Rabu, 24 Februari 2021

Obrolan Proses Penerjemahan Karya bahasa Inggris ke bahasa Indonesia bersama Wawan Eko Yulianto (Bagian I)

 : Wawancara ini diambil dari Grup Facebook Apresiasi Sastra (APSAS) Indonesia
 

Nurel Javissyarqi: Sebagai muqaddimah, tak jemu-jemunya saya pribadi atas nama pembaca mengucapkan terima kasih sangat kepada para penerjemah karya-karya asing ke dalam bahasa Indonesia. Lantaran begitu, prosesi bercampur, kegiatan saling kenal sampai tahapan mencintai, atau menebarkan kasih berupa berbagi pundi2 pengetahuan, bertukar pengalaman, menambah khazana keilmuan, bisa terlaksana dengan baik. Dengan melalu perihal tersebut, menjadi terbit beberapa puncak keinsafan oleh banyaknya bebulir ilmu pengetahuan di segenap penjuru dunia, sehingga kesadaran “kemanusiaan” dalam diri terus bertambah sebagai insan, bangsa, maupun anak-anak peradaban. Pertanyaan saya kepada Mas Wawan Eko Yulianto: 1. Sejak kapan sampean menggeluti dunia penerjemahan? 2. Perihal apa yang mendorong menerjemahkan karya-karya asing? 3. Harapan apa saja yang terdamba dari kerja tersebut? 4. Dan berapakah waktu yg diperlukan, untuk mengerjakan satu buku misalnya? Sementara itu dulu Mas, nanti disambung yang lain, matur suwon sanget.
 
Wawan Eko Yulianto: 1. Saya mulai nerjemah waktu masih kuliah. Awalnya nerjemah santai-santai di rentalan, tapi belakangan, sebelum lulus, nyoba-nyoba nerjemah sastra. 2. Untuk nerjemah sastra, awalnya karena perlu memahami novelnya lebih jauh. Dan sy merasa kalau saya terjemahkan novel itu, sy bisa jauh lebih paham daripada ketika baca (soalnya ya bahasa Inggrisnya kan waktu itu standar bahasa Inggris anak kuliah sebelum ada youtube, podcast, dll. jadi ya perlu usaha lebih untuk memahami teks berbahasa Inggris). 3. Pertama pemahaman sendiri yang lebih baik atas teks, dan kemudian agar orang lain (yang kebetulan tidak punya akses ke bahasa Inggris) bisa ikut menikmati teks yang saya pilih untuk terjemahkan. 4. Tergantung bukunya. Kalau terjemahan pertama dulu, novel James Joyce, seingat saya butuh berbulan-bulan. Mungkin karena tingkat kesulitannya. Tapi, belakangan, ketika sdh semakin nyaman dengan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, prosesnya lebih cepat. Untuk Tolstoy, misalnya, saya bisa nerjemah sampai 10 halaman per hari (di luar pekerjaan kantor waktu itu).
 
Nurel Javissyarqi: Terima kasih atas jawaban2nya Mas ... sehat selalu untuk sampean...
***
 
Dedy Tri Riyadi: Apa alasan Mas Wawan Eko Yulianto memulai menerjemahkan karya dari luar negeri ke Indonesia, dan karya seperti apa yang menurut mas Wawan layak dan patut diterjemahkan itu?
 
Wawan Eko Yulianto: Mas Dedy Tri Riyadi, kalau sekarang, alasan memulai biasanya karena gabungan antara sy menikmatinya, katanya kritik bagus, dan tekanan dr luar (karena banyak yg suka, karena menarik perhatian publik, atau--kadang²--karena ada yg mau bayar.
 
Dedy Tri Riyadi: yang utama karena menurut kritik buku itu bagus ya mas?
 
Wawan Eko Yulianto: Tidak selalu, Mas. Beberapa tahun terakhir ini (selain nerjemah materi non-sastra yang saya kerjakan sehari-hari, spt teks hukum, website, subtitle) saya lebih banyak nerjemah puisi, lagu, atau cerpen karena minat pribadi saja. Oh ya Mas, ada kalanya juga saya menerjemahkan karya yang memang murni ingin saya pahami dan nikmati. Seperti penerjemahan puisi-puisi Louise Gluck bbrp waktu yg lalu, yang baru saya kenal namanya waktu blio diumumkan sebagai peraih Nobel bidang sastra.
***
 
Nanda Lova: Bagaimana cara memindahkan suasana/ruh dari bahasa sumber ke bahasa terjemahan, dan juga cara pemilihan kata tanpa meninggalkan/melepaskan
kesan yg ada di bahasa sumber/buku aslinya, Pak Wawan Eko Yulianto?
 
Wawan Eko Yulianto: Nanda Lova, Nah itu tantangannya nerjemah sastra yang jarang ada di penerjemahan bidang lain. Secara umum kita menyebutnya suasana atau "atmosfer", tapi secara teknis di ilmu sastra kita menyebutnya nada atau "tone." Kalau suasana itu apa yang dirasakan pembaca ketika membaca sesuatu, sementara nada adalah apa yang diciptakan penulis. Suasana hanya bisa terbentuk di sisi pembaca. Mungkin yang Nanda maksudkan di sini adalah menerjemahkan nada atau "tone" tulisan itu.
Nada biasanya terbentuk dari beberapa elemen diksi dan pola kalimat. Penerjemah idealnya memahami bacaan di awal untuk mengetahui isinya dan mengidentifikasi tone-nya seperti apa (dengan mengenali diksi dan pola kalimatnya). Dengan melihat diksi dan pola kalimatnya (formal, informal, gaya lama, dll), kita bisa memutuskan apakah tone cerita ini sedih, mengerikan, jenaka, dll.
 
Nanda Lova: Apakah ada buka kelas penerjemahan sastra, pak?
 
Wawan Eko Yulianto: Ada sih di kampus. Haha. Plus dua tahun yg lalu sy bersama Pelangi Sastra Malang membuka kelas penerjemahan selama beberapa bulan.
 
Nanda Lova: Kalau webinar ada tidak, pak?
***
 
Ren: Dalam proses menerjemahkan, apakah Mas Wawan Eko Yulianto pernah menemukan beberapa diksi yang asing atau bahkan tidak ada dalam kosa kata bahasa inggris, kalau pernah bagaimana langkah mas dalam mengalih bahasakan diksi tsb.
 
Wawan Eko Yulianto: Mestinya sering, soalnya penulis Inggris atau Amerika ada kalanya jg suka pakai kata-kata asing spt penulis2 di Indonesia. Kalau bisa dilacak sampai tahu maknanya, ada dua alternatif yang bisa dilakukan: 1) bisa ditetapkan seperti itu saja tapi dengan disertai catatan kaki, atau 2) kita timbang apakah kata asing itu benar-benar perlu hadir dlm bahasa asing itu ataukah bisa langsung kita beri padanan dalam bahasa Indonesia, biar tidak mengganggu pembacaan.
***
 
Sarwo Ferdi Wibowo: Mas Wawan Eko Yulianto, bagaimana Mas menerjemahkan peribahasa atau ungkapan dalam sastra? Menerjemahkannya begitu saja (apple to Apple dengan apel dengan apel) atau memilih peribahasa dengan makna serupa dari bahasa Indonesia?
 
Wawan Eko Yulianto: Mas Sarwo Ferdi Wibowo, untuk kasus-kasus seperti ini, ada dua pilihan. Kita bisa a) memutuskan untuk mencari peribahasa dlm bahasa Indonesia yang memiliki makna setara dengan bahasa Inggris, atau b) memberikan langsung makna dari peribahasa dalam bahasa Inggris itu. Kalau memilih yang pertama, tentu kita perlu kerja keras. Tapi ada kalanya bisa dilakukan dan kita bisa memberikan kekayaan bahasa, yang ya kira-kira setara dengan kekayaan bahasa aslinya lah. Kalau memilih yang kedua, maka pesan lebih tersampaikan meskipun akhirnya aspek kekayaan bahasa jadi tidak setara. Kalau menerjemahkan secara literal seperti "apple to apple" menjadi "apel dengan apel"--saya pribadi mencoba menghindari yang seperti itu.
Pada prinsipnya, ada dua sikap penerjemah yang bisa dipilih untuk menerjemahkan karya sastra. Yang pertama, memilih untuk memihak kepada teks. Kalau sikap ini yg kita ambil, ya berarti kita berusaha sebisa mungkin mewakili segala aspek dan kekayaan teks bhs Inggris ketika menerjemahkan ke bahasa Indonesia. Secara teknis, sikap ini disebut "sourcerer" (berorientasi kepada teks sumber). Yang kedua, kita bisa memilih memihak kepada pembaca. Yang dimaksud di sini adalah kita buat pembaca senyaman mungkin dengan teks, bisa memahami dan menikmati ceritanya. Kalau mengambil sikap yang kedua ini, kita mungkin akan sering melakukan penyederhanaan-penyederhanaan atau mencari padanan yang kurang lebih mewakili maksud dari teks asli. Sikap kedua ini biasanya disebut sebagai "targeteer" (berorientasi kepada target). Kedua-keduanya sah untuk dijadikan sikap dalam menerjemahkan.
Karya-karya sastra yang bagus biasanya memiliki kedalaman dan kekayaan isi sekaligus bahasa. Tapi, tidak bisa dipungkiri juga bahwa banyak orang yang membaca karya sastra untuk mendapatkan kenikmatan hiburan atau kenikmatan berimajinasi (yang nantinya mungkin bisa mengarah ke mengambil nilai-nilai dari sana). Penerjemah yang memilih untuk mempertahankan semua aspek dari kekayaan isi dan bahasa itu mungkin akan cenderung menjadi penerjemah yang sourcerer. Sementara itu, penerjemah yang lain, yang ingin orang lain juga menikmati karya sastra tertentu sebagai karya yang bisa dinikmati, mungkin akan memilih mengambil sikap targeteer"
 
Sarwo Ferdi Wibowo: Terima kasih penjelasan dan kesediannya mengetik sepanjang itu mas. Saya sedang riset mengenai penerjemahan peribahasa dalam sastra. Penjelasan mas sangat membantu saya untuk mendapat gambaran pilihan-pilihan yang dibuat penerjemah.
 
Wawan Eko Yulianto: Mas Sarwo Ferdi Wibowo, Asyik sekali kedengarannya. Itu penerjemahan peribahasanya dalam satu karya sastra atau lebih? Kapan2 share lah di sini biar juga ikut tahu.
 
Sarwo Ferdi Wibowo: Lebih dari satu karya Mas. Semoga cepat selesai.
***

Bersambung ke http://sastra-indonesia.com/2021/02/obrolan-proses-penerjemahan-karya-bahasa-inggris-ke-bahasa-indonesia-bersama-wawan-eko-yulianto-bagian-ii-selesai/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons