Jumat, 28 Mei 2021

Jana Cerna, Kafka kawin dengan Ibuku lewat Surat

(Jana Cerna adalah putri Milena)
 
Sigit Susanto
 
Ketika perang berakhir dan ibu meninggal setahun lewat, saya masih belum percaya kalau ibu saya benar-benar meninggal. Tetapi seorang perempuan dari Ravensbruck telah meyakinkan saya. Ia menulis sebuah surat panjang tentang keberadaan ibu saya di Kamp Konsentrasi yang sudah tidak hidup lagi.
 
Tetapi beberapa hari berikutnya perempuan yang mengirim surat ke saya itu benar-benar datang. Ia membawa oleh-oleh sebuah gigi dari ibu saya yang lepas.
 
Saya bertemu ibu yang terakhir kali di sebuah ruangan Petschek-Palais. Setelah itu saya masih melihat fotonya yang dibawa oleh perempuan asal Polandia dari Kamp Konsentrasi Ravensbrück. Tetapi tidak ada lagi Ibu Milena yang hidup.
 
Di meja itu tergeletak satu bagian dari tubuhnya, sepotong dari senyumannya. Perempuan itu bilang,
“Ini adalah semua yang ada yang tersisa dari Milena, saya ingin menghiburmu, sebab itu benda ini saya bawa untukmu.”
 
Perempuan, mantan tahanan ini menjadi salah satu teman saya yang terbaik. Ia bukan bercerita betapa kekejaman di Kamp Konsentrasi, namun membawakan sebuah bukti bahwa ibu saya sudah mati.
 
Saya tak berani memberikan potongan gigi itu ke orang lain, dan pada akhirnya aku tak menemukan potongan gigi itu lagi. Lupa adalah bagian dari manusia, tetapi saya tak bisa menyusun ulang kisah ibu saya pada usia 5 tahun dia sudah menderita penyakit neurotik, pada usia 12 tahun masuklah ke psikiatri dan pada usia 15 tahun ia mencoba untuk bunuh diri.
 
Setelah kematiannya saya banyak mengenangnya lewat benda-benda tinggalannya seperti surat-surat dan artikel. Dari sini saya mulai berbicara dengan banyak orang yang benar-benar mengenal ibu saya. Berangkat dari sini menjadi alasan utama saya memutuskan untuk menuliskan tentang ibu saya yang saya ketahui setelah 23 tahun ia meninggal dan 15 tahun setelah Surat-surat untuk Milena dari Franz Kafka dipublikasikan.
 
Tak ada kehidupan yang tanpa rahasia, meskipun orang itu hidup dalam kesederhanaan. Saya sangat paham tentang ibu saya, namun cukup lama saya tak bisa menuliskannya. Saya menulis ini, saya juga tak yakin apakah akan berhasil.
 
Banyak yang mencoba menulis tentang Milena yang dikaitkan dengan Franz Kafka. Milena sebagai pacar pengarang yang brilian. Tak dipungkiri bahwa Milena adalah pacar utama Kafka.
 
Milena Jesenska sebagai seorang patriot nasionalis hingga dijebloskan ke Kamp Konsentrasi di Ravensbrück. Orang akan melihat Milena dalam dua periode. Periode pertama saat ia menjadi pacar Franz Kafka, dan itu tak berlangsung lama. Periode kedua saat Milena keluar dari Partai Komunis, dan memulai meyakini bahwa Soviet Union merupakan satu-satunya kekuatan yang tak hanya memperjuangkan kelas pekerja, namun ingin berperan meciptakan perdamaian dunia.
 
Ketika Milena pertama kali bertemu Kafka sebagai sastrawan, Milena merupakan penerjemah pertama karya Kafka ke dalam bahasa Cheko. Gustina Fucikova memaparkan dengan sebuah artikel pada media Kulturni tvorba, bahwa bukan hanya sebagai penerjemah karya Kafka, melainkan orang yang meragukan pada pantai komunis dan Soviet Union. Orang tak akan memisahkan antara Milena sebagai pacar Kafka dan sebagai wartawan sebelum masa Perang Dunia II.
 
Jana Cerna menuliskan bab berjudul Kedai Kopi Milena Jesenska (Milena Jesenska Das Kafeehaus). Memang di tengah kota Praha ada sebuah Kafe Milena. Selanjutnya ia menggambarkan bahwa kemunculan kafe-kafe di kota itu sebagai tempat pengganti sejenis biara atau salon yang biasa dipakai orang untuk bertemu dan membahas sesuatu secara tak formal seperti dalam seminar. Kedai Kopi semacam itu juga dipakai membicarakan masalah sastra. Ia memberi contoh seperti kedai kopi di Praha ada Unionska, di Wina ada Central, di Berlin ada Kafe West, di Paris ada Montmartre. Di kedai-kedai inilah orang bisa pula mengamati orang lewat di jalan dan di sudut jalan dan berbicara dengan orang lain yang tak dikenal. Mereka bisa mengumbar labirin.
 
Ketika Kafka menuliskan surat kedua kepada Milena berbunyi, “Ada sesuatu yang kurang pada saya, bahwa saya tak bisa mengingat wajah Anda secara detil. Hanya saya masih mengingatnya sosok dan pakaian Anda, ketika Anda bergegas meninggalkan kedai kopi.”
 
Milena pada saat itu masih resmi kawin dengan Ernst Polak. Cinta antara Kafka dan Milena sebatas dalam surat. Mereka jarang bertemu dan mereka tidak bermaksud membawa ke dalam dunia nyata.
 
Pertemuan Milena dengan Kafka bukan sebuah kekecewaan, melainkan tak disangka saja. Kafka saat itu sudah mulai dikenal sebagai sastrawan besar.
 
Milena memanggil Kafka dengan sebutan Frank. Ketika Kafka bertemu Milena di Wina, Milena melaporkan kepada Max Brod yang isinya, bahwa penyakitnya Franz sudah sirna dan ketakutannya yang akut sudah mencair menjadi senyuman.
 
Bahkan ketika kehidupan Milena mengalami kesulitan keuangan di Wina, Kafka membantunya, walaupun tidak banyak.
 
Hubungan antara Kafka di Meran dan Milena di Wina terus berlanjut lewat surat-surat. Usia Kafka 13 tahun lebih tua daripada Milena.
 
Pertemuan antara Kafka dan Milena pertama kali terkesan sangat baik. Sehingga mereka berinisiatif melakukan pertemuan berikutnya dengan jalan-jalan ke gunung. Dengan harapan kemurungan, ketakutan Kafka akan lekas hilang.
 
Secara de jure Milena kawin dua kali, tetapi secara de facto ia kawin tiga kali termasuk dengan Kafka itu. Kemudian mereka bertemu di Gmünd. Pada pertemuan kali ini tidak mengesankan hal yang menarik, karena keduanya membawa kepedihan sendiri-sendiri.
 
Milena bukan tipe seorang ahli taktik, impulsif dan tak sabar menunggu hingga yang bertikai berhenti. Satu hal yang saya tahu, saat dia masuk partai, ia sangat kagum dengan Soviet Union. Ketika Stalin menjadi pimpinan Soviet, Milena sangat kecewa.
 
Setamat Milena Jesenska ditinggal Kafka dan Ernst Pollack suaminya, Milena kawin dengan Jaromir Kreicar, seorang arsitek muda di Praha.
 
Pasangan ini mendapatkan anak perempuan bernama Jana Cerna, tapi Milena memanggilnya Honza.
 
Sejak Milena hamil, ia sering sakit dan sudah memikirkan, tentang kematiannya. Ketika kehamilan ke 8 bulan, dengan terpaksa Milena menghubungi ayahnya yang cukup lama tak saling berkomunikasi. Sang ayah mempertanyakan, akan ikut siapa anaknya nanti?
 
Ayahnya yang egois itu mendapat jawaban dari Milena, bahwa jika anaknya nanti lahir, buang saja ke sungai Moldau.
 
Honza lahir pada 14 Agustus 1928 dan tetap diasuh ibunya di sanatorium. Ketika Honza sudah berusia 1 tahun, maka Milena kembali ke rumah.
 
Rasa sakitnya Milena tak bisa diobati selain memakai morphin. Ketika ia sudah mulai membaik, ia aktif masuk ke Partai Komunis. Di situlah ia aktif menulis di koran Tvorba.
 
Milena berakhir dengan tragis dijebloskan oleh Hitler di Kamp Konsentrasi dan meninggal pada 17 Mei 1944.
 
Honza dalam kariernya sebagai penyair, pengarang dan editor di Cheko. Aktivitasnya tak jauh dari ibunya yang aktif di komunis, ia pun menjadi aktivis underground. Pada usianya yang ke 53 tahun, tepatnya pada 5 Januari 1981 ia meninggal karena kecelakaan mobil.
 
Salah satu kemiripan antara Kafka dan Milena, keduanya tidak punya hubungan dengan ayah mereka secara harmoni.
***

Zug, 03.12.2020. http://sastra-indonesia.com/2021/05/jana-cerna-kafka-kawin-dengan-ibuku-lewat-surat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons