Jumat, 30 April 2021

Filsafat Puitis pada Franz Kafka

Axel Grube
Penerjemah: Sigit Susanto
 
Kita bicarakan pemikiran dan Filsafat Puitis dari Franz Kafka. Kafka tidak menuliskan secara khusus pandangan filosofinya tentang karya-karyanya. Namun kita bisa mengumpulkannya dari berbagai sumber antara lain dari motif  sosoknya, pola pikirnya, bentuk tulisan dan teknik berbicaranya, buku hariannya, sketsa-sektsanya, teks prosanya, termasuk aforisme Zürau dan surat-suratnya ke dalam filsafat puitis.
 
Di Zürau, sebuah wilayah di Böhmen, sekitar 100 km dari Praha, Kafka selama  8 bulan ikut Ottla, adiknya yang sedang bekerja di ladang pertanian. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1917 di saat dia menderita penyakit TBC yang 7 tahun kemudian ia meninggal.
 
Atas penyakitnya itu sehingga ia harus pensiun dini. Pembatalan cintanya dengan Felice Bauer membuat dua belah pihak menderita. Sebab itu keberadaannya berlibur di Zürau bisa dianggap sedang mencari ketenangan.
 
Juga untuk menghindari tinggal di rumah orang tuanya dalam waktu cukup lama. Beberapa hari setelah kedatangannya di Zürau pada 25 September 1917 ia menulis pada buku hariannya, bahwa kematian itu aku percayai sebagai keyakinan yang terakhir, pada hari kembali ke Ayah yang merupakan bagian dari cara menyenangkan. Peristiwa itu tentu menjadikan tugas baru bagi Kafka yang harus dipikirkan.
 
Dua bulan kemudian ia menulis pada buku hariannya bahwa keputusan itu belum aku tuliskan; aku masih mengaliri kedua lengan, pekerjaan yang menunggu itu menakutkan.
 
Axel menjabarkan catatan harian Kafka itu mengenai diri Kafka yang mengaliri dua lengan, dimungkinkan adalah teks prosanya yang sulit dan pelajaran filosofis yang merupakan sebagai refleksinya di Zürau.
 
Di sini ia juga mengalami kesulitan untuk mengekpresikan tentang perempuan. Ia harusnya mengabaikan buku hariannya selama dua tahun. Ia menuliskan dua catatan secara intensif. Pada karya Kafka edisi asli juga bisa ditemukan.
 
Axel ingin memberikan dua contoh dari kumpulan karya Kafka berjudul: Renungan (Betrachtungen) yang ditulis oleh Kafka di Zürau. Ada gambaran yang mempunyai motif pemikiran yang sulit dikembangkan seperti tertuang dalam buku hariannya.
 
Sastra merupakan badai cepat menuju perbatasan (buku harian, 1922).
 
Di pantai, arus adalah yang paling kuat, begitu menakutkan dan tak dapat diatasi (Oktavheft H).
 
Ada sebuah pertanyaan, bila kami tak bisa melarikan diri ke sana, jika kami dari alam tak bisa dibebaskan. (Oktavheft G).
 
Legenda itu mencoba menjelaskan yang tak bisa dijelaskan, mereka berasal dari dasar kebenaran, haruskah mereka ini menuntaskan yang tak jelas itu. (Oktavheft G).
 
Ada sebuah tujuan, tetapi tak ada jalan, apa yang kami namai jalan itu adalah keragu-raguan (Oktavhef G).
 
Seni kita dipancarkan dari satu kebenaran, cahaya itu sebuah sosok meringis yang pudar itu memang benar, tak ada yang lain. (Oktavhef G).
 
Hanya pemahaman waktu kita menyisakan apa yang disebut dengan pengadilan, sebenarnya itu sebuah kejujuran. (Oktavhef G).
 
Axel menjelaskan pada beberapa komentar, bahwa karya Kafka mempunyai kedalaman isi dan kualitas. Memang antara buku harian dan catatannya seperti terkoyak. Dua tahun kemudian ada 88 potongan yang diberi nomor yang diedit oleh Max Brod, sayangnya tak rapi dan sistematik.
 
Tetapi Kafka sendiri dengan hasil cetakan karyanya itu cukup puas dan bahagia seperti yang ia tulis dalam suratnya kepada Milena Jesenska, bahwa pada masa itulah yang paling bahagia berada di Zürau. Pada surat itu juga ditekankan tentang keyakinannya itu.
 
Dua tahun kemudian ia menulis surat lagi kepada Milena,
 
Berpikirlah, mungkin dalam waktu yang terbaik dalam hidup Anda itu (…) selama tahun, masing-masing delapan bulan untuk tinggal di desa, dimana kamu (…) membatasi diri untuk tidak ragu-ragu (…) dan tak akan mengubah dirimu sama sekali, melainkan hanya usialah yang mengelilinginya. Eksistensimu harus ditarik begitu masuk ( ...) (Surat untuk Milena Jesenska, 1919).
 
Kafka juga berbicara tanpa ragu pada prosanya yang bersal dari keadaan yang sebenarnya. Dasar kehidupannya adalah ketidakraguannya, termasuk pada seluruh karyanya.
 
Semua ini sebenarnya berpangkal dari semacam paradoks, sebuah ketakjuban pada Kafka yang sering berkonotasi keraguan, teka-teki, sebuah jalan keluar yang buntu, tergantung dari keadaannya dan semua itu bertentangan dengan ketidakraguan.
 
Kafka sendiri sering menekankan tentang batasan sastra yang tak dikenalnya tercermin pada prosanya yang mengundang pemikiran tak ada jalan keluar. Salah satu contohnya prosa berjudul Pepohonan (Die Bäume).
 
Pepohonan
 
Kemudian kami layaknya batang-batang pohon di salju. Mereka tampak tergeletak mengilat, dan dengan sekali sodokan saja orang sudah bisa meminggirkannya. Tidak, orang tak bisa melakukannya, karena batang-batang itu telah menancap di tanah. Tapi memang, terlihat seperti itu saja. (Kumpulan Cerita).
 
Atau kalau akan menghubungkan dengan kejiwaan pada novel Proses. Josef K mengatakan bahwa memahami sebuah masalah dan ketidakpahaman pada masalah yang sama tak akan saling berhubungan. (Sebuah percakapan Josef K pada bab Kateral, novel Proses).
 
Begitulah Kafka mengadopsi cara berpikir. Kafka memadukan masalah paradoks ke dalam sebuah tatanan pemikiran baru. Kami juga sudah mendengarkan bagaimana dia membuat permainan dalam pergaulannya itu, bahwa legenda yang sulit dijelaskan itu untuk bisa dijelaskan dalam nilai kebenaran.
 
Berangkat dari situ timbullah nilai-nilai dalam filsafat pemikirannya. Ini mengarah pada tanggung jawab yang musikalis dari filsafat yang penuh harapan, paralel dengan Wittgenstein dan Simone Weil yang terkait pada filsafat Hellenis dan sebelum Sokrates dan kenabian Yahudi. Yang menarik jika ditarik ke dalam kehidupan sehari-hari menjadi filsafat universal yang manusiawi. Mungkin ini bisa memberikan perkembangan nilai kemanusiaan yang sekarang saling membenci, rasisme nasional, dimana terjadi di masyarakat sekitar 14-16 persen.
 
Axel mengharapkan pemikiran filosofis Kafka itu bisa menangkal gejala-gejala baru di masyarakat itu.
 
Sebab itu saya membuat perbincangan berseri dan mengundang dalam urutan 14 hari di website penerbit onomato dengan alamat www.onomato.de dan di sana tentu disediakan ruang berkomentar. Terima Kasih. Ini siaran yang pertama dan sampai dua minggu kemudian.
 
Sumber/Quelle Youtube:
Einführung: Über eine poetische Philosophie bei Franz Kafka von Axel Grube.
 

http://sastra-indonesia.com/2021/04/filsafat-puitis-pada-franz-kafka/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons