(Cuplikan novel “Malam-Malam Wabah”, karya Orhan Pamuk, peraih anugerah
Nobel Sastra 2006)
Penerjemah: Bernando J. Sujibto *
Gubernur Sami Pasha berpikir keras tentang usaha pentingnya karantina
kepada syekh Hamdullah. Pasha mengenal syekh itu segera setelah dia ditugaskan
ke pulau itu lima tahun lalu. Waktu itu, dia tampil dengan perawakan seorang
lelaki yang lemah lembut, sopan, dan penuh kasih sayang dengan minat yang kuat
terhadap karya sastra. Mungkin pembawaanya masih begitu. Di tahun pertama,
mereka pernah berbincang hal ihwal kehidupan, buku, dan spiritualitas. Meskipun
bersahabat, langkah karantina kali ini tidak akan berjalan baik untuk
persahabatan maupun negara, dan sialnya urusan bisnis akan berpindah ke ranah
internasional.
Karena penulis utama dua surat kabar berbahasa Yunani Adekatos Arkadi masih
berada dalam penjara bawah tanah, Gubenur Pasha memanggil editor utama Neo
Agnos ke hadapannya agar menuliskan berita tentang upaya disinfektan terhadap
pondokan syekh Hamdullah jika besok surat kabar itu terbit. "Tidak perlu
berita lain untuk topik ini," pintanya. Dengan kebohongan yang tak perlu
yang seolah-olah terjadi wabah kolera, sang gubernur berkata "baru keluar
dari oven!" sembari menawarkan buah prem, kenari, dan kopi kepada jurnalis
muda nasionalis Yunani ini, yang sebelumnya pernah dijebloskan ke penjara dan
surat kabarnya dibredel berkali-kali. Tepat di pintu ketika hendak keluar,
Pasha mengancamnya sembari tersenyum dan mengatakan bahwa tugas media adalah
mendukung sultan dan negara, jangan berbuat ceroboh terhadap krisis dan bencana
yang melanda hebat di mana Istanbul dan dunia sangat peka terhadap masalah ini,
jika tidak ingin kembali menanggung risiko.
Keesokan harinya, petugas juru tulis membawa koran Neo Agnos yang baru saja
naik cetak. Petugas penerjemah dengan hati-hati membacakan berita kepada Pasha
yang diterjemahkan dari bahasa Yunani ke bahasa Turki dengan suara jelas.
Yang dikatakan Gubernur Pasha untuk “jangan ditulis!” dalam berita
sepertinya tetap ditulis dengan sangat jelas, diumumkan ke seluruh pulau dan
dunia bahwa tim disinfektan ditolak masuk di gerbang pondok Helveki. Di tengah
berita yang tersebar, Pasha menginginkan rasa puas terhadap kabar ini terus
diperluas. Gubernur ingin segera melihat bahwa berita ini telah membuat para
ahli jimat, para petani yang taklid kepada syekh, para pemuda imigran Kreta
yang pemarah, semua umat Muslim, dan bahkan yang paling tercerahkan sekalipun
mencurigainya sebagai anti-gubernur dan melawan karantina.
Ada peristiwa sejarah yang berhubungan dengan Manolis, jurnalis yang
menulis berita tersebut. Tiga atau empat tahun sebelumnya, jurnalis pemberani
itu pernah melakukan peliputan tentang masalah-masalah pemerintah kota—tentang
jalan-jalan yang rusak, dugaan-dugaan kasus penyuapan, pegawainya yang pemalas
dan bodoh—untuk melemahkan posisi gubernur dan pemerintahan Usmani. Ketika
Gubernur Pasha mengancam akan menutup surat kabar dan mengirimkan utusan agar
mengatasi situasi, dengan sedikit bersabar tetapi tetap tidak mentolerir,
jurnalis itu pun sedikit melunak. Berselang waktu kemudian, publikasi yang
menuduh gubernur dan menyalahkan karantina dalam berita tentang "insiden
kapal jamaah haji", yang kali ini membuatnya sangat gelisah, memaksa
Manolis terjerembab ke penjara bawah tanah dengan alasan lain, tetapi setelah
beberapa waktu tekanan dari Duta Besar Inggris dan Prancis dan juga karena
telegram dari Istana Mabeyn membuatnya harus dibebaskan.
Sekarang hal ganjil berbau khianat yang membuat Pasha merasa sakit adalah
bahwa setiap perjumpaannya dengan Manolis, yang sudah dikeluarkannya dari
penjara, kedekatan khusus yang dibangunnya terasa sia-sia! Begitu mereka
bertemu di Hotel Splendid, di antara kereta kuda dan para kuli, Pasha
mengatakan kepada Manolis bahwa dia sudah menulis kontroversi dengan sangat
baik di korannya, mengucapkan selamat kepadanya untuk sumber-sumber
informasinya, dan sudah menyiapkan anggaran uang gubernur untuk penerbitan
artikelnya di surat kabar berbahasa Turki Havadis-i Minger milik kantor
gubernur, dan untuk dua artikel yang lain. Di lain waktu, ketika mereka bertemu
di restoran Degustation, sang gubernur memperlakukan Manolis dengan baik di
depan semua orang, mengajaknya duduk di sampingnya, memesan sup ikan belanak
aroma bawang, dan mengabarkan kepada semua orang bahwa surat kabarnya paling
dihormati di wilayah Levant.
Setelah semua kedekatan ini, Gubernur Pasha yakin bahwa permintaan kecil
kepada Manolis agar tidak menuliskan berita tentang larangan akses tim
disinfektan ke pondok syekh akan diterima. Bagi Pasha situasi ini
mengindikasikan adanya kekuatan lain di waktu bersamaan, dan kekuatan ini
membuat Manolis berpikir bahwa dirinya menuliskan semua berita ini dan tentu
saja artikel-artikel yang lama. Kekuatan itu siapa? Pasha memutuskan untuk
menjebloskan jurnalis provokator dan pemberani ke penjara bawah tanah,
menggosok hidungnya sekali lagi di sel yang dingin dan lembab, dan sembari
menekan mencari tahu siapa yang telah menulis berita tentang kapal-kapal jamaah
haji. Polisi-polisi sipil yang dikerahkan untuk mencari Manolis akhirnya
menemukannya ketika dia sedang membaca buku (Leviathan karya Thomas Hobbes) di
sebuah taman rumah pamannya yang menjadi tempat persembunyiannya, bukan di
rumah sendiri di daerah Kora, dengan kumpulan salinan surat kabar dari
kantornya, dan lalu membawanya ke penjara bawah tanah. Pasha, yang hatinya
melunak, akhirnya meminta agar penjara jurnalis di sel bagian barat, lebih aman
dan jauh dari epidemi.
Sampai pada bagian ini, agar pemahaman terhadap cerita lebih baik, kami
ingin mundur tiga tahun silam dan menceritakan tentang “Pemberontakan Kapal
Haji" yang runyam secara politis dan masih sangat menyiksa secara
personal. Beberapa sejarawan menyebut insiden itu sebagai "Pemberontak
Jamaah Haji", dengan pesan tersirat bahwa orang-orang berhaji yang salah,
padahal itu tidak benar.
Tahun 1890, salah satu langkah yang diambil oleh "Kekuatan Besar"
untuk menghentikan wabah kolera yang menyebar ke seluruh dunia melalui Mekkah
dan Madinah dari kapal-kapal jamaah haji dari India adalah dengan melakukan
karantina sepuluh hari di setiap negara saat kapal-kapal tersebut kembali.
Karena tidak mempercayai karantina yang diberlakukan oleh pemerintahan Usmani
di Hijaz misalnya, Prancis memberlakan karantina terakhir bagi jamaah haji yang
datang dari Hijaz dengan kapal Persepolis dari perusahaan Messagerie di wiliyah
yang dikuasai Prancis di Aljazair sebelum mereka kembali ke daerah
masing-masing.
Otoritas Usmani juga menerapkan langkah ini berdasar pada kelemahan dan
ketidakbecusan Organisasi Karantina Hijaz di tahun-tahun pertama. Komite
Karantina di Istanbul mewajibkan “karantina tambahan” bagi para jamaah haji
yang dibawa oleh kapal di setiap sudut daerah kekaisaran—tak peduli ada atau
tidak ada bendera kuning atau penumpang sakit.
Karena harus menunggu sepuluh hari di karantina di daerah mereka
masing-masing, setelah melakukan perjalanan panjang yang frustrasi dan
mengakibatkan kematian banyak orang (seperlima jamaah haji dari Bombay dan
Karachi tewas selama perjalanan ini), mereka berdemonstrasi besar-besaran.
Dalam situasi tersebut, para prajurit juga dipanggil, dan tenaga medis meminta
bantuan polisi dan pasukan keamanan di banyak tempat. Karena tempat-tempat
karantina di pulau-pulau kecil dan di pelabuhan terpencil tidak memadai seperti
terjadi di Minger, atau rumah-rumah tua para petani yang berhaji tidak cukup
untuk menampungnya, mereka menyewa secara serampangan dan menggunakan
kapal-kapal murah, tongkang dan barang-barang rongsokan. Sebagian kapal
tersebut ditarik ke teluk yang terpencil, atau berlabuh di daerah kosong
seperti Chios, Kusadasi dan Thessaloniki, dan tenda-tenda darurat milik militer
dibangun di sekitar mereka. Selama sepuluh hari, para petugas kesehatan
berusaha mengumpulkan makanan, minuman dan membersihkannya untuk para jamaah
haji yang berada dalam karantina.
Para jamaah yang ingin kembali ke rumah masing-masing sangat menentang karantina.
Mereka yang dalam perjalanan tidak mengalami gangguan sakit ikut terkapar
sekarat dalam sepuluh hari terakhir. Percekcokan dan pertengkaran jamaah haji
melawan para dokter dari kekaisaran Usmani yang kebanyakan orang Yunani,
Armenia, dan Yahudi tak terhindarkan. Adanya pajak karantina di tengah
karantina paksa tersebut membuat mereka naik pitam. Beberapa jamaah kaya dan
banyak akal bulus menyogok para dokter agar bisa terbebas dari karantina sejak
awal, dan bagi yang lain menunggu dalam kesabaran.
Ketidakbecusan penanganan di pulau Minger menciptakan peristiwa serupa yang
paling mengerikan di negara Usmani. Kapal bernama Persia berbendera Inggris
dari Mekkah dilarang masuk ke pelabuhan pusat kota, seperti sudah diperintahkan
oleh telegram yang dikirim dari Istanbul, dan empat puluh tujuh jamaah haji
dibawa ke sebuah kapal barkas rusak yang ditemukan oleh Manajer Karantina
Nikos, dan kapal bekas itu kemudian ditarik berlabuh di salah satu teluk kecil
di utara pulau Minger. Dikelilingi oleh pegunungan berbatu dan tebing yang tak
tertembus, teluk terpencil ini cocok untuk karantina karena berfungsi sebagai
penjara alami bagi para jamaah. Tetapi gunung dan tebing-tebing itu menyulitkan
pasokan pengirim makanan, air bersih, dan obat-obatan untuk mereka.
Pendirian tenda di pantai untuk mengontrol para jamaah haji, tempat
penampungan dokter, tentara, dan peralatan kesehatan lainnya tertunda karena
badai. Dalam badai lima hari itu, para jamaah haji di Minger terombang-ambing
karena ombak, menderita tanpa makanan dan minuman, dan terik matahari
memanggang punggung mereka. Ini pengalaman pertama mereka bepergian ke luar
pulau dalam sejarah hidupnya. Ada jamaah paruh baya berjanggut di antara
kerumunan jamaah haji yang bekerja sebagai pekebun zaitun dan petani-petani
kecil itu. Di antara mereka ada juga anak-anak muda religius berjanggut yang
membantu bapak dan kakeknya.
Lima hari kemudian, ketika wabah kolera makin merebak di tongkang pengap
itu, satu dan dua jamaah yang sudah kelelahan mulai tewas setiap hari. Jumlah
korban meningkat setiap hari. Para jamaah haji tua dan alim terus bersabar
meskipun para petugas dan dokter yang membawanya ke kapal bekas yang kotor dan
menjadi sumber penyakit itu tidak muncul lagi. Dua dokter Yunani, yang datang
ke karantina dengan menunggang kuda selama tiga hari, lalu memakai perahu
dayung dan pelan-pelan menaiki kapal yang penuh penyakit untuk memeriksa mereka
yang telah frustasi dan marah. Beberapa jamaah tidak bisa memahami mengapa
mereka ditahan di sini, tetapi mereka mulai merasakan kondisi yang semakin
tragis. Sebagian jamaah haji tua yang hampir mati, dengan pandangan mata yang
aneh, tidak ingin dokter Kristen itu menyuntikkan cairan obat kepada dirinya.
Sementara dua alat penyemprot disinfektan yang dibawa melintasi gunung dengan
menunggang kuda sudah rusak pada hari pertama. Sisa tenaga mereka dihabiskan
bertengkar melawan sebagian jamaah yang mengatakan mayat-mayat akan dilempar
dari kapal, dengan bersikeras “mereka mati syahid, kerabat kami, dan kami akan
menguburkannya di desa.”
Pemberontakan pun terjadi di atas kapal itu pada akhir minggu pertama di
tengah epidemi yang sudah tidak dapat dikendalikan dan selain itu karena
penguburan mayat-mayat berbau busuk terbengkalai dan terus bertambah setiap
harinya.
Para jamaah haji yang marah pertama-tama menyerang dua prajurit Muslim dari
Trabzon dan melemparkannya ke laut. Karena sebagian besar jamaah (faktanya,
mayoritas penduduk di bawah kekaisaran adalah Muslim) yang tidak bisa berenang
mati tenggelam, sang Gubernur Pasha munghukum Komandan Garnisun secara
berlebihan.
Sementara itu, para jamaah haji yang muda berlayar dengan sisa rongsokan
kapal, tetapi kapal ringkih itu akan menerobos bebatuan, bergoyang ke kiri dan
kanan seperti mabuk laut di alam terbuka untuk sementara waktu, dan setengah
hari kemudian mereka terdampar di teluk lain, sebuah tempat agak ke barat.
Dengan menuruni batu-batu, para jamaah yang sudah kelelahan tidak bisa
dengan mudah keluar menuju desa karena mereka harus mengambil air yang dipakai
untuk menyeimbangkan berat barang-barang yang dibawanya. Jika terus begitu,
pemberontakan mungkin bisa dilupakan meskipun itu sudah menelan nyawa. Ketika
bergerak, para jamaah haji terjebak dalam perahu dengan mayat-mayat yang
semakin membusuk, sembari berjuang melawan gelombang, menjaga keseimbangan, dan
mereka juga tidak bisa memindahkan botol-botol air zamzam yang sudah
terkontaminasi kolera.
Beberapa saat kemudian, pasukan keamanan yang mengawasi kapal mereka sudah
mengambil posisi di belakang bebatuan dan di atas tebing. Para komandannya
memperingatkan mereka untuk menyerah, mematuhi aturan karantina, meninggalkan
kapal, dan tidak mendarat. Para jamaah haji kalang kabut dan sporadis: Mereka
sudah paham akan dikarantina lagi dan mereka akan mati kali ini. Bagi para
jamaah, karantina yang ditemukan di Barat adalah bentuk kelicikan umat Kristen
untuk menghukum dan membunuh para jamaah haji yang sehat dan lalu menggasak
uangnya.
Suatu pagi, ketika sejumlah jamaah mulai menaiki bebatuan dan kabur
melewati jalan-jalan pintas, kedua pasukan mulai menghujani tembakan. Anggota
prajurit yang lain ikut memberondongnya untuk menutup jalan kabur. Mereka
bersemangat seperti ketika mengusir gerombolan musuh yang menyerang Minger.
Butuh delapan hingga sepuluh menit untuk membungkamnya. Banyak para jamaah haji
yang tewas tertembak.
Gubernur Sami Pasha melarang publikasi berita tentang kejadian ini; berapa
banyak jamaah haji yang ditembak atau mereka yang menyerah dan kembali
dikarantina, sampai hari ini—seratus dua puluh tahun kemudian (beberapa dari
mereka yang benar-benar meninggal karena kolera di karantina kedua); dan berapa
banyak dari mereka akhirnya kembali ke desa-desa dalam kondisi sakit, dan tidak
ada pula keterangan di balik sejarah yang mengerikan ini ke seluruh pulau.
Tetapi dari data-data periodik dan telegram yang dikirim ke Istanbul, ke Istana
Mabeyn atau langsung ke Sultan Abdülhamit, tampaknya peristiwa itu merupakan
sumber penting dari perkembangan selanjutnya. Gubernur Pasha tidak pernah
berhasil dikritik, disalahkan, atau dianggap melakukan kejahatan sebagai
tanggung jawabnya dalam peristiwa bersejarah ini. Dia menunggu hukuman dari
sultan, tetapi tidak pernah terjadi. Ketika dihadapkan dengan beragam kritik,
Pasha mengatakan bahwa keputusan mengirim tentara ke karantina jamaah haji demi
melindungi pulau dari wabah kolera sudah tepat, dia juga menambahkan bahwa
kejadian itu tidak akan seturut hati nurani dengan membiarkan bandit membunuh
prajurit dan menculik kapal negara (faktanya kapal itu disewa), tetapi dia juga
menjelaskan bahwa dirinya tidak memberikan perintah menembak para jamaah, dan
kejadian itu semata karena kesalahan prajurit.
Mengenai kejadian ini, Pasha sudah memutuskan bahwa pertahanan terbaik
adalah melupakannya. Untuk itu, dia memberikan perhatian khusus agar tidak ada
surat kabar yang menurunkan berita dan itu berhasil dalam beberapa saat. Pada
tahun pertama sang gubernur menuturkan bahwa mereka yang meninggal dalam
perjalanan haji secara resmi disebut "syahid" sebagaimana dijelaskan dalam
agama kita—ditempatkan dalam posisi tertinggi. Ketika keluarga korban jamaah
haji mendatangi pusat kota untuk menuntut kompensasi, Pasha menjamu mereka di
kantornya sembari membuka percakapan bahwa “para syahid mempunyai tempat yang
indah di surga,” dan menambahkan “bahwa mereka yang menuntut kompensasi akan
dikabulkan dengan segenap usaha, tetapi tolong jangan berbicara kepada wartawan
Yunani”. Ini adalah pertama kali sang gubernur efektif menerapkan kompensasi
yang diberikan oleh negara.
Mungkin tragedi itu sudah dilupakannya sehingga dalam sebuah wawancara yang
disampaikan kepada surat kabar Yunani Neo Agnos dengan menggunakan ungkapan
"para jamaah haji yang miskin" ketika menanggapi tentang para jamaah
haji yang telah membangun fasilitas sumber air di desa mereka. Kata-kata
tersebut tidak dipedulikan oleh siapa pun. Namun, di surat kabar Neo Agnos yang
terbit hari itu, Manolis menulis dengan kembali membuka polemik bahwa para
jamaah haji tidak miskin, tetapi sebaliknya, mereka adalah umat Muslim kaya di
pulau yang dengan cara baru menjual hartanya untuk pergi haji, dan banyak dari
mereka menderita sakit dan meninggal di tengah perjalanan. Tetapi bukankah akan
lebih baik jika penduduk desa Muslim yang kaya berkumpul di pulau Minger di
mana tingkat pendidikan mereka jauh lebih rendah daripada kaum Ortodoks,
daripada terburu-buru menghamburkan uang di kapal-kapal Inggris dan di gurun
nun jauh di sana, atau paling tidak memperbaiki menara-menara masjid yang rusak
di lingkungan mereka?
Sebenarnya, mementingkan sekolah daripada masjid merupakan sikap
"modern" yang dipercayai sang gubernur, tetapi ketika membaca artikel
itu, dia merasa seperti mau tenggelam dalam kemarahan. Manolis juga gelisah hal
ihwal sikapnya terhadap umat Muslim, tetapi alasan utamanya adalah membuka dan
menghangatkan kembali topik "Pemberontakan Kapal Haji " yang sudah
diharapkan terlupakan oleh gubernur.
Setelah kemunculan artikel pertama di atas, gubernur mulai memata-matai
gerak-gerik jurnalis. Selesai membaca berita "tim disinfektan tidak dapat
memasuki pondok", Pasha memanggil dua mata-mata terakhir yang sedang
bertugas (satu penjual roti, dan yang lain adalah pedagang yang hilir mudik
dengan pakaian bekas) dan mati-matian mencari informasi kepada orang-orang
goblok ini tentang siapa yang menulis artikel untuk Manolis, setelah dia
dijebloskan ke penjara, sehingga membuat gubernur kehilangan waktu untuk
mengurus karantina. Apa yang dipelajari dari mata-mata itu membuat gubernur
semakin khawatir: Ya, seluruh pulau sudah mendengar kabar tentang tim
disinfektan yang ditolak syekh Hamdullah dan itu telah menjadi desas-desus yang
meluas.
"Kenapa mereka tidak menguasai pondok?" tanya Pasha pada kedua
mata-mata itu. Pertanyaan ini sudah ditanyakan kepada seorang penari yang
mengobrol dengan Madam Marika, tetapi mata-mata si penjual roti itu tidak
mengerti. "Saya tidak paham sama sekali, Yang Mulia Pasha!" jawabnya.
"Karena syekh Hamdullah juga wabah," celetuk mata-mata berpakaian
bekas.
"Apa?" tanya Gubernur Pasha.
***
*) Pengajar Sosiologi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, peneliti sosial
kebudayaan Turki.
https://sastra-indonesia.com/2021/03/pemberontakan-kapal-haji-karya-orhan-pamuk/
the spaces of world figures, literature studies, new school of thought in the world of literature (art, letters, etc.)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.C. Andre Tanama
Aang Fatihul Islam
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Adam Roberts
Adelbert von Chamisso
Adreas Anggit W.
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus R. Sarjono
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Albert Camus
Albrecht Goes
Alexander Pushkin
Alit S. Rini
Amien Kamil
Amy Lowell
Andra Nur Oktaviani
André Chénier
Andy Warhol
Angela
Angela Dewi
Angrok
Anindita S. Thayf
Anton Bruckner
Anton Kurnia
Anwar Holid
Arif Saifudin Yudistira
Arthur Rimbaud
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asep Sambodja
Awalludin GD Mualif
Axel Grube
Bambang Kariyawan Ys
Basoeki Abdullah
Beethoven
Ben Okri
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Berto Tukan
BI Purwantari
Birgit Lattenkamp
Blaise Cendrars
Book Cover
Brunel University London
Budi Darma
Buku Kritik Sastra
C.C. Berg
Candra Kurnia
Cecep Syamsul Hari
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Charles Baudelaire
Claude Debussy
Cristina Lambert
D. Zawawi Imron
Damhuri Muhammad
Dana Gioia
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darwin
Dea Anugrah
Denny Mizhar
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dwi Cipta
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Edgar Allan Poe
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Emha Ainun Nadjib
Emily Dickinson
Enda Menzies
Endorsement
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Essay
Evan Ys
Fahmi Faqih
Fatah Anshori
Fazabinal Alim
Feby Indirani
François Villon
François-Marie Arouet (Voltaire)
Frankfurt Book Fair 2015
Franz Kafka
Franz Schubert
Franz Wisner
Frederick Delius
Friedrich Nietzsche
Friedrich Schiller
Fritz Senn
FX Rudy Gunawan
G. J. Resink
Gabriel García Márquez
Gabriela Mistral
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Goethe
Hamid Dabashi
Hardi Hamzah
Hasan Junus
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier
Henry Lawson
Hera Khaerani
Hermann Hesse
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ignas Kleden
Igor Stravinsky
Imam Nawawi
Indra Tjahyadi
Inspiring Writer
Interview
Iskandar Noe
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rumi
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jiero Cafe
Johann Sebastian Bach
Johannes Brahms
John H. McGlynn
John Keats
José de Espronceda
Jostein Gaarder
Kamran Dikarma
Katrin Bandel
Khalil Gibran (1883-1931)
Koesoema Affandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Koskow
Kulya in the Niche of Philosophjy
Laksmi Pamuntjak
Laksmi Shitaresmi
Lathifa Akmaliyah
Laurencius Simanjuntak
Leila S Chudori
Leo Tolstoy
Lontar Foundation
Lorca
Lord Byron
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lutfi Mardiansyah
Luthfi Assyaukanie
M. Yoesoef
M.S. Arifin
Mahmoud Darwish
Mahmud Ali Jauhari
Mahmudi
Maman S. Mahayana
Marco Polo
Martin Aleida
Mathori A Elwa
Max Dauthendey
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Michael Kumpfmüller
Michelangelo
Milan Djordjevic
Minamoto Yorimasa
Modest Petrovich Mussorgsky
Mozart
Mpu Gandring
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mulla Shadra
Nenden Lilis A
Nikmah Sarjono
Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Notes
Novel Pekik
Nunung Deni Puspitasari
Nurel Javissyarqi
Octavio Paz
Orasi Budaya
Orhan Pamuk
Pablo Neruda
Panos Ioannides
Patricia Pawestri
Paul Valéry
Paul van Ostaijen
PDS H.B. Jassin
Penerbit SastraSewu
Percy Bysshe Shelley
Pierre de Ronsard
Poems
Poetry
Pramoedya Ananta Toer
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Setia
Pyotr Ilyich Tchaikovsky
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Radhar Panca Dahana
Rainer Maria Rilke
Rakai Lukman
Rama Dira J
Rambuana
Read Ravel
Rengga AP
Resensi
reviewer
RF. Dhonna
Richard Strauss
Richard Wagner
Ridha al Qadri
Robert Desnos
Robert Marcuse
Ronny Agustinus
Rosalía de Castro
Ruth Martin
S. Gunawan
Sabine Müller
Samsul Anam
Santa Teresa
Sapardi Djoko Damono
Sara Teasdale
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Schreibinsel
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Short Story
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Solo Exhibition Rengga AP
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Stefan Zweig
Stefanus P. Elu
Subagio Sastrowardoyo
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
T.S. Eliot
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Thales
The World Readers Award
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
To Take Delight
Toeti Heraty
Tunggul Ametung
Ulysses
Umar Junus
Unknown Poet From Yugoslavia
Usman Arrumy
Utami Widowati
Vladimir Nabokov
W.S. Rendra
Walter Savage Landor (1775-1864)
Watercolour Paint
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Welly Kuswanto
Wildani Hefni
William Blake
William Butler Yeats
Wizna Hidayati Umam
World Letters
X.J. Kennedy
Yasraf Amir Piliang
Yasunari Kawabata
Yogas Ardiansyah
Yona Primadesi
Yuja Wang
Yukio Mishima
Z. Afif
Zadie Smith
Zeynita Gibbons
Tidak ada komentar:
Posting Komentar