Senin, 24 Mei 2021

Taufiq Ismail Salah Tafsir Puisi Mawie Ananta Jonie

Asep Sambodja
oase.kompas.com
 
Dalam buku Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI DKK (1995), Taufiq Ismail menulis, “Enam bulan menjelang Gestapu, Mawie sudah berkata “kunanti bumi memerah darah”. Tepat, karena dia sudah tahu sebelumnya” (lihat halaman 219).
 
Apa yang salah dari kalimat Taufiq Ismail itu? Pernyataan itu merupakan interpretasi terhadap puisi Mawie Ananta Jonie yang berjudul Kunanti Bumi Memerah Darah yang dimuat di harian Bintang Timur pada 21 Maret 1965. Merujuk pada jalan pikiran kalimat itu, enam bulan kemudian terjadi peristiwa G30S. Dan, Taufiq mengatakan, “Dia sudah tahu sebelumnya.”
 
Pernyataan “Dia sudah tahu sebelumnya” sama sekali tidak bisa dipertanggung jawabkan. Apakah benar Mawie sudah mengetahui rencana pembunuhan enam jenderal “yang disebut Dewan Jenderal oleh Letkol Untung” dan satu perwira Angkatan Darat pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari “sehingga Bung Karno menyebutnya sebagai Gestok; Gerakan 1 Oktober” Saya pikir Mawie tidak mengetahuinya, karena Presiden Soekarno sendiri tidak mengetahui rencana itu.
 
Puisi Kunanti Bumi Memerah Darah yang ditulis Mawie itu sama sekali tidak berbicara tentang pembunuhan enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat. Ia berbicara tentang seorang ibu satu anak dan tengah mengandung yang hidupnya nelangsa di ibukota. Penyair menulis “kunanti bumi memerah darah, kuserahkan engkau kepadanya” bisa ditafsirkan keinginan penyair agar Partai Komunis Indonesia (PKI) berjaya dan kemudian orang-orang kecil seperti ibu itu diurus oleh partai. Untuk mengetahui pesan puisi itu, berikut ini saya kutip selengkapnya;
 
Kunanti Bumi Memerah Darah
 
bulan arit di langit
napas terkatung di Ciliwung
anak kecil menangis di pangkuan
seorang perempuan
wajahnya hanyut ke laut
sejak ia datang dari pinggiran kota
dibawa sungai kehidupan
 
malam ini ia petik kecapi
bersama nyanyi
Ciliwung airnya merah
walaupun merah hidup tampaknya
kunanti bumi memerah darah
kuserahkan engkau kepadanya
 
diciumnya si kecil dalam badungan
dinantinya si mungil dalam kandungan
 
tidurlah anak jangan menangis
kecapi dan nyanyi sudah berhenti
kalau kau lihat malam menipis
angina dingin datang menari
 
bulan arit di langit
cinta dan kasih
bergelimpangan di jalanan
mawar dan wajah
menanti bumi merah
 
Ciliwung mengalir
kesayangan mencair
derita dan sengsara
bertengkar sejak lama
 
malam ini ia petik kecapi
bersama nyanyi
Ciliwung airnya merah
walaupun merah hidup tampaknya
kunanti bumi memerah darah
kuserahkan engkau kepadanya
 
Jakarta, 21 Maret 1965
 
Kalimat atau kata mana yang menunjukkan pembantaian, sehingga Taufiq Ismail mengatakan Mawie sudah mengetahui akan adanya pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965? Kalau hanya membaca judulnya kemudian menafsirkan sesuka hati, akibatnya fatal. Dari pernyataan Taufiq Ismail itu seolah-olah Mawie sudah mengetahui rencana busuk komandan pasukan Cakrabirawa Letkol Untung dan Kolonel Abdul Latief untuk membunuh para Dewan Jenderal.
 
Saya sama sekali tidak melihat kata-kata yang menyimbolkan ke arah yang disebutkan Taufiq Ismail itu. Saya pikir interpretasi singkat Taufiq Ismail dalam buku Prahara Budaya itu perlu dikoreksi agar tidak membingungkan pembaca sastra yang serius dan terutama tidak merugikan nama baik sang penyair, Mawie Ananta Jonie.
 
Saat ini, Mawie berada di Amsterdam dan tidak diperbolehkan kembali ke Indonesia sebagaimana sastrawan-sastrawan eksil lainnya. Saya hanya bisa berkomunikasi dengan Mawie melalui buku puisinya, Cerita untuk Nancy (2008) yang diterbitkan oleh Penerbit Ultimus Bandung dan Lembaga Sastra Pembebasan. Puisi-puisi Mawie dalam buku tersebut yang setiap baitnya dua baris dan memiliki irama memperlihatkan bahwa ia sudah terbiasa mengontrol emosinya. Bisa juga diartikan bahwa Mawie sudah memiliki pola yang tetap dalam menulis puisi. Sebagian puisi Mawie dalam buku tersebut menunjukkan puisi yang berlawan; berlawan dari jauh namun tetap memperlihatkan kesetiakawanan. Berikut ini saya kutip sebuah puisi Mawie Ananta Jonie yang mengungkap peristiwa 1965.
 
Gelombang Laut Itu Tak Pernah Diam
 
Di masa-masa gelap G30S perburuan itu masih berlangsung
pembunuhan orang kiri terjadi di kota dan di kampung
 
Aku terima sepucuk surat dari Lepi tertanggal Singapura
yang bercerita kekejaman dan deritanya di penjara
 
Jauh di negeri orang aku ikut mencari jalan pulang
surat kubuka di pinggir sungai di bawah dangau atap lalang
 
Apapun yang terjadi setiakawan mereka selamatkan
tidak menyerah di depan kejahatan dan kekejaman
 
Gelombang laut itu tak pernah diam
walau angina mati dan kelam membenam
 
Amsterdam, 13 April 2008
 
Puisi-puisi Mawie dalam Cerita untuk Nancy semuanya memiliki pola yang sama, dan sebagian besar berisi tentang penderitaan yang dialami oleh sahabat-sahabatnya yang berada di tanah air.
***

Citayam, 12 September 2009 http://sastra-indonesia.com/2010/11/taufiq-ismail-salah-tafsir-puisi-mawie-ananta-jonie/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons