Minggu, 02 Mei 2021

Naskah Panjang yang Tiba-tiba Jatuh ke Pangkuan

Martin Aleida *

“Kalau (dia) masih hidup, saya ingin tahu di mana makamnya. Kalau dia disiksa dulu sebelum meninggal, saya ingin supaya punya kesempatan membasuh lukanya. Kalau yang tersisa darinya tinggal tulang, saya ingin punya kesempatan menyusun tulang-tulang itu di peti mati anak saya, lalu menguburkannya dengan penuh cinta. Kesempatan itu telah direnggut dari saya.”
 
“Ada banyak orangtua yang anaknya tewas hari itu. Sungguh pilu memikirkan bahwa mereka sesungguhnya "beruntung" karena setidaknya tidak perlu menunggu bertahun-tahun, tidak perlu menantikan janji-janji palsu presiden, tidak perlu luka batin karena anak mereka tidak pernah ditemukan. Meski tidak adil membanding-bandingkan rasa sakit yang satu dengan yang lain. Duka karena penghilangan paksa orang yang kita cintai adalah duka beracun. Selama negara tidak meminta maaf dan tidak berbuat apa-apa, racun itu terus menyebar. Sejak hari (dia) hilang, saya bukan lagi perempuan yang sama. Jika tidak ada (gadis yang dia cintai), mungkin saya sudah memilih mati sejak lama.”
 
Itu kutipan dua alinea dari sebuah naskah panjang yang tiba-tiba jatuh ke pangkuan saya. Naskah yang terabaikan. Barangkali karena dianggap terlalu panjang, walau terlalu pendek untuk jeritan jiwa dari (kelihatannya) seorang Ibu untuk seseorang yang hilang: kekasih putra tunggalnya. Dari naskah itu terasa dada (Ibu) yang menumpahkan kata-kata itu rupanya sudah tak kuasa memilih mana yang wajib didahulukan, mana yang jadi penutup. Letupan ada di mana-mana.
 
Teknis penulisan boleh salah tapi debur jiwa akan satu kehilangan yang belum juga - dan mustahil - disembuhkan tak pernah cacat. Ada banyak saudara-saudara saya sebangsa yang harus menyembunyikan siksa hidup sebagaimana sang penulis, sampai ajal melerainya. Dan tinggal sebagai kehampaan yang memang dikehendaki mereka yang telah merebut pedang (pembunuh) dari tangan Tuhan yang mereka durhakai. Saya membayangkan sebuah museum di mana terkumpul ribuan tulisan, sebaik atau seacak apa pun, tanpa gangguan kecongkakan seseorang yang menamakan diri penyunting, yang membebani penulis untuk mempertanggung jawabkannya. Menyebutkannya sebagai karya kolektif? Akan terasa ada tukang catut di sana.
 
Saya bersalah telah mengutip dua alinea yang luar biasa itu. Karena hati dan tangan saya gatal, tak kuasa saya bendung untuk tidak memuliakannya. Bagaimanapun, ini sebuah kesalahan. Pilihan keliru yang mempertebal keyakinan saya, tentulah di luar sana tak terbilang betapa banyak ungkapan yang belum menemukan muaranya. Untuk itu, wahai (Ibu) sang penulis, terima kasih sebesar-besar terima kasih dan permohonan maaf sedalam-dalamnya untuk kelancangan hati dan tangan saya ini. Maafkan... Salam sehat, salam kepekaan. Maaf.
 
10 April 2021
 

*) Martin Aleida, sastarwan kelahiran Tanjung Balai, Sumatra Utara, 31 Desember 1943, dengan nama asli Nurlan. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen dan novel. Pernah, sebagai wartawan di harian Zaman Baru, dan profesi inilah yang mengantarkannya ke penjara, ditangkap oleh Orde Baru sebab koran tersebut diterbitkan Lembaga Kesenian Rakyat, yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. http://sastra-indonesia.com/2021/05/naskah-panjang-yang-tiba-tiba-jatuh-ke-pangkuan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons