Kamis, 12 Agustus 2021

Cinta Paripurna Pablo Neruda

Abdul Aziz Rasjid
suarakarya-online.com
 
“Matilde: nama sebentuk tumbuhan, atau batuan, atau anggur,/ dari segala hal yang bermula di bumi, dan akhirnya: / kata yang di sana tumbuh fajar pertama yang membuka,/ yang di sana musim panas menyinari jeruk-jeruk yang rekah”.
 
Begitulah cara Pablo Neruda memanggil, menghikmati serta memuja nama istrinya dalam sebuah soneta. Sebuah nama yang dicinta memang bisa menghasilkan kejutan yang menyentak, menggaungkan sejumlah makna yang sangup menggedor pikiran dan selanjutnya menantang hasrat penyair untuk menuangkannya dalam kejelian untuk melakukan perambahan pengucapan, pemanfaatan kebebasan untuk menghasilkan daya pikat dalam bentuk puisi.
 
Matilde Urrutia adalah misal yang baik tentang kisah pesona sebuah nama. Dia adalah mantan seorang penyanyi Chili yang pernah dipekerjakan untuk merawat Pablo Neruda ketika terserang flebilitis pada lawatannya ke Meksiko pada akhir 1945 dan akhirnya menjadi istri dari penyair terpenting yang pernah dilahirkan sastra Amerika Latin abad ke-20 itu. Selanjutnya, nama Matilde mengawali madah cinta seratus soneta yang terkumpul dalam buku bertajuk Ciuman Hujan, Seratus Soneta Cinta (2009) yang disulih oleh Tia Setiadi dari buku 100 Love Sonnets karya Pablo Neruda yang dalam versi asli berbahasa Spanyol berjudul Cien sonetos de Amor (1960).
 
Kiprah Matilde sebagai istri lantas menginspirasi sang maestro pemenang Nobel sastra 1971 itu untuk menghayati aktivitas serta memperhatikan detail-detail sehari-hari yang merujuk pada hubungan rumah tangganya, semisal ketika Matilde Urrutia memasak di dapur, mondar-mandir menyiram bunga-bunga mawar dan anyelir, atau ketika istrinya tengah menyiapkan spraei dan ranjang tidur dengan lagak-lagu tubuhnya yang anggun. Jadi tampak wajar, jika seratus soneta yang dideklarasikan sebagai fondamen cinta itu, dikatakan oleh Pablo Neruda sebagai soneta-soneta kayu yang lahir karena Matilde yang memberi kehidupan.
 
Apa yang tersirat dalam seratus soneta cinta ini, seakan-akan menggambarkan bahwa keagungan sudah terjelma begitu sempurna dalam diri Matilde, sehingga tak berlebihan memang jika Tia Setiadi sebagai penyulih sekaligus penulis esai pendamping yang bertajuk “Neruda dan Keabadian sebuah Ciuman” mengatakan bahwa bagi Pablo Neruda, jagad raya adalah mikrokosmos sementara Matilde Urrutia adalah makrokosmos.
 
Dalam soneta XVI, Pablo Neruda menulis: “Aku mencintai segenggam bumi yang tak lain adalah Engkau./ Sebab padang-padang rumputnya, meluas laksana planet,/ Aku tak punya bintang lain. Engkaulah tiruanku/ Atas semesta yang berlipat ganda
 
Esai pendamping yang ditulis oleh Tia Setiadi itu, memang patut dijadikan perhatian, sebab memuat pula ikhwal hayat dan karya Neruda yang dapat membuat pembaca menjadi akrab dengan sosok dan perjalanan kepenyairan Neruda. Sekaligus juga dapat difungsikan oleh pembaca untuk membantu upaya-upaya penafsiran. Semisal alenia berikut: “Puisi Neruda, lebih dekat ke nafiri kejujuran yang tanpa pretensi, kerendahan hati dan senandung rasa syukur yang tulus pada kemahaluasan hidup. Puisi semacam ini, bisa dipadankan dengan kejernihan dan kepadatan kristal-kristal batuan yang dinafasi oleh tenaga hidup atau denyar-denyar asmara yang berbinar-binar, bagiakan vibrasi gelombang cahaya. Tiap-tiap langkah dalam sajak adalah langkah-langkah kecil menuju keindahan. Tiap-tiap langkah dalam sajak adalah kepergian sekaligus kepulangan”.
 
Melihat kembali pada pembacaan capaian perkembangan kepenyairan Pablo Neruda, Saut Situmorang dalam sebuah esai yang berjudul “Pablo Neruda dan Imperialisme Amerika Serikat” (2004) memaparkan bahwa secara umum keseluruhan corpus Pablo Neruda yang begitu ekstensif dan bervariasi selalu diklasifikasikan dalam empat perkembangan tematik besar: pertama, puisi cinta seperti yang terdapat pada Duapuluh Sajak Cinta dan Satu Nyanyian Putus Asa dan Sajak- sajak Kapten; kedua, puisi “Material” seperti kumpulan Berdiam di Bumi yang bercirikan kesunyian dan depresi yang membawa kepada pengalaman bawah sadar yang demonik: ketiga puisi epik seperti pada Canto General dan Epic Song yang merupakan semacam usaha reinterpretasi Marxian atas sejarah Amerika Latin dan perjuangan bangsa Amerika Latin melawan penindasan dan ketidakdilan: yang keempat adalah puisi yang berbicara tentang hal remeh temeh, binatang dan tanaman, seperti pada kumpulan Ode Elementer. Sedang Ciuman Hujan, Seratus Soneta Cinta dapat digolongkan sebagai bagaian dari fase terakhir perkembangan gaya pengucapan Pablo Neruda yang beralih dari gaya surealis menjadi realisme sintaksis bahasa sehari-hari yang sederhana dan mudah untuk dimengerti.
 
Seratus soneta cinta dalam buku ini, terbagi dalam empat perbedaan waktu, yaitu: Pagi terdiri dari 32 soneta (I-XXXII), Senja terdiri dari 21 Soneta (XXXIII-LIII), Petang terdiri dari 25 soneta (LIV-LXXVII) dan Malam terdiri dari 22 Soneta (LXXIX-C).
 
Pembagian waktu ini, mengungkapkan bahwa hasrat dan rasa cinta Pablo Neruda pada Matilde adalah keabadian tak putus-putus yang sekaligus menjelaskan keberbagaian upaya untuk memperlihatkan pada pembaca tentang keteguhan cinta Neruda pada istrinya.
 
Hal yang dapat dicermati pada soneta-soneta lainnya, adalah tipikal Neruda yang selalu mengkaitkan soal dalam puisinya dengan keadaan sosial, dimana karena hal itu Pablo Neruda sering disebut sebagai “Penyair dari kemanusiaan yang diperbudak” (poet of enslaved humanity), dalam soneta “XXIX” hal ini paling kental terasaTTK “Engkau datang dari kemiskinan, dari rumah-rumah di selatan,/ dari lanskap-lanskap liar yang dingin dan berlindu/ yang menawarkan pada kita setelah dewa-dewa itu terjungkal/ ke dalam kematian hikmah hidup, yang terbentuk di lempung.// Kau adalah kuda kecil dari lempung hitam, sebuah ciuman/ dari lumpur gelap, Kekasihku, sekuntum popy lempung,/ merpati senja yang terbang sepanjang jejalan,/ tabungan airmata dari masa kecil kita yang melarat.// Gadis kecilku, jantung kemiskinan ada dalam dirimu,/ kakimu terbiasa mengasah batu-batu,/ mulutmu tak selalu punya roti, gula-gula.// Kau datang dari Selatan yang miskin, di mana jiwaku bermula: / di ketinggian langit itu ibumu masih mencuci pakaian/ dengan ibuku. Karena itulah aku memilihmu, mempelaiku.”
 
Merujuk pada konsepsi Erich Fromm, cinta Pablo Neruda yang dipersembahkan dalam aneka rupa seratus soneta pada istrinya itu, telah mewujud sebagai integritas, ketetapan untuk menjadi diri yang lebih matang, yang memaparkan sebuah usaha untuk menjadi pribadi yang aktif, sadar, dan berproses untuk terus “menjadi”.
 
Maka, Ciuman Hujan, Seratus Soneta Cinta tampil untuk merayakan cinta yang lebih menawarkan supaya kekurangan dan kelebihan mesti disyukuri lantas dimaknai sebagai modal utama eksistensi cinta, yang pada akhirnya eksistensi itu dengan bersetia mendekati eksistensi lain untuk saling meleburkan diri. Di situlah cinta yang sempurna menetap, dan kita mendapatkan contoh yang luar biasa dalam seratus soneta cinta Pablo Neruda.
***
 
*) Peneliti Beranda Budaya, tinggal di Purwokerto. http://sastra-indonesia.com/2010/02/cinta-paripurna-pablo-neruda/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons