Sabtu, 14 Agustus 2021

Franz Kafka & James Joyce, Prosais Modern

 

Sigit Susanto

Jika kita bicara tentang sastra dunia khususnya pengarang prosa modern, paling tidak ada tiga sastrawan yang sering disebut. Pertama, dalam sastra Prancis akan muncul nama Marcel Proust. Kedua, dalam sastra Inggris akan muncul nama James Joyce. Ketiga, dalam sastra Jerman akan muncul nama Franz Kafka.
 
Aku ingin membatasi membicarakan pengarang yang kedua dan ketiga saja, yakni James Joyce dan Franz Kafka sesuai yang aku pelajari karya-karyanya.
 
James Joyce lahir pada 2 Februari 1882 di Dublin, Irlandia dan meninggal pada 13 Januari 1941 di Zürich. Joyce berusia 59 tahun.
 
Franz Kafka lahir pada 3 Juli 1883 di Praha, Cheko dan meninggal pada 3 Juni 1924 di Kierling, Austria. Kafka berusia 41 tahun.
 
Karya Kafka dan Joyce
 
Kafka hanya menulis prosa berupa 3 novel: Amerika, Proses dan Kastil, novelet, cerita pendek, buku harian, catatan perjalaan dan surat-surat kepada para pacar dan keluarga. Sedang Joyce menulis puisi, cerita pendek dan 2 novel, Ulysses dan Finnegans Wake.
 
Max Brod menyebutkan, bahwa novel Amerika sebagai Tesis, Proses sebagai Antitesis dan Kastil sebagai Sintesis.
 
Dari semua karya prosa Kafka yang paling banyak mendapatkan apresiasi pembaca adalah novelet Metamorfosis.
 
Karya James Joyce yang paling mendapatkan apresiasi paling banyak dari pembaca adalah novel Ulysses.
 
Metamorfosis dan Ulysses
 
Metamorfosis bercerita tentang seorang salesman kain bernama Gregor Samsa yang pada suatu pagi ia bangun dari mimpi buruknya dan didapati di ranjangnya sudah berubah menjadi kecoak raksasa.
 
Tentu saja Gregor bingung sekali bagaimana ia harus beradaptasi dengan lingkungan manusia baik di kantor maupun di keluarga. Apalagi di depan pintu kamarnya sudah datang atasan dari kantor untuk meminta Gregor segera berangkat kerja. Pegawai kantor itu ditemani ayah, ibu dan adik Gregor.
 
Gregor adalah tulang punggung keluarga. Ayahnya banyak punya hutang, sehingga ia harus bertahan bekerja menjadi salesman.
 
Kafka menjiwai perubahan sosok manusia menjadi serangga. Ada dua contoh yang bisa dibuktikan. Pertama, Sang kecoak tak sudi makan keju dan apel segar, melainkan lebih suka makanan yang basi. Cara berjalanpun ikut berubah, ia tak suka berjalan tegak seperti manusia, melainkan merayap. Bahkan tempat bersembunyi paling menjadi idamannya adalah di bawah sofa, karena ia bisa melihat sekitar dengan leluasa tanpa terusik.
 
Manusia serangga ini hanya bertahan hidup dua bulan. Setelah pembantu keluarga memukul dengan sapu punggung kecoak dikiranya tidur, ternyata sudah mati. Grete, adik kandung Gregor yang masih muda diharapkan bisa hidup layak mendapatkan pasangan, hingga bisa bahagia membantu keluarga.
 
Ulysses adalah novel biografi sang pengarang, Joyce sendiri dengan Nora Barnacle, gadis room-girl di hotel Finn, Dublin. Kencan pertama pada tanggal 16 Juni 1904 di jalan Nassau, Dublin diabadikan pada novel yakni bertemunya tokoh protagonist Leopold Bloom asal Dublin dengan perempuan Molly keturunan keluarga di Gibralta.
 
Belakangan para penggemar karya Ulysses di berbagai negara memperingati kisah pertemuan itu setiap tanggal 16 Juni yang kemudian dikenal dengan sebutan Bloomsday.
 
Adapun kisah Ulysses total berada di Dublin mulai pukul 08.00 sampai pukul 02.00 dini hari.
 
Joyce menyublin kedalam dua tokoh yakni menjadi Leopold Bloom, seorang pekerja iklan yang kebapakan dan Stephen Dedalus, seorang guru yang sekaligus sastrawan kritis.
 
Novel setebal 18 bab ini ditutup dengan sebuah eksperimen yang bernama Monolog Interior. Sebuah model igauan sebanyak 40 halaman tanpa koma dan hanya ada dua titik.
 
Joyce menyukai epos Odyssey karya Homer sejak usia 12 tahun. Sebuah kisah heroik raja Ithaca bernama Odysseus yang dalam bahasa Latin bernama Ulysses berperang ke kerajaan di Troya selama 20 tahun. 10 tahun berperang dan 10 tahun kembali, namun banyak kesasar tempat menuju Ithaca.
 
Atas kesukaan Joyce itu, epos Odessey yang bercerita tentang dewa, ia rekonstruksi menjadi cerita manusia yang hidup sehari-hari di dublin. Ulysses mengkritik Inggris Raya yang menjajah negerinya, juga ia kritik kaum Katolik fanatik.
 
Joyce punya argumen, jika suatu saat kota Dublin lenyap dari peta dunia, maka Ulysses siap direkonstruksi.
 
Novelet Metamorfosis berani keluar dari pakem konvensional yang membuat manusia berubah menjadi serangga. Sebuah fabel yang berani membetot nalar sehat manusia. Ciri surealisme yang mencolok bahwa kecoak itu tetap sebagai manusia bernama Gregor Samsa, Cuma posturnya yang berubah.
 
Banyak analisis mengatakan bahwa Metamorfosis Kafka merupakan kritik kepada manusia modern dan birokrasi yang rumit.
 
Ketika Kafka ditanya alasan memilih cerita fabel oleh Gustav Janouch, ia jawab, karena manusia merasa dipenjara, kemudian timbul sebuah kerinduan dengan binatang.
 
Ulysses merupakan novel yang punya kerumitan kompleks. Joyce memasukan berbagai teknik menulis maupun berbagai bahasa dan slang dunia. Ada sebuah resensi di Italia yang menyebut, protagonist Ulysses adalah bahasa. Memang akrobatik bahasa di novel ini terasa. Joyce berharap atas kerumitan itu supaya para profesor beratus tahun mendiskusikannya, dengan begitu namanya akan tetap dikenang.
 
Sosok dan Keunikan
 
Kafka adalah tipe orang pemalu, introvert dan takut kepada ayahnya. Waktu paling ideal untuk menulis adalah malam hari. Menulis baginya sebagai terapi. Ketika aku berziarah ke makamnya di kuburan di luar Praha, di depan nisannya banyak kertas kecil yang ditindih kerikil. Kertas-kertas kecil itu dari para penggemar Kafka di seluruh dunia. Satu kertas terdesak angin dan terbuka, maka aku baca tertera tulisan tangan, I have benn seeing you. Aku disuruh istri untuk ikut membuat tulisan di kertas kecil dan aku tulis sesuatu dalam bahasa Indonesia.
 
Joyce adalah lelaki penyuka minuman beralkohol dan mendengarkan musik. Ia pun kadang ikut grup menyanyi. Saat pecah Perang Dunia I Joyce tetap tekun menulis Ulysses di tiga kota, Trieste, Zürich, dan Paris. Ketika ada temannya mencemoohnya, jawab dia, “I wrote Ulysses and what did you do?
 
Suatu saat Joyce berada di Paris duduk di kafe bersamaan Marcel Proust. Kontan para pengarang dan wartawan muda penasaran, mereka menunggu loncatan percakapan apa di antara dua maestro itu? Setelah ditunggu lama, ternyata mereka tidak bicara apa-apa.
 
Aku pernah mendatangi Dublin khususnya ke Martello Tower, di pantai Sandycove, tempat pembuka novel Ulysses. Yang menakjubkan adalah trotoar di Dublin di sekitar patung Thomas Moore banyak pahatan metal berisi teks dari Ulysses.
 
Kedua pengarang di atas belum pernah mendapatkan hadiah nobel sastra, tetapi karya mereka dianggap sebagai prosa modern dan menginspirasikan banyak penulis muda.
***

*Sigit Susanto, Penerjemah karya-karya Franz Kafka dan khatam lima kali novel Ulysses karya James Joyce. Sejak tahun 1996 sampai kini ia domisili di Zug, Switzerlandhttp://sastra-indonesia.com/2021/08/kafka-dan-joyce-prosais-modern/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons