Jumat, 30 April 2021

Yasunari Kawabata: Perawan Cantik yang Terlelap

Fatah Anshori *
 
Ini adalah buku ketiga Kawabata yang saya baca. Dan sekaligus menjadi yang pertama saya selesaikan di tahun 2018 beberapa hari yang lalu. Perjalanan membaca Kawabata, boleh dikatakan secara kebetulan dan tidak menurut peta baca yang biasa ditulis oleh penulis-penulis besar. Namun sesuai niatan awal, mempelajari kesusastraan luar dengan ‘niatan,’ bagaimana harus bisa menikmatinya sekaligus mencuri teknik-teknik menulisnya sebanyak mungkin.
 
Saya mengatakan kenapa harus menikmatinya, tentu saja dengan suatu alasan. Menikmati kesusastraan luar bagi saya ialah berkunjung ke suatu tempat yang asing, memasuki lorong-lorong gelap, terperosok ke tempat-tempat surealis, sebab dalam lingkup keseharian, tidak pernah mendapat gambaran tentang hal-hal yang kita temui di dalam kesusastraan tersebut. Sangat berbeda dengan kesusastraan kita, paling tidak pernah mendengar setting yang digunakan, kearifan lokal, termasuk beberapa mitologi yang diangkat kembali. Kita kerap melihat penjajahan bangsa lain, cerita tentang kerajaan-kerajaan Jawa, atau budaya-budaya yang masih melekat di daerah-daerah. Kepercayaan terhadap pohon, konflik agama, atau yang paling memuakkan kisah cinta anak SMA yang dibalut dengan sangat membosankan, dan tampak tidak kreatif sama sekali.
 
Pertama kali membaca kesusastraan luar, saya berkenalan dengan Carlos Fuentes. Dengan novel atau lebih tepat disebut noveletnya “Aurora,” terasa ia berhasil membuat saya masuk ke dunia yang amat sangat asing, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan muncul dan tidak bisa saya jawab. Seperti memasuki rumah yang gelap di tengah malam buta, melihat kamar atau ruang-ruangnya secara meraba-raba, dan hanya mendengar suara-suara yang juga tak jelas. Kurang lebih begitulah saya dituntut untuk menggambarkannya.
 
Demikian juga dengan Yasunari Kawabata, di buku pertamanya yang saya baca, sama sekali tidak menemukan apapun, barangkali tak bisa menikmatinya. Namun semuanya berubah, setelah buku ketiganya “Perawan Cantik yang Terlelap” saya baca. Menyenangkan sekali, seolah baru saja melihat keindahan kupu-kupu dengan amat detail dan menikmati keindahannya saat mengepakkan sayap. Telur di kepala saya seolah pecah dan ikhlas mengakui, Yasunari Kawabata memang pantas meraih Nobel Sastra pada tahun 1968.
 
Di Novelnya, “Perawan Cantik yang Terlelap” menurut saya, tema yang diangkat Kawabata hampir sama dengan “Deru Gunung,” masihlah seputar percintaan lelaki tua dan perempuan muda. Namun yang membedakan keduanya barangkali teknik menulisnya, di Deru Gunung, Kawabata lebih bereksperimen dengan plot atau alur cerita yang lebih kompleks, ia membuat alur kekisah yang berkelindan ke luar, tak hanya seputar kehidupan rumah tangga dimana Shingo tinggal.
 
Sementara di Perawan Cantik yang Terlelap, Kawabata seolah hanya bermain dalam sedikit tempat, Rumah yang menyediakan perawan-perawan cantik, dan kenangan. Namun sebagaimana seoarang master, Kawabata menunjukkan cerita yang tidak membosankan, dan tetap enak dibaca hingga akhir. Kawabata lebih banyak menggunakan teknik show dari pada tell, sehingga dengan amat jelas kita bisa membayangkan bagaimana lekuk tubuh perempuan cantik yang ingin ditunjukkan, terasa terang setiap perempuan yang ditiduri si tua Eguchi.
 
Namun dibalik novel yang tarpapar vulgar, Kawabata seperti ingin mengajak kita untuk kembali menyelami apa itu esensi cinta bagi seorang kakek-kakek. Terakhir seperti biasanya, saya tidak mungkin menceritakan secara gamblang kisahnya dari awal hingga akhir. Lebih baik anda baca sendiri bukunya, biar berkesan dan tampak keren, karena membaca pada dasarnya pangkalnya keren, percayalah.
____________________

*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com http://sastra-indonesia.com/2020/05/yasunari-kawabata-perawan-cantik-yang-terlelap/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons