Minggu, 08 September 2019

Bondres Sastra Dunia

Putu Setia
balipost.co.id

Mulai hari ini, bertepatan dengan rerainan Tumpek Landep, di Ubud dilangsungkan ''Festival Penulis dan Pembaca Internasional'' yang akan berakhir 3 Oktober nanti. Bahasa keren dari kegiatan yang sudah ketiga kalinya digelar ini adalah Ubud Writers and Readers Festival. Di sini bertemu penulis-penulis dari berbagai daerah di Indonesia, tentu saja akan banyak didominasi penulis Bali, dan penulis dari berbagai negara yang punya perhatian terhadap dunia sastra. Ada ide besar yang ingin dicita-citakan melalui festival ini, yakni menjadikan Bali sebagai pusat sastra dunia.

Sebuah istilah yang membuat kita merinding. Bagaimana cita-cita ini berpijak di bumi kalau kenyataannya orang Bali sudah terjerumus pada kehidupan materialisme dan konsumerisme? Gaya hidup modern sudah mulai merambah orang Bali. Anak-anak kecil di pedesaan sudah mulai memencet-mencet handphone untuk mengirim pesan pendek kepada teman-temannya. Anak-anak remaja sudah pada mejeng di mal-mal dan pusat perbelanjaan yang mewah. Sebentar lagi akan muncul pasar swalayan yang lisensinya dari salah satu negeri Eropa yang terkenal dengan kemegahannya, tentu akan membuat para ibu asyik berbelanja ke sana.

Apakah sastra berkembang dalam situasi seperti itu? Tentu saja tak ada masalah, karena dunia sastra mengatasi segalanya. Karya sastra bisa terinspirasi dari dunia gemerlap, dan bisa pula menjadi jembatan antara gemerlap dan kegelapan. Yang lazim dikenal oleh masyarakat pencinta sastra adalah karya sastra sangat condong menyuarakan kemiskinan dan keterpurukan. Paradoks ini tersedia di tanah Bali, sebuah pulau yang mayoritas penduduknya percaya pada konsep rwa bhineda.

Ada kelompok yang menghambur-hamburkan uang, ada komunitas yang menadahkan tangannya di jalanan meminta uang. Ada banyak orang yang datang ke kafe, mal, dan pusat hiburan lainnya, ada lebih banyak lagi orang yang terpuruk dengan kemiskinan, tak tahu apakah esok hari makan atau tidak. Pusat-pusat hiburan dan perbelanjaan mewah terus dibangun di Denpasar dan Kabupaten Badung, kantong-kantong kemiskinan terus bertambah di Kabupaten Bangli, Karangasem dan lainnya.

Rwa bhineda terus hidup di Bali. Malam hari pesantian digelar, orang-orang membaca kekawin, bagaimana sadripu  harus dienyahkan dalam diri, bagaimana mabuk-mabukan harus dihindarkan. Siang hari orang-orang berjudi dan minum-minuman keras. Bupati Tabanan rajin menggelar yadnya suci, ada panca wali krama, larut dalam upacara ngenteg linggih di berbagai pura. Tetapi, Bupati Tabanan pula yang seolah-olah tidak tahu kalau ada pabrik miras di pinggir jalan Meliling, dan bahkan membiarkan di Desa Pucuk dibangun pabrik miras baru.

Rwa bhineda, baik dan buruk yang berdampingan, kini mendapatkan pijakan lagi dalam Ubud Writers and Readers Festival, dengan dipakainya konsep desa, kala, patra sebagai tema kegiatan. Tempat (desa), waktu (kala), dan identitas (patra) yang merupakan prinsip hidup bermasyarakat orang-orang Bali akan didiskusikan oleh para sastrawan dan penulis dari berbagai penjuru dunia. Sasaran yang akan dituju adalah apakah tiga unsur itu (desa, kala, patra) punya pengaruh dalam karya-karya kreatif para sastrawan, pemikir, dan penulis kebudayaan. Para sastrawan dan penulis Bali diharapkan bisa memberikan pandangannya sejauh mana konsep itu mempengaruhi dalam proses kreatif mereka.

Hari ini didiskusikan tentang babad dan pengaruhnya terhadap karya sastra orang Bali. Ini hal yang menarik dan sekaligus tak terbayangkan oleh banyak orang, bahwa babad yang ''tak sepenuhnya sejarah'' harus dikupas secara serius dikaitkan dengan karya sastra. Babad, meski kebenarannya tidak seratus persen untuk menentukan asal-usul orang Bali, dan antara satu babad dengan babad lainnya sering bertentangan, toh dipakai pedoman oleh sebagian besar orang Bali untuk menemukan identitas dirinya, siapa leluhurnya, di mana pemujaannya, apa pantangannya dalam hidup ini, dan sebagainya. 

Sastrawan (pengawi) Bali di masa lalu bisa sangat terikat dengan babad, dan mereka hampir mustahil menuliskan kisah tokoh-tokoh yang tidak satu alur babad dengan dirinya. Sebaliknya, mereka akan memuji tokoh-tokoh yang sealur, bahkan pujian itu sama sekali tanpa cela. Inilah bentuk penghormatan kepada leluhur yang diwarisi orang Bali. Karya sastra ini bisa kita lihat dari geguritan (kisah bertutur dengan tembang) yang lahir di masa lalu. Sedangkan sastrawan Bali masa kini, bisa melepaskan diri dari pengaruh babad, setidaknya mereka tak merasa terbelenggu oleh babad. ''Babad'' sastrawan Bali modern adalah kepekaan sosial mereka terhadap kondisi Bali, baik tentang perubahan manusianya, budayanya, juga lingkungannya.

Di sinilah desa, kala, patra mempengaruhi karya sastra itu. Karenanya, dalam festival ini diskusi soal babad dilanjutkan dengan diskusi yang menukik ke masalah ''peradaban modern'', sejauh mana peradaban ini tercermin dalam karya sastra. Maka tukar pikiran antara sastrawan dan penulis Bali (dan Indonesia umumnya) dengan penulis yang datang dari luar negeri menjadi sesuatu yang penting. Dari sinilah muncul istilah bahwa Bali bisa menjadi ''pusat sastra dunia'', karena kehidupan masyarakat Bali demikian kompleks dan bisa menjadi inspirasi berkepanjangan untuk melahirkan karya sastra bermutu.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons