Saut Situmorang
Boemipoetra, 07/06/2021
Anggaplah “cerpen koran Indonesia” itu ada. Yaitu cerpen-cerpen berbahasa
Indonesia yang muncul di koran-koran edisi Minggu di seluruh Indonesia, yang
panjangnya berkisar antara 6-8 halaman kuarto (spasi ganda), dan yang bercerita
tentang “peristiwa aktual”, atau tentang “realitas koran”, dari kehidupan
sehari-hari di Indonesia. Bukankah biasanya tiga hal di ataslah yang dijadikan
alasan bagi relevannya pemakaian istilah “cerpen koran” dalam perbincangan
tentang sastra (cerpen) kontemporer Indonesia?
Anggaplah juga ketiga karakteristik teks di atas memang merupakan
representasi sosok sub-genre sastra “cerpen koran Indonesia”. Lantas, semua
cerpen yang berbahasa Indonesia juga, yang muncul di koran-koran edisi Minggu
di Indonesia juga, yang panjangnya antara 6-8 halaman kuarto (spasi ganda)
juga, tapi tidak mengangkat cerita “peristiwa aktual” atau “realitas koran”
kehidupan sehari-hari di Indonesia, apakah cerpen-cerpen seperti ini juga termasuk
“sastra (cerpen) koran”? Kalau tidak, karena tidak semua kriteria karakteristik
teks seperti saya sebutkan di awal esei ini terdapat padanya, misalnya, maka ke
dalam kategori sub-genre cerpen apa cerpen-cerpen jenis terakhir itu mesti
dimasukkan? Lalu apakah sebenarnya “cerpen koran Indonesia” itu? Apakah “cerpen
koran Indonesia” itu, dalam arti sebuah sub-genre spesifik dari bentuk fiksi
bernama cerpen, memang benar-benar ada,
seperti yang luas diyakini dalam dunia sastra kontemporer Indonesia?
Seperti kebiasaan khas dalam budaya pop, dunia sastra modern Indonesia juga
tidak luput dari euforia keterpesonaan pembuatan dan pemakaian istilah-istilah
baru tapi yang terkesan jauh lebih asal-asalan, tidak bertanggung jawab,
dibanding yang biasa terjadi di dunia budaya pop. Dalam budaya pop sebuah
istilah baru memiliki rujukan objek yang jelas yang membedakannya dari
objek-objek istilah lain. Ambil contoh “sinetron”. Penonton awam yang tidak
mengerti bahwa sinetron itu adalah akronim dari “sinema elektronik” bisa
membedakan sebuah sinetron dari sebuah film lepas. Pembagian naratif plot
sinetron dalam episode merupakan ciri khas utama yang membedakannya dari film
“bioskop”, misalnya. Dan ceritanya biasanya pasti tentang “kehidupan tragis
orang-orang kaya raya yang tidak bahagia”. Tapi bagaimana dengan istilah
“cerpen koran Indonesia”? Apakah memang terdapat karakteristik teks yang unik
pada karya-karya yang disebut sebagai “cerpen koran Indonesia” yang segera akan
membedakannya dari “cerpen bukan-koran Indonesia”, misalnya? Apakah ketiga
faktor yang saya sebutkan di awal esei ini memang benar-benar sudah bisa
menjelaskan apa itu yang dimaksud dengan “cerpen koran Indonesia”, kalau
makhluk ini memang ada? Sayang, saya belum mendapatkan jawaban yang memuaskan
dari para “kritikus” sastra Indonesia yang merayakan keberadaan apa yang mereka
sebut sebagai “cerpen koran Indonesia” itu dalam tulisan-tulisan mereka, di
koran-koran Indonesia, tentu saja.
Problemalitas pengertian istilah seperti “cerpen koran Indonesia”, misalnya,
kayaknya tidak dianggap terlalu penting untuk dibicarakan oleh para
“pengamat/pemerhati/kritikus” sastra Indonesia. Ada terkesan semacam kemalasan
untuk berusaha menerang-jelaskan maksud dari istilah-istilah yang kerap kali
dipakai, padahal kejelasan definisi merupakan sebuah syarat awal bagi
terjadinya pembicaraan yang kritis dan bertanggung jawab. Malah saya melihat
ada kecenderungan akhir-akhir ini di kalangan penulis artikel tentang sastra di
koran-koran Indonesia untuk saling berlomba menciptakan istilah-istilah “aneh”
yang hanya menunjukkan betapa penulisnya ingin sekali dianggap “berisi” walau
isi tulisan dan judulnya biasanya tidak punya relasi tekstual seperti yang
diharapkan, mirip gejala “sajak-sajak gelap” di puisi kontemporer Indonesia. Ambisi
besar untuk menulis ala kaum pascastrukturalis di Eropa dan Amerika Serikat ini
ternyata hanya sebuah fenomena epigonisme Afrizalian lokal belaka!
Yang pasti adalah bahwa istilah “cerpen koran Indonesia” selalu merujuk ke
cerpen-cerpen yang memang dipublikasikan di koran-koran, khususnya edisi hari
Minggu, di seluruh Indonesia. Medium tempat cerpen dipublikasikan merupakan
faktor utama dalam pemberian istilah “cerpen koran” dimaksud. Tapi lantas
kenapa cerpen-cerpen yang muncul di koran mesti disebut sebagai “cerpen koran”,
yang secara konotatif seolah-olah ingin dibedakan dari cerpen-cerpen yang tidak
muncul di koran? Apakah memang ada nilai khusus tertentu yang ingin dibuktikan
dengan pemberian kategori pembeda seperti ini, sebuah “estetika koran” misalnya?
Anggaplah apa yang disebut sebagai “realitas koran”, walaupun istilah ini
sendiri masih juga sangat problematis pengertiannya, merupakan unsur tematis
yang khas mewarnai “cerpen koran Indonesia”. Apakah cerpen-cerpen yang tidak
muncul di koran Indonesia tidak memiliki tema-tema cerita yang juga diangkat
dari “realitas koran” atau “peristiwa aktual” kehidupan sosial sehari-hari di
Indonesia? Seandainya pun tema “realitas koran” adalah sah juga untuk
diceritakan dalam cerpen-cerpen yang tidak muncul dalam koran Indonesia, dalam
hal apakah terdapat keunikan yang khas hingga “cerpen koran Indonesia” memang
bisa dibedakan sebagai sebuah sub-genre yang otonom dan istimewa? Juga,
bukankah ukuran panjang-pendek sebuah cerpen yang 6-8 halaman kuarto (spasi ganda)
itu merupakan ciri umum cerpen-cerpen Indonesia yang muncul di majalah, buku
dan Internet, jadi bukan hak prerogatif “cerpen koran Indonesia”?
Antologi pertanyaan seperti yang saya susun ini, saya pikir, sangat penting
dilakukan kalau kita ingin bicara serius dan kritis tentang pemakaian istilah
“cerpen koran Indonesia” bagi cerpen-cerpen yang muncul di koran-koran di
Indonesia. Kejelasan makna definisi mesti diciptakan agar pembicaraan tidak
berkesan tergantung pada kata hati masing-masing pembicara saja sedangkan isi
pembicaraan sudah mengelantur ke sana ke mari. Pembicaraan atas cerpen
Indonesia, bahkan cerpen yang muncul di koran sekalipun, adalah pembicaraan
yang bersifat kritik sastra dan sebuah kritik sastra mesti dilakukan
berdasarkan kaidah-kaidah yang ilmiah dan universal. Kejelasan pengertian
definisi sebuah istilah yang dipakai, seperti “cerpen koran Indonesia”,
merupakan syarat awal yang utama agar pembicaraan bisa menukik ke dalam isu
topikal yang dibicarakan dan menghasilkan solusi-solusi kritis yang selanjutnya
bisa dikembangkan kepada persoalan-persoalan relevan lainnya hingga sebuah
kritik sastra Indonesia tidak menjadi sebuah kemustahilan, sebuah mimpi di
siang bolong.
***
Dalam seri dua tulisan bersambung yang memiliki dua judul berbeda walau
konon topik pembicaraannya satu, yaitu tentang “cerpen koran Indonesia”
(Republika, 6 dan 13 Oktober 2002), Binhad Nurrohmad berusaha untuk “menggapai
puncak kanon cerpen koran Indonesia” melalui usaha “menemukan generasi terbaru
cerpen koran Indonesia”, tanpa terlebih dahulu menyatakan kepada kita apa
sebenarnya yang dia maksudkan dengan “cerpen koran Indonesia” itu. Padahal
kedua tulisannya itu “dimaksudkan untuk membuka (mengawali) diskusi (kecil)
tentang fenomena cerpen koran (dalam pertumbuhan cerpen Indonesia)”, seperti
yang dinyatakan dua catatan kecil dari Redaksi Sastra Republika pada kedua
tulisannya tersebut.
Pada tulisan pertamanya, Binhad Nurrohmad bercerita panjang tentang
“cerpen” tapi tidak tentang apa itu “cerpen koran Indonesia”, yang merupakan
isu pokok dari kedua tulisannya itu. Apakah telah terjadi sebuah peristiwa
amnesia tekstual dalam usaha penulisnya untuk “menggapai puncak kanon cerpen
koran Indonesia”? Saya sebagai pembaca yang tertarik ingin tahu apa itu “cerpen
koran Indonesia” dan cerpenis-cerpenis mana yang sudah “menggapai puncak kanon
cerpen koran Indonesia” tidak menemukan pemuasan rasa tertarik saya itu setelah
selesai membaca tulisannya. Keingintahuan saya atas apa yang sudah “dicapai”
para cerpenis-yang-absen-dalam-tulisannya itu hingga mereka dikatakan sebagai
“puncak kanon cerpen koran Indonesia” juga tidak mengalami satori-teks atau
tekstasi oleh aktivitas pembacaan yang saya lakukan atas tulisan Binhad
Nurrohmad tersebut. Mungkin minggu depan pada “bagian kedua dari dua
tulisan”nya itu, harapan saya dalam hati, karena di akhir cerita panjangnya
tentang “cerpen koran Indonesia” tersebut dia mulai menyinggung point
entry/entry point (?!) dari diskusi tentang “fenomena cerpen koran dalam
pertumbuhan cerpen Indonesia”, yaitu buku kumpulan cerpen Pembisik (Penerbit
Republika, 2002) “yang kini sudah beredar di toko-toko buku seperti Gunung
Agung dan Gramedia” itu.
Dalam “bagian terakhir (kedua) dari dua tulisan” Binhad Nurrohmad tentang
“fenomena cerpen koran dalam pertumbuhan cerpen Indonesia” saya segera mengerti
bahwa apa yang dimaksudkan Binhad tentang “cerpen koran Indonesia” itu
dianggapnya sudah saya mengerti dan dia tidak perlu lagi repot-repot untuk
menjelaskannya dalam kedua tulisannya itu. Dia punya sesuatu yang jauh lebih
penting untuk dibicarakan, yaitu tentang “generasi terbaru cerpen koran”
Indonesia. Dan para cerpenis yang dianggap Binhad merupakan “generasi terbaru
cerpen(is) koran” Indonesia ini adalah “kanon tersendiri” setelah “generasi
lama seangkatan Umar Kayam… Budi Darma… Danarto… Seno Gumira Ajidarma”. Mereka
disebut “kanon tersendiri” karena, menurut Binhad, mereka telah “melakoni
praktik literer yang menempuh jalan lain, bahkan gigih ingin menyempal dari
tradisi generasi cerpenis sebelumnya”. Sementara untuk pengertian definisi
istilah “kanon sastra” itu sendiri Binhad “meminjam” pendapat seorang
Dekonstruksionis Yale, Harold Bloom, yaitu bahwa “kanon sastra membuat kita
terasing di tengah lingkungannya sendiri, atau sebaliknya, membuat kita kerasan
dan intim di tengah keterasingan”.
Apa yang saya mengerti dari antologi kutipan pernyataan Binhad Nurrohmad di
atas adalah bahwa dia telah “menemukan generasi terbaru cerpen koran”
Indonesia, tapi tidak menjelaskan apa maksudnya dengan istilah “cerpen koran”
itu sendiri, dan “generasi terbaru cerpen koran” ini adalah “kanon tersendiri”,
kanon terbaru dalam sejarah “cerpen koran Indonesia”. Dan mereka menjadi “kanon
tersendiri” karena telah “membuat kita terasing di tengah lingkungannya
sendiri, atau sebaliknya, membuat kita kerasan dan intim di tengah
keterasingan” yang kita alami waktu bertemu muka dengan “generasi terbaru
cerpen koran” Indonesia ini.
Menurut Binhad Nurrohmad ada dua mainstream atau “tradisi cerpen (koran)”
dari sub-genre cerpen Indonesia yang dia sebut sebagai “cerpen koran Indonesia”
itu, yaitu tradisi “cerpen koran” Republika dan Kompas yang sosial-realis
(dengan Seno Gumira Ajidarma, Joni Ariadinata dan Agus Noor sebagai
“tokoh-tokoh atau tonggak-tonggak”nya) dan tradisi Media Indonesia dan Koran
Tempo yang “alternatif” dalam “keliaran gagasan naratif” dan “segi penceritaan
dan eksplorasi bahasa” cerpen-cerpen korannya (Hudan Hidayat dan Puthut EA
adalah “generasi terbaru”nya di sini).
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul di kepala saya setelah membaca pernyataan
Binhad Nurrohmad di atas adalah apakah “cerpen koran Indonesia” itu adalah
cerpen-cerpen yang hanya muncul di “Republika, Kompas, Media Indonesia dan
Koran Tempo” saja, karena keempatnya merupakan “medium utama dan representasi
pertumbuhan cerpen Indonesia mutakhir dan (yang bahkan telah) melahirkan sebuah
tradisi cerpen tersendiri”, katanya? Atas dasar apakah Binhad membuat
kesimpulan bahwa di luar keempat koran Jakarta ini tidak ada apa-apa yang bisa
dikatakan sebagai “medium utama dan representasi pertumbuhan cerpen Indonesia
mutakhir”? Kalau memang keempat koran Jakarta ini telah “melahirkan sebuah
tradisi cerpen tersendiri”, sebuah gaya penulisan yang mungkin bisa disebut
sebagai sebuah “gerakan sastra”, di manakah saya bisa membaca karya-karya
representatif yang pasti hebat-hebat itu? Dan apakah dengan pencantuman
nama-nama pengarang tertentu sebagai representasi dari dua “mainstream” dalam
“tradisi cerpen tersendiri” yang dilahirkan keempat koran terbitan Jakarta itu
berarti bahwa “gaya penulisan” seperti yang dilakukan “generasi terbaru”
tersebut yang mendominasi, yang merupakan ciri khas “gaya penulisan” para
cerpenis lain di keempat koran tersebut?
Begitu panjangnya antologi pertanyaan yang bisa dilontarkan kepada Binhad
Nurrohmad karena dia lebih banyak membuat pernyataan-pernyataan asersif yang
konklusif ketimbang menjelaskan persoalan. Kesimpulan-kesimpulan umum yang
banyak sekali dibuatnya dalam kedua tulisannya itu telah membuat Binhad
terjebak dalam labirin permainan istilah yang telah, paling tidak, membuatnya
membicarakan “cerpen” secara umum padahal yang menjadi isu tulisannya adalah
“cerpen koran” Indonesia. Dia juga tidak mampu membuktikan apa yang diklaimnya
sebagai ciri-khas dari kedua gaya penulisan (estetika) dari dua “tradisi cerpen
koran” yang direpresentasikan keempat koran Jakarta tersebut. Dan pemakaian
istilah “kanon sastra” dalam kedua tulisannya itu, walau dia berpretensi
mengerti apa maksud istilah tersebut dalam karya kritik seorang Harold Bloom,
begitu tidak bertanggung jawab dan sama sekali tidak mampu dijelaskannya dengan
contoh-contoh dari dunia “cerpen koran Indonesia” yang ingin dibaptisnya ada
itu.
Menurut kritikus sastra Amerika MH Abrams, istilah canon dalam dunia sastra
selalu merujuk kepada pengertian: para pengarang yang karya-karyanya, melalui
konsensus kumulatif dari kritikus-kritikus dan pakar-pakar penting, dan juga
melalui pengaruh karya-karya tersebut yang luas dan nyata pada para pengarang
sesudah mereka, memang diakui secara umum sebagai pengarang-pengarang “major”,
pengarang-pengarang utama, serta yang sudah pasti akan selalu dibicarakan oleh
para kritikus dan sejarawan sastra dan paling sering ikut dalam
antologi-antologi dan mata kuliah penting seperti “Karya Besar Dunia”, “Sastrawan
Utama Indonesia” atau yang semacamnya itu. Bisa dilihat bahwa ada dua hal
penting yang mendasari kenapa seorang sastrawan itu disebut sebagai “kanon
sastra”, yaitu pengakuan dari para “kritikus” dan “pakar” sastra melalui
studi-studi yang disebut “kritik sastra” dan pengaruhnya atas karya-karya para
sastrawan sesudahnya. Dari nama-nama cerpenis yang disebutkan oleh Binhad
Nurrohmad sebagai “puncak kanon cerpen koran Indonesia” dan “generasi terbaru
cerpen koran” itu, apakah kedua “pengakuan” ini memang sudah ada? Karya-karya
“kritik sastra” manakah dan pengaruh atas sastrawan-sastrawan manakah yang bisa
membuktikan asersinya bahwa nama-nama yang dikatakannya mewakili “mainstream”
keempat koran Jakarta itu memang merupakan “kanon sastra” bahkan dalam apa yang
disebut sebagai “cerpen koran Indonesia” itu?
Kegenitan untuk menjadi seseorang yang “menemukan generasi terbaru”, sebuah
angkatan penulis terbaru, dalam dunia kang-ouw sastra kontemporer Indonesia
tanpa disertai dengan pembuktian yang bisa dipertanggungjawabkan kayaknya sudah
menjadi kebiasaan dalam “pseudo-kritik-sastra” Indonesia. Saya katakan
“pseudo-kritik-sastra” Indonesia karena banyak sekali penulis Indonesia ingin
menjadi “kritikus sastra” tanpa melakukan apa-apa, kecuali membuat antologi-antologi
pernyataan asersif yang konklusif tapi dangkal. Dan ketakmampuan untuk
melakukan “kritik sastra” ini diusahakan untuk ditutup-tutupi dengan permainan
istilah yang diharapkan bisa menimbulkan kesan “kecerdasan berbahasa” atau
“keluasan bacaan” pada para pembacanya. Kecerdasan atau keluasaan bacaan yang
superfisial dianggap lebih heboh ketimbang sebuah kesederhanaan pehamaman yang
mendalam. Ini memang merupakan ciri umum tulisan tentang sastra yang muncul di
koran-koran Indonesia. Mungkinkah ini disebabkan oleh keyakinan besar di
kalangan sastrawan Indonesia bahwa sastra modern Indonesia itu identik dengan
“sastra koran Indonesia” hingga isinya pun tak lebih dari sekedar “realitas
koran” yang merupakan ideologi medium tempatnya disosialisasikan, aktual tapi
sekali dibaca mati?
***
the spaces of world figures, literature studies, new school of thought in the world of literature (art, letters, etc.)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.C. Andre Tanama
Aang Fatihul Islam
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Adam Roberts
Adelbert von Chamisso
Adreas Anggit W.
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus R. Sarjono
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Albert Camus
Albrecht Goes
Alexander Pushkin
Alit S. Rini
Amien Kamil
Amy Lowell
Andra Nur Oktaviani
André Chénier
Andy Warhol
Angela
Angela Dewi
Angrok
Anindita S. Thayf
Anton Bruckner
Anton Kurnia
Anwar Holid
Arif Saifudin Yudistira
Arthur Rimbaud
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asep Sambodja
Awalludin GD Mualif
Axel Grube
Bambang Kariyawan Ys
Basoeki Abdullah
Beethoven
Ben Okri
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Berto Tukan
BI Purwantari
Birgit Lattenkamp
Blaise Cendrars
Book Cover
Brunel University London
Budi Darma
Buku Kritik Sastra
C.C. Berg
Candra Kurnia
Cecep Syamsul Hari
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Charles Baudelaire
Claude Debussy
Cristina Lambert
D. Zawawi Imron
Damhuri Muhammad
Dana Gioia
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darwin
Dea Anugrah
Denny Mizhar
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dwi Cipta
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Edgar Allan Poe
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Emha Ainun Nadjib
Emily Dickinson
Enda Menzies
Endorsement
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Essay
Evan Ys
Fahmi Faqih
Fatah Anshori
Fazabinal Alim
Feby Indirani
François Villon
François-Marie Arouet (Voltaire)
Frankfurt Book Fair 2015
Franz Kafka
Franz Schubert
Franz Wisner
Frederick Delius
Friedrich Nietzsche
Friedrich Schiller
Fritz Senn
FX Rudy Gunawan
G. J. Resink
Gabriel García Márquez
Gabriela Mistral
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Goethe
Hamid Dabashi
Hardi Hamzah
Hasan Junus
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier
Henry Lawson
Hera Khaerani
Hermann Hesse
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ignas Kleden
Igor Stravinsky
Imam Nawawi
Indra Tjahyadi
Inspiring Writer
Interview
Iskandar Noe
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rumi
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jiero Cafe
Johann Sebastian Bach
Johannes Brahms
John H. McGlynn
John Keats
José de Espronceda
Jostein Gaarder
Kamran Dikarma
Katrin Bandel
Khalil Gibran (1883-1931)
Koesoema Affandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Koskow
Kulya in the Niche of Philosophjy
Laksmi Pamuntjak
Laksmi Shitaresmi
Lathifa Akmaliyah
Laurencius Simanjuntak
Leila S Chudori
Leo Tolstoy
Lontar Foundation
Lorca
Lord Byron
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lutfi Mardiansyah
Luthfi Assyaukanie
M. Yoesoef
M.S. Arifin
Mahmoud Darwish
Mahmud Ali Jauhari
Mahmudi
Maman S. Mahayana
Marco Polo
Martin Aleida
Mathori A Elwa
Max Dauthendey
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Michael Kumpfmüller
Michelangelo
Milan Djordjevic
Minamoto Yorimasa
Modest Petrovich Mussorgsky
Mozart
Mpu Gandring
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mulla Shadra
Nenden Lilis A
Nikmah Sarjono
Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Notes
Novel Pekik
Nunung Deni Puspitasari
Nurel Javissyarqi
Octavio Paz
Orasi Budaya
Orhan Pamuk
Pablo Neruda
Panos Ioannides
Patricia Pawestri
Paul Valéry
Paul van Ostaijen
PDS H.B. Jassin
Penerbit SastraSewu
Percy Bysshe Shelley
Pierre de Ronsard
Poems
Poetry
Pramoedya Ananta Toer
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Setia
Pyotr Ilyich Tchaikovsky
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Radhar Panca Dahana
Rainer Maria Rilke
Rakai Lukman
Rama Dira J
Rambuana
Read Ravel
Rengga AP
Resensi
reviewer
RF. Dhonna
Richard Strauss
Richard Wagner
Ridha al Qadri
Robert Desnos
Robert Marcuse
Ronny Agustinus
Rosalía de Castro
Ruth Martin
S. Gunawan
Sabine Müller
Samsul Anam
Santa Teresa
Sapardi Djoko Damono
Sara Teasdale
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Schreibinsel
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Short Story
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Solo Exhibition Rengga AP
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Stefan Zweig
Stefanus P. Elu
Subagio Sastrowardoyo
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
T.S. Eliot
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Thales
The World Readers Award
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
To Take Delight
Toeti Heraty
Tunggul Ametung
Ulysses
Umar Junus
Unknown Poet From Yugoslavia
Usman Arrumy
Utami Widowati
Vladimir Nabokov
W.S. Rendra
Walter Savage Landor (1775-1864)
Watercolour Paint
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Welly Kuswanto
Wildani Hefni
William Blake
William Butler Yeats
Wizna Hidayati Umam
World Letters
X.J. Kennedy
Yasraf Amir Piliang
Yasunari Kawabata
Yogas Ardiansyah
Yona Primadesi
Yuja Wang
Yukio Mishima
Z. Afif
Zadie Smith
Zeynita Gibbons
Tidak ada komentar:
Posting Komentar