Persoalan terjemahan buah karya puisi berbahasa Arab ke dalam
bahasa Indonesia
Nurel Javissyarqi *
Bismillahir Rahmanir
Rahim… Sebelum merantak (merambat,
menjalarnya sejenis api membakar daun-daun kering) nun jauh. Perkenalkan saya
sekadar pengelana yang tak tahu menahu bahasa teks lain ‘kecuali’ bahasa
Indonesia, yang ini pun masih terus mengalami perkembangannya, jadi apapun
karya-karya terjemahan yang saya kunyah, makan (baca), otomatis tak paham secara
persis kebenarannya, hanya meraba (ngincipi,
kadang terlanjur lahap) sekaligus berjarak di sisi bercuriga,
maka dapat
dipastikan (kerap mengalami keracunan), tapi tak sampai maut menjelang. Lantaran
saya lebih menempuh (mementingkan) sarapan, gorengan tempe (eling), ditambah wedang kopi (waspodo), disertai penghisap rokok
kretek (Luwih begja kang eling lan waspodo,
R.Ng. Ronggowarsito), kemudian berjalan melewati gapura (membuka lelembaran
buku) di bawah pepohonan sawo besar (hasil-hasil terjemahan), lalu memasuki
kamar dan mengunci pintu jendela rapat-rapat (membaca dengan tenang, -teringat di Tegalsari). Jalan-jalan ini menyadarkan
saya juga, agar semakin mawas tidak salah minum dan makan di siang harinya, yang
bisa berimbas perut mual-mual kebanyakan tertawa atau pusing tujuh keliling
alun-alun Jogjakarta.
Kemunculan nama Usman, dapat dikata saya sedikit bertanggung
jawab (jikalau sok merasa) juga tidak, sebab diri ini sudah pernah membo-membo (berpura-pura) jadi iblis di
hadapannya; sewaktu ia menghimpun para gus dan ning dalam sebuah antologi puisi
yang berjudul “Jadzab, Sekumpulan sajak pesantren” yang saya bedah lewat
makalah bertitel “Membo-membo Jadi Iblis di Kediri” http://sastra-indonesia.com/.../membo-membo-jadi-iblis.../
yang merupakan bentuk mengeman (menyayangkan)
jikalau kehadiran mereka pada masa-masa berikutnya masih kurang bisa ngeker (menahan kesabaran sekuat
bertabah), sedangkan bibit-bobotnya betapa indah. Pilihan ‘menjelma’ iblis
merupakan wujud teguran keras bagi yang mawas, bukan semata abang-abang lambe atau pemanis buatan. Namun
kehidupan memanglah pelajaran, olehnya saya senantiasa berlaku ‘belajar sambil
menghajar’ kepada diri pribadi, serta yang bersikap sewenang-wenang di atas
kekuasaannya dari ilmu pengetahuan, dsb.
Ketika membaca esainya Dea Anugrah (“Puisi-puisi Nizar
Qabbani dan Terjemahannya yang Meragukan” 11 Juni 2017), lalu kupasannya
Fazabinal Alim (“Ketika Usman Arrumy Salah Memasuki Kebun Nizar Qabbani” 28
September 2017). Seyogyanya Usman Arrumy… ;Penerjemah Puisi-puisi Nizar Qobbani,
dengan judul buku “Surat dari Bawah Air” 400 Halaman, Oktober 2016, Penerbit
Perpustakaan Mutamakkin Press (penerbit yang membawakan nama besar KH. Ahmad Mutamakkin, Al-Fatihah…), Endosemennya: KH. Husein Muhammad, Candra
Malik, Acep Zamzam Noor, …berterima kasih matur
nuwon kepada Alim, dikarena perihal itu sebatu pelajaran pula, meski
dirinya sudah tenar tidak ketulungan.
Dengan bermodalkan sebagai anak kiai (gus) serta keuangan cukup demi menimba
keilmuan di Kairo, dan karya-karyanya terus mengalir sejiwa muda, tentulah gampang
bergaul dengan para seniornya, Sujiwo Tejo, Sapardi Djoko Darmono &ll. Ke-mentereng-an tersebut dapatlah ditebak,
sebab mempan (bisa dengan mudah) dibombong, dilulu (dieluh-eluhkan,
dibesar-besarkan) oleh mereka yang membutuhkan para pengikut dari generasi
lebih muda, namun fatalnya menjelma bencana, karena tiadanya kemampuan ngeker (ngerem), merenung, belajar ulang
berulang-ulang demi menyadari posisi dirinya sekaligus mencurigai siapa pun meski
kepada malaikat, umpamanya.
Saya yakin, jika Usman mengikuti saran petuah para
seniornya, tentu tanggapannya (kupasannya) Alim akan dibiarkan mengapung seibarat
bayi terlunta-lunta dalam peti, mengikuti aliran air sungai atau melawan arus
yang takdirnya kemudian diketemukan orang lain lalu dirawatnya dalam istana, lantas
masa-masa berikutnya menantang siapa saja yang menghalangi dirinya dalam
pencarian kebenaran; siapakan kediriannya? Kalau itu yang terjadi (Usman diam
seribu bahasa), tidak menariknya cepat-cepat menyelamatkan anak-anak karyanya,
ada kemungkinan lain dimakan buaya atau sekarat sia-sia, sebab terus menunggu datangnya
keajaiban, padahal segenap itu tepatnya karomah,
tetaplah menjalani prosesi alami setindak ke-istikomah-an, dan Usman sudah hafal diluar kepala juga mengetahui
tradisi para alim ulama tempo dulu yang berbantah-bantahan demi memperdalam
pandangannya melalui sungai-sungai mengarus deras yang senantiasa ditatapnya menerus,
dirasai seraga-batiniahnya.
Kayakinan kuat di atas tersebab saya sendiri tengah menghadapi
kasus hampir sama, sebagaimana kesalahan-kesalahan fatal dibiarkan, oleh yang
merasa sudah senior; mereka pada tutup mata-telinganya atau dianggap angin lalu
saja kritikan tajam maupun pedas, lantaran bayu
pastilah berlalu… tapi angin juga berkemampuan memusar mengangkut apa saja
sekaligus dihempaskannya ke tanah atau mendorong kuat-kuat hingga sanggup
mencerabut akar-akar pohon raksasa. Kasus yang saya hadapi adalah kekurangajaran
pada pelucutan makna “Kun Fayakun” yang dirombaknya membentuk kata-kata “Jadi
maka Jadilah!” dan “Jadi, lantas jadilah!” (Pidato Anugerah Sastra DKR 2000
SCB, Sambutan Sutardji Calzoum Bachri Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra
MASTERA, 14 Maret 2006). Maka dengan berbungkam saja cukuplah menjadi kalangan
senior, dan kritikan Fazabinal Alim semakin mengekalkan Usman menduduki barisan
yang patut disegani, tanpa membaca kesalahan fatal pun mutilasi besar-besaran
pada puisi-puisinya penyair Nizar Qabbani, atau dapat pula diartikan rangkaian kalimat
Dea bekerja meruang-waktu memitoskan Usman dan berhasil di atas kebungkaman
penerjemah tersebut oleh karena terlena menikmati alam mitologi kesusastraan di
Indonesia.
Dan bisa saja Dea Anugrah telah lama mengetahui beberapa
kehilafan, keteledoran serta kenekatan Usman, tapi dikesampingkan semuanya demi
naiknya generasi muda, kemudian rupa-rupanya perangai terjemahan tersebut
diamini begitu rupa menjadi pembelajaran bersama, atau Dea sengaja mengangkat
Usman setinggi-tingginya sambil menanti hukum bandul (yang diperkarakan Alim
kemungkinan tidak akan muncul, jikalau Dea tidak menuliskan esai mengenai hasil-hasil
terjemahannya Usman). Dan jika menengok judul esainya Dea atas kata “Terjemahannya”
dan bukan dengan kata “Penerjemahnya” (“Puisi-puisi Nizar Qabbani dan
Terjemahannya yang Meragukan”), yang berarti bukan menunjuk kepada
penerjemahnya, namun lebih terhadap hasil kerja Usman, walaupun di dalam
catatan Dea seolah menjempolinya. Jika dikutip lengkap “Terjemahannya yang
Meragukan” masih menuju pada hasil terjemahan Usman. Makna lain judul tersebut,
“terjemahannya yang meragukan Dea” atau Dea lebih mempercayai Usman dibandingkan
hasil kerja terjemahannya, ataukah Dea salah ketik menuliskan judul? Hanyalah
Dea yang tahu permainannya di sana. Tapi yang patut disayangkan, Usman tidak
beranjak dari kursi empuknya, hanya mempercayakan kepada pembaca karya-karyanya,
ini pula sejenis meremehkan pengkritiknya, oleh sebab sudah terlanjur ngetop
seperti selebritis senyum-senyum kecil di ruangan kesadarannya paling pribadi
sambil mengusap-usap beberapa kealpaannya sebagai perihal lumrah, atau mengira para
pembacanya manggut manut di atas
usahanya bersusah payah menerjemahkan senada seleranya, yang telah dianggapnya sangat
cukup mewakili sedari segenap ikhtiarnya selama penggarapan buku tersebut.
***
Ketika menuliskan ini, Alim mengirimkan tautan yang
bersangkut dengan yang tengah terkerjakan jemari kini, dan Fazabinal Alim menuliskan
komentar di samping memberikan link catatan facebook Admin Dalfis Latee
(“Membandingkan Terjemahan Puisi Nizar Qabbani Versi Fazabinal Alim dan Usman
Arrumy” 1 Oktober 2017), berikut pengantarnya; “Terimakasih atas kritik dan
apresiasi, teman-teman semua. Terutama Musyfiqur Rahman, Admin Dalfis Latee
(tempat saya belajar bahasa Arab sewaktu di Pondok Pesantren Annuqayah).
Tulisan ini bagus. Namun membandingkan terjemahan saya yang hanya diambil dari
status Facebook yang saya tulis pada tahun 2014 lalu dengan karya terjemahan
Usman Arrumy yang sudah menjadi satu buku utuh, sangatlah tidak adil. Sebab
proses penerbitan sebuah buku di penerbit manapun telah melalui pembacaan dan
koreksi ulang oleh seorang editor dan proofreader. Semoga tulisan semacam ini
semata dalam rangka proses pembelajaran dan kritik yang membangun. Karena
sejatinya tak ada istilah berhenti dalam belajar. Bukan membandingkan untuk
menjatuhkan satu sama lain. Semoga catatan-catatan kritis dan kritik-kritik
semacam ini sama seperti yang dilakukan Aristoteles kepada gurunya Plato, “Amicus
Plato Sed Magis Amica Veritas”.”
Tulisan saya ini dapat dibilang terlambat, kalau menengok
bukunya Usman telah terbit bulan September 2016 (menurut catatan Admin Dalfis),
dan saya baru tahu tulisannya Alim yang terbit di basabasi.co, lewat tautan sedari
facebooknya Kanjeng Tok (Awalludin GD Mualif), pada tanggal 29 September 2017 pun
tidak langsung membacanya beserta tulisan Dea yang terkait di tirto.id, oleh rasanya
tidak punya kepentingan pada penyair yang diterjemahkan Usman, pun saya tengah
suntuk membaca ulang tulisan sendiri yang kehendaknya terbit tahun ini, tapi
ketika Usman saya jawil melalui tag di fb tidak berkomentar hanya menjempolinya,
maka jadi penasaran pada esainya Alim serta Dea. Lantas inilah jadinya saat jari-jemari
menari mengudara. Tepat kata Alim, bahwa perbandingan puisi yang di buku dengan
catatan di fb merupakan tindakan kurang adil, apalagi catatan tersebut telah
lama mendekam dari tahun 2014 pun belum terbukukan, jadi kurang layak disoroti,
dan pembandingnya pun tidak menyebutkan nama pena secara langsung, hanya
menterakan ‘Admin Darul Lughah Al-Arabiyah Wal Fiqh As-Salafi (Dalfis)’ yang
jika mengamati komentarnya Alim, ianya Musyfiqur Rahman. Dan perlu pembaca
ketahui, tulisan-tulisan saya yang gentayangan di website, blog, masih kerap
saya benahi tanpa sepengetahuan pembaca ketika sebagai adminya. Untuk
seimbangnya, kritisilah yang sudah tercetak; buku, koran, majalah, jurnal &ll.
Penggal saja habis-habisan tidak masalah, meski pada jenjang selanjutnya banyak
buku-buku ketika cetak ulang mengalami perombakan dan itu syah tidak masalah,
apalagi buah karya puisi banyaklah versi meski dari tangan pertama sang
penyairnya.
***
Sebenarnya persoalan ini tak akan sampai merantak kemari, jikalau penerjemahnya
selain berendah hati juga mengedepankan kejujuran serta sikap keterbukaan, toh
itu semua menambah keindahan di dalam alunan lagu belajar, meninggalkan sungkan maupun gengsi, sebab ajaran
Islam sudah memberikan topangan terbaik pada prosesi menyusuri jalan hayati,
semisal ‘Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat’ serta
makolah-makolah lain, sedari hadits-hadits, ujaran para sahabat, petuah para
ulama dsb, tentunya Usman telah hatam mempelajarinya. Berendah hati sudahlah bersikap
jujur telah, seperti memberikan catatan karya sedari sumber aslinya, tapi
penghapusan beberapa larik dari puisi aslinya juga seharusnya dikabarkan,
semisal berkata-kata; “Ada beberapa larik puisi yang ‘seolah’ sengaja saya
hapus sebab merasa kalau satu kata yang menempel di larik selanjutnya yang saya
terjemahkan itu telah mewakili keberadaannya sebagai puisi tersebut.” Sehingga
ketika terjadi kekeliruan dikarena tindak kehilafan fatal yang mendasar dari
terjemahan tidaklah mengapa menerimanya, jika sebelumnya pada pengantar buku
memberikan keterangan seperti; “Ada lelangkah kesengajaan merombak puisi aslinya
ke dalam terjemahan berbahasa Indonesia, sebab merasa lebih sesuai bagi para
pembaca di Tanah Air, atau mengikuti proses naik-turunnya saya di dalam belajar.”
Jika itu yang ditempuh, kemungkinan kritikan Alim tak kan muncul dari yang
paling mendasar hingga yang agak wajar (jika tidak dibilang kurang ajar), atas
perubahan puisi-puisi terjemahan buah karya Nizar Qabbani, apalagi yang
mengerjakannya juga penyair.
Saya menjadi teringat petuah agung H.O.S Cokroaminoto “Setinggi-tinggi
ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” Barangkali sudahlah tinggi
ilmunya serta mapan tauhidnya, namun rasa-rasanya belumlah pandai bersiasat
demi menanggulangi bencana kebocoran, ambrolnya bendungan, jebolnya arus
bengawan. Siasat itu sangatlah penting untuk menghimpun dinaya ruapan energi dikala
melawan balik dengan bentuk bersiasat pula, istilah saya ‘main licik-licikan’
dan itu syah, dibanding bertingkah pola menutupi tetapi terbongkar nantinya.
Terus terang matahari musim kemarau panas penerawang, saya banyak belajar
bersiasat atau sinahu main licik
(bahasa halusnya cerdik) dari para pengkritik yang terutama berasal dari
pribadi purna sastrawan pun budayawan. Di sanalah lahirnya istilah ‘belajar
sambil menghajar’ yang itu muncul saat prosesi belajar terus-menerus, atau sedari
tangan lembut gemulainya sampai di jemari sekarang.
***
Sebagai penyuka buku-buku hasil terjemahan, apakah dari
bahasa asal; China lama; modern, bahasa Belgia, Belanda, Jerman, Prancis,
Swedia, Arab, Inggris &ll, enak tidak enak tetap saya baca, kadang memaksakan
berjenak lama-lama meski kuranglah nyaman dirasa, pun saya kerap membandingkan
hasil-hasil terjemahan penerbit A, B dan C atas satu judul buku. Ada juga
penerbit yang saya golongkan terjemahannya buruk, tapi tetap membacanya, dan
ternyata menemukan di antara terbitannya ada yang lumayan. Oleh karena
seringnya membaca buku dari terjemahan, seolah (sudah terbiasa) merasai (menilai)
hasil terjemahan ini baik atau tidak, bertele-tele mengikuti hasrat penerjemahnya
atau saklek sesuai teks aslinya, agak-agak
amburadul atau mulus lantaran pengeditannya berindah-indah, pun ada yang bertetap
kuat berpegangan teks asli sekaligus berupaya nikmat dibaca. Salah satu buku
terjemahan yang sampai saya membelinya tiga kali; tersebab pertama karena hilang,
yang kedua ketlisut, dan pembelian ke
tiga titip lewat adik sewaktu ke Yogyakarta. Buku yang terbeli sampai tiga periode
itu, saya anggap terjemahannya baik (berkualitas) meski saya awam pada bahasa aslinya.
Buku tersebut karya sastrawan Jerman, Johann Wolfgang von Goethe yang berlabel “Faust,”
Penerbit Kalam, Penerjemahnya Agam Wispi dari bahasa sumbernya Jerman, Cetakan
Pertama Oktober 1999. Terang sajalah, saya mengenal pemikiran para tokoh dunia
melalui buku-buku karya-karya terjemahan, pun tampaknya nilai-nilai dari
terjemahan di tahun-tahun lawas, rasanya banyak yang berkualitas. Pula saya tetap
berjarak tatkala membaca karya hasil terjemahan, dan ketika menjadi bebahan
kutipan, maka berarti saya srek atau percaya dengan terjemahannya.
Dalam persoalan bukunya Usman yang menerjemahkan
puisi-puisinya penyair Nizar Qabbani dari bahasa aslinya Arab, saya tak bisa berkata
lebih, sebab tidak memegang bukunya (tidak memilikinya), di sini hanya
berpegangan pada penelusuran Alim yang terang kejeliannya, dan ini menambah
pengetahuan mengenai buku-buku terjemahan sekaligus tetaplah menghargai jerih payah
penerjemah, tidak terkecuali kepada Usman. Satu bentuk penghormatan saya kepada
buku-buku hasil terjemahan ialah berdoa sebelum membacanya. Ada suatu
pengalaman pada buku terjemahan karangan Ibnu Arabi, yang saya lupa penerbit
serta judulnya, sampai tujuh kali saya membaca ulang sambil tetap menjaga wudhu,
barulah dapat memahami. Maka, makin membeludak para penerjemah di Indonesia pastinya
indah, karena bangsa ini membutuhkan berderet-deret amunisi, lantaran buku hasil
terjemahan tentu memperluas wawasan memperkaya hasana keilmuan serta melebarkan
pandangan, dan andai ada yang melenceng terjemahan karya puisi bagi saya tidak
masalah, toh itu hanya untuk menambah sarapan pagi jika diperlukan sebelum bekerja
(berkarya). Lalu saya pikir kerjanya Usman lebih baik daripada mereka lulusan Jurusan
Sastra Arab, juga yang menimba keilmuan di luar negeri, tapi sepulangnya ke
tanah kelahiran, dirinya tersesat di dunia politik hingga lupa keilmuan Allah
yang betapa manis di bumi Sholawat.
*) Pengelana asal Lamongan, kini tinggal di kecamatan Laren,
desa Tejoasri, dusun Pilang, daerah yang dikelilingi Bengawan Solo, setengah
lingkaran bengawan arusnya tenang, setengahnya lagi air menjalar sampai jauh... (Gesang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar