Senin, 24 Mei 2021

Sajak Melankolisme Taufiq Ismail

Aguk Irawan Mn *
sinarharapan.co.id
 
Dengan rasa rindu kukenang pemilihan umum setengah abad yang lewat
Dengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu kucatat
Peristiwa itu berlangsung tepatnya di tahun lima puluh lima
Ketika itu sebagai bangsa kita baru sepuluh tahun merdeka
***
 
Sebagai pencinta sastra, siapa pun barangkali tak pernah tidak memperhatikan proses kreativitas sastrawan Taufik Ismail. Maka ketika belum lama ini Taufik Ismail membacakan sajaknya yang terbaru “Ketika Indonesia Dihormati Dunia” di depan KPU, lantas media massa dengan reaksi yang cepat merekamnya, sampai sekarang kita masih ingat bahwa bait sajak di atas adalah bait pertama dari sajaknya Taufik Ismail yang baru itu.
 
Dalam bersastra, karya Taufik memang nyaris tak pernah kering dan sepi dari muatan politik. Bahkan Taufik sering membenturkan isu budaya, pendidikan, ekonomi dan sosial dengan hiruk-pikuk yang berbau politik. Demikian halnya dengan Asrul Sani, Pramoedya Ananta Toer, B. Soelarto, Muchtar Lubis, Wiratmo Soekito dan penulis-penulis lain, maka Taufik sebagai sastrawan pelopor penandatangan Manikebu ingin juga memperlihatkan bahwa dengan berkesenian serta bersastra ia tetap menekuni politik. Hal ini bisa dibuktikan sejak pertama kali ia menyandang gelar penyair pada tahun 1966. ketika itu, dengan semangat yang luar biasa, melalui sajak “Tirani” dan “Benteng”nya ia cukup andil menumbangkan Orde Lama (Soekarno), dan kita lihat di sana bagaimana ia menggambarkan zaman yang bergolak dan penuh idealisme itu. Lalu dilaksanakanlah Pemilu dengan hura-hura berdarah, segala tipu dan fitnah dalam teriakan histeris jurdil dan pesta demokrasi. Dan dengan gegap gempita masyarakat bergegas menyongsong lahirnya Orba. Kemudian saat Orba ditumbangkan (1998), Taufik “malu-malu” meluncurkan buku berjudul Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia.
 
Sajak Taufik memang mempunyai spirit juang yang tinggi. Daya ekspresi bahasa yang diluncurkan bisa membawa sentak tangan yang dikepalkan, telunjuk jari yang diacungkan, dan lengan baju yang disingsingkan. Dalam sajak-sajak “Tirani” terhadap Orde Lama dapat kita lihat pemandangan seperti itu, meskipun sajak ini hanya berlaku satu kali saja, yakni terhadap Orde Lama. Tapi pilihan kata Taufik tampak begitu berbobot dan “matang”, bahkan hinggga sekarang masih mempunyai kekuatan yang sulit tertandingi oleh sastrawan lain. Saya yakin bahwa sajak-sajak tirani Taufik Ismail tetap akan bernilai universal, meskipun Taufik hanya memilih “diam” dalam menghadapi kenyataan Orde Baru yang lebih tirani di permukaan Indonesia. Dengan demikian, bukankah ini lebih akan mempertegas bahwa Taufik adalah sastrawan politikus.
 
Kemudian tidak berlebihan jika lahir hipotesis bahwa Taufik adalah sastrawan politikus, yang kemudian citra ini lambat laun semakin pupus dan tergantikan dengan stigma negatif ketika Taufik menciptakan sajak yang ganjil. Coba kita renungkan baat terakhir dari sajak itu.
 
Antara rasa rindu dan malu puisi ini kutuliskan
Rindu pada pemilu yang bersih dan indah, pernah kurasakan
Malu pada diri sendiri, tak mampu merubah perilaku Bangsaku.
 
Taufik seperti mengalami kekecewaan yang luar biasa, sangat terpukul dengan kondisi Orde Reformasi. Bahkan ia seakan telah menyesali kenyataan kehidupan berkebangsaan yang sekarang ini kita jalankan bersama. Mungkin Taufik menganggap bahwa proses reformasi ini terlalu pahit bagi kehidupan politiknya. Sehingga benar apa yang dikatakan Ulil Abshar Abdalla, bahwa sajak Taufik Ismail “Ketika Indonesia Dihormati Dunia” adalah sajak “melankolis”, meratap, melihat masa lalu seolah-olah sebagai “surga” yang tak akan kembali. Pada kenyataannya sajak Taufik memang mencerminkan sebagian pandangan yang berkembang dalam masyarakat; pandangan yang ingin saya sebut “melankolisme-masokis”.
 
Menjenguk sejarah memang penting dan sangat dibutuhkan bagi kesinambungan membangun Indonesia; di masa kini dan akan datang, agar penyegaran perjuangan selalu ada. Tapi meratapi kepergian masa lalu yang menggembirakan dan terus memujanya, adalah sikap memilukan bagi seorang yang berjiwa patriot. Sebab yang terpenting bagi kita sekarang adalah menciptakan “surga” di Indonesia yang telah lama dirampok oleh Orba. Agaknya, sajak Taufik memang ambivalen dan hiperbolis dalam melihat masa lalu. Sementara kita pun mengerti bahwa pemilu 1955 memang tak semuanya sempurna, dan sejarah telah mencatat ada kejanggalan-kejanggalan di dalamnya yang berbelit. Selain masa itu, Pemilu 1955 militer masih belum begitu simpati terhadap kekuasaan dan belum menjadi gurita yang membelit negara.
 
Menurut Z. Afif. Pemilu 1955 dilaksanakan oleh para republiken, orang-orang yang sangat merasakan penindasan kolonialisme yang juga memperalat feodalisme. Orang-orang yang bercita-cita membangun sebuah republik yang benar-benar berlandaskan trias-politika yang sesungguhnya. Dan masa itu lepra politik uang seperti di tubuh elite politik belum berjangkit, walaupun tidak terbantahkan memang ada tikus dalam kepegawaian yang makan sedikit-sedikit milik negara untuk menombok belanja rumah.
 
Mungkin Taufik lupa, bahwa ada perbedaan yang perlu diingat antara Pemilu 1955, Pemilu Orba dan Pemilu sekarang. Pemilu 1995 bertujuan untuk mewujudkan republik yang demokratis dan parlemen yang ditempati oleh wakil-wakil rakyat. Pemilu Orba untuk memperkukuh kekuasaan otokrasi militerisme dan dilaksanakan dengan sistem politik uang dan nepotisme melalui Golkar. Sementara Pemilu sekarang berusaha keras menuju masyarakat yang berkedaulatan penuh. Untuk itu, nostalgia masa lalu yang menurut Taufik patut dibanggakan, biarlah sebagai arsip pribadi dan bahan cerita untuk anak dan cucu.
 
Sampai akhir sajak itu ditulis “Ketika Indonesia Dihormati Dunia” Taufik menunjukkan ratapan yang dahsyat dan merindui masa lalu yang sudah tenggelam. Ia seakan telah memerankan tokoh dalam kehidupan tanpa opsi dan solusi. Sastra yang seharusnya sebagai ruang pertemuan antara batin dan kenyataan, kandas di jalan, atau dalam bahasa Rene Wellek, Taufik gagal memakai medium bahasa untuk institusi sosial. Menurut Teeuw sastra jenis ini telah kehilangan peran dalam meredamkan ketegangan antara konvensi (tradisi) dan inovasi (pembaruan). Sebab peran sastra sepanjang masa hendak memperjuangkan peralihan-peralihan formasi baru yang dapat dianggap menjalani transformasi dan sintesis. Tanpa adanya kerinduan yang berlebihan terhadap kebangkitan kembali nilai-nilai masa lalu.
 
Maka bentuk seni dan kebudayaan yang mencerahkan dan memberi semangat yang tinggi bagi pembangunan Indonesia ke depan masih tetap diperlukan sebagai lawan dari sastra melankolis yang lebih mengedepankan sikap apatis dan pesimisnya, adalah sastra heroik memang sepatutnya lebih ditampilkan kepada khalayak pada masa-masa “hilang rasa eling” sebagai pengimbang bahasa propaganda dan retorika luar biasa gencar yang acap kali membuat telinga pekak dan mata gelap. Dengan demikian, lepas dari kekurangannya, sajak Taufiq, bagaimanapun adalah cermin rakyat yang bimbang menghadapi gelombang masa depan, untuk itu tetap patut dibaca di depan rakyat untuk mengkritisi sikap pemerintah terhadap pemilu.
 
Akhirnya saya sepakat dengan Ulil. Tak usah meratap, melihat masa lampau terus-menerus sebagai “firdaus” yang hilang. Gejala ini tidak sehat untuk membangun negeri ini di masa depan. Karena ada banyak perkembangan positif di negeri kita yang harus diberi apresiasi; dan perkembangan itu hanya mungkin karena ada reformasi. Nilai, harga, dan bobot sebagai hasil yang diperoleh selama reformasi tak kalah dengan Proklamasi Kemerdekaan, Pemilu 1955, Sidang Konstituante, atau pidato-pidato Bung Karno yang menyulut “adrenalin” masyarakat kecil. Hasil-hasil selama reformasi juga tak kalah bobotnya dengan pembangunan selama periode Soeharto.
 
Bagaimanapun kita memang harus mengakui, kecuali kalau kita masih ingin terus memberi napas pada status quo (Orde Baru).
 
Kairo, 9 April 2004
 
*) Penulis adalah Staf Peneliti Kebudayaan LKiS Yogyakarta, Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Al Azhar Kairo, Mesir. http://sastra-indonesia.com/2009/03/sajak-melankolisme-taufik-ismail/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons