Senin, 25 Januari 2021

Menunggu Seharian

Karya: Ernest Hemingway
Penerjemah: Rambuana *
 
Ia masuk ke dalam kamar untuk menutup jendela, saat kami masih di tempat tidur dan kulihat ia tampak sakit. Ia menggigil, wajahnya pasi, dan ia berjalan pelan seakan linu, meski hanya untuk bergerak.
 
“Ada apa, Schaltz?”
 
“Aku sakit kepala.”
 
“Sebaiknya kamu kembali tidur.”
 
“Tidak. Aku tidak apa-apa.”
 
“Kembali ke kamarmu. Aku akan melihatmu setelah aku pakai baju.”
 
Tetapi saat aku ke bawah ia sudah berpakaian, duduk dekat perapian, dengan keadaan bocah lelaki umur sembilan tahun yang mengenaskan dan benar-benar sakit. Saat aku letakkan tanganku di keningnya, aku tahu ia demam.
 
“Naiklah ke kamarmu,” kataku, “kamu sakit.”
 
“Aku tidak apa-apa,” katanya.
 
Saat dokter datang, dia mengukur suhu tubuh bocah itu.
 
“Berapa?” Kataku.
 
“Seratus dua.”
 
Di bawah, dokter meninggalkan tiga obat yang berbeda dalam kapsul berwarna dengan petunjuk pemberian obat-obat itu. Satu untuk menurunkan demam, satu untuk pencahar, yang ketiga untuk mengatasi kondisi asam. Dia menerangkan, kuman penyebab influenza hanya bisa eksis pada kondisi asam. Dia tampak mengetahui semua seluk-beluk tentang influenza, dan berkata tak ada yang perlu dikhawatirkan, jika demamnya tidak sampai ke seratus empat derajat. Ini adalah epidemi ringan dan tak berbahaya, jika kita menghindari pneumonia.
 
Aku kembali ke kamar dan mencatat suhu bocah itu, dan membuat catatan kapan waktunya untuk memberikan bermacam kapsul tersebut.
 
“Kamu ingin aku membaca untukmu?”
 
“Kalau kamu mau, baiklah,” kata bocah itu. Wajahnya sangat pucat dan ada bidang suram di bawah matanya. Ia berbaring kaku di tempat tidur dan tampak terpisah sama sekali dari apa sedang terjadi.
 
Aku membaca keras-keras kata-katanya Howard Pyle dari Book of Pirates; tetapi aku bisa lihat ia tak memperhatikan apa yang kubaca.
 
“Bagaimana perasaanmu, Schaltz?” Aku bertanya padanya.
 
“Sampai sekarang, sama saja,” katanya.
 
Aku duduk di kaki ranjang dan membaca untuk diriku sendiri, saat aku menunggu waktu untuk memberikan kapsul lainnya. Akan menjadi wajar baginya untuk tertidur, tetapi saat aku menengok ke atas, ia menatap ke arah kaki ranjang, menatap penuh heran.
 
“Kenapa kamu tak mencoba untuk tidur? Aku akan membangunkanmu untuk minum obat.”
 
“Aku lebih suka untuk tetap bangun.”
 
Setelah beberapa saat ia berkata padaku, “Kau tak harus tetap di dalam sini bersamaku, Papa, kalau itu mengganggumu.”
 
“Ini tak menggangguku.”
 
“Bukan. Maksudku kau tak harus tetap di sini, jika ini akan mengganggumu.”
 
Aku kira mungkin ia sedikit pusing dan setelah memberinya kapsul sesuai resep pada jam sebelas, aku pergi keluar sebentar.
 
Itu adalah hari yang dingin, terang, tanah ditutupi oleh hujan bercampur salju yang telah membeku, sehingga tampak seperti semua pepohonan gundul, belukar, semak potong, dan seluruh rerumputan dan tanah kosong, semuanya telah dipernis dengan es. Aku membawa seekor irish setter  muda untuk berjalan-jalan kecil menyusuri jalan setapak sepanjang anak sungai yang membeku, tetapi sulit untuk berdiri atau berjalan di atas permukaan licin seperti kaca, dan anjing merah itu terpeleset dan melata, dan aku terjatuh dua kali, keras, sekali menjatuhkan senapanku dan membuatnya meluncur jauh di atas es.
 
Kami menghalau sekawanan burung puyuh di bawah lempung ambang sungai yang tinggi dengan semak bergantungan, dan aku membunuh dua saat mereka pergi ke atas ambang sungai. Beberapa ekor dari kawanan benar-benar berada di pepohonan, tetapi sebagian besar dari mereka tersebar ke dalam tumpukan semak, dan perlu beberapa kali melompat di atas gundukan-gundukan semak berlapis es sebelum mereka terhalau. Keluar saat kuda-kudamu goyah di atas semak berlapis es dan lenting, mereka membuat tembakan yang sulit dan aku membunuh dua, meleset lima, dan mulai kembali senang untuk menemukan sekawanan dekat dengan rumah dan bahagia, karena ada begitu banyak yang tersisa untuk dicari kemudian hari.
 
Di rumah, mereka berkata bocah itu tak membiarkan seorang pun masuk ke dalam kamar.
 
“Kau tak boleh masuk,” katanya, “kau tak boleh terkena apa yang mengenaiku.”
 
“Aku naik menghampirinya dan menemukannya persis pada posisi saat aku pergi, pucat, tetapi di atas pipinya kemerah-merahan karena demam, menatap terpaku, seperti ia menatap kaki ranjang.
 
Aku mengukur suhu tubuhnya.
 
“Berapa?”
 
“Sekitar seratus,” kataku. Suhunya seratus dua empat persepuluh.
 
“Suhunya seratus dua.”
 
“Siapa yang bilang?”
 
“Dokter.”
 
“Suhunya baik-baik saja,” kataku. “Tak ada yang perlu dikhawatirkan.”
 
“Aku tak khawatir,” katanya, “tapi aku tak bisa berhenti berpikir.”
 
“Jangan memikirkannya,” kataku, “tenang saja.”
 
“Aku tenang-tenang saja,” katanya dan menatap lurus ke depan. Ia terbukti berpegang erat kepada dirinya sendiri tentang sesuatu.
 
“Minum air ini.”
 
“Apa kau pikir itu ada gunanya?”
 
“Tentu saja ada.”
 
Aku duduk dan membuka buku Bajak Laut dan mulai membaca, tetapi aku bisa lihat ia tidak memperhatikan, jadi aku berhenti.
 
“Sekitar jam berapa kau pikir aku akan mati?” Ia bertanya.
 
“Apa?”
 
“Sekitar berapa lama lagi sebelum aku mati?”
 
“Kamu tak akan mati. Ada apa denganmu?”
 
“O iya. Aku akan mati. Aku dengar dia bilang seratus dua.”
 
“Orang tidak akan mati dengan demam hanya seratus dua. Itu cara tolol untuk bicara.”
 
“Aku tahu mereka akan mati. Saat sekolah di Prancis anak-anak bilang padaku kau tak bisa hidup dengan suhu tubuh empatpuluh empat derajat. Suhuku seratus dua.”
 
Ia telah menunggu untuk mati sepanjang hari, dari sejak pukul sembilan pagi ini.
 
“Kamu Schaltz yang malang,” kataku. “Schaltz tua yang malang. Itu seperti mil dan kilometer. Kamu tak akan mati. Itu termometer yang berbeda. Pada termometer yang itu, tiga-tujuh adalah normal. Pada termometer jenis ini, adalah sembilan-delapan.”
 
“Apa kau yakin?”
 
“Pasti,” kataku. “Itu seperti mil dan kilometer. Kau tahu, seperti berapa kilometer yang kita dapat saat kita menempuh tujuhpuluh mil dengan mobil?”
 
“Oh,” katanya.
 
Tetapi pandangannya pada kaki ranjang rileks pelahan-lahan, pegangan erat pada dirinya sendiri rileks juga, akhirnya, dan pada keesokan harinya, pegangan itu benar-benar kendor dan ia gampang sekali menangis pada hal-hal kecil yang tak penting.
***
 
Judul asli: A Day’s Wait, dari koleksi cerpen Ernest Hemingway, Winner Take Nothing, 1933.
 
 

*) Rambuana, pedagang kaki lima yang gemar membaca dan senang menulis, tinggal di Tangerang, Banten. https://sastra-indonesia.com/2021/01/menunggu-seharian/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons