan enteng sekali, tanpa banyak memberi komentar, dan seolah-olah melepaskan begitu saja segala rangkaian keganjilan dan ironi itu. Dengan cara membesar-besarkan setiap kejadian, hingga mencapai tingkat takhyul, kita bisa menikmati tragedi dengan rileks dan menertawainya sekaligus. Dan kita tidak dibuat sesak oleh riwayat orang-orang yang sebetulnya penuh kemalangan dan dikutuk dalam kurun waktu seratus tahun.
 
Bagian tengah buku ini melukiskan perang saudara yang berlarut-larut. Setelah perkawinan yang berumur pendek antara Aureliano dan Remedios, putri Don Apolinar, yang mati ketika mengandung, Aureliano Buendia menjadi seorang Kolonel dan berperang di pihak Liberal. Ia mengobarkan 32 peperangan dan kalah dalam semua pertempuran. Tetapi ia selamat dalam seluruh upaya pembunuhan dan tidak mati juga dalam satu upaya bunuh diri. Dari sinilah kita dibawa kembali ke kalimat pembuka novel ini, ketika kolonel menghadapi regu tembak, tetapi ia tidak mati.
 
Ketika perang berakhir, Kolonel Aureliano menarik diri dan menjalani hidupnya dengan membuat ikan-ikan kecil dari emas, yang dijual dan dari ikan-ikan itu ia mendapatkan sejumlah koin emas. Koin-koin yang dilebur lagi untuk dibikin lagi ikan-ikan emas. Adegan ini mengingatkan saya pada cerita dari kitab Alquran tentang perempuan yang menghabiskan waktunya dengan kesia-siaan menunggu seorang lelaki yang datang melamar dirinya. Perempuan itu terus merajut dan selalu membongkar lagi rajutan itu setelah jadi, begitu terus-menerus. Kesunyian makin meningkat, dan sang kolonel dihanyutkan oleh nostalgia dan ingatan-ingatan masa lalu dan ia meninggal pada suatu hari ketika sekali lagi mengingat peristiwa di senja hari ketika ayahnya mengajaknya pertama kali melihat es.
 
Kemudian datang orang-orang Amerika dari perusahaan pisang. Pemogokan dilakukan oleh para buruh yang memprotes kesejahteraan mereka terhadap perusahaan tersebut. Dan tiga ribu orang dibantai oleh tentara. José Arcadio Segundo menyaksikan pembantaian itu, tetapi tidak ada satu orang lain pun selain dia yang tahu bahwa itu terjadi. Tidak seorang pun mempunyai ingatan tentang kejadian itu, dan tidak ada satu pun yang akan mempercayai ceritanya. Dan pemerintah memberi pernyataan: “Tidak ada yang mati, para buruh pulang ke rumah dengan perasaan puas, dan perusahaan pisang ditutup sampai hujan reda.”
 
Tetapi, hujan itu tidak pernah berhenti sampai empat tahun, sebelas bulan dan dua hari.
 
Begitulah, Seratus Tahun Kesunyian adalah sebuah cerita yang sangat panjang, yang “panjangnya seratus tahun,” kata Borges. Seolah-olah ia adalah sejarah kota Macondo, dan riwayat turun-temurun keluarga pendiri kota tersebut, tetapi cerita ini mengandung tema yang sangat luas yang tampaknya mencakup sejarah Amerika Latin, dengan basis sosialnya yang karut marut. Saya kira nyaris tidak mungkin meringkaskan novel ini dalam sebuah sinopsis.
 
Ada banyak karakter dalam novel ini yang masing-masing memiliki kisah sendiri, tetapi sekaligus membangun jalinan cerita yang utuh. Ada banyak belokan dalam cara bertutur Marques, dan ada banyak kejutan.
 
Teknik Penceritaan dan Strategi Literer Marquez
Lompatan Maju dan Mundur Bersamaan
 
Dalam satu kalimat, yang digunakan oleh Marquez untuk membuka novelnya, kita dibawa ke masa depan yang dramatis, sang kolonel menghadapi regu tembak, dan sekaligus diceburkan ke masa lalu, di awal penciptaan Macondo, dengan pemandangan “telur-telur prasejarah”, masa yang sangat purba. Begitulah, sejak awal kita dipersiapkan oleh penulisnya untuk melompat ke masa depan dan kembali ke masa lalu dalam waktu yang bersamaan. Dan ketika kita tiba di bagian awal, beberapa bab kemudian, di mana sang kolonel menghadapi regu tembak, ia ternyata tidak mati karena diselamatkan oleh saudaranya. Ini seperti sebuah antiklimaks, atau kecerdikan Marquez untuk mengelirukan dugaan kita, dan ia menyuguhi lagi kita dengan alat utama dia, flash-forward yang lain dan kita dibawa masuk ke detail-detail pribadi klan Buendia.
 
Repetisi
 
Teknik penting lain yang diperagakan oleh Marquez dalam novel ini adalah repetisi. Peristiwa-peristiwa yang sama terjadi berulang-ulang. Demikian juga penggunaan nama. Saya kira, inilah bagian tersulit dari novel Solitude: pemakaian nama-nama yang berulang dari generasi ke generasi keluarga Buendia. Ada banyak Arcadio dan Aureliano, dengan kemiripan watak pada masing-masing pemilik nama itu, dengan imbuhan beberapa variasi kecil pada masing-masing karakter. Namun, secara umum, Arcadio selalu bertubuh kuat dan cepat tumbuh, sementara Aureliano selalu pendiam, penyendiri, dan perenung. Demikian juga dengan para perempuan di keluarga tersebut; nama-nama mereka juga berulang: Amaranta, Úrsula, dan Remedios.
 
Juga ada repetisi terhadap proses: pertumbuhan dan kehancuran, upaya gila-gilaan untuk membongkar rahasia-rahasia semesta yang diturunkan mula-mula oleh kegilaan Jose Arcadio Buendia, sang pemula klan Buendia, yang diteruskan oleh semua laki-laki Buendia hingga ke Aureliano yang terakhir. Ada repetisi tentang percintaan yang juga penuh kegilaan dan keputusasaan—percintaan yang tragis—dan perkawinan incest. Juga orang-orang mati yang kembali lagi. Bahkan upaya memperbaiki rumah pun muncul berulang-ulang, yang dilakukan oleh karakter-karakter perempuann dalam novel ini. Lalu hujan yang berkepanjangan. Juga serangan lupa ingatan pada setiap warga yang datang berkali-kali, yang mula-mula sekali merupakan akibat propaganda pemerintah setelah pembantaian buruh-buruh pisang.
 
Repetisi ini, yang memang sebuah kesengajaan oleh penulisnya, ditegaskan dalam kesadaran Ursula bahwa waktu tidak berlalu, tetapi “berputar dalam lingkaran”. Penegasan serupa juga muncul dari Pilar Ternera, yang ketika itu sudah berusia seratus empat puluh lima tahun, yang melihat melalui kartu-kartunya bahwa “sejarah keluarga itu adalah sebuah rangkaian kejadian yang terus-menerus berulang, sebuah roda yang berputar terus-menerus….”
 
Perulangan demi perulangan tentu saja mengandung risiko bahwa ia hanya akan membawa kita ke tempat semula. Novel ini menyajikan repetisi, tetapi juga intensitas pada setiap pengulangan sampai seluruh upaya untuk memperbaiki Macondo menjadi sia-sia.
 
Siapa Naratornya?
 
Ada pertanyaan yang pantas diajukan tentang siapa narator kisah ini. Mungkin Pilar Ternera yang tahu betul, melalui kartu-kartunya, segala yang terjadi pada keluarga Buendia turun-temurun. Atau Melquiades? Di akhir novel, kita diberi tahu bahwa gipsi tua ini, yang selalu kembali dari kematiannya, menulis manuskrip tentang sejarah keluarga Buendia, dalam bahasa Sanskrit. Tetapi suara yang kita nikmati dalam novel ini sama sekali bukan suara Pilar Ternera atau Melquiades. Ini adalah suara Garcia Marquez.
 
Garcia Marquez menulis dengan teknik seorang wartawan, tetapi berbeda dengan yang dilakukan oleh Hemingway, salah seorang yang ia kagumi di awal-awal karir kepenulisannya, Marquez masuk ke ruang dalam setiap karakternya. Hemingway selalu menghindari hal ini dan hanya menceritakan apa yang tampak di permukaan. Sekalipun narator dalam novel Garcia Marquez ini bisa memasuki ruang dalam tokoh-tokohnya, namun ia pun bukan sosok yang tahu segala kejadian. Banyak kejadian yang tidak diketahui sebabnya oleh penutur cerita ini, misalnya tidak diketahui siapa yang membunuh Jose Arcadio, anak tertua pendiri Macondo, tidak diketahui siapa yang menembak ketujuh belas anak Aureliano Buendia.
 
Saya justru teringat pada buku History yang ditulis oleh Herodotus, di abad kelima sebelum Masehi. Apa yang dinamakan sebagai sejarah oleh Herodotus dalam bukunya adalah catatan-catatan peristiwa keseharian, termasuk takhyul-tahkyul yang ia jumpai di pelbagai negeri. Herodotus menulis, misalnya tentang burung Phoenix di Mesir. “Di negeri ini ada seekor burung yang terbakar setiap lima ratus tahun dan dari abunya akan muncul telur yang akan menetas menjadi Phoenix baru.” Sejarah dalam Herodotus adalah kumpulan kejadian nyata dan khayal. Sejarah “Amerika Latin” dalam novel Marquez pun serupa dengan itu.
***

*) A.S. LAKSANA, cerpenis kelahiran Semarang, 25 Desember 1968. Ia merupakan lulusan Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Buku kumpulan cerpennya Bidadari yang Mengembara (KataKita, 2004) terpilih sebagai buku sastra terbaik 2004 pilihan Majalah Tempo. Sementara itu, novelnya Cinta Silver (Gagas Media, 2005) difilmkan dengan judul yang sama. Buku-buku kumpulan cerpennya yang lain adalah Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu (Gagas Media, 2013) dan Si Janggut Mengencingi Herucakra (Marjin Kiri, 2015). Sedangkan buku-buku non-fiksinya yang telah terbit, antara lain Creative Writing: Tips dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel (Mediakita, 2007), Podium DeTik (Sipress, 1995), Skandal Bank Bali (Detak, 1999), dan Creative Writing (Banana, 2020). A.S. Laksana pernah menjadi wartawan Detik, Detak, dan Tabloid Investigasi. Selanjutnya, ia mendirikan dan mengajar di sekolah penulisan kreatif Jakarta School. http://sastra-indonesia.com/2018/02/seratus-tahun-kesunyian-tragedi-dan-ironi-yang-diulang-ulang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons