Kamis, 16 April 2020

DARI SA’DI KE BOCCACCIO: WARISAN SASTRA PANDEMI

Hamid Dabashi
Diterjemahkan oleh Dwi Pranoto

Kesusastraan dapat membantu kita bertahan dari pandemi ini dengan kekayaan konstelasi mental, moral, dan daya kritis.

Ketika kasus dan korban Covid-19 meningkat secara global, para pakar medis sangat khawatir tidak hanya mengenai virus itu sendiri, tapi juga mengenai meningkatnya kecemasan dan menajamnya ketakutan orang-orang yang sedang mengalami saat mereka berusaha menghadapi pandemi.

Ketika orang-orang seantero dunia diminta untuk mengisolasi diri, melakukan penjarakan sosial, dan bersama-sama memasuki suatu kehidupan yang kedap untuk membantu “melandaikan kurva” bencana manusia, ada kepastian sesuatu dalam tenunan dan pengaturan kampong global sedang berubah, dan berubah dengan cepat.

Masalah kunci hari ini adalah bagaimana tidak hanya bertahan terhadap pandemi itu sendiri, tapi juga bertahan dengan kekayaan dan kemantapan konstelasi mental, moral, kreatif, dan daya kritis kita.

Kemanusiaan Sudah Di Sini Sebelumnya

Baru-baru ini aku membaca tulisan menarik Andre Spicer dalam New Statesman mengenai buku abad ke empat belas karya Giovanni Boccaccio, The Decameron, dan alangkah karya itu menunjukan pada kita bagaimana bertahan dari virus corona.

Boccaccio menulis The Decameron pada saat pecahnya pageblug di Florence tahun 1348 untuk membimbing orang-orang Italia sebangsanya mengenai “bagaimana mengelola kesejahteraan mental pada masa wabah dan isolasi”. Cerita-cerita menggairahkan di dalam buku adalah alusi penceritaan yang kuat guna mengelola kemantapan kesehatan mental pada masa membanjirnya kecemasan.

“Maksudnya melindungi diri kalian sendiri dengan cerita-cerita”, kata Spicer, “Boccaccio menyarankanmu untuk dapat menyelamatkan diri kalian sendiri dengan meninggalkan kota-kota, menempatkan kalian sendiri di sekeliling teman-teman yang menyenangkan dan menceritakan kisah-kisah yang menghibur guna menjaga nyala jiwa. Melalui gabungan isolasi sosial dan kegiatan-kegiatan menyenangkan, memungkinkan bertahan dari hari-hari wabah yang terburuk”. Kedengarannya seperti resep yang sempurna untuk hari ini juga.

Novel Boccaccio memberikan tujuan lain pada tahun-tahun lebih kini. Tahun 1971 filem The Decameron, berdasarkan karya besar abad ke empat belas Boccaccio, adalah filem pertama dari sutradara Italia Pier Paolo Pasolini, Trilogy of Life, yang juga mencakup The Canterbury Tales dan Arabian Nights. Dalam mewujudkannya, Pasolini tetap terpaku pada penderitaan umat manusia dalam terjangan fasisme dan segala patologi kekuasaannya.

Selanjutnya, dalam karya besar yang sangat mengganggu lainnya, Salo, atau The 120 Days of Sodom (1975), Pasolini menumpahkan ketakutan-ketakutan yang sama dengan ujungnya yang bahkan lebih bobrok. Fasisme dan pageblug, atau fasisme sebagai pageblug, gema yang sama dengan zaman xenofobia rasisme kita yang diteladankan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menyatakan Covid-19 sebagai “virus China”.

Bahkan sebelum Pasolini, tema-tema yang sama menyuntukan Albert Camus dalam karya besar tahun 1947 yang abadi, Sampar (The Plague), di mana kota Oran di Aljazair menjadi latar refleksi ekstensialnya mengenai dampak-dampak alegoris pandemi atas jiwa manusia.

Camus mencampur dua kejadian terpisah, wabah kolera di Aljazair pada 1849 dan munculnya fasisme Eropa, untuk merefleksikan rapuhnya pengalaman hidup kita pada masa hiruk-pikuk kolektif. Sebagai suatu alegori pemaksaan pendudukan Nazi atas Prancis dan lainnya, Camus menggunakan acuan pemakaman masal sebagai suatu alusi untuk kamp-kamp konsentrasi dan pemusnahan di Nazi Jerman. Ada, dan masih ada suatu potensi alegoris yang kuat untuk gagasan yang sama mengenai wabah.

Bahkan lebih awal lagi, pada 1882, dramawan Norwegia, Henrik Ibsen, menjelajahi sentimen yang sama dalam naskah drama Musuh Masyarakat (An Enemy of the People). Kadang-kadang dalam kekuatan penceritaan atau pemanggungan pada saat yang bersamaan menyampaikan kewaspadaan dan ketakutan namun secara paradox juga kepuasan dan ketentraman. Apakah tidak ada godaan-godaan juga juga di balik novel tahun 1985 Garcia Marquez, Love in the Time of Cholera?

Pada masa Covid-19, segala metafor tersebut telah berubah menjadi kenyataan. Filem-Filem seperti Outbreak (1995) karya Wofgang Petersen dan Contagion (2011) karya Steven Soderbergh sekarang telah menjadi profetik jika bukan apokaliptik.

Kelaparan berbulan-bulan di Damaskus pada Masa Lalu

Namun lebih dari Pasolini yang membawa The Decameron Boccacio dengan akhir fasis, atau Camus juga Ibsen, ini adalah sajak Sa’di Shirazi yang berasal sekitar seabad sebelum Boccaccio yang potongannya di New Statesman menarik pikirannku.

Setiap anak-anak sekolah Iran segenerasiku hafal baris pembuka yang kuat dari sajak hebat ini:

Kelaparan yang menghancurkan selama setahun terjadi di Damaskus
Para kekasih melupakan cinta...

Lanjutan sajak mendeskripsikan dengan sangat indah rincian malapetaka yang telah menimpa Suriah yang sangat lama tidak turun hujan, air mata yang mengalir telah kering, tidak ada dapur yang mengepulkan asap masakan, para janda tua putus asa, bukit-bukit sekeliling digersangkan semua tetumbuhannya, kebun buah tak melahirkan buah-buahan, para belalang sedang makan mayat dan orang-orang makan belalang.

Tokoh puitik Sa’di kemudian menjumpai seorang kawan yang kurus kering. Ia bertanya padanya mengapa ia sangat lemah, karena ia orang kaya dan telah menahan cuaca kelaparan dengan lebih baik. Lantas datanglah kejenakaan sajak yang sangat tak terlupakan:

Orang bijak menatapku yang jelas-jelas terluka
Dengan tatapannya orang bijak itu menyerbu orang bebal:
Aku tidak lemah karena aku tidak punya makanan untuk dimakan
Aku sedih karena menanggung kemiskinan!

Kita membaca sajak Sa’di hari ini dengan dua perasaan langsung: pertama keindahan dan keelokan diksi puitiknya, kekuatan perumpamaan-perumpamaannya, kelugasannya yang tersampaikan hingga lintas generasi dan dunia, dan kedua, peninggian suara moral yang ia topangkan untuk tugas-tugas sosial yang yang perkasa lagi kuat.

Rak-Rak Kosong, Takut akan Ketakutan Itu Sendiri

Aku membisikan sajak Sa’di pada diriku sendiri saat aku berangkat keluar guna sedikit berbelanja untuk keluargaku di New York, tempat kita diminta mengisolasi diri sebisa mungkin, menatap deretan demi deretan rak kosong, dijarah oleh penduduk yang ketakutan dan keji yang tidak punya rasa paling tipis untuk tugas kewargaan terhadap tetangga-tetangga mereka yang lebih tua dan lebih rentan, apalagi mampu memahami visi dan kebajikan “sosialisme demokrasi” yang Bernie Sanders tawarkan pada mereka.

Tapi, tepatkah kita bertahan terhadap pandemi ini dengan rasa kepatutan umum? Jauh sebelum pandemi ini mulai, pada tahun 2012, Jonathan Jones menulis tulisan yang meyakinkan untuk Guardian, Brush with the Black Death: bagaimana seniman-seniman melukis menembuh pagebluk, di mana ia menjelaskan alangkah “dari 1347 sampai akhir abad 17, Eropa dilintasi oleh Black Death, tapi seni tidak hanya bertahan, seni bermekaran”. Menjelang akhir esai, Jones menyimpulkan:

“Umat manusia mempunyai daya tahan mengejutkan. Mereka juga punya kekuatan untuk bangkit melampaui belas kasihan diri sendiri. Bila itu tidak nampak jelas hari ini, cukup perhatikanlah ketenangan St. Paul di langit London, sebuah pesan bagi kita dari masa heroisme sehari-hari”

Tapi apakah kita? Secercah harapan dari pandemi virus corona yang planet kita hadapi adalah bahwa segala garis pemisah Timur dan Barat, Selatan dan Utara, kaya dan miskin, kuat dan lemah, dihapuskan. Donald Trump hari ini seperti rasa taku berjabattangan saat para dokter pemberani di garis depan sedang memerangi virus dengan kondisi rentan. Dan para dokter bahkan bukan satu-satunya pahlawan tragedi manusia ini. Bahkan yang jauh lebih berani dari mereka semua adalah ibu tunggal di New York yang sekolah umum anaknya ditutup dan yang harus mengirim bayi tercintanya ke belantara penuh sesak kereta bawah tanah dan jalanan untuk memungut kotak makan siang agar mereka tak kelaparan sampai mati sebelum virus corona menulari mereka.

Bertahan dari pandemi ini penting tapi tak cukup, bertahan dengan rasa kepatutan umum, penalaran kolektif, dan tujuan publik juga penting.
***

______________________
Diterjemahkan oleh Dwi Pranoto dari https://www.aljazeera.com/indepth/opinion/shirazi-boccaccio-literary-legacy-pandemics-200326130141247.html “From Sa’di to Boccaccio: Literary Legacy of Pandemic” (27 Maret 2020), Hamid Dabashi, Profesor Kajian Iran dan Literatur Perbandingan di Columbia University.
http://sastra-indonesia.com/2020/04/dari-sadi-ke-boccaccio-warisan-sastra-pandemi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons