Selasa, 12 Maret 2019

Sastra yang Mendefinisikan Indonesia

Eka Kurniawan
JawaPos, 9 Mar 2019

Diskusi panas terjadi mengiringi pernyataan yang ditulis Pamela Allen dan diterbitkan National Center for Writing, Inggris, berjudul ''Where are all the Indonesian writers?''

Esai itu diterbitkan dalam rangka menyambut Indonesia sebagai Market Focus dalam perhelatan London Book Fair yang berlangsung minggu depan. Ia antara lain menulis:

"Bahkan sejak 'permulaan' kesusastraan Indonesia modern pada awal abad ke-20, para penulis terlibat dengan proyek menciptakan dan mendefinisikan identitas Indonesia, sebuah upaya yang berkembang dari gerakan nasionalis. Kesusastraan dipandang tak sekadar produk konsumsi dan hiburan, tapi juga bagian penting dari proyek pembangunan nasional."

Esai tersebut sebetulnya sudah terbit beberapa waktu di jurnal In Other Words dengan judul berbeda. Selepas memancing polemik dan mengundang beberapa esai bantahan, entah kenapa, National Center for Writing menghapus esai tersebut dari lamannya semula.

Tulisan itu kurang lebih mencoba menjawab kenapa kesusastraan Indonesia tak begitu tampil di dunia. Melanjutkan pernyataan di atas, ia mencoba menjawab, "... apresiasi penuh atas banyak karya sastra Indonesia bergantung pada pemahaman atas konteks sosial-politik", yang akhirnya, "untuk beberapa pembaca, 'keliyanan budaya' ini terlalu menantang, terlalu kompleks, atau memang terlalu sulit."

Di sinilah saya kira masalahnya muncul. Pertama, adakah yang salah dengan proyek menciptakan dan mendefinisikan identitas nasional? Hampir sebagian besar kesusastraan negara-bangsa di dunia, langsung tidak langsung, terlibat dalam proyek semacam ini.

Amerika tak hanya dibangun oleh para pemburu emas, tapi juga oleh Huckleberry Finn dan Moby Dick. Bahkan Cien años de soledad tak hanya disebut memberikan imajinasi bagi Kolombia, tapi bahkan bagi Amerika Latin.

Kedua, apakah "keliyanan budaya" membuat sebuah karya jadi sulit dibaca? Tentu saja saya akan sedikit bersusah payah untuk membaca Shakespeare dengan konteks sosial dan bahasa Inggris abad ke-16.

Saya juga harus susah payah membaca novel-novel Hungaria, Ceko, atau Polandia pada masa cengkeraman komunisme, sesuatu yang tak terpikirkan oleh pembaca Indonesia di mana orang-orang komunis justru dibantai habis.

Dengan segala kesusahpayahan tersebut, apakah kedongkolan harus ditujukan kepada Shakespeare, László Krasznahorkai, Bohumil Hrabal, atau Witold Gombrowicz beserta kesusastraan nasional mereka? Saya kira tidak.

Setiap karya sudah pasti memberikan tantangan bagi pembaca. The Tin Drum karya Günter Grass sudap pasti berkaitan erat dengan Jerman di antara dua Perang Dunia. Demikian pula Midnight's Children Salman Rushdie memiliki keterkaitan dengan sejarah dan nasionalisme India.

Kita tak hanya menghadapi keliyanan budaya, tapi juga kelas, sejarah, agama, termasuk gender. Dalam tingkat tertentu, semua karya bisa menyulitkan bagi sembarang pembaca. Justru di situlah salah satu fungsi kesusastraan, untuk menjembatani dinding-dinding pemisah keliyanan tersebut.

Ketiga, tanpa menampik keberadaan "keliyanan budaya" yang sama, kita juga sebaiknya curiga dengan apa itu proyek penciptaan dan pendefinisian identitas Indonesia ini. Kenapa ia cenderung mengabaikan kesusastraan yang "sekadar" produk konsumsi dan hiburan? Lihat, misalnya, bagaimana periodisasi kesusastraan Indonesia secara umum sejalan dengan lini masa peristiwa sosial-politik besar.

Banyak hal menarik dalam esai Pamela Allen. Satu hal yang menjadi perdebatan panas adalah kenapa pertanyaan mengenai kesusastraan Indonesia itu justru dijawab pengamat luar -meski ia telah sangat lama mempelajari dan menerjemahkan karya sastra Indonesia.

Saya tak akan masuk ke pembicaraan tersebut, yang telah banyak diperbincangkan para penulis dengan baik, dan akan kembali ke masalah proyek menciptakan dan mendefinisikan identitas Indonesia.

Telaah-telaah semacam Novel Populer Indonesia karya Jacob Sumardjo, misalnya, seberapa sering memperoleh tempat yang baik? Juga karya-karya yang dibahasnya, di mana tempatnya dalam kesusastraan Indonesia?

Proyek-proyek penerjemahan karya sastra, sebagaimana mengiringi perhelatan semacam Frankfurt dan London Book Fair, lebih sering meng-kelas-dua-kan mereka.

Tentu banyak masalah di luar sana. Dalam konteks kesusastraan global, rezim dan selera penerbit-penerbit asing yang bisa jadi sangat "Barat" merupakan satu masalah. Dominasi bahasa Inggris adalah masalah lain. Mentalitas kolonialisme sebagai struktur dunia, yang pengaruhnya tetap kuat hampir seabad setelah Perang Dunia II, juga menjadi catatan.

Namun, jejaring-jejaring di dalam kesusastraan Indonesia sendiri, saya rasa, perlu memperoleh sorotan. Jejaring seperti Lontar Foundation jelas memberikan banyak pengaruh kuat terhadap ilusi mengenai identitas Indonesia dalam karya sastra ini. Tentu beserta akibatnya: pengabaian terhadap kecenderungan-kecenderungan kesusastraan yang lain.

Pengaruh itu bisa jadi karena posisi mereka dalam distribusi karya sastra maupun kekuatan kapital yang mampu menggerakkan aktivitas mereka secara berkesinambungan. Lontar, sebagai salah satu contoh, memperoleh momentum yang penting di antara pergelaran Frankfurt dan London Book Fair, di mana karya-karya sastra Indonesia dalam terjemahan menjadi produk yang dipamerkan.

John McGlynn, editor penerbit Lontar, dalam wawancara dengan The Jakarta Post pada 2017 mengatakan, "Penerbit (asing) tak mencarimu, mereka mencari Indonesia."

Jika dia percaya dengan apa yang dikatakannya, lantas seperti apa "Indonesia" yang dia maksud? Bukankah dia tak perlu mencari genius-genius kesusastraan? Dia hanya perlu mencari para penulis yang cocok dengan bayangannya tentang Indonesia --dan tepat di titik seperti inilah salah satu masalah kesusastraan Indonesia berawal. (*)

https://www.jawapos.com/opini/09/03/2019/sastra-yang-mendefinisikan-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons