Putu Setia
balipost.co.id
Mulai hari ini, bertepatan dengan rerainan Tumpek Landep, di Ubud dilangsungkan ''Festival Penulis dan Pembaca Internasional'' yang akan berakhir 3 Oktober nanti. Bahasa keren dari kegiatan yang sudah ketiga kalinya digelar ini adalah Ubud Writers and Readers Festival. Di sini bertemu penulis-penulis dari berbagai daerah di Indonesia, tentu saja akan banyak didominasi penulis Bali, dan penulis dari berbagai negara yang punya perhatian terhadap dunia sastra. Ada ide besar yang ingin dicita-citakan melalui festival ini, yakni menjadikan Bali sebagai pusat sastra dunia.
Sebuah istilah yang membuat kita merinding. Bagaimana cita-cita ini berpijak di bumi kalau kenyataannya orang Bali sudah terjerumus pada kehidupan materialisme dan konsumerisme? Gaya hidup modern sudah mulai merambah orang Bali. Anak-anak kecil di pedesaan sudah mulai memencet-mencet handphone untuk mengirim pesan pendek kepada teman-temannya. Anak-anak remaja sudah pada mejeng di mal-mal dan pusat perbelanjaan yang mewah. Sebentar lagi akan muncul pasar swalayan yang lisensinya dari salah satu negeri Eropa yang terkenal dengan kemegahannya, tentu akan membuat para ibu asyik berbelanja ke sana.
Apakah sastra berkembang dalam situasi seperti itu? Tentu saja tak ada masalah, karena dunia sastra mengatasi segalanya. Karya sastra bisa terinspirasi dari dunia gemerlap, dan bisa pula menjadi jembatan antara gemerlap dan kegelapan. Yang lazim dikenal oleh masyarakat pencinta sastra adalah karya sastra sangat condong menyuarakan kemiskinan dan keterpurukan. Paradoks ini tersedia di tanah Bali, sebuah pulau yang mayoritas penduduknya percaya pada konsep rwa bhineda.
Ada kelompok yang menghambur-hamburkan uang, ada komunitas yang menadahkan tangannya di jalanan meminta uang. Ada banyak orang yang datang ke kafe, mal, dan pusat hiburan lainnya, ada lebih banyak lagi orang yang terpuruk dengan kemiskinan, tak tahu apakah esok hari makan atau tidak. Pusat-pusat hiburan dan perbelanjaan mewah terus dibangun di Denpasar dan Kabupaten Badung, kantong-kantong kemiskinan terus bertambah di Kabupaten Bangli, Karangasem dan lainnya.
Rwa bhineda terus hidup di Bali. Malam hari pesantian digelar, orang-orang membaca kekawin, bagaimana sadripu harus dienyahkan dalam diri, bagaimana mabuk-mabukan harus dihindarkan. Siang hari orang-orang berjudi dan minum-minuman keras. Bupati Tabanan rajin menggelar yadnya suci, ada panca wali krama, larut dalam upacara ngenteg linggih di berbagai pura. Tetapi, Bupati Tabanan pula yang seolah-olah tidak tahu kalau ada pabrik miras di pinggir jalan Meliling, dan bahkan membiarkan di Desa Pucuk dibangun pabrik miras baru.
Rwa bhineda, baik dan buruk yang berdampingan, kini mendapatkan pijakan lagi dalam Ubud Writers and Readers Festival, dengan dipakainya konsep desa, kala, patra sebagai tema kegiatan. Tempat (desa), waktu (kala), dan identitas (patra) yang merupakan prinsip hidup bermasyarakat orang-orang Bali akan didiskusikan oleh para sastrawan dan penulis dari berbagai penjuru dunia. Sasaran yang akan dituju adalah apakah tiga unsur itu (desa, kala, patra) punya pengaruh dalam karya-karya kreatif para sastrawan, pemikir, dan penulis kebudayaan. Para sastrawan dan penulis Bali diharapkan bisa memberikan pandangannya sejauh mana konsep itu mempengaruhi dalam proses kreatif mereka.
Hari ini didiskusikan tentang babad dan pengaruhnya terhadap karya sastra orang Bali. Ini hal yang menarik dan sekaligus tak terbayangkan oleh banyak orang, bahwa babad yang ''tak sepenuhnya sejarah'' harus dikupas secara serius dikaitkan dengan karya sastra. Babad, meski kebenarannya tidak seratus persen untuk menentukan asal-usul orang Bali, dan antara satu babad dengan babad lainnya sering bertentangan, toh dipakai pedoman oleh sebagian besar orang Bali untuk menemukan identitas dirinya, siapa leluhurnya, di mana pemujaannya, apa pantangannya dalam hidup ini, dan sebagainya.
Sastrawan (pengawi) Bali di masa lalu bisa sangat terikat dengan babad, dan mereka hampir mustahil menuliskan kisah tokoh-tokoh yang tidak satu alur babad dengan dirinya. Sebaliknya, mereka akan memuji tokoh-tokoh yang sealur, bahkan pujian itu sama sekali tanpa cela. Inilah bentuk penghormatan kepada leluhur yang diwarisi orang Bali. Karya sastra ini bisa kita lihat dari geguritan (kisah bertutur dengan tembang) yang lahir di masa lalu. Sedangkan sastrawan Bali masa kini, bisa melepaskan diri dari pengaruh babad, setidaknya mereka tak merasa terbelenggu oleh babad. ''Babad'' sastrawan Bali modern adalah kepekaan sosial mereka terhadap kondisi Bali, baik tentang perubahan manusianya, budayanya, juga lingkungannya.
Di sinilah desa, kala, patra mempengaruhi karya sastra itu. Karenanya, dalam festival ini diskusi soal babad dilanjutkan dengan diskusi yang menukik ke masalah ''peradaban modern'', sejauh mana peradaban ini tercermin dalam karya sastra. Maka tukar pikiran antara sastrawan dan penulis Bali (dan Indonesia umumnya) dengan penulis yang datang dari luar negeri menjadi sesuatu yang penting. Dari sinilah muncul istilah bahwa Bali bisa menjadi ''pusat sastra dunia'', karena kehidupan masyarakat Bali demikian kompleks dan bisa menjadi inspirasi berkepanjangan untuk melahirkan karya sastra bermutu.
***
the spaces of world figures, literature studies, new school of thought in the world of literature (art, letters, etc.)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.C. Andre Tanama
Aang Fatihul Islam
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Adam Roberts
Adelbert von Chamisso
Adreas Anggit W.
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus R. Sarjono
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Albert Camus
Albrecht Goes
Alexander Pushkin
Alit S. Rini
Amien Kamil
Amy Lowell
Andra Nur Oktaviani
André Chénier
Andy Warhol
Angela
Angela Dewi
Angrok
Anindita S. Thayf
Anton Bruckner
Anton Kurnia
Anwar Holid
Arif Saifudin Yudistira
Arthur Rimbaud
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asep Sambodja
Awalludin GD Mualif
Axel Grube
Bambang Kariyawan Ys
Basoeki Abdullah
Beethoven
Ben Okri
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Berto Tukan
BI Purwantari
Birgit Lattenkamp
Blaise Cendrars
Book Cover
Brunel University London
Budi Darma
Buku Kritik Sastra
C.C. Berg
Candra Kurnia
Cecep Syamsul Hari
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Charles Baudelaire
Claude Debussy
Cristina Lambert
D. Zawawi Imron
Damhuri Muhammad
Dana Gioia
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darwin
Dea Anugrah
Denny Mizhar
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dwi Cipta
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Edgar Allan Poe
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Emha Ainun Nadjib
Emily Dickinson
Enda Menzies
Endorsement
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Essay
Evan Ys
Fahmi Faqih
Fatah Anshori
Fazabinal Alim
Feby Indirani
François Villon
François-Marie Arouet (Voltaire)
Frankfurt Book Fair 2015
Franz Kafka
Franz Schubert
Franz Wisner
Frederick Delius
Friedrich Nietzsche
Friedrich Schiller
Fritz Senn
FX Rudy Gunawan
G. J. Resink
Gabriel García Márquez
Gabriela Mistral
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Goethe
Hamid Dabashi
Hardi Hamzah
Hasan Junus
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier
Henry Lawson
Hera Khaerani
Hermann Hesse
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ignas Kleden
Igor Stravinsky
Imam Nawawi
Indra Tjahyadi
Inspiring Writer
Interview
Iskandar Noe
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rumi
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jiero Cafe
Johann Sebastian Bach
Johannes Brahms
John H. McGlynn
John Keats
José de Espronceda
Jostein Gaarder
Kamran Dikarma
Katrin Bandel
Khalil Gibran (1883-1931)
Koesoema Affandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Koskow
Kulya in the Niche of Philosophjy
Laksmi Pamuntjak
Laksmi Shitaresmi
Lathifa Akmaliyah
Laurencius Simanjuntak
Leila S Chudori
Leo Tolstoy
Lontar Foundation
Lorca
Lord Byron
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lutfi Mardiansyah
Luthfi Assyaukanie
M. Yoesoef
M.S. Arifin
Mahmoud Darwish
Mahmud Ali Jauhari
Mahmudi
Maman S. Mahayana
Marco Polo
Martin Aleida
Mathori A Elwa
Max Dauthendey
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Michael Kumpfmüller
Michelangelo
Milan Djordjevic
Minamoto Yorimasa
Modest Petrovich Mussorgsky
Mozart
Mpu Gandring
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mulla Shadra
Nenden Lilis A
Nikmah Sarjono
Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Notes
Novel Pekik
Nunung Deni Puspitasari
Nurel Javissyarqi
Octavio Paz
Orasi Budaya
Orhan Pamuk
Pablo Neruda
Panos Ioannides
Patricia Pawestri
Paul Valéry
Paul van Ostaijen
PDS H.B. Jassin
Penerbit SastraSewu
Percy Bysshe Shelley
Pierre de Ronsard
Poems
Poetry
Pramoedya Ananta Toer
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Setia
Pyotr Ilyich Tchaikovsky
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Radhar Panca Dahana
Rainer Maria Rilke
Rakai Lukman
Rama Dira J
Rambuana
Read Ravel
Rengga AP
Resensi
reviewer
RF. Dhonna
Richard Strauss
Richard Wagner
Ridha al Qadri
Robert Desnos
Robert Marcuse
Ronny Agustinus
Rosalía de Castro
Ruth Martin
S. Gunawan
Sabine Müller
Samsul Anam
Santa Teresa
Sapardi Djoko Damono
Sara Teasdale
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Schreibinsel
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Short Story
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Solo Exhibition Rengga AP
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Stefan Zweig
Stefanus P. Elu
Subagio Sastrowardoyo
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
T.S. Eliot
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Thales
The World Readers Award
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
To Take Delight
Toeti Heraty
Tunggul Ametung
Ulysses
Umar Junus
Unknown Poet From Yugoslavia
Usman Arrumy
Utami Widowati
Vladimir Nabokov
W.S. Rendra
Walter Savage Landor (1775-1864)
Watercolour Paint
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Welly Kuswanto
Wildani Hefni
William Blake
William Butler Yeats
Wizna Hidayati Umam
World Letters
X.J. Kennedy
Yasraf Amir Piliang
Yasunari Kawabata
Yogas Ardiansyah
Yona Primadesi
Yuja Wang
Yukio Mishima
Z. Afif
Zadie Smith
Zeynita Gibbons
Tidak ada komentar:
Posting Komentar