Kamis, 26 November 2015

Nobel Sastra dan Kutukan Tiga Persen

Eka Kurniawan *
pekanbaca.blogspot.com

Nobel Kesusastraan 2014 dianugerahkan kepada penulis Prancis Patrick Modiano. Kabar itu ditanggapi banyak pembaca, tak hanya di Indonesia, tapi juga di mana-mana (tentu saja kecuali di Prancis dan negara-negara berbahasa itu), dengan gumaman, "Siapa dia?"

Kasus yang sama terjadi pada 2009 ketika Herta Muller, penulis Rumania berbahasa Jerman, memperoleh penghargaan tersebut. Juga tahun 2008 untuk J.M.G. Le Clezio (Prancis) dan 2004 untuk Elfriede Jelinek (Austria).

Apakah mereka sedemikian "aneh"-nya sehingga tak banyak yang mengetahui? Tidak juga. Perhatikan, empat penulis itu menulis dalam bahasa yang bisa dibilang "salah dua" yang terbesar dalam tradisi kesusastraan: Prancis dan Jerman. Dan bisa dibilang mereka sangat popular di teritori berbahasa Prancis dan Jerman, bahkan bisa dibilang populer juga di negara-negara Eropa berbahasa lain. Problemnya, mereka tak populer di negara-negara berbahasa Inggris (anglophone) dan akibatnya, mereka seolah-olah menjadi tidak populer juga "di dunia".

Harus diakui, dewasa ini bahasa Inggris merupakan lingua franca, tak hanya dalam kehidupan sehari-hari, politik, media, tapi juga ke bidang-bidang spesifik seperti kesusastraan. Ada semacam rumus, jika ingin mendunia, sebuah karya harus dialihbahasakan ke Inggris. Dalam hal ini tentu akan lebih spesifik lagi, yakni diterbitkan penerbit di dua negara yang menjadi kiblat bahasa tersebut: Inggris dan Amerika. (Secara umum, dengan sistem sublisensi maupun karena penerbitnya menancapkan kaki di kedua negara, termasuk di negara-negara persemakmuran, jika diterbitkan di Amerika, sebuah karya sangat mungkin juga akan terbit di Inggris dan demikian pula sebaliknya).

Di sinilah terletak problemnya, jika kita tak bisa menyebutnya sebagai paradox menyedihkan. Dengan posisinya sebagai lingua franca, tradisi perbukuan berbahasa Inggris bisa dibilang sangat pelit dalam tradisi pengalihbahasaan karya-karya sastra asing ke bahasa Inggris. Bahasa Inggris bisa dibilang "kiblat" dalam referensi kesusastraan dunia, tapi sialnya, juga bisa dibilang tertinggal, jika tak disebut terbelakang.

Separah apakah masalah langkanya penerjemahan dari bahasa lain ke inggris ini sebenarnya? Riset yang dilakukan Universitas Rochester, yang kemudian merilis proyek bernama Three Percent pada 2007, menunjukkan bahwa dalam dunia perbukuan berbahasa Inggris, karya terjemahan hanya mencakup 3 persen. Harap dicatat, angka tersebut berlaku untuk semua jenis buku. Jika kita membatasi diri hanya pada karya-karya sastra (novel, puisi, drama, dan kritik sastra), angka itu hanya sekitar 0.7 persen. Angka yang tentu saja tak bisa diandalkan untuk menjadikan bahasa Inggris sebagai rujukan kesusastraan dunia.

Penelitian terbaru yang dilakukan Literature Across Frontiers (meskipun hanya membatasai pada penerbitan di Inggris dan Irlandia) pada 2012 menunjukkan sedikit perubahan ke angka 4,5 persen. Tetap saja angka itu masih jauh dari memadai.

Perkara tersebut tentu menimbulkan keprihatinan banyak pihak, dan tak terelakkan, juga ejekan. Pada 2008 Horace Engdahl, sekretaris permanen Akademi Swedia, berkomentar tentang kecilnya kemungkinan penulis Amerika memperoleh Nobel Kesusastraan dengan mengatakan, "Amerika terlalu terisolasi, terlalu picik. Mereka tak cukup banyak menerjemahkan dan tidak sungguh-sungguh ikut serta dalam dialog besar kesusastraan. Ketidakpedulian ini memenjarakan."

Komentarnya dengan cepat menuai tanggapan dan kemarahan publik sastra Amerika. Kenyataannya, sejak Toni Morrison memperoleh Nobel Kesusastraan 1993, tak ada satu pun penulis Amerika yang meraih penghargaan tersebut. Meskipun begitu, tahun lalu penulis Kanada Alice Munro memperolehnya.

Tahun ini Engdahl kembali menyampaikan komentar pedas yang kurang lebih masih di urusan yang sama, sebelum pengumuman Nobel Kesusastraan beberapa minggu lalu. Dia bilang kursus menulis kreatif telah membunuh kesusastraan Barat. Meskipun secara umum dia mengatakan "kesusastraan Barat”, serangan tampaknya kembali ke kesusastraan Amerika (dan Inggris), di mana kursus penulisan kreatif menjamur.

Perkara penerjemahan yang minim dan kursus penulisan kreatif sekilas tak tampak berhubungan, tapi sebenarnya itu membentuk kondisi penerbitan di sana. Kursus penulisan kreatif dicurigai sebagai salah satu biang (konyolnya) ketiadaan penulisan kreatif: menulis menjadi perkara kurikulum. Karya-karya yang dilahirkan menjadi terformula dan formula penulisan menghasilkan keseragaman selera. Keseragaman selera menciptakan efek buruk: keengganan atau kesulitan mencerna kesusastraan liyan. Akibat dari rangkaian ini kembali ke permasalahan sedikitnya karya asing yang diterjemahkan (karena tak banyak yang membaca), dan karena tak banyak karya diterjemahkan, selera pembaca juga tak berkembang. Ini menciptakan lingkaran setan, tentu saja.

Banyak pihak tidak tinggal diam dengan kutukan 3 persen ini. Banyak penerbit independen dan garis keras konsisten dan terus-menerus mempromosikan karya-karya terjemahan di dunia anglophone. Di Amerika ada penerbit semacam New Directions, NYRB, dan Open Letter. Di Inggris ada penerbit semacam Pushkin Press, Pen America Center dan World Literature Today juga merupakan pendukung gerakan mengatasi kutukan 3 persen itu.

Tunggu, bukankah ini problem Amerika (dan Inggris)? Kenapa harus menjadi problem kita atau problem dunia? Saya tak punya catatan statistik berapa persen karya terjemahan dalam penerbitan karya sastra di Indonesia, tapi saya yakin angkanya lebih baik dari Inggris. Bukan karena kita banyak menerjemahkan karya asing tapi karena jumlah karya lokal kita jauh lebih sedikit. Meskipun begitu, secara langsung kita terimbas oleh masalah ini. Jika menilik iklim perbukuan dan kesusastraan Indonesia, kita tak bisa menutup mata bahwa kita sangat bergantung kepada karya sastra dalam bahasa Inggris (asli maupun terjemahan) untuk mengakses kesusastraan dunia. Hanya segelintir orang yang membaca sastra dalam bahasa Prancis, Jerman, Arab, atau lainnya.

Banyak karya sastra yang harus diterjemahkan melalui bahasa Inggris (meskipun aslinya tidak). Dengan kata lain, pembaca Indonesia pun bisa dibilang menerima kutukan 3 persen ini (atau lebih buruk). Wajar ketika Patrick Modiano memperoleh Nobel Kesusastraan, serupa pembaca sastra di New York, pembaca paling kutu buku di Jakarta pun akan menggumamkan hal yang sama, "Siapa dia?"

Selain usaha-usaha menanggulangi kutukan 3 persen, demi terciptanya dialog besar tradisi kesusastraan dunia, saya rasa kesusastraan Indonesia harus mengatasi masalah ini dengan caranya sendiri. Beberapa waktu lalu saya bertemu seorang editor dari penerbit Italia yang mengkhususkan diri pada karya-karya sastra dari Asia. Komentarnya sangat mengejutkan saya. "Sementara kami terus menerbitkan karya-karya sastra Asia, saya jarang melihat penerbit-penerbit Asia saling menerjemahkan karya dari sesame negara Asia."

Plak!. Itu benar. Tak usah bicara tentang sastra Afrika atau negara-negara Eropa, kita bahkan tak tahu apa-apa tentang sastra Malaysia, sastra Filipina, Vietnam, atau Thailand; dan kita juga tak dikenal di sana. Jika penulis berbahasa Prancis saja menimbulkan reaksi "siapa dia?" publik dunia pasti akan jauh lebih melongo jika mendengar nama Danarto atau Joko Pinurbo: "siapa mereka?"

Seperti dunia bisnis mulai gerah karena semua transaksi melulu mempergunakan dolar Amerika, dunia kesusastraan saya rasa sebaiknya juga mulai gerah jika bacaan dan referensi kesusastraan melulu melalui penerbitan dalam bahasa Inggris. Tiga persen sangatlah tidak memadai. Mungkin sudah waktunya penerbit Indonesia menerjemahkan karya sastra dari, katakanlah, bahasa Sawali? Setidaknya cobalah menerjemahkan karya penulis muda Korea yang sedang naik daun, Han Hyo-joo, langsung dari bahasa aslinya. Menerjemahkan, karya dari mana pun, tanpa menunggu mereka dikenal dulu di dunia anglophone.

26 Oktober 2014
* EKA KURNIAWAN, penulis fiksi, ekakurniawan.com
http://pekanbaca.blogspot.com/2014/10/nobel-sastra-dan-kutukan-tiga-persen.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons