Sabtu, 25 April 2020

Kesaksian Martin Aleida, Kesadaran Kita

Berto Tukan *

PERKENALAN pertama saya dengan Martin Aleida terjadi pada 2003 melalui cerpen Kesaksian Ganja Kering Basah Air Mata. Saya kala itu begitu terhenyak dengan kompleksitas problem yang diangkat Aleida di dalam karyanya tersebut.

Betapa tidak. Ada perihal HAM (hak asasi manusia) yang berhubungan dengan DOM (daerah operasi militer) Aceh. Ada ganja sebagai barang ilegal serta ada seorang mahasiswi yang kesulitan dengan biaya kuliah.

Saya tentu saja ketika itu tiada tahu-menahu perihal siapa, dan bagaimana latar belakang penulis cerpen yang dimaksud. Bahwa ia adalah seorang penyintas tragedi 1965, di belakang hari barulah saya ketahui.

Martin Aleida memang dikenal produktif melahirkan cerpen berlatar tragedi 1965. Hal itu tampak setidaknya dari beberapa buku kumpulan cerpennya. Kedekatan Aleida pada tragedi 1965 diperkuat juga oleh buku nonfiksinya, Tanah Air Yang Hilang (Penerbit Buku Kompas, 2017).

Di awal 2020, penulis kelahiran Tanjung Balai, Sumatera Utara, 31 Desember 1943 itu, sebelum pandemi Covid-19 memorak-porandakan keseharian kita, menerbitkan Romantisme Tahun Kekerasan: Sebuah Memoar (Somalaing Art Studio, Maret 2020). Dengan memoar itu, minimal dari pembacaan saya, kita akan mengenal lebih jauh seperti apa sastrawan yang bernama kecil Nurlan tersebut dan dari mana kisah-kisah yang ditorehkannya dalam rupa cerita pendek berasal. Sepanjang buku, kita akan mengenali peristiwa-peristiwa, orang-orang, pengalaman, dan pemikiran Aleida yang bertebaran di banyak cerpennya sebelumnya.

Romantisme Tahun Kekerasan memperjelas motif dan landasan karya-karya fiksi Aleida; dari sumur mana sajakah inspirasi ditimbanya. Sebagai apresiator atas memoar yang tidak bisa tidak membuat manusia yang masih memiliki hati nurani trenyuh, dan merasa ada sesuatu yang ingin deras mengucur dari mata, di bawah ini saya akan membagikan dua hal yang saya garis bawahi dari pengalaman Martin Aleida. Tentu saja masih banyak hal lain yang bisa ditimba dari memoar yang dimaksud.

Tertangkap dengan "Indah"

Kebanyakan dari kita mengidentifikasi Martin Aleida sebagai penulis dengan spesialisasi permasalahan 1965; khususnya keberpihakan kepada korban G 30 S 1965 dan kejadian-kejadian setelahnya di dalam konteks itu. Perihal apa itu peristiwa G 30 S 1965 dan tragedi 1965, saya kira tak perlu lagi diuraikan di sini.

Martin Aleida adalah salah satu korban tragedi tersebut. Hal itu tampak jelas di dalam Romantisme Tahun Kekerasan: Sebuah Memoar, pun di dalam referensi-referensi yang lain.

Aleida yang kala itu bernama Nurlan ditangkap pada 21 Oktober 1966, malam hari. Bersamanya, tertangkap pula lima orang lain; Putu Oka, Arifin, Mujio, Zaini, dan T. Iskandar A.S. Penangkapan itu pun terjadi dalam momen yang katakanlah ”indah”; sesuatu yang estetik menyesakkan hati atau katakanlah sesuatu yang saking menyedihkannya, terlihat indah.

Penjara Denotatif dan Penjara Konotatif

Sejak penangkapan itu, Nurlan menghuni kamp tahanan Operasi Kalong, di seberang Komando Distrik Militer 0501, di belakang gedung Bank Indonesia, Jakarta. Ia ditahan tidak sampai setahun. Ia lantas dilepaskan.

Martin Aleida belakangan mendaku tidak tahu alasan ia dilepas. Ia percaya bahwa surat dari ayahnyalah yang menyebabkan hal itu. Ayah dan ibunya pada akhir 1966 hendak menunaikan ibadah haji. Dan, sebelum berangkat, sang ayah mengiriminya surat wasiat. Demikian kesaksian Martin Aleida di dalam Tribunal Rakyat Internasional 1965 di Den Haag beberapa tahun silam.

Dalam hal ini, Nurlan bisa dibilang beruntung. Namun, keberuntungan itu bukan berarti membuat hidup Nurlan menjadi jauh lebih baik.

Ia justru menghadapi sesuatu yang lebih mengerikan; memasuki sebuah ”…kamp konsentrasi yang lebih besar. Sebuah penjara tak bertepi, dilingkung langit (halaman 106)”. Nurlan merasakan demikian, dan memang demikian adanya, lantaran, ”…tak seorang kawan pun yang tertinggal di dunia bebas ini. Semua sudah diringkus sampai tumpas (halaman 106).”

Bagaimana bisa hidup merupakan sebuah pertanyaan yang krusial. Bagi Nurlan, saya kira, bebas dari penjara menjelma dilema. Di satu sisi, bahagia terlepas dari segala siksaan fisik, meski Aleida mengakui bahwa ia tidak mendapatkan siksaan dari para penjaga, namun sebagaimana hidup di kamp, tentu saja jauh dari kata manusiawi. Juga terlepas dari siksaan psikis. Tapi, di sisi lain, masa depan yang sama sekali kabur dan tak pasti sudah menunggu.

Sepanjang Romantisme Tahun Kekerasan, bagian kisah dari Nurlan dibebaskan hingga menjadi wartawan Majalah Tempo adalah bagian tuturan yang paling membuat dada trenyuh. Mulai menyusuri rel kereta api untuk mencari teman, berjualan di pasar dan kaki lima, mendatangi rumah kekasih yang lantas menjadi istrinya di sebuah desa di Solo, sampai awal-awal bertemu kakak kandung di Pelabuhan Tanjung Priok.
***

Sebagai sebuah memori, memori ini penting kita baca karena di sana tercatat begitu banyak fakta yang membantu kita memahami tragedi 1965 dan memahami hidup orang-orang yang terdampak setelahnya.

Banyak juga tokoh penting, terkhusus di kalangan penulis dan sastrawan yang berafiliasi dengan Lekra maupun PKI, disebutkan dan diceritakan Aleida di sini. Bagi mereka yang melakukan studi sastra dan studi sejarah, tentu ini merupakan data yang berharga.

Namun, jika dua hal itu tak ada di sana, memori dari orang seperti Martin Aleida ini, orang yang mengarungi tiga bahkan empat masa penting untuk kita di masa kini.

Judul: Romantisme Tahun Kekerasan: Sebuah Memoar
Pengarang: Martin Aleida
Penerbit: Somalaing Art Studio, Jakarta.
Terbitan: Maret 2020
Ketebalan: 271 halaman

*) Berto Tukan, Aktif di ruangrupa; sebagai editor jurnalkarbon.net dan di Gudskul: Studi Kolektif dan Seni Rupa Kontemporer, Jakarta.
https://www.jawapos.com/minggu/buku/05/04/2020/kesaksian-aleida-kesadaran-kita/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons