M.S. Arifin
http://sastra-indonesia.com
[1]
Mantra Asmara: ‘Us(ma)n Arrumy dan (M.A) yang Merah’
Mantra Pembuka
Mendedahkan tinta, melumerkan rasa, menitipkan makna pada penggal kata, itulah menulis. Ia adalah kegiatan untuk meragukan sesuatu dengan berdasar keyakinan akan sesuatu. Menulis adalah upaya uzlah dari keramaian kata-kata menuju kesunyian rasa. Sebagaimana melukis, menulis berarti melakukan reka ulang apa yang sudah ada dalam alam pikir, alam rasa, alam hati. Apa yang kita pikirkan belum tentu menggambarkan apa yang kita rasakan. Tapi, apa yang kita rasakan tak pernah luput dari pikiran kita. Di sana, kita melihat bertemu dan menyatunya dua palung diri manusia sebagai tabiat yang niscaya. Dua palung itu adalah rasa (syu’ur) dan pikir (fikr).
Rasa, membuka kemungkinan sebuah dialektika antar-causa. Artinya, sebuah rasa tak mungkin meng-ada tanpa bersinggungan dengan dua sebab yang melatari terjadinya perasaan. Dua sebab itu, satu sama lain saling berkait-gandeng, berkerat-erat, dan menyatu-padu. Dimungkinkan bagi adanya perasaan, sesuatu yang sesungguhnya tabu untuk diungkap, sebab akan ada unsur privatif yang dijamah, dibredel, dan diungkap secara gamblang serta blak-blakan. Ada sesuatu yang nyaris absen dari segala bentuk artikulasi dan pengucapan karena sifatnya yang intim dan sublim. Ada sesuatu yang menjelma udara; ia ada tapi tak terkasatkan begitu rupa. Ia ingin dijamah sekaligus malu-malu; ingin diucapkan sekaligus naif-naif.
Sesuatu itu adalah kenangan.
Seno pernah mengawali cerpennya dengan kalimat seperti ini: “Terbuat dari apakah kenangan?” Dalam kalimat ini terdapat ketukan rasa yang amat berbeda di setiap pembaca. Hal ini dikarenakan adanya pembacaan yang melemparkan pembaca kepada masa lalu yang satu sama lain sama sekali berbeda. Meskipun berbeda, namun pembaca, pada akhirnya, bertemu pada satu titik yang sama. “Kenangan telah lampau terbuat. Tidaklah penting dari apa kenangan itu dibuat. Yang justeru penting adalah aktifitas mengenang itu akan menghasilkan apa”. (Pada kalimat inilah akan dibahas Usman Arrumy dan buku yang lahir dari rahimnya).
Pikir, berfungsi sebagai stabilisator kenangan dan rasa. Merasa tanpa berpikir sama dengan hewan. Berpikir tanpa merasa sama dengan robot. Selain sebagai stabilisator, pikir juga berfungsi sebagai kontrol diri yang simultan. Meski kontrol itu bersifat gradual, tapi kita pantas merasa aman jika kita masih memiliki kecerdasan pikir itu. Sebab, sepanjang pengamatan, merasa seringkali mendesak pikir, mendupak dan mengusir kejelian tentang berbagai kenangan yang tersusun rapi dalam bagasi memori. Pikir berfungsi paling tidak (atau malah semestinya) memberikan makna yang berulang-ulang kepada kenangan agar ia terbahasakan dalam kertas, termaknakan dalam kalbu, dan teraksikan dalam kehidupan—semuanya secara anggun.
Akan sangat mudah kita deteksi, mana rasa yang benar-benar menjawab sapaan pikir dan mana yang tidak. Mana pikiran yang dibumbui dengan perasaan dan mana yang murni konsep yang garing dan kaku. Berpuisi, dengan serentak, musti mengaktifkan daya keduanya. Lebih singkat: daya pikir mengarahkan penyair pada pemilihan diksi, dan daya merasa memberikan semacam ruh pada sajaknya. Kalimat yang mewakili perkara ini adalah: “Berpikir mereduksi alam kenangan. Pun berpikir sama dengan meredifinisi makna kenangan dalam diri seseorang. Pemaknaan ulang inilah yang akan menjatuhkan penyair dalam diri istilah yang lahir daripadanya”. (Pada kalimat ini akan dibahas mengenai rahasia (M.A) yang merah).
Usman; Diri dan Ketiadaan
Betapa suntuk penyair ini bergulat dengan kenangan. Di hadapannya, ada hamparan kesangsian yang kian marajai bahkan di semua bagian hidupnya. Baginya, kenangan kadang berbentuk karunia yang tidak diakui. Baginya, kenangan adalah simbol dari takdir yang perlu dirayakan. Perkara durasi barangkali tak menjadi masalah. Kenangan sesingkat apapun tetaplah berharga dan bisa mengandaikan terciptanya sesuatu. Baginya, waktu yang lekas jadi masa lalu yang ia lalui di sebuah kota boleh jadi memang singkat. Tapi kenangan di dalamnya datang silih-berganti, berdesak-desakan dan meminta untuk tak dilupakan.
Penyair ini, telah melampaui diri dan ketiadaan. Pada entah di bagian mana, ia hampir sampai pada kesimpulan yang purna tentang kenangan yang berhasil ia rekam dalam setiap sajaknya. Ia seperti mendekat rapat-rapat serta kembali menjumpai kenangan itu dengan berbagai kosekuensi yang bakal ia hadapi: pedih, perih, sakit, kesumat, biadab, dan segala kenyataan yang pernah merajamnya. Ia begitu saja merasa rela dengan ketiadaan diri; melapuknya dinding-dinding masa depan yang akan ia takhlukkan dengan sajaknya yang merekam seluruh kenangan. Ia benar-benar telah melampai ketiadaan. Ia melampaui rasa ingin dan ingin merasa dan menikahkan keduanya dalam palung dialektis yang mumpuni.
Bagaimana ia mendefinisikan kenangan?
Kenangan adalah ikhtiar untuk merekam tiap jejak dari takdir yang pernah ia alami. Lebih jauh, kenangan menderu-deru melalui kepekaannya merasai sebuah kedatangan rasa yang terpikirkan dan pikir yang dirasakan. Pada ujung cerita, setiap yang pernah menamakan dirinya kenangan, tersimpul mati pada tonggak sajak-sajak yang terkumpul dalam buku Mantra Asmara. Di dalamnya terjejak sungai kecil yang mengalir dari bukit yang hijau menuju hilir yang menyimpan kenangan di hulu—untuk kemudian, pada pungkasnya, laut akan menyimpan tiap-tiap yang terkenang di hulu dan di hilir meskipun kita tahu seluruh air yang datang dari keduanya harus takhluk pada rasa asin.
Buku itu adalah hasil dari aktifitas mengenang. Seperti yang telah lalu disampaikan, tidak terlalu penting terbuat dari apa kenangan itu. Kenangan tetaplah dalam bentuknya yang asali, terpecah, terserak, dan ia justeru tersusun dari aktifitas mengenang. Kenangan, pada hal ini, berulang kali muncul dalam bentuk ratapan, rindu, tangis, tawa, canda, dan semua anasir yang membungkus kepekaan manusia sebagai manusia. Kadangkala berbentuk harapan, masa depan, kepasrahan, dan kenaifan yang disembunyikan oleh rima-rima yang meriap-riap. Kadangkala berbentuk rindu yang kehilangan objek, rasa kangen yang haram, dan rasa kehilangan yang dilupakan oleh takdir. Kadangkala sampai pada ex nihilo.
Buku itu merupakan hasil dari apa yang disebut ‘kasidah diri dan ketiadaan’. Kasidah ini telah lampau dilantunkan dalam diri penyair dan telah mendahului ketiadaan yang bersifat parsial. Manakala takdir membawanya ke puncak insiden, maka ia akan segera menemui bentuknya yang majemuk. Bentuk majemuk inilah yang pada akhirnya menjatuhkan pilihannya dalam kata-kata. Penyair, pada banyak masa, membentuk kata dengan kasidah ini.
Sekali lagi, Mantra Asmara adalah rekaman kenangan yang seringkali ajaib. Meski terkadang takdir melaksanakan kehendaknya yang lain, kenangan tetap tak mampu menerima perubahan. Ia ada dan mengada dalam diri dan ketiadaan sang penyair. Rekaman kenangan dalam buku ini, memberikan kenangan bagi orang lain: pembaca dan pendengar. Dengan begitu, mereka sulam-menyulam untuk tujuan pemaknaan ulang terhadap kenangan.
Tentang (M.A) dan Beberapa Rahasia
Setiap penyair memiliki rahasia yang sengaja ia sembunyikan di antara puing-puing sajaknya. Pun pada setiap huruf yang turut menjaga keruntutan makna. Tak terkecuali apa yang terjadi dalam belantara sajak Mantra Asmara. Pada cover depan, kita telah disuguhi begitu banyak tanda tanya. Bila boleh saya sebutkan, kira-kira pertanyaan tersebut seputar berikut ini: Pertama, apa maksud dari judul Mantra Asmara? Kedua, apa maksud dari desain covernya yang bergambar wayang? Ketiga, pada bagian judul, terdapat dua huruf yang berbeda warna yakni huruf M.A dalam kata Asmara. Apa gerangan maksud dari pembedaan warna tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan itu mempertebal kegelisahan pembaca. Di sana, pembaca disuruh mencari jawaban atas pertanyan yang muncul. Meski diakui bahwa rahasia penyair seringkali susah untuk ditebak, toh pembaca masih mempunyai ruang untuk menafsiri dan menginterpretasi. Pada bagian inilah, pembaca mengambil batu pijakan. Puisi yang berhasil selalu memberi peluang bagi pembaca untuk mengartikan maksudnya. Karena jika tidak, berarti puisi itu masuk dalam relung kegelapan yang menolak untuk ditafsiri pembaca. Berlaku demikian terhadap puisi sangat tidak baik dalam kehidupan kepenyairan.
Rahasia-rahasia yang diselipkan penyair merupakan hasil pikir yang mendalam setelah sebelumnya rasa mewarnai kenangan dengan huruf dan kata. Pada bagian rahasia, pikir melaksanakan tugasnya. Rahasia akan sangat indah jika diletakkan pada tempatnya. Seperti halnya saat penyair mulai meletakkan kata perkata pada penggalan sajaknya. Diharuskan adanya ketepatan menempatkan kata agar nantinya, rahasia-rahasia bisa diletakkan pula pada tempatnya. Salah menempatkan metafora (sebagai salah satu cara untuk merahasiakan), akan berujung pada kesalahan luar dari sajak; yaitu berupa ketepatan logika kata-kata. Metode yang paling bertugas mengurusi ini adalah strukturalis.
Pada huruf M.A kita bisa menebak berbagai kemungkinan rahasia yang dikandungnya. M.A barangkali adalah inisial, barangkali adalah mantra, barangkali adalah seperti ayat mutasyabihat, barangkali adalah yang lainnya. Dugaan itu bentuk-membentuk dalam diri pembaca, hingga pada akhirnya, entah pembacaan akan berujung dengan penyimpulan atau pun tidak, semua kembali kepada pembaca. Yang jelas, penyair ini telah berani memberikan rumus yang akan mengantarkan pembaca kepada makna dari rahasia-rahasia yang sengaja ia rahasiakan. M.A yang merah saga. Apakah merah berarti darah? Dan karenanya akan bisa dimaknai dengan kesakitan dan kepedihan? Entahlah.
Mantra Pamungkas
Betapa hasrat kadang bisa meletup-letup dengan dahsyatnya. Dalam diri seseorang, hasrat menjadi semacam penjara yang paling nyaman. Hasrat itu menemui kehendak. Dan kehendak menjadi nyata dengan dialog antar ada-tiada. Yang pernah ada menjadi kenangan, yang belum ada bisa ada akibat kenangan. Hasrat untuk mengenang terbukti telah melahirkan sebuah karya yang bakal menjadi semacam pembacaan terhadap takdir.Mantra Asmara dan orang yang melahirkannya merupakan bukti dari aktifitas mengenang. Taraf yang kita bicarakan adalah tentang aksiologi, bukan ontologi dan atau epistemologi yang masih berputar-putar pada puting ‘ada’ (being). Taraf ini beranjak satu langkah dari angan-angan.
Belajar dari hasrat, kita perlu tahu bahwa ia sering menjalankan fungsinya meskipun kadangkala menjerumuskan kita pada pilihan dan problem yang beragam. Hasrat sang penyair dalam Mantra Asmara barangkali terpuaskan dengan menulis kenangan, bagaimanapun kenangan itu pernah ada. Buku ini terlahir dari hasrat yang harus dipenuhi. Kita bisa melihat dari hasrat yang dimiliki Majenun—Qais ibn Mulawwah. Dalam beberapa konteks, mereka berdua sama, atau sekurang-kurangnya serupa. Bahwa hasrat mencintai tak pernah pungkas tanpa memberikan peluang bagi kenangan untuk bicara. Laila, kekasih si Majenun, telah dimilik orang. Tapi Qais merasa paling memiliki kekasihnya itu sebab ia memiliki kenangan bersamanya. Dan kenangan itu, ia lampiskan di dalam sajak-sajaknya. Itulah kiranya apa yang ingin dicapai sang penyair dengan dan dari buku Mantra Asmara.
Benar adanya, kenangan—bagaimanapun bentuknya, kerap mencirikan dirinya sebagai penggugah para penyair untuk menulis. Ia seperti alat pecut yang digunakan untuk menyuruh kerbau atau sapi atau kuda agar berjalan. Dalam kaitannya dengan proses kreatif, kenangan amat ampuh untuk dijadikan senjata. Bagi yang menganggap menulis adalah wujud dari kehendak untuk mengabadikan kenangan, ia sebenarnya telah sampai pada kesimpulan tentang dirinya sendiri. Meskipun, ia menyadari bahwa ia masih berkutat di dalam penjara kenangan yang mengurungnya dan ia tak pernah beranjak sedikitpun dari sana. [*]
[2]
Mantra Asmara: ‘Memisahkan Hujan dari Basah’
Prolog
Pada tataran paling umum, kita bisa membicarakan karya sastra dengan dua pendekatan: formal dan moral. Berperkara dengan formal berarti kita membicarakannya dengan sangat rigid; unsur zahirnya, jenis-jenisnya, korespondensi antar-kata (jika dalam puisi), maupun bentuk dan apapun yang berkaitan dengan kulit luarnya. Pendekatan ini telah banyak memunculkan mazhab, salah satunya adalah strukturalisme. Sedangkan berperkara dengan moral, kita akan berhadapan dengan cara meraih pesan dalam karya sastra. Karena karya sastra bergelut dengan medium bahasa, mau tidak mau, sebenarnya kita telah tukar-menukar pesan di dalamnya.
Membaca puisi Usman Arrumy dalam Mantra Asmara kita akan berurusan dengan kulit dan isi; sekaligus dan dengan serentak. Ibarat menyeruput kopi, kita akan sulit membedakan tempat mana yang dihuni rasa pahit dan bagian mana yang dihuni rasa manis. Kecendrungan puisi Usman urung dilihat dari sisi mata uang, sebab ia telah menawarkan air sekaligus basah; api sekaligus panas; langkah sekaligus kaki; senyum sekaligusi bibir; tatap sekaligus mata. Seperti yang diisyaratkan dalam puisi berjudul ‘Asmara Loka’: … Dan barangkali, suatu hari nanti/ Tuhan akan melangkah menujuku melalui kakimu/ Tuhan akan tersenyum kepadaku melalui bibirmu/ Tuhan akan menatap mataku melalui matamu.
Menolak Konvensi dan Upaya Rekonstruksi
Berangkat dari Chairil Anwar, perkembangan perpuisian Indonesia bertrasformasi secara masif. Pada era sebelum kemerdekaan, para penyair cenderung menggunakan bentuk-bentuk puisi lama, baik itu bentuk pantun, kuatrin, gurindam, soneta, dll. Chairil Anwar membuka kran kebebasan dalam berpuisi dan dalam pada itu, ia telah menolak sebuah konvensi zamannya (kita masih ingat dengan judul buku puisi ‘Tiga Menguak Takdir’, bukan?). Dalam perkembangan selanjutnya, perpuisian Indonesia seolah menjadi alat pegas yang telah ditahan amat lama dan setelah dilepaskan memuntahkan daya dorong yang mahakuat. Alhasil, kebebasan bertutur dalam puisi meninggalkan beberapa bentuk rigid; seperti rima dan sampiran. Meskpun bentuk seperti kuatrin dan soneta masih digunakan pada akhir tahun 60-an dan awal 70-an, tetapi kuantitasnya sangat terbatas. Kita masih bisa melihat dalam buku Sapardi Djoko Damono ‘dukaMu abadi’ dan beberapa puisi Goenawan Mohamad seperti ‘Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi’ dan ‘Kwatrin Tentang Sebuah Poci’.
Di saat banyak penyair yang berburu untuk membebaskan puisi, muncul sebuah buku, Mantra Asmara, yang (dengan arti yang hampir serupa) menolak konvensi. Buku ini melihat banyaknya khazanah perpuisian kita yang musti dipertahankan. Bahwa bentuk-bentuk yang dianggap kuno itu bisa dimanfaatkan untuk media; dan yang namanya media, ia hanya alat, bukan esensi. Kita bisa melihat kecendrungan Mantra Asmara dari sebagian besar puisinya. Simak potongan puisi ‘Genderang Gendam’ berikutini:
Malam menjalar ke lubuk fajar
cahaya berpendar tak reda pudar
dan gairah berantaku bangkit menjamah langit
seperti bulan sabit nyembul dari balik bukit
aku masuk dari pelupuk menuju tulang rusuk
meliuk ke kalbumu—induk dari semua yang merajuk
sumbumu menyala sekali kupercikkan cahaya
matamu membara begitu kuwiridkan seloka
Kita akan mendengar rima yang susul-menyusul dari kata ‘fajar’ dan ‘pudar’; ‘langit’ dan ‘bukit’; ‘rusuk’ dan ‘merajuk’; dan ‘cahaya’ dan ‘seloka’; seterusnya sampai akhir puisi. Kecendrungan ini mengingatkan kita pada puisi lama yang menggunakan rima a-a-a-a dan a-a-b-b dan a-b-a-b. Saya melihat upaya sang penyair ini sebagai kewajaran; bahwa kita mempunyai khazanah yang bisa dimanfaatkan sebagai alat dan cara, tanpa membebani tiap kata dengan maknanya. Justru saya melihat ada pembebasan beban makna pada tiap kata yang dipakai. Malam menjalar ke lubuk fajar barangkali bukan latar dan suasana, tetapi ada kabut makna kedua (second meaning) dibaliknya yang menolak beban makna awal (first meaning) dari tiap kata. Kita bisa membandingkannya dengan kecendrungan puisi lama. Simak misalnya puisi Marco yang berjudul ‘Sama Rasa dan Sama Rata’ ini:
Sair ini dari penjara,
Waktu kami baru dihukumnya,
Di Weltevreden tempat tinggalnya,
Dua belas bulan punya lama.
Ini bukan sair Indie Weerbaar,
Sair mana yang bisa mengantar,
Dalam bui yang tidak sebentar,
Membikin hatinya orang gentar.
Puisi ini seolah tertutup untuk makna ganda dan hanya berbicara apa adanya. Boleh dikatakan bahwa kecendrungan puisi modern tidak hanya berkutat dengan apakah ia menggunakan bentuk-bentuk lama atau tidak; tetapi sejauh mana pemakaian kata-kata bisa melampaui beban makna pada tiap kata. Kita bisa melihat dari beberapa puisi Sapardi yang terasa liris dan patuh pada bentuk tertentu, tapi bercita-rasa modern sebab pemilihan katanya. Misalnya puisi berjudul ‘Jarak’: dan Adam turun di hutan-hutan/ mengabur dalam dongengan/ dan kita tiba-tiba di sini/ tengadah ke langit: kosong-sepi … Bahwa puisi ini masih setia dengan rima, ya, tetapi kita akan merasa ada ramuan khas yang membuatnya berbeda dari kecendrungan puisi lama.
Di sisi lain, menoleh pada kebebasan puisi dan muntahnya kecendrungan prosa yang mengikutinya, saya jadi teringat komentar Sapardi dalam sebuah pengantar untuk buku puisi; bahwa jika pun berita koran dipotong-potong sedemikian rupa dalam bentuk larik-larik, apakah kita sah mengatakannya sebagai puisi? Saya tidak berani menjawabnya. Yang bisa saya bidik adalah kaburnya definisi puisi itu sediri. Kita bisa mengatakan puisi Afrizal Malna sebagai ‘puisi’ meskipun kecendrungan prosanya sangat kuat. Bahkan Sapardi sendiri dalam karya-karya mutakhirnya menunjukkan kecendrungan itu; prosa yang puitis atau puisi yang prosais? Saya tidak tahu.
Di tengah kemelut itu saya menemukan beberapa puisi dalam Mantra Asmara yang liris sekaligus prosais; dipotong sekaligus bersinambung; patah-patah sekaligus berkait-kelindan. Kita ambil misalnya puisi berjudul ‘Zifza’ ini:
Demi lengkung langit tempat Tuhan memelihara gemintang
aku menujumu melalui lorong lengang dan rentang kenang
dimana rindu menghubungkanku ke bagian terjauh dalam dirimu
mencari tempat berkholwat, menghayati keperihan sebagai kamu
Airmata adalah kereta yang mengantarkanku sampai kepadamu
gerbong yang mengangkut katakataku, mengusung segala pilu
melaju melintasi relung rel yang menjurus ke ruang terdalam dari dirimu
tak akan henti, Cintaku, tak akan. Sebelum tiba ini keretaku
Puisi ini kentara ritmisnya, ritmenya yang diatur, dan baris-barisnya yang dipotong-potong. Misalnya saja kita sambungkan antar-bait itu menjadi prosa:
Demi lengkung langit tempat Tuhan memelihara gemintang, aku menujumu melalui lorong lengang dan rentang kenang dimana rindu menghubungkanku ke bagian terjauh dalam dirimu, mencari tempat berkholwat, menghayati keperihan sebagai kamu. Airmata adalah kereta yang mengantarkanku sampai kepadamu. Gerbong yang mengangkut katakataku, mengusung segala pilu melaju melintasi relung rel yang menjurus ke ruang terdalam dari dirimu tak akan henti, Cintaku, tak akan. Sebelum tiba ini keretaku.
Inilah mengapa saya tidak berani mendefinisikan puisi. Tapi dari sana, setidaknya saya tahu gambarannya, meskipun hanya sebuah sketsa kasar, bahwa: puisi adalah bagaimana cara kita menganggapnya.Saya mengamini pendapat yang mengatakan bahwa puisi adalah puisi jika ada orang yang menganggapnya puisi, meskipun itu adalah orang yang menulisnya sendiri. Bahkan menurut Nirwan Dewanto, puisi modern memiliki watak tersendiri: keteraturan bentuknya tak mampu mengatasi lompatan pelbagai imaji, rimanya tak mampu meredam deraunya. Akan lebih gamblang jika kita mempraktekkan hal serupa pada puisi lain. Kita ambil salah satu puisi Goenawan Mohamad yang berjudul “Dingin Tak Tercatat’:
Dingin tak tercatat
pada termometer
Kota hanya basah
Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi kita tetap saja
di sana. Seakan-akan
gerimis raib
dan cahaya berenang
mempermainkan warna.
Tuhan, kenapa kita bisa bahagia?
Kita akan menyatukan puisi ini dalam bentuk prosa dan kita akan melihat begitu diskursifnya definisi puisi:
Dingin tak tercatat pada termometer. Kota hanya basah. Angin sepanjang sungai mengusir, tapi kita tetap saja di sana. Seakan-akan gerimis raib dan cahaya berenang mempermainkan warna. Tuhan, kenapa kita bisa bahagia?
Barangkali kita mendapatkan sedikit pencerahan. Jika definisi puisi terasa problematis dan diskursif dengan merajainya puisi prosa, kita bisa menawarkan alternatif lain. Yakni, jika berita di koran (sebagai wakil dari prosa) menawarkan sebuah hasil yang pasti, maka puisi—meskipun berbentuk prosa—seharusnya tidak menawarkan kata final. Seperti yang buru-buru saya kutip dari Adonis: “Puisi adalah tindakan awal tanpa akhir”. Sampai di sini, kita tak usah pusing memikirkan definisi puisi.Lantas, apa yang dimaksud final dan tidak final? Saya ingin menunjukkan bahwa ada unsur-unsur yang final dalam berita, yang ketat dan harus terukur kebenarannya; lalu dibandingkan dengan puisi (atau karya sastra lainnya?) yang tidak bermaksud memberikan kepastian. Misalnya, kita baca sebuah berita yang mengabarkan tentang terbunuh calon anggota legislatif bernama Supratman di sekitar hari pemilu, taruhlah pemilu tahun lalu. Berita semacam ini, berbeda dengan yang akan kita temukan dalam puisi. Unsur-unsur yang ketat seperti 5 W 1 H harus ada di sana: apa kejadiannya (what), kapan kejadian perkaranya (when), penyebabnya apa (why), di mana terjadinya (where), siapa yang terbunuh/siapa pembunuhnya (who), dan bagaimana kejadiannya (how). Semua itu harus ada dalam berita (yang baik dan benar).
Berbeda lagi jika kita membicarakan puisi. Secara umum bahkan cerita (novel, cerpen, dongeng, dll), menurut Sapardi ada semacam bahan pengawet yang menjadikannya tetap up to date, dan tidak habis sekali baca seperti berita dalam koran harian. Lebih-lebih lagi puisi yang notabenya sebagai puncak pencapaian bahasa; ia harus selalu aktual untuk zaman manapun jika ingin dikenang. Kita ambil salah satu contoh puisi yang membicarakan suatu kejadian yang mirip dengan berita rekaan kita di atas. Judulnya ‘Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum’ oleh Goenawan Mohamad. Kita kutip sebagian:
Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih.
Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik.
Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak
bertandagambar. Ia tak ada yang menangisi, karena kita tak bisa menangisi.
Apa gerangan agamanya?
Dari judulnya, kita tidak menemukan kepastian kapan (when) pemilu itu dilangsungkan. Kita hanya diberi tanda, pemilu, dan itu bisa pemilu kapan saja. Inilah kenapa puisi ingin selalu dibaca kapanpun. Ketika, misalnya, pada pemilu tahun 2019 ada seorang yang terbunuh, puisi ini tetap mampu bicara. Setelah when, kita juga tidak menemukan siapa (who) yang dibunuh; nama dan dari mana asalnya. Di sana hanya tersurat tak berkartu… tak bernama… Latar kejadian bisa kita temukan, yakni di tepi pematang (sawah?) seperti yang termaktub dalam puisi. Tapi kita tidak tahu di desa mana kejadiannya, di kota mana TKP-nya. Penyebab (why) terbunuhnya pun kita tidak tahu; bisa jadi karena ditusuk pisau; atau dipukul benda tumpul; atau disabet clurit; atau diberondong peluru. Kita benar-benar tidak tahu, dan memang tidak penting untuk tahu. Inilah sebabnya puisi adalah tindakan awal tanpa akhir. Ia bukan berita koran harian yang sekali baca kemudian jadi bungkus mendoan. Puisi melampaui itu.
Kembali ke Mantra Asmara. Buku ini ternyata menawarkan jalan melingkar untuk sebuah bentuk. Kita tentu tahu definisi kuatrin adalah sajak empat seuntai yang tiap baitnya terdiri atas empat buah larik. Dalam puisi berjudul ‘Kwatrin Tsuroysme’ kita menemukan hal yang berlainan dari bentuk kuatrin. Kita kutip saja puisinya:
Selain puisi, adakah jalan untuk menujumu?
Aku mengandaikan kau sebagai kertas putih,
yang berkenan menampung katakata sedih
sebab aku percaya betapa kaulah kekasih
di hadapanmu yang sentosa,
seluruh kataku moksa,
sefana dunia seisinya
bagaimana kutulis kau, Cinta
sedang tatapanmu lebih puisi,
ketimbang berlaksa sang pencipta aksara
Puisi adalah satu-satunya kendaraan,
yang mau mengantarkan kesedihan mencapai kenangan
menuju jauh ke dalam dirimu, berpaling dari masa depan
di banding Pujangga terkenal
tatap matamu lebih kekal
nyatanya detakku fasih menyebutmu tanpa sesal
sembari mengembarai semesta,
aku mencari kata paling luka
untuk kusampaikan kepadamu wahai sengsara
Selain puisi, adakah yang lebih kenangan?
aku menghayalkan jadi kata yang terselip di sela kalimatmu
di antara larik lirik di balik bilik yang kaulafalkan dengan rindu
aku akan tumbuh sepenuh yang tak bisa direngkuh
aku akan mengembara sejauh yang tak bisa ditempuh
Secara ketat, kita tidak bisa menganggap puisi ini sebagai kuatrin. Bait pertama hanya berisi satu larik; bait ke dua berisi tiga larik dan hanya berima a-a-a; bait ketiga berisi enam larik. Dan akhirnya, kita menemukan bentuk kuatrin hanya di bait pamungkas. Tapi tentu kita boleh berbaik sangka, bahwa judul Kwatrin tidak mengharuskan konstruksi puisinya berupa kuatrin. Seperti halnya, seseorang yang bernama Sugiharto belum tentu ia kaya. Di samping itu, saya mengamini cara Mantra Asmara memandang khazanah perpuisian kita sebagai harta karun. Pada beberapa bagian, penyair mengambil bentuk itu sekaligus—di beberapa bagian lainnya—merombaknya sesuai kebutuhan. Dengan begitu, sebenarnya Mantra Asmara melakukan dua gerak sekaligus: menolak konvensi dan merekonstruksi bentuk.
Permainan Rima dan Konsekuensi Makna
Sapardi pernah menyinggung soal beberapa puisi penyair era 50-an yang cenderung gelap. Puisi-puisi mereka gelap bukan karena mereka lihai mempermainkan kata dan bukan karena mereka menguasai bahasa seperti misalnya Amir Hamzah. Tetapi justru karena mereka tidak menguasai bahasa, puisi mereka menjadi gelap dan tertutup bagi pemaknaan. Ulasan semacam ini barangkali tidak terlewatkan sedikitpun di benak Usman Arrumy dalam menulis Mantra Asmara. Kecenderungan menutup puisinya dari pemaknaan adalah usaha yang fatal. Sebab, ia akan mematikan salah satu dari tiga fungsi komunikasi, yaitu pesan.
Dari bentuk dan pemilihan diksi, semua puisi dalam Mantra Asmara mau tidak mau harus melakukan dua gerakan sekaligus (double movement), meminjam kredo dari Fazlur Rahman. Dua gerakan itu adalah (1) memaknai tiap kata seperti beban maknanya, (2) dan memaknai kata di luar beban makna yang dikandungnya. Tetapi upaya saya jauh dari rasa puas. Ada semacam kata yang terampas dari kertas kamus dan mampir dalam puisi-puisi itu; ada yang sempat tak terkatakan dari tiap kata yang diucapkan. Tentu, saya mengamini bahwa sang penyair sangat akrab dengan kamus. Di rumahnya, saya melihat ada dua Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan tentunya kamus online yang dinstal di komputernya. Penguasaan bahasa mutlak diperlukan oleh penyair. Karena jika tidak, bukan ia yang menguasai puisinya tapi malah sebaliknya.
Dua gerakan sekaligus itu bisa kita lihat dari penggunaan rima yang teratur dan konsekuensi makna yang dikandungnya. Simak misalnya dalam puisi yang berjudul ‘Rindu Purba’:
barangkali tak pernah kau mengira
bahwa rindu adakalanya dicipta dari bara
yang menyala tiap kali aku bersedia jadi tungku
tempat semayam bara api yang sekali waktu jadi abu
Kita simak rima yang buru-memburu di atas. Kadangkala tiap rima menggunakan citraan, tapi penyair ini lebih sering menggunakan abstraksi, yaitu kata-kata di luar kata benda atau kata sifat misalnya lembah, matahari, pasir, bangku, dst. Pada larik pertama, rima yang diburu adalah menggunakan kata kerja “mengira”, dan dengan demikian larik pertama bertahan dengan dirinya sendiri tanpa konotasi. Larik kedua rima yang diburu menggunakan kata benda “bara” dan ini menguntungkan karena kita bisaleluasa menerka maknanya. Bahwa tentu rindu yang dicipta dari bara mengungguli makna bara sebagai hakikat. Melirik bait ketiga dan keempat, saya jadi teringat puisi terkenalnya Sapardi yang berjudul ‘Aku Ingin’. Barangkali titik temunya dengan penggal puisi di atas adalah pada: mustahilnya memenggal metafora yang sangat panjang. Frasa kata yang tak sempat diucapkan api kepada kayu yang menjadikannya abu, tidak semestinya terpisah satu sama lainnya. Ia harus utuh untuk dimaknai menjadi kesatuan yang integral. Sama saja kasusnya dengan puisi di atas. Frasa bara yang menyala tiap kali aku bersedia jadi tungku tempat semayam bara api yang sekali waktu jadi abu, tidak layak dimaknai secara sepenggal karena dikhawatirkan terjadi penyempitan makna.
Hal serupa bisa kita lihat dalam menafsirkan surat An-Nur ayat 35. Tasybihatau metafora yang sangat panjang di dalamnya tidak boleh dimaknai secara sepotong-potong, tapi harus dipandang dari keutuhan kalimatnya. Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Metafora yang panjang ini tak boleh dipisahkan satu dengan lainnya, sebab ia adalah satu kesatuan yang integral dan menyeluruh. Demi mengetahui makna terdalamnya, kita harus memandang metafora itu sebagai unity of metaphor.
Makna yang bisa kita rengkuh dari keutuhan metafora dalam puisi ‘Rindu Purba’ di atas adalah kepasrahan seorang perindu. Ia bersedia dibakar bara tiap kali rindu menggerogoti hatinya. Sedangkan bara itu, justru berasal dari tunggu yang adalah dirinya sendiri. Ia adalah tungku yang darinya api bisa membara dan akhirnya (bahan bakar yang mencipta api, bisa berupa kayu) menjadi abu. Inilah kepasrahan tingkat paling muskil. Ia urung berharap kekasihnya akanmengira bahwa sesungguhnya penyebab dari rindu adalah dirinya sendiri, yang boleh dimaknai dengan cinta yang tak terbalaskan. Ia terbakar sendiri oleh rindu tanpa berharap kekasihnya akan tahu atau paling tidak mengira bahwa ia tahu; ia dibakar oleh cintanya sendiri, yang absen dari balasan.
Di atas telah sedikit disinggung mengenai keabstrakan penggunaan metafor pada sebagian puisi dalam Mantra Asmara. Kebastrakan itu bisa jadi disengaja oleh takdir, atau memang penyair ingin memburu rima luar. Jika kemungkinan kedua adalah benar, maka penyair musti hati-hati kalau-kalau ia terjebak pada pemaksaan kata-kata, atau dalam literatur sastra Arab disebut Taklif. Khazanah kita telah menyediakan pengungkapan ke arah sana: seperti yang kita lihat dari beberapa frasa abstrak Chairil Anwar seperti “kecemasan derita, kecemasan mimpi”. Dari keabstrakan itu, boleh jadi penyair memang tidak bermaksud menyajikan kebenaran tertentu mengenai makna yang dikehendaki. Tak pelik, kata “kecemasan” ketika disandarkan pada kata yang abstrak seperti “derita” dan “mimpi”, akan menunda makna yang buru-buru hadir dalam benak pembaca. Dengan demikian, fungsi puisi memang berjalan sebagaimana mestinya: ia tak sanggup dan memang tak bermaksud memberikan jaminan kebenaran. Lain lagi jika misalnya, “kecemasan” kita sandarkan pada sesuatu yang riil, yang konkret. Taruhlah kata “pedagang”, kita tentu tak akan menunda apapun di sana: yang ada hanyalah makna yang tanpa basa-basi. Misalnya, kecemasan pedagang karena aksi penggusuran oleh Satpol PP.
Hal yang serupa basah sekali pada beberapa puisi dalam Mantra Asmara. Kita kutip saja sebagian frasa dalam puisi berjudul ‘Rindu Kesumat’:
Di ujung pagi, kesunyian menumbuhkan kenangan,
seluruh tentangmu yang menjurus ke masa silam.
Yang kita tunda di sini adalah pemaknaan “kenangan” sebagai sesuatu yang abstrak, tak terindra. Kenangan adalah kumpulan beberapa yang hal yang dulunya terindra tapi menjadi abstrak ketika ia telah lalu dan kemudian aktif dalam benak, dalam ingatan. Kenangan berbeda dengan misalnya kata “anak kecil”. Ya, kesunyian menumbuhkan anak kecil: atau malahan kita bisa mengganti “anak kecil” dengan apapun yang kita kehendaki danberupa benda konkret. Frasa “menjurus ke masa silam” juga abstrak; ia berbeda dengan misalnya “menjurus pada lengkung sungai itu”. Di sinilah letak penundaan makna yang kita maksudkan. Gambaran kita tentang benda yang rill kita abstrakkan sedemikian rupa dalam alam pikir kita. Kenangan yang ditumbuhkan oleh kesunyian boleh kita maknai dengan kenangan indah maupun kenangan pahit. Sah-sah saja. Masa silam yang hadir karena ada seseorang yang mengingatkan boleh jadi adalah masa silam sepersekian detik sebelum puisi ini dituliskan, atau beberapa dekade yang lampau. Sah-sah saja. Dengan begitu kita akan senantiasa menyandarkan puisi pada ketidak-pastian yang menjura. Dari ketidak-pastian itu, kita menunda dan memberi makna pada yang abstrak, bahkan yang berkaitan dengan eskatologi seperti surga dan neraka.
Saya masih percaya bahwa puisi yang kukuh mempertahankan rima, musti hati-hati dalam memilih diksi. Lebih-lebih jika sebuah puisi telah memilih bentuk: baik itu soneta, kuatrin, maupun rubayyat; ia akan terpenjara dalam bentuk itu. Dan jika sang penyair tidak pandai memilih diksi, kata-kata yang dipilih akan terjebak pada pemaksaan. Tapi kita melihat dalam Mantra Asmara, ada yang senantiasa bugar: kata-kata yang dipenjara oleh rima atau bahkan puisi yang dibui oleh misalnya kuatrin, menunjukkan kemungkinan dari lahirnya makna baru. Ada hubungan kuat antara rima dengan konsekuensi makna. Hubungan keduanya adalah pada perkara pemaknaan. Kita bisa menyaksikannya pada puisi yang berjudul ‘Batu’:
aku sabar memendam jerit sakit
baku-gamit hingga membuncit jadi bukit
maafkan bila tak sanggup menjemput
kau tahu, aku musti mengasuh lelumut
Tentu, dalam penggalan puisi di atas kita akan berhadapan dengan double movement: sebuah elan pemaknaan yang menolak jadi utuh. Dua gerakan itu adalah rima luar yang terkesan ritmis dan rima dalam yang menjadi bentuk dari puisi ini. Kata-kata yang digunakan untuk memburu rima kerapkali ajaib. Kata “sakit” dengan “bukit”; kata “menjemput” dengan lelumut”. Ada kecapan yang perlu diberi beberapa bumbu lagi dalam pemilihan kata-kata itu, sehingga ia tidak hanya menjadi eksterior yang berfungsi untuk memburu rima, tapi juga menghadirkan makna yang seringkali ajaib. Baiklah, kita mulai saja dari memaknai yang sudah ada tanpa berekspektasi pada kesempurnaan puisi ini. Puisi ini berkisah tentang aku-lirik yang ia adalah batu. Kita tahu, batu adalah anasir alam yang dibentuk secara alamiah jutaan tahun yang lalu. Kita tak perlu pusing itu batu apa, yang jelas, barangkali kita sepakat bahwa hampir semua batu sifatnya keras. Aku-lirik yang sebagai batu memendam jerit sakit. Penyebabnya? Ternyata aku-lirik bukanlah batu dalam arti yang sesungguhnya. Batu adalah gambaran tentang seorang pengagum yang hanya akan terdiam tanpa daya ketika melihat orang yang dikaguminya. Sementara itu, tersebab ia diam, ia tak punya daya apapun untuk menjumpai orang yang didambanya itu. Tak tahu sebabnya apa. Yang jelas, di sini batu sebagai amsal ketak-berdayaan manusia memenuhi titik subtil.
Setelah diam dan tak bisa berbuat apa-apa terhadap apa yang ia kagumi, si aku-lirik akhirnya membuncit jadi bukit. Bukit yang kita ketahui adalah kumpulan dari jutaan ton batu. Setelah aku-lirik adalah batu (batu bisa jadi hanya segenggam dan dengan demikian mudah bergerak), ia berubah menjadi bukit. Ia semakin tak bisa lagi untuk bergerak karena ia telah terpaku di dalam bumi. Dengan demikian, ia hanya bisa berapologi dengan mengatakan maafkan bila (aku) tak sanggup menjemput. Dan dengan ironi yang dalam, si-aku lirik musti berbohong dengan mengatakan aku musti mengasuh lelumut: aku musti mengasuh perasaanku sendiri agar yang aksiden (yakni di luar diriku, gambarannya adalah lumut) bisa dipertahankan demi kehidupan orang lain. Ini adalah gambaran cinta yang masyghul; yang melampaui rasa ingin memiliki dan egoisme diri. Biarpun seseorang yang aku-lirik kagumi telah bersama orang lain, ia tetap mengasuh cinta: untuk sesuatu yang di luar dirinya (lelumut).
Epilog
Begitulah dua pendekatan yang coba saya ketengahkan untuk mengomentari buku Mantra Asmara karya Usman Arrumy. Pada bentuk, ia telah menyumbangkan satu pemahaman bahwa rima tak harus patuh pada suatu jenis puisi tertentu seperti kuatrin dan soneta. Puisi yang tekandung di dalamnya tetaplah liar: meskipun ia sangat patuh pada unsur bunyi. Ia konsonan pada satu waktu dan tiba-tiba desonan pada waktu yang lain. Usaha tiada henti dari sang penyair ini perlu diapresiasi. Saya teringat perkataan Nirwan Dewanto: “Keunggulan seorang penyair, dan seniman pada umumnya, tidak terletak pada usahanya untuk membebaskan diri dari kungkungan konvensi, tetapi pada keberhasilannya dalam menciptakan ruang gerak untuk melaksanakan kebebasan dalam kungkungan konvensi.” Mantra Asmara telah mengarah pada usaha semacam ini.
Pada unsur moral, kita melihat dalamnya penghayatan sang penyair terhadap kehidupan percintaan di sekitarnya. Boleh jadi, semua inspirasi yang dituangkannya dalam puisi-puisi itu, terilhami oleh pengalaman pribadi. Untuk hal ini, saya berani berhipotesa. Sebab, terasa ada nama-nama yang selalu hadir di beberapa puisinya: dan nama itu selalu sama. Penyair selalu dan senantiasa belajar. Saya imani perkataan ini. Penyair ini, jika termasuk yang mau belajar, musti mempertimbangkan kesubtilan kehidupan yang riil sebelum nantinya orang akan mengabstrakkan puisinya. Saya melihat usaha ini dalam diri Sapardi: ia senantiasa melihat ke luar untuk kemudian menengok ke dalam. Sehingga, puisi-puisinya terasa dekat dengan kehidupan dan menyatu dengan masyarakat. Tapi di luar itu, usaha sang penyair dalam Mantra Asmara musti dipandang sebagai sumbangsih berharga bagi kesusastraan Indonesia. Bahwa Mantra Asmara memiliki ciri khas yang unik: berupa kesatuan bentuk dan kelindan permainan makna.Maka dari itu, saya menganggap bahwa usaha memisahkan bentuk dari puisi-puisi Usman Arrumy, sama mustahilnya dengan upaya memisahkan hujan dari basah. [*]
[3]
Mantra Asmara: ‘Dialektika Kesumat dan Cinta’
Membaca kandungan Mantra Asmara, kita akan menemukan oposisi-oposisi biner yang gerimis. Salah satunya adalah perihal kesumat dan cinta. Selama ini, usaha kita untuk menyatukan antara keduanya berujung sia-sia. Jelas, cinta bukan kesumat dan kesumat lain dari cinta. Tapi bagaimana kalau kita bereksperimen untuk menyatukan, atau paling tidak, mempertemukan keduanya dalam satu meja. Mantra Asmara menyediakan jalan untuk ke arah sana; dan kita akan lebih terbantu meskipun jalan kita tak akan lempang. Pertama, saya ingin mengajukan sedikit sempalan dari pemikiran Derrida mengenai oposisi biner. Kepastian yang digadang-gadang dalam ilmu pengetahuan dan filsafat, telah dipandang sebagai sesuatu yang stabil, termasuk apa yang disebut oposisi biner. Oposisi biner menciptakan sebentuk hirarki. Jika dendam-kesumat-kebencian berlawanan dengan kasih-sayang-cinta, maka keduanya sekian lama mapan pada tempatnya. Keduanya tidak beranjak dari makna yang membentuk hirarki yang hadir dalam benak. Kita mencoba mengaburkan oposisi tersebut dan perlahan menciptakan suatu koalisi yang tidak lagi memandang kesumat dan cinta sebagai sesuatu yang berlawanan. Usaha tersebut akan kita coba.
Kedua, kita akan memanfaatkan dialektika. Secara sederhana, dialektika bisa dimaknai sebagai pertentangan antara dua hal dan yang menimbulkan hal lain. Piranti yang digunakan adalah tesis dan antitesis: untuk tujuan sintesis. Contoh mudahnya: aku+kamu=kita. Aku (sebagai diri, bukan kata) bukanlah kamu. Kamu bukanlah aku. Untuk menunda ketegangan antara keduanya, kita simpan saja elemen kebenaran dari keduanya. Sehingga, ketika aku dan kamu didialektikakan akan menghasilkan “kita”: kebenaran yang lebih tinggi. Contoh semacam ini hanya mempermudah cara kerja dialektika, meskipun kenyataannya tak sesederhana itu. Kita letakkan ‘cinta’ pada kotak tesis, dan ‘kesumat’ pada kotak antitesis. Akan menghasilkan apa? Kita akan bertualang dengan Mantra Asmara.
Bukan hanya gerimis, Mantra Asmara hujan (bahkan badai) oleh tema percintaan, asmara. Sebagai unsur paling privatif, asmara kerap dianggap tabu untuk diumbar pada khalayak. Tapi Mantra Asmara menyediakan peluang untuk menguak tabu itu. Di sana tersedia palung yang enggan dijamah, tapi dapat kita tengok; terdapat kedalaman yang sangsi dari dunia asmara. Dari hujan asmara itu, ada beberapa sajak yang lepas kendali: ia terlempar pada semacam kesumat, atau kata yang sederifasi dengannya. Di antara kata-kata yang meliuk-liuk itu, ada semacam rumpang-rumpang, sengau-sengau, sendu-sendu yang tersembunyi. Tampaknya sang penyair mengalami pengalaman distorsi yang melelahkan: bahwa cinta memiliki antonim, yakni kesumat, benci, dendam. Simak puisi berjudul ‘Ziarah Cinta’ ini:
Pada suatu ketika aku tak berdaya menemu kata
Adakalanya mungkin saat kau tak mampu kuindra
pada arus desir yang sesekali menghampir dalam luka
sebab selalu, kau dan aku kian jauh tak tergapai oleh mata
Semoga kau tahu bahwa di antara kita sebenarnya tak ada rindu
hanya mungkin kadang semata diindahkan oleh rembesan pilu
seluruh yang silam adalah pengalaman getir
kenang-kenanga berhulu-hilir ke renung pikir
betapa sebentar kita hadir, sekedar mampir bagai musafir
tak ada yang mahir mengukir syair selain kita yang terusir
jika satu saat kau lintasi jalan yang sempat mencatat jejakku
sentuhlah, barangkali masih ada getar yang tertinggal di situ
Puisi ini termaktub pada halaman menjelang terakhir dari buku ini. Jika saya boleh menebak, sesungguhnya rentetan puisi berjumlah 70 ini, adalah semacam autobiografi yang ditulis dengan media puisi. Ada semacam garis merah yang bisa menghubungkan antara satu puisi dengan puisi yang lainnya; ada sejenis alur meskipun tidak lurus-lempang. Puisi di atas mungkin adalah bagian dari kegetiran yang lain dari cinta. Bait Semoga kau tahu bahwa di antara kita sebenarnya tak ada rindu/ hanya mungkin kadang semata diindahkan oleh rembesan pilu sangat kontras dengan liukan puisi yang telah lalu termaktub dari halaman pertama sampai menjelang puisi ini. Bahkan, puisi pembuka dalam buku ini yang berjudul ‘Angin 1’, dimulai dengan kata-kata yang puitis-positif: Aku menghayalkan jadi angin/ ikhlas kuhela sesuntuk yang kauingin/ bertiup dengan lembut, bermukim dalam musim. Apa gerangan yang terjadi dengan sang penyair? Dari sini kita bisa melihat ada kesumat di sela-sela relung puisinya; yang meski tabah tetapi tak begitu kuat menahan deraunya.
Meskipun demikian, kita tak boleh berburuk sangka pada pengalaman sang penyair. Nyata atau tidaknya bentuk kesumat itu, semuanya murni hak sang penyair. Kita sebagai pembaca hanya boleh menginterpretasi sejauh yang kita bisa. Meskipun kita gagal mencapai kehidupan privasi penyair, kita tak perlu putus asa. Kita simak bait puisi selanjutnya dari judul di atas:
Ada sesekali perlu rasa kelu demi mendewasakan rindu
sebab tak ada bahagia selain terkelukur sembilu lebih dulu
Bait yang bernada khotbah ini menyuratkan dialektika kesumat-cinta. Sesungguhnya cinta tak pernah selurus pohon bambu; di sana ada kesumat, rindu-dendam, ada sakit yang dihimpit, pilu yang diredam di dada, ada sekarat yang dikubur di jantung. Ya, cinta dan benci bahkan lebih dekat dari tai kucing dengan baunya. Setelah sekian ton sakit dihempaskan di dada, dari pertemuan kemudian kisah cinta yang dijalin bersama, tampak ada yang tak seharusnya dilupakan dari semua itu. Bagaimanapun akhir dari kisah cinta itu, ia tetaplah sebuah pertemuan singkat yang (haram) untuk disesali. Kita lekas teringat pada pepatah lama: yang lalu biarlah berlalu.
Di samping itu, beberapa puisi dalam Mantra Asmara memberikan hidayah pada kita bahwa kesumat tidak harus dipertentangkan dengan cinta. Jika memang keduanya oposisi biner, biarkan mereka bertahan seperti itu dalam dunia kata-kata. Sementara dunia riil ini, seharusnya tak menghendaki kesumat dan benci sebagai oposisi. Tapi jikalau terlanjur demikian adanya, patutlah kita mengaburkan kedua makna itu dalam kehidupan kita. Saya tak yakin bahwa kesumat adalah kesumat secara pure. Untuk mengungguli kesumat, kita perlu tahu bahwa dalam kesumat, pasti ada cinta: minimal cinta terhadap kesumat itu. Satu kelompok fanatik yang membenci kelompok lain, punya unsur cinta di dalamnya, ya, minimal cinta terhadap kebencian itu sendiri. Apalagi kalau kita tarik ke dalam keintiman asmara. Sesungguhnya tak ada yang benar-benar bisa mempertarungkan antara kesumat dengan cinta. Lebih bijak kalau kita kutip sebagian puisi berjudul ‘Forforisma’ ini:
Dan seluruh kata akan kembali kepada cinta
setelah mengembara dari fana ke baka
sebagian mengendap lalu ambyar sewaktu kala
menunggu sampai semesta tak berdaya
Seluruh kata, baik itu benci, kesumat, dendam, amarah, bahkan cinta itu sendiri, pada akhirnya akan kembali kepada ‘cinta’; cinta yang di luar kata cinta. Di sana, kesumat tidak mendapatkan maknanya lagi. Ia hanya tinggal oposisi sebelah; dan kita tahu, opisisi tanpa dua hal yang bertentangan adalah omong kosong. Jika memang kesumat yang menjalar di hati manusia terlanjur mereka artikan sebagai oposisi dari cinta, biarkanlah mereka menikmati kesalahan itu. Sesungguhnya, tiadalah yang mereka yakini itu kecuali sia-sia. Kebencian yang kita saksikan, baik secara langsung maupun melalui sejarah, patut kita pertanyakan ulang. Kebencian atas nama apa jika yang kita temui justru bahwa kita sama-sama manusia. Patut saya kutip sebuah puisi dari A. Mustofa Bisri yang juga dilagukan oleh Iwan Fals berjudul ‘Aku Menyayangimu’:
Aku menyayangimu karena kau manusia
Tapi kalau kau sewenang-wenang kepada manusia
Aku akan menentangmu
Karena aku manusia
Aku menyayangimu karena kau manusia
Tapi kalau kau memerangi manusia
Aku akan mengutukmu
Karena aku manusia
Aku menyayangimu karena kau manusia
Tapi kalau kau menghancurkan kemanusiaan
Aku akan melawanmu
Karena aku manusia
Aku akan tetap menyayangimu
Karena kau tetap manusia
Karena aku manusia
Dalam konteks percintaan, benci hanya interior belaka. Ia bukanlah esensi yang harus dijunjung tinggi. Seorang yang ditinggalkan kekasihnya tanpa alasan yang jelas, akan merasakan kebencian yang semu. Ya, sebab kebencian itu datang dari cinta. Dan tak ada yang bisa merubah perasaan cinta menjadi benci. Jika memang kata benci mendapatkan maknanya, maka itu hanya berlaku dalam kata-kata. Sebab kenyataannya kita sama-sama manusia. Aku akan tetap menyayangimu/ Karena kau tetap manusia/ Karena aku manusia. Seharunya, tidak ada yang perlu kita lakukan di dunia ini kecuali saling menyayangi antar-manusia. Itulah pelajaran terdalam dari dialektika kesumat dan cinta.
Nada serupa saya temukan pada puisi Acep Zamzam Noor berjudul ‘Di Sebuah Taman’. Dari puisi ini, kita lekas menjadi sadar diri, bagaimana cara kita mengutuk kebencinan. Apakah mengutuk kebencian dengan kebencian serupa? Jika demikian halnya, lantas apa bedanya kita dengan mereka? Alangkah lebih baiknya kita kutip seluruh puisi itu:
Setiap kusaksikan kaki langit yang jauh
Kubayangkan cinta akan terus berkobar
Bersama dendam. Dari perut senja yang terbelah
Darah segar mewarnai sebagian langit
Sedang kemurunganku mewarnai sebagian lainnya
Ingin kusaksikan dosa pertama tumpah
Ketika manusia memahami dirinya
Sebagai ancaman bagi sesamanya
Aku duduk di antara meriam-meriam
Yang berdentuman. Di antara reruntuhan kota-kota
Kusaksikan tahun-tahun lepas dari almanak
Seperti orang-orang yang terbunuh dan kemudian
Membusuk dalam got. Lalu kureguk anggur
Ketika sejarah kembali mengirimkan ribuan peluru
Pada mataku. Kulihat bintang-bintang berhamburan
Darah segar mewarnai seluruh langit
Bertahun-tahun aku duduk di taman dunia
Menyaksikan kaki langit yang jauh. Bertahun-tahun
Aku duduk membayangkan cinta dan dendam
Seperti gelap dan terang. Kureguk anggur
Ketika pesawat-pesawat tempur membakar ufuk
Kureguk anggur dan aku mabuk di antara bom-bom
Yang berjatuhan serta bumi yang pelan-pelan
Ditenggelamkan para pemujanya
Ada frasa Kubayangkan cinta akan terus berkobar/ Bersama dendam, yang kira-kira bermakna: bersama kesumat yang menjalari manusia, musti ada cinta yang berbicara. Dendam biarlah tak menemui ruang di dalam relung: kalau perlu, kita leburkan dendam dan cinta agar Manusia tidak memahami dirinya/ Sebagai ancaman bagi sesamanya. Sebab terlampau sering kita menganggap harus ada benci di setiap cinta bukan malah sebaliknya. Kita terlalu nafsu menganggap bahwa cinta dan dendam/ Seperti gelap dan terang. Padahal, gelap tak pernah bermusuhan dengan terang. Mereka sama-sama bermanfaat dan sama-sama memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Baiklah, kita telah sedikit memahami konteks.
Simak pula penggalan puisi berjudul ‘Moksa’ dalam Mantra Asmara:
Ketika udara mengembara ke setra-huma
menebar kabut pirau ke sisi paling peka dari indra
kesunyian tumbuh—menghubungkan kau dan aku
sampai dendam yang kita piara bersekutu dalam kalbu
Penyair ini memiara dendam sekian lama dalam dirinya dan membiarkan dendam itu bersekutu dalam kalbu. Kita gambarkan sedemikian rupa: bahwa dendam, kesumat, dan kata yang sepadan dengan itu, bersekutu dalam kalbu yang juga berisi cinta, kasih, sayang, dan kata yang semakna dengan itu. Dalam hati, kata-kata itu tidak mendapat maknanya yang hakiki tanpa sebuah aksi. Namun demikian, aksi bukanlah menunjukkan keadaan hati dengan sesungguhnya. Seorang tentara yang membunuh rakyat sipil yang tak bersalah, belum pasti dalam hatinya menyimpan dendam kepada rakyat sipil itu. Boleh jadi ia melakukannya karena ada dorongan di luar dirinya: misalnyaya karena tuntutan sang komandan. Dengan demikian, dendam tak pernah hakiki dalam diri manusia. Aksi dari dendam hanya semacam kata yang diciptakan untuk membentuk opoisi dan hirarki. Kita semestinya urung melihat dunia dari sisi gelap dan terang. Kita musti mengungguli atau bahkan mengaburkan makna kedua kalimat itu.
Berbanding lurus dengan itu, kenyataan dalam kebahasaan kita memang menghendaki hirarki dan oposisi. Sampai-sampai dan bahkan lebih-lebih, suatu sistem sosial pun harus dipandang dari teropong itu. Ada kaya ada miskin, ada pejabat ada rakyat, ada kaum modal ada kaum buruh, dan lain sebagainya. Kenyataan itulah yang musti kita pupuskan. Dalam kehidupan privasi, konteks percintaan yang banyak kita saksikan berujung pada dendam, semestinya harus diberi pengertian lain, alternatif lain. Menyangkut hal ini, saya teringat komentar penulis Mantra Asmara: “Tugas saya hanya mencintainya. Selebihnya, entah apakah saya hidup dengannya atau tidak, saya serahkan pada Tuhan.” Kesumat yang mengoposisi cinta itu sungguh tak berlaku di dalam diri seorang yang mengerti hakikat cinta. Penghiantaan, perselingkuhan, perih dan sakit hati, hanya bagian dari mencintai. Saya jadi teringat perkataan seorang teman: “Cinta itu menghapus kriteria.” Orang boleh berkhayal akan memiliki suami/istri yang kriterianya bisa dia ukur. Tapi ketika orang itu sudah jatuh cinta, kriteria sama sekali bungkam. Kaitannya dengan kesumat dan cinta; sejahat apapun orang yang kita cintai, sekejam apapun dia menyakiti kita, cinta dan kesumat tetap menjadi kawan. Ia tak terpisahkan dan tak patut menjadi oposisi. Kita telah belajar sesuatu dari Mantra Asmara. [*]
Kairo, 05 November 2015
Catatan:
Disampaikan pada forum Bincang Puisi Mantra Asmara, Aula Griya Jateng, 06 November 2015.
M.S. Arifin, seorang biasa yang kerjaannya melamun. Pernah menerbitkan beberapa buku puisi tapi pada akhirnya tidak ia akui sebagai karya karena pertimbangan mutu. Saat ini, sedang serius mengawinkan antara puisi Goenawan Mohamad dengan puisi Sapardi Djoko Damono demi kepentingan masa depan puisinya.
Oscar Wilde mengatakan bahwa karya sastra bisa dilihat dari unsur lahir dan unsur batinnya.
Diambil dari buku Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan, Sapardi Djoko Damono (Jakarta: Editum, 2015).
Buku M Aan Mansyur, Melihat Api Bekerja. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015).
Hal ini diperkuat lagi oleh beberapa cerpen Danarto yang oleh Acep Zamzam Noor dianggap puitis. Salah satunya adalah cerpen berjudul ‘Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat’. Setelah saya cek sendiri cerpen ini, saya menemukan kebenaran itu. Cerpen ini bahkan lebih puitis dari beberapa puisi yang belakangan ini saya temui dan saya yakini sebagai puisi. Sedikit iseng, saya mencoba merangkai cerpen Danarto menjadi runtutan bait seperti yang kita lihat dalam puisi. Begini kira-kira hasilnya:
Akulah Jibril,
yang angin adalah aku,
yang embun adalah aku,
yang asap adalah aku,
yang gemerisik adalah aku,
yang menghantar panas dan dingin.
Aku mengirimkan kesejukan, pikiran segar yang mengajak giat belajar.
Akulah yang menyodorkan keheranan sekaligus jawaban.
Aku di kebun rimbun,
aku di padang pasir,
aku di laut,
aku di gunung
aku di udara,kukirimkan layang-layangku kepadamu, kepada kalian.
Lihat betapa puitisnya cerpen itu. Kata-kata puitis dan rangkaian kalimat yang ajaib menghias sampai cerpen itu selesai. Tapi tentu kita enggan menganggap cerpen ini puisi. Kenapa demikian? Karena penulisnya terlanjur menganggap ini adalah cerpen. Entah itu cerpen puitis atau cerpen liris, yang penting orang menganggapnya cerpen. Inilah kenapa anggapan (terutama dari penulis sendiri) dianggap penting. Sampaipun saya menemukan puisi yang tak seputis ini tapi sedari mula dikehendaki sebagai puisi, saya tetap mengaggapnya adalah puisi, terlepas dari mutu dan kualitasnya.
Upaya ini telah lebih dulu dipraktekkan oleh Sapardi Djoko Damono dalam Bilang Begini, Maksudnya Begitu (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014).
Sebuah Esai dari Nirwan Dewanto, Gerimis Logam, Mayat Oliender, dimuat di Jurnal Kalam edisi 26.
http://sastra-indonesia.com
[1]
Mantra Asmara: ‘Us(ma)n Arrumy dan (M.A) yang Merah’
Mantra Pembuka
Mendedahkan tinta, melumerkan rasa, menitipkan makna pada penggal kata, itulah menulis. Ia adalah kegiatan untuk meragukan sesuatu dengan berdasar keyakinan akan sesuatu. Menulis adalah upaya uzlah dari keramaian kata-kata menuju kesunyian rasa. Sebagaimana melukis, menulis berarti melakukan reka ulang apa yang sudah ada dalam alam pikir, alam rasa, alam hati. Apa yang kita pikirkan belum tentu menggambarkan apa yang kita rasakan. Tapi, apa yang kita rasakan tak pernah luput dari pikiran kita. Di sana, kita melihat bertemu dan menyatunya dua palung diri manusia sebagai tabiat yang niscaya. Dua palung itu adalah rasa (syu’ur) dan pikir (fikr).
Rasa, membuka kemungkinan sebuah dialektika antar-causa. Artinya, sebuah rasa tak mungkin meng-ada tanpa bersinggungan dengan dua sebab yang melatari terjadinya perasaan. Dua sebab itu, satu sama lain saling berkait-gandeng, berkerat-erat, dan menyatu-padu. Dimungkinkan bagi adanya perasaan, sesuatu yang sesungguhnya tabu untuk diungkap, sebab akan ada unsur privatif yang dijamah, dibredel, dan diungkap secara gamblang serta blak-blakan. Ada sesuatu yang nyaris absen dari segala bentuk artikulasi dan pengucapan karena sifatnya yang intim dan sublim. Ada sesuatu yang menjelma udara; ia ada tapi tak terkasatkan begitu rupa. Ia ingin dijamah sekaligus malu-malu; ingin diucapkan sekaligus naif-naif.
Sesuatu itu adalah kenangan.
Seno pernah mengawali cerpennya dengan kalimat seperti ini: “Terbuat dari apakah kenangan?” Dalam kalimat ini terdapat ketukan rasa yang amat berbeda di setiap pembaca. Hal ini dikarenakan adanya pembacaan yang melemparkan pembaca kepada masa lalu yang satu sama lain sama sekali berbeda. Meskipun berbeda, namun pembaca, pada akhirnya, bertemu pada satu titik yang sama. “Kenangan telah lampau terbuat. Tidaklah penting dari apa kenangan itu dibuat. Yang justeru penting adalah aktifitas mengenang itu akan menghasilkan apa”. (Pada kalimat inilah akan dibahas Usman Arrumy dan buku yang lahir dari rahimnya).
Pikir, berfungsi sebagai stabilisator kenangan dan rasa. Merasa tanpa berpikir sama dengan hewan. Berpikir tanpa merasa sama dengan robot. Selain sebagai stabilisator, pikir juga berfungsi sebagai kontrol diri yang simultan. Meski kontrol itu bersifat gradual, tapi kita pantas merasa aman jika kita masih memiliki kecerdasan pikir itu. Sebab, sepanjang pengamatan, merasa seringkali mendesak pikir, mendupak dan mengusir kejelian tentang berbagai kenangan yang tersusun rapi dalam bagasi memori. Pikir berfungsi paling tidak (atau malah semestinya) memberikan makna yang berulang-ulang kepada kenangan agar ia terbahasakan dalam kertas, termaknakan dalam kalbu, dan teraksikan dalam kehidupan—semuanya secara anggun.
Akan sangat mudah kita deteksi, mana rasa yang benar-benar menjawab sapaan pikir dan mana yang tidak. Mana pikiran yang dibumbui dengan perasaan dan mana yang murni konsep yang garing dan kaku. Berpuisi, dengan serentak, musti mengaktifkan daya keduanya. Lebih singkat: daya pikir mengarahkan penyair pada pemilihan diksi, dan daya merasa memberikan semacam ruh pada sajaknya. Kalimat yang mewakili perkara ini adalah: “Berpikir mereduksi alam kenangan. Pun berpikir sama dengan meredifinisi makna kenangan dalam diri seseorang. Pemaknaan ulang inilah yang akan menjatuhkan penyair dalam diri istilah yang lahir daripadanya”. (Pada kalimat ini akan dibahas mengenai rahasia (M.A) yang merah).
Usman; Diri dan Ketiadaan
Betapa suntuk penyair ini bergulat dengan kenangan. Di hadapannya, ada hamparan kesangsian yang kian marajai bahkan di semua bagian hidupnya. Baginya, kenangan kadang berbentuk karunia yang tidak diakui. Baginya, kenangan adalah simbol dari takdir yang perlu dirayakan. Perkara durasi barangkali tak menjadi masalah. Kenangan sesingkat apapun tetaplah berharga dan bisa mengandaikan terciptanya sesuatu. Baginya, waktu yang lekas jadi masa lalu yang ia lalui di sebuah kota boleh jadi memang singkat. Tapi kenangan di dalamnya datang silih-berganti, berdesak-desakan dan meminta untuk tak dilupakan.
Penyair ini, telah melampaui diri dan ketiadaan. Pada entah di bagian mana, ia hampir sampai pada kesimpulan yang purna tentang kenangan yang berhasil ia rekam dalam setiap sajaknya. Ia seperti mendekat rapat-rapat serta kembali menjumpai kenangan itu dengan berbagai kosekuensi yang bakal ia hadapi: pedih, perih, sakit, kesumat, biadab, dan segala kenyataan yang pernah merajamnya. Ia begitu saja merasa rela dengan ketiadaan diri; melapuknya dinding-dinding masa depan yang akan ia takhlukkan dengan sajaknya yang merekam seluruh kenangan. Ia benar-benar telah melampai ketiadaan. Ia melampaui rasa ingin dan ingin merasa dan menikahkan keduanya dalam palung dialektis yang mumpuni.
Bagaimana ia mendefinisikan kenangan?
Kenangan adalah ikhtiar untuk merekam tiap jejak dari takdir yang pernah ia alami. Lebih jauh, kenangan menderu-deru melalui kepekaannya merasai sebuah kedatangan rasa yang terpikirkan dan pikir yang dirasakan. Pada ujung cerita, setiap yang pernah menamakan dirinya kenangan, tersimpul mati pada tonggak sajak-sajak yang terkumpul dalam buku Mantra Asmara. Di dalamnya terjejak sungai kecil yang mengalir dari bukit yang hijau menuju hilir yang menyimpan kenangan di hulu—untuk kemudian, pada pungkasnya, laut akan menyimpan tiap-tiap yang terkenang di hulu dan di hilir meskipun kita tahu seluruh air yang datang dari keduanya harus takhluk pada rasa asin.
Buku itu adalah hasil dari aktifitas mengenang. Seperti yang telah lalu disampaikan, tidak terlalu penting terbuat dari apa kenangan itu. Kenangan tetaplah dalam bentuknya yang asali, terpecah, terserak, dan ia justeru tersusun dari aktifitas mengenang. Kenangan, pada hal ini, berulang kali muncul dalam bentuk ratapan, rindu, tangis, tawa, canda, dan semua anasir yang membungkus kepekaan manusia sebagai manusia. Kadangkala berbentuk harapan, masa depan, kepasrahan, dan kenaifan yang disembunyikan oleh rima-rima yang meriap-riap. Kadangkala berbentuk rindu yang kehilangan objek, rasa kangen yang haram, dan rasa kehilangan yang dilupakan oleh takdir. Kadangkala sampai pada ex nihilo.
Buku itu merupakan hasil dari apa yang disebut ‘kasidah diri dan ketiadaan’. Kasidah ini telah lampau dilantunkan dalam diri penyair dan telah mendahului ketiadaan yang bersifat parsial. Manakala takdir membawanya ke puncak insiden, maka ia akan segera menemui bentuknya yang majemuk. Bentuk majemuk inilah yang pada akhirnya menjatuhkan pilihannya dalam kata-kata. Penyair, pada banyak masa, membentuk kata dengan kasidah ini.
Sekali lagi, Mantra Asmara adalah rekaman kenangan yang seringkali ajaib. Meski terkadang takdir melaksanakan kehendaknya yang lain, kenangan tetap tak mampu menerima perubahan. Ia ada dan mengada dalam diri dan ketiadaan sang penyair. Rekaman kenangan dalam buku ini, memberikan kenangan bagi orang lain: pembaca dan pendengar. Dengan begitu, mereka sulam-menyulam untuk tujuan pemaknaan ulang terhadap kenangan.
Tentang (M.A) dan Beberapa Rahasia
Setiap penyair memiliki rahasia yang sengaja ia sembunyikan di antara puing-puing sajaknya. Pun pada setiap huruf yang turut menjaga keruntutan makna. Tak terkecuali apa yang terjadi dalam belantara sajak Mantra Asmara. Pada cover depan, kita telah disuguhi begitu banyak tanda tanya. Bila boleh saya sebutkan, kira-kira pertanyaan tersebut seputar berikut ini: Pertama, apa maksud dari judul Mantra Asmara? Kedua, apa maksud dari desain covernya yang bergambar wayang? Ketiga, pada bagian judul, terdapat dua huruf yang berbeda warna yakni huruf M.A dalam kata Asmara. Apa gerangan maksud dari pembedaan warna tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan itu mempertebal kegelisahan pembaca. Di sana, pembaca disuruh mencari jawaban atas pertanyan yang muncul. Meski diakui bahwa rahasia penyair seringkali susah untuk ditebak, toh pembaca masih mempunyai ruang untuk menafsiri dan menginterpretasi. Pada bagian inilah, pembaca mengambil batu pijakan. Puisi yang berhasil selalu memberi peluang bagi pembaca untuk mengartikan maksudnya. Karena jika tidak, berarti puisi itu masuk dalam relung kegelapan yang menolak untuk ditafsiri pembaca. Berlaku demikian terhadap puisi sangat tidak baik dalam kehidupan kepenyairan.
Rahasia-rahasia yang diselipkan penyair merupakan hasil pikir yang mendalam setelah sebelumnya rasa mewarnai kenangan dengan huruf dan kata. Pada bagian rahasia, pikir melaksanakan tugasnya. Rahasia akan sangat indah jika diletakkan pada tempatnya. Seperti halnya saat penyair mulai meletakkan kata perkata pada penggalan sajaknya. Diharuskan adanya ketepatan menempatkan kata agar nantinya, rahasia-rahasia bisa diletakkan pula pada tempatnya. Salah menempatkan metafora (sebagai salah satu cara untuk merahasiakan), akan berujung pada kesalahan luar dari sajak; yaitu berupa ketepatan logika kata-kata. Metode yang paling bertugas mengurusi ini adalah strukturalis.
Pada huruf M.A kita bisa menebak berbagai kemungkinan rahasia yang dikandungnya. M.A barangkali adalah inisial, barangkali adalah mantra, barangkali adalah seperti ayat mutasyabihat, barangkali adalah yang lainnya. Dugaan itu bentuk-membentuk dalam diri pembaca, hingga pada akhirnya, entah pembacaan akan berujung dengan penyimpulan atau pun tidak, semua kembali kepada pembaca. Yang jelas, penyair ini telah berani memberikan rumus yang akan mengantarkan pembaca kepada makna dari rahasia-rahasia yang sengaja ia rahasiakan. M.A yang merah saga. Apakah merah berarti darah? Dan karenanya akan bisa dimaknai dengan kesakitan dan kepedihan? Entahlah.
Mantra Pamungkas
Betapa hasrat kadang bisa meletup-letup dengan dahsyatnya. Dalam diri seseorang, hasrat menjadi semacam penjara yang paling nyaman. Hasrat itu menemui kehendak. Dan kehendak menjadi nyata dengan dialog antar ada-tiada. Yang pernah ada menjadi kenangan, yang belum ada bisa ada akibat kenangan. Hasrat untuk mengenang terbukti telah melahirkan sebuah karya yang bakal menjadi semacam pembacaan terhadap takdir.Mantra Asmara dan orang yang melahirkannya merupakan bukti dari aktifitas mengenang. Taraf yang kita bicarakan adalah tentang aksiologi, bukan ontologi dan atau epistemologi yang masih berputar-putar pada puting ‘ada’ (being). Taraf ini beranjak satu langkah dari angan-angan.
Belajar dari hasrat, kita perlu tahu bahwa ia sering menjalankan fungsinya meskipun kadangkala menjerumuskan kita pada pilihan dan problem yang beragam. Hasrat sang penyair dalam Mantra Asmara barangkali terpuaskan dengan menulis kenangan, bagaimanapun kenangan itu pernah ada. Buku ini terlahir dari hasrat yang harus dipenuhi. Kita bisa melihat dari hasrat yang dimiliki Majenun—Qais ibn Mulawwah. Dalam beberapa konteks, mereka berdua sama, atau sekurang-kurangnya serupa. Bahwa hasrat mencintai tak pernah pungkas tanpa memberikan peluang bagi kenangan untuk bicara. Laila, kekasih si Majenun, telah dimilik orang. Tapi Qais merasa paling memiliki kekasihnya itu sebab ia memiliki kenangan bersamanya. Dan kenangan itu, ia lampiskan di dalam sajak-sajaknya. Itulah kiranya apa yang ingin dicapai sang penyair dengan dan dari buku Mantra Asmara.
Benar adanya, kenangan—bagaimanapun bentuknya, kerap mencirikan dirinya sebagai penggugah para penyair untuk menulis. Ia seperti alat pecut yang digunakan untuk menyuruh kerbau atau sapi atau kuda agar berjalan. Dalam kaitannya dengan proses kreatif, kenangan amat ampuh untuk dijadikan senjata. Bagi yang menganggap menulis adalah wujud dari kehendak untuk mengabadikan kenangan, ia sebenarnya telah sampai pada kesimpulan tentang dirinya sendiri. Meskipun, ia menyadari bahwa ia masih berkutat di dalam penjara kenangan yang mengurungnya dan ia tak pernah beranjak sedikitpun dari sana. [*]
[2]
Mantra Asmara: ‘Memisahkan Hujan dari Basah’
Prolog
Pada tataran paling umum, kita bisa membicarakan karya sastra dengan dua pendekatan: formal dan moral. Berperkara dengan formal berarti kita membicarakannya dengan sangat rigid; unsur zahirnya, jenis-jenisnya, korespondensi antar-kata (jika dalam puisi), maupun bentuk dan apapun yang berkaitan dengan kulit luarnya. Pendekatan ini telah banyak memunculkan mazhab, salah satunya adalah strukturalisme. Sedangkan berperkara dengan moral, kita akan berhadapan dengan cara meraih pesan dalam karya sastra. Karena karya sastra bergelut dengan medium bahasa, mau tidak mau, sebenarnya kita telah tukar-menukar pesan di dalamnya.
Membaca puisi Usman Arrumy dalam Mantra Asmara kita akan berurusan dengan kulit dan isi; sekaligus dan dengan serentak. Ibarat menyeruput kopi, kita akan sulit membedakan tempat mana yang dihuni rasa pahit dan bagian mana yang dihuni rasa manis. Kecendrungan puisi Usman urung dilihat dari sisi mata uang, sebab ia telah menawarkan air sekaligus basah; api sekaligus panas; langkah sekaligus kaki; senyum sekaligusi bibir; tatap sekaligus mata. Seperti yang diisyaratkan dalam puisi berjudul ‘Asmara Loka’: … Dan barangkali, suatu hari nanti/ Tuhan akan melangkah menujuku melalui kakimu/ Tuhan akan tersenyum kepadaku melalui bibirmu/ Tuhan akan menatap mataku melalui matamu.
Menolak Konvensi dan Upaya Rekonstruksi
Berangkat dari Chairil Anwar, perkembangan perpuisian Indonesia bertrasformasi secara masif. Pada era sebelum kemerdekaan, para penyair cenderung menggunakan bentuk-bentuk puisi lama, baik itu bentuk pantun, kuatrin, gurindam, soneta, dll. Chairil Anwar membuka kran kebebasan dalam berpuisi dan dalam pada itu, ia telah menolak sebuah konvensi zamannya (kita masih ingat dengan judul buku puisi ‘Tiga Menguak Takdir’, bukan?). Dalam perkembangan selanjutnya, perpuisian Indonesia seolah menjadi alat pegas yang telah ditahan amat lama dan setelah dilepaskan memuntahkan daya dorong yang mahakuat. Alhasil, kebebasan bertutur dalam puisi meninggalkan beberapa bentuk rigid; seperti rima dan sampiran. Meskpun bentuk seperti kuatrin dan soneta masih digunakan pada akhir tahun 60-an dan awal 70-an, tetapi kuantitasnya sangat terbatas. Kita masih bisa melihat dalam buku Sapardi Djoko Damono ‘dukaMu abadi’ dan beberapa puisi Goenawan Mohamad seperti ‘Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi’ dan ‘Kwatrin Tentang Sebuah Poci’.
Di saat banyak penyair yang berburu untuk membebaskan puisi, muncul sebuah buku, Mantra Asmara, yang (dengan arti yang hampir serupa) menolak konvensi. Buku ini melihat banyaknya khazanah perpuisian kita yang musti dipertahankan. Bahwa bentuk-bentuk yang dianggap kuno itu bisa dimanfaatkan untuk media; dan yang namanya media, ia hanya alat, bukan esensi. Kita bisa melihat kecendrungan Mantra Asmara dari sebagian besar puisinya. Simak potongan puisi ‘Genderang Gendam’ berikutini:
Malam menjalar ke lubuk fajar
cahaya berpendar tak reda pudar
dan gairah berantaku bangkit menjamah langit
seperti bulan sabit nyembul dari balik bukit
aku masuk dari pelupuk menuju tulang rusuk
meliuk ke kalbumu—induk dari semua yang merajuk
sumbumu menyala sekali kupercikkan cahaya
matamu membara begitu kuwiridkan seloka
Kita akan mendengar rima yang susul-menyusul dari kata ‘fajar’ dan ‘pudar’; ‘langit’ dan ‘bukit’; ‘rusuk’ dan ‘merajuk’; dan ‘cahaya’ dan ‘seloka’; seterusnya sampai akhir puisi. Kecendrungan ini mengingatkan kita pada puisi lama yang menggunakan rima a-a-a-a dan a-a-b-b dan a-b-a-b. Saya melihat upaya sang penyair ini sebagai kewajaran; bahwa kita mempunyai khazanah yang bisa dimanfaatkan sebagai alat dan cara, tanpa membebani tiap kata dengan maknanya. Justru saya melihat ada pembebasan beban makna pada tiap kata yang dipakai. Malam menjalar ke lubuk fajar barangkali bukan latar dan suasana, tetapi ada kabut makna kedua (second meaning) dibaliknya yang menolak beban makna awal (first meaning) dari tiap kata. Kita bisa membandingkannya dengan kecendrungan puisi lama. Simak misalnya puisi Marco yang berjudul ‘Sama Rasa dan Sama Rata’ ini:
Sair ini dari penjara,
Waktu kami baru dihukumnya,
Di Weltevreden tempat tinggalnya,
Dua belas bulan punya lama.
Ini bukan sair Indie Weerbaar,
Sair mana yang bisa mengantar,
Dalam bui yang tidak sebentar,
Membikin hatinya orang gentar.
Puisi ini seolah tertutup untuk makna ganda dan hanya berbicara apa adanya. Boleh dikatakan bahwa kecendrungan puisi modern tidak hanya berkutat dengan apakah ia menggunakan bentuk-bentuk lama atau tidak; tetapi sejauh mana pemakaian kata-kata bisa melampaui beban makna pada tiap kata. Kita bisa melihat dari beberapa puisi Sapardi yang terasa liris dan patuh pada bentuk tertentu, tapi bercita-rasa modern sebab pemilihan katanya. Misalnya puisi berjudul ‘Jarak’: dan Adam turun di hutan-hutan/ mengabur dalam dongengan/ dan kita tiba-tiba di sini/ tengadah ke langit: kosong-sepi … Bahwa puisi ini masih setia dengan rima, ya, tetapi kita akan merasa ada ramuan khas yang membuatnya berbeda dari kecendrungan puisi lama.
Di sisi lain, menoleh pada kebebasan puisi dan muntahnya kecendrungan prosa yang mengikutinya, saya jadi teringat komentar Sapardi dalam sebuah pengantar untuk buku puisi; bahwa jika pun berita koran dipotong-potong sedemikian rupa dalam bentuk larik-larik, apakah kita sah mengatakannya sebagai puisi? Saya tidak berani menjawabnya. Yang bisa saya bidik adalah kaburnya definisi puisi itu sediri. Kita bisa mengatakan puisi Afrizal Malna sebagai ‘puisi’ meskipun kecendrungan prosanya sangat kuat. Bahkan Sapardi sendiri dalam karya-karya mutakhirnya menunjukkan kecendrungan itu; prosa yang puitis atau puisi yang prosais? Saya tidak tahu.
Di tengah kemelut itu saya menemukan beberapa puisi dalam Mantra Asmara yang liris sekaligus prosais; dipotong sekaligus bersinambung; patah-patah sekaligus berkait-kelindan. Kita ambil misalnya puisi berjudul ‘Zifza’ ini:
Demi lengkung langit tempat Tuhan memelihara gemintang
aku menujumu melalui lorong lengang dan rentang kenang
dimana rindu menghubungkanku ke bagian terjauh dalam dirimu
mencari tempat berkholwat, menghayati keperihan sebagai kamu
Airmata adalah kereta yang mengantarkanku sampai kepadamu
gerbong yang mengangkut katakataku, mengusung segala pilu
melaju melintasi relung rel yang menjurus ke ruang terdalam dari dirimu
tak akan henti, Cintaku, tak akan. Sebelum tiba ini keretaku
Puisi ini kentara ritmisnya, ritmenya yang diatur, dan baris-barisnya yang dipotong-potong. Misalnya saja kita sambungkan antar-bait itu menjadi prosa:
Demi lengkung langit tempat Tuhan memelihara gemintang, aku menujumu melalui lorong lengang dan rentang kenang dimana rindu menghubungkanku ke bagian terjauh dalam dirimu, mencari tempat berkholwat, menghayati keperihan sebagai kamu. Airmata adalah kereta yang mengantarkanku sampai kepadamu. Gerbong yang mengangkut katakataku, mengusung segala pilu melaju melintasi relung rel yang menjurus ke ruang terdalam dari dirimu tak akan henti, Cintaku, tak akan. Sebelum tiba ini keretaku.
Inilah mengapa saya tidak berani mendefinisikan puisi. Tapi dari sana, setidaknya saya tahu gambarannya, meskipun hanya sebuah sketsa kasar, bahwa: puisi adalah bagaimana cara kita menganggapnya.Saya mengamini pendapat yang mengatakan bahwa puisi adalah puisi jika ada orang yang menganggapnya puisi, meskipun itu adalah orang yang menulisnya sendiri. Bahkan menurut Nirwan Dewanto, puisi modern memiliki watak tersendiri: keteraturan bentuknya tak mampu mengatasi lompatan pelbagai imaji, rimanya tak mampu meredam deraunya. Akan lebih gamblang jika kita mempraktekkan hal serupa pada puisi lain. Kita ambil salah satu puisi Goenawan Mohamad yang berjudul “Dingin Tak Tercatat’:
Dingin tak tercatat
pada termometer
Kota hanya basah
Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi kita tetap saja
di sana. Seakan-akan
gerimis raib
dan cahaya berenang
mempermainkan warna.
Tuhan, kenapa kita bisa bahagia?
Kita akan menyatukan puisi ini dalam bentuk prosa dan kita akan melihat begitu diskursifnya definisi puisi:
Dingin tak tercatat pada termometer. Kota hanya basah. Angin sepanjang sungai mengusir, tapi kita tetap saja di sana. Seakan-akan gerimis raib dan cahaya berenang mempermainkan warna. Tuhan, kenapa kita bisa bahagia?
Barangkali kita mendapatkan sedikit pencerahan. Jika definisi puisi terasa problematis dan diskursif dengan merajainya puisi prosa, kita bisa menawarkan alternatif lain. Yakni, jika berita di koran (sebagai wakil dari prosa) menawarkan sebuah hasil yang pasti, maka puisi—meskipun berbentuk prosa—seharusnya tidak menawarkan kata final. Seperti yang buru-buru saya kutip dari Adonis: “Puisi adalah tindakan awal tanpa akhir”. Sampai di sini, kita tak usah pusing memikirkan definisi puisi.Lantas, apa yang dimaksud final dan tidak final? Saya ingin menunjukkan bahwa ada unsur-unsur yang final dalam berita, yang ketat dan harus terukur kebenarannya; lalu dibandingkan dengan puisi (atau karya sastra lainnya?) yang tidak bermaksud memberikan kepastian. Misalnya, kita baca sebuah berita yang mengabarkan tentang terbunuh calon anggota legislatif bernama Supratman di sekitar hari pemilu, taruhlah pemilu tahun lalu. Berita semacam ini, berbeda dengan yang akan kita temukan dalam puisi. Unsur-unsur yang ketat seperti 5 W 1 H harus ada di sana: apa kejadiannya (what), kapan kejadian perkaranya (when), penyebabnya apa (why), di mana terjadinya (where), siapa yang terbunuh/siapa pembunuhnya (who), dan bagaimana kejadiannya (how). Semua itu harus ada dalam berita (yang baik dan benar).
Berbeda lagi jika kita membicarakan puisi. Secara umum bahkan cerita (novel, cerpen, dongeng, dll), menurut Sapardi ada semacam bahan pengawet yang menjadikannya tetap up to date, dan tidak habis sekali baca seperti berita dalam koran harian. Lebih-lebih lagi puisi yang notabenya sebagai puncak pencapaian bahasa; ia harus selalu aktual untuk zaman manapun jika ingin dikenang. Kita ambil salah satu contoh puisi yang membicarakan suatu kejadian yang mirip dengan berita rekaan kita di atas. Judulnya ‘Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum’ oleh Goenawan Mohamad. Kita kutip sebagian:
Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih.
Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik.
Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak
bertandagambar. Ia tak ada yang menangisi, karena kita tak bisa menangisi.
Apa gerangan agamanya?
Dari judulnya, kita tidak menemukan kepastian kapan (when) pemilu itu dilangsungkan. Kita hanya diberi tanda, pemilu, dan itu bisa pemilu kapan saja. Inilah kenapa puisi ingin selalu dibaca kapanpun. Ketika, misalnya, pada pemilu tahun 2019 ada seorang yang terbunuh, puisi ini tetap mampu bicara. Setelah when, kita juga tidak menemukan siapa (who) yang dibunuh; nama dan dari mana asalnya. Di sana hanya tersurat tak berkartu… tak bernama… Latar kejadian bisa kita temukan, yakni di tepi pematang (sawah?) seperti yang termaktub dalam puisi. Tapi kita tidak tahu di desa mana kejadiannya, di kota mana TKP-nya. Penyebab (why) terbunuhnya pun kita tidak tahu; bisa jadi karena ditusuk pisau; atau dipukul benda tumpul; atau disabet clurit; atau diberondong peluru. Kita benar-benar tidak tahu, dan memang tidak penting untuk tahu. Inilah sebabnya puisi adalah tindakan awal tanpa akhir. Ia bukan berita koran harian yang sekali baca kemudian jadi bungkus mendoan. Puisi melampaui itu.
Kembali ke Mantra Asmara. Buku ini ternyata menawarkan jalan melingkar untuk sebuah bentuk. Kita tentu tahu definisi kuatrin adalah sajak empat seuntai yang tiap baitnya terdiri atas empat buah larik. Dalam puisi berjudul ‘Kwatrin Tsuroysme’ kita menemukan hal yang berlainan dari bentuk kuatrin. Kita kutip saja puisinya:
Selain puisi, adakah jalan untuk menujumu?
Aku mengandaikan kau sebagai kertas putih,
yang berkenan menampung katakata sedih
sebab aku percaya betapa kaulah kekasih
di hadapanmu yang sentosa,
seluruh kataku moksa,
sefana dunia seisinya
bagaimana kutulis kau, Cinta
sedang tatapanmu lebih puisi,
ketimbang berlaksa sang pencipta aksara
Puisi adalah satu-satunya kendaraan,
yang mau mengantarkan kesedihan mencapai kenangan
menuju jauh ke dalam dirimu, berpaling dari masa depan
di banding Pujangga terkenal
tatap matamu lebih kekal
nyatanya detakku fasih menyebutmu tanpa sesal
sembari mengembarai semesta,
aku mencari kata paling luka
untuk kusampaikan kepadamu wahai sengsara
Selain puisi, adakah yang lebih kenangan?
aku menghayalkan jadi kata yang terselip di sela kalimatmu
di antara larik lirik di balik bilik yang kaulafalkan dengan rindu
aku akan tumbuh sepenuh yang tak bisa direngkuh
aku akan mengembara sejauh yang tak bisa ditempuh
Secara ketat, kita tidak bisa menganggap puisi ini sebagai kuatrin. Bait pertama hanya berisi satu larik; bait ke dua berisi tiga larik dan hanya berima a-a-a; bait ketiga berisi enam larik. Dan akhirnya, kita menemukan bentuk kuatrin hanya di bait pamungkas. Tapi tentu kita boleh berbaik sangka, bahwa judul Kwatrin tidak mengharuskan konstruksi puisinya berupa kuatrin. Seperti halnya, seseorang yang bernama Sugiharto belum tentu ia kaya. Di samping itu, saya mengamini cara Mantra Asmara memandang khazanah perpuisian kita sebagai harta karun. Pada beberapa bagian, penyair mengambil bentuk itu sekaligus—di beberapa bagian lainnya—merombaknya sesuai kebutuhan. Dengan begitu, sebenarnya Mantra Asmara melakukan dua gerak sekaligus: menolak konvensi dan merekonstruksi bentuk.
Permainan Rima dan Konsekuensi Makna
Sapardi pernah menyinggung soal beberapa puisi penyair era 50-an yang cenderung gelap. Puisi-puisi mereka gelap bukan karena mereka lihai mempermainkan kata dan bukan karena mereka menguasai bahasa seperti misalnya Amir Hamzah. Tetapi justru karena mereka tidak menguasai bahasa, puisi mereka menjadi gelap dan tertutup bagi pemaknaan. Ulasan semacam ini barangkali tidak terlewatkan sedikitpun di benak Usman Arrumy dalam menulis Mantra Asmara. Kecenderungan menutup puisinya dari pemaknaan adalah usaha yang fatal. Sebab, ia akan mematikan salah satu dari tiga fungsi komunikasi, yaitu pesan.
Dari bentuk dan pemilihan diksi, semua puisi dalam Mantra Asmara mau tidak mau harus melakukan dua gerakan sekaligus (double movement), meminjam kredo dari Fazlur Rahman. Dua gerakan itu adalah (1) memaknai tiap kata seperti beban maknanya, (2) dan memaknai kata di luar beban makna yang dikandungnya. Tetapi upaya saya jauh dari rasa puas. Ada semacam kata yang terampas dari kertas kamus dan mampir dalam puisi-puisi itu; ada yang sempat tak terkatakan dari tiap kata yang diucapkan. Tentu, saya mengamini bahwa sang penyair sangat akrab dengan kamus. Di rumahnya, saya melihat ada dua Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan tentunya kamus online yang dinstal di komputernya. Penguasaan bahasa mutlak diperlukan oleh penyair. Karena jika tidak, bukan ia yang menguasai puisinya tapi malah sebaliknya.
Dua gerakan sekaligus itu bisa kita lihat dari penggunaan rima yang teratur dan konsekuensi makna yang dikandungnya. Simak misalnya dalam puisi yang berjudul ‘Rindu Purba’:
barangkali tak pernah kau mengira
bahwa rindu adakalanya dicipta dari bara
yang menyala tiap kali aku bersedia jadi tungku
tempat semayam bara api yang sekali waktu jadi abu
Kita simak rima yang buru-memburu di atas. Kadangkala tiap rima menggunakan citraan, tapi penyair ini lebih sering menggunakan abstraksi, yaitu kata-kata di luar kata benda atau kata sifat misalnya lembah, matahari, pasir, bangku, dst. Pada larik pertama, rima yang diburu adalah menggunakan kata kerja “mengira”, dan dengan demikian larik pertama bertahan dengan dirinya sendiri tanpa konotasi. Larik kedua rima yang diburu menggunakan kata benda “bara” dan ini menguntungkan karena kita bisaleluasa menerka maknanya. Bahwa tentu rindu yang dicipta dari bara mengungguli makna bara sebagai hakikat. Melirik bait ketiga dan keempat, saya jadi teringat puisi terkenalnya Sapardi yang berjudul ‘Aku Ingin’. Barangkali titik temunya dengan penggal puisi di atas adalah pada: mustahilnya memenggal metafora yang sangat panjang. Frasa kata yang tak sempat diucapkan api kepada kayu yang menjadikannya abu, tidak semestinya terpisah satu sama lainnya. Ia harus utuh untuk dimaknai menjadi kesatuan yang integral. Sama saja kasusnya dengan puisi di atas. Frasa bara yang menyala tiap kali aku bersedia jadi tungku tempat semayam bara api yang sekali waktu jadi abu, tidak layak dimaknai secara sepenggal karena dikhawatirkan terjadi penyempitan makna.
Hal serupa bisa kita lihat dalam menafsirkan surat An-Nur ayat 35. Tasybihatau metafora yang sangat panjang di dalamnya tidak boleh dimaknai secara sepotong-potong, tapi harus dipandang dari keutuhan kalimatnya. Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Metafora yang panjang ini tak boleh dipisahkan satu dengan lainnya, sebab ia adalah satu kesatuan yang integral dan menyeluruh. Demi mengetahui makna terdalamnya, kita harus memandang metafora itu sebagai unity of metaphor.
Makna yang bisa kita rengkuh dari keutuhan metafora dalam puisi ‘Rindu Purba’ di atas adalah kepasrahan seorang perindu. Ia bersedia dibakar bara tiap kali rindu menggerogoti hatinya. Sedangkan bara itu, justru berasal dari tunggu yang adalah dirinya sendiri. Ia adalah tungku yang darinya api bisa membara dan akhirnya (bahan bakar yang mencipta api, bisa berupa kayu) menjadi abu. Inilah kepasrahan tingkat paling muskil. Ia urung berharap kekasihnya akanmengira bahwa sesungguhnya penyebab dari rindu adalah dirinya sendiri, yang boleh dimaknai dengan cinta yang tak terbalaskan. Ia terbakar sendiri oleh rindu tanpa berharap kekasihnya akan tahu atau paling tidak mengira bahwa ia tahu; ia dibakar oleh cintanya sendiri, yang absen dari balasan.
Di atas telah sedikit disinggung mengenai keabstrakan penggunaan metafor pada sebagian puisi dalam Mantra Asmara. Kebastrakan itu bisa jadi disengaja oleh takdir, atau memang penyair ingin memburu rima luar. Jika kemungkinan kedua adalah benar, maka penyair musti hati-hati kalau-kalau ia terjebak pada pemaksaan kata-kata, atau dalam literatur sastra Arab disebut Taklif. Khazanah kita telah menyediakan pengungkapan ke arah sana: seperti yang kita lihat dari beberapa frasa abstrak Chairil Anwar seperti “kecemasan derita, kecemasan mimpi”. Dari keabstrakan itu, boleh jadi penyair memang tidak bermaksud menyajikan kebenaran tertentu mengenai makna yang dikehendaki. Tak pelik, kata “kecemasan” ketika disandarkan pada kata yang abstrak seperti “derita” dan “mimpi”, akan menunda makna yang buru-buru hadir dalam benak pembaca. Dengan demikian, fungsi puisi memang berjalan sebagaimana mestinya: ia tak sanggup dan memang tak bermaksud memberikan jaminan kebenaran. Lain lagi jika misalnya, “kecemasan” kita sandarkan pada sesuatu yang riil, yang konkret. Taruhlah kata “pedagang”, kita tentu tak akan menunda apapun di sana: yang ada hanyalah makna yang tanpa basa-basi. Misalnya, kecemasan pedagang karena aksi penggusuran oleh Satpol PP.
Hal yang serupa basah sekali pada beberapa puisi dalam Mantra Asmara. Kita kutip saja sebagian frasa dalam puisi berjudul ‘Rindu Kesumat’:
Di ujung pagi, kesunyian menumbuhkan kenangan,
seluruh tentangmu yang menjurus ke masa silam.
Yang kita tunda di sini adalah pemaknaan “kenangan” sebagai sesuatu yang abstrak, tak terindra. Kenangan adalah kumpulan beberapa yang hal yang dulunya terindra tapi menjadi abstrak ketika ia telah lalu dan kemudian aktif dalam benak, dalam ingatan. Kenangan berbeda dengan misalnya kata “anak kecil”. Ya, kesunyian menumbuhkan anak kecil: atau malahan kita bisa mengganti “anak kecil” dengan apapun yang kita kehendaki danberupa benda konkret. Frasa “menjurus ke masa silam” juga abstrak; ia berbeda dengan misalnya “menjurus pada lengkung sungai itu”. Di sinilah letak penundaan makna yang kita maksudkan. Gambaran kita tentang benda yang rill kita abstrakkan sedemikian rupa dalam alam pikir kita. Kenangan yang ditumbuhkan oleh kesunyian boleh kita maknai dengan kenangan indah maupun kenangan pahit. Sah-sah saja. Masa silam yang hadir karena ada seseorang yang mengingatkan boleh jadi adalah masa silam sepersekian detik sebelum puisi ini dituliskan, atau beberapa dekade yang lampau. Sah-sah saja. Dengan begitu kita akan senantiasa menyandarkan puisi pada ketidak-pastian yang menjura. Dari ketidak-pastian itu, kita menunda dan memberi makna pada yang abstrak, bahkan yang berkaitan dengan eskatologi seperti surga dan neraka.
Saya masih percaya bahwa puisi yang kukuh mempertahankan rima, musti hati-hati dalam memilih diksi. Lebih-lebih jika sebuah puisi telah memilih bentuk: baik itu soneta, kuatrin, maupun rubayyat; ia akan terpenjara dalam bentuk itu. Dan jika sang penyair tidak pandai memilih diksi, kata-kata yang dipilih akan terjebak pada pemaksaan. Tapi kita melihat dalam Mantra Asmara, ada yang senantiasa bugar: kata-kata yang dipenjara oleh rima atau bahkan puisi yang dibui oleh misalnya kuatrin, menunjukkan kemungkinan dari lahirnya makna baru. Ada hubungan kuat antara rima dengan konsekuensi makna. Hubungan keduanya adalah pada perkara pemaknaan. Kita bisa menyaksikannya pada puisi yang berjudul ‘Batu’:
aku sabar memendam jerit sakit
baku-gamit hingga membuncit jadi bukit
maafkan bila tak sanggup menjemput
kau tahu, aku musti mengasuh lelumut
Tentu, dalam penggalan puisi di atas kita akan berhadapan dengan double movement: sebuah elan pemaknaan yang menolak jadi utuh. Dua gerakan itu adalah rima luar yang terkesan ritmis dan rima dalam yang menjadi bentuk dari puisi ini. Kata-kata yang digunakan untuk memburu rima kerapkali ajaib. Kata “sakit” dengan “bukit”; kata “menjemput” dengan lelumut”. Ada kecapan yang perlu diberi beberapa bumbu lagi dalam pemilihan kata-kata itu, sehingga ia tidak hanya menjadi eksterior yang berfungsi untuk memburu rima, tapi juga menghadirkan makna yang seringkali ajaib. Baiklah, kita mulai saja dari memaknai yang sudah ada tanpa berekspektasi pada kesempurnaan puisi ini. Puisi ini berkisah tentang aku-lirik yang ia adalah batu. Kita tahu, batu adalah anasir alam yang dibentuk secara alamiah jutaan tahun yang lalu. Kita tak perlu pusing itu batu apa, yang jelas, barangkali kita sepakat bahwa hampir semua batu sifatnya keras. Aku-lirik yang sebagai batu memendam jerit sakit. Penyebabnya? Ternyata aku-lirik bukanlah batu dalam arti yang sesungguhnya. Batu adalah gambaran tentang seorang pengagum yang hanya akan terdiam tanpa daya ketika melihat orang yang dikaguminya. Sementara itu, tersebab ia diam, ia tak punya daya apapun untuk menjumpai orang yang didambanya itu. Tak tahu sebabnya apa. Yang jelas, di sini batu sebagai amsal ketak-berdayaan manusia memenuhi titik subtil.
Setelah diam dan tak bisa berbuat apa-apa terhadap apa yang ia kagumi, si aku-lirik akhirnya membuncit jadi bukit. Bukit yang kita ketahui adalah kumpulan dari jutaan ton batu. Setelah aku-lirik adalah batu (batu bisa jadi hanya segenggam dan dengan demikian mudah bergerak), ia berubah menjadi bukit. Ia semakin tak bisa lagi untuk bergerak karena ia telah terpaku di dalam bumi. Dengan demikian, ia hanya bisa berapologi dengan mengatakan maafkan bila (aku) tak sanggup menjemput. Dan dengan ironi yang dalam, si-aku lirik musti berbohong dengan mengatakan aku musti mengasuh lelumut: aku musti mengasuh perasaanku sendiri agar yang aksiden (yakni di luar diriku, gambarannya adalah lumut) bisa dipertahankan demi kehidupan orang lain. Ini adalah gambaran cinta yang masyghul; yang melampaui rasa ingin memiliki dan egoisme diri. Biarpun seseorang yang aku-lirik kagumi telah bersama orang lain, ia tetap mengasuh cinta: untuk sesuatu yang di luar dirinya (lelumut).
Epilog
Begitulah dua pendekatan yang coba saya ketengahkan untuk mengomentari buku Mantra Asmara karya Usman Arrumy. Pada bentuk, ia telah menyumbangkan satu pemahaman bahwa rima tak harus patuh pada suatu jenis puisi tertentu seperti kuatrin dan soneta. Puisi yang tekandung di dalamnya tetaplah liar: meskipun ia sangat patuh pada unsur bunyi. Ia konsonan pada satu waktu dan tiba-tiba desonan pada waktu yang lain. Usaha tiada henti dari sang penyair ini perlu diapresiasi. Saya teringat perkataan Nirwan Dewanto: “Keunggulan seorang penyair, dan seniman pada umumnya, tidak terletak pada usahanya untuk membebaskan diri dari kungkungan konvensi, tetapi pada keberhasilannya dalam menciptakan ruang gerak untuk melaksanakan kebebasan dalam kungkungan konvensi.” Mantra Asmara telah mengarah pada usaha semacam ini.
Pada unsur moral, kita melihat dalamnya penghayatan sang penyair terhadap kehidupan percintaan di sekitarnya. Boleh jadi, semua inspirasi yang dituangkannya dalam puisi-puisi itu, terilhami oleh pengalaman pribadi. Untuk hal ini, saya berani berhipotesa. Sebab, terasa ada nama-nama yang selalu hadir di beberapa puisinya: dan nama itu selalu sama. Penyair selalu dan senantiasa belajar. Saya imani perkataan ini. Penyair ini, jika termasuk yang mau belajar, musti mempertimbangkan kesubtilan kehidupan yang riil sebelum nantinya orang akan mengabstrakkan puisinya. Saya melihat usaha ini dalam diri Sapardi: ia senantiasa melihat ke luar untuk kemudian menengok ke dalam. Sehingga, puisi-puisinya terasa dekat dengan kehidupan dan menyatu dengan masyarakat. Tapi di luar itu, usaha sang penyair dalam Mantra Asmara musti dipandang sebagai sumbangsih berharga bagi kesusastraan Indonesia. Bahwa Mantra Asmara memiliki ciri khas yang unik: berupa kesatuan bentuk dan kelindan permainan makna.Maka dari itu, saya menganggap bahwa usaha memisahkan bentuk dari puisi-puisi Usman Arrumy, sama mustahilnya dengan upaya memisahkan hujan dari basah. [*]
[3]
Mantra Asmara: ‘Dialektika Kesumat dan Cinta’
Membaca kandungan Mantra Asmara, kita akan menemukan oposisi-oposisi biner yang gerimis. Salah satunya adalah perihal kesumat dan cinta. Selama ini, usaha kita untuk menyatukan antara keduanya berujung sia-sia. Jelas, cinta bukan kesumat dan kesumat lain dari cinta. Tapi bagaimana kalau kita bereksperimen untuk menyatukan, atau paling tidak, mempertemukan keduanya dalam satu meja. Mantra Asmara menyediakan jalan untuk ke arah sana; dan kita akan lebih terbantu meskipun jalan kita tak akan lempang. Pertama, saya ingin mengajukan sedikit sempalan dari pemikiran Derrida mengenai oposisi biner. Kepastian yang digadang-gadang dalam ilmu pengetahuan dan filsafat, telah dipandang sebagai sesuatu yang stabil, termasuk apa yang disebut oposisi biner. Oposisi biner menciptakan sebentuk hirarki. Jika dendam-kesumat-kebencian berlawanan dengan kasih-sayang-cinta, maka keduanya sekian lama mapan pada tempatnya. Keduanya tidak beranjak dari makna yang membentuk hirarki yang hadir dalam benak. Kita mencoba mengaburkan oposisi tersebut dan perlahan menciptakan suatu koalisi yang tidak lagi memandang kesumat dan cinta sebagai sesuatu yang berlawanan. Usaha tersebut akan kita coba.
Kedua, kita akan memanfaatkan dialektika. Secara sederhana, dialektika bisa dimaknai sebagai pertentangan antara dua hal dan yang menimbulkan hal lain. Piranti yang digunakan adalah tesis dan antitesis: untuk tujuan sintesis. Contoh mudahnya: aku+kamu=kita. Aku (sebagai diri, bukan kata) bukanlah kamu. Kamu bukanlah aku. Untuk menunda ketegangan antara keduanya, kita simpan saja elemen kebenaran dari keduanya. Sehingga, ketika aku dan kamu didialektikakan akan menghasilkan “kita”: kebenaran yang lebih tinggi. Contoh semacam ini hanya mempermudah cara kerja dialektika, meskipun kenyataannya tak sesederhana itu. Kita letakkan ‘cinta’ pada kotak tesis, dan ‘kesumat’ pada kotak antitesis. Akan menghasilkan apa? Kita akan bertualang dengan Mantra Asmara.
Bukan hanya gerimis, Mantra Asmara hujan (bahkan badai) oleh tema percintaan, asmara. Sebagai unsur paling privatif, asmara kerap dianggap tabu untuk diumbar pada khalayak. Tapi Mantra Asmara menyediakan peluang untuk menguak tabu itu. Di sana tersedia palung yang enggan dijamah, tapi dapat kita tengok; terdapat kedalaman yang sangsi dari dunia asmara. Dari hujan asmara itu, ada beberapa sajak yang lepas kendali: ia terlempar pada semacam kesumat, atau kata yang sederifasi dengannya. Di antara kata-kata yang meliuk-liuk itu, ada semacam rumpang-rumpang, sengau-sengau, sendu-sendu yang tersembunyi. Tampaknya sang penyair mengalami pengalaman distorsi yang melelahkan: bahwa cinta memiliki antonim, yakni kesumat, benci, dendam. Simak puisi berjudul ‘Ziarah Cinta’ ini:
Pada suatu ketika aku tak berdaya menemu kata
Adakalanya mungkin saat kau tak mampu kuindra
pada arus desir yang sesekali menghampir dalam luka
sebab selalu, kau dan aku kian jauh tak tergapai oleh mata
Semoga kau tahu bahwa di antara kita sebenarnya tak ada rindu
hanya mungkin kadang semata diindahkan oleh rembesan pilu
seluruh yang silam adalah pengalaman getir
kenang-kenanga berhulu-hilir ke renung pikir
betapa sebentar kita hadir, sekedar mampir bagai musafir
tak ada yang mahir mengukir syair selain kita yang terusir
jika satu saat kau lintasi jalan yang sempat mencatat jejakku
sentuhlah, barangkali masih ada getar yang tertinggal di situ
Puisi ini termaktub pada halaman menjelang terakhir dari buku ini. Jika saya boleh menebak, sesungguhnya rentetan puisi berjumlah 70 ini, adalah semacam autobiografi yang ditulis dengan media puisi. Ada semacam garis merah yang bisa menghubungkan antara satu puisi dengan puisi yang lainnya; ada sejenis alur meskipun tidak lurus-lempang. Puisi di atas mungkin adalah bagian dari kegetiran yang lain dari cinta. Bait Semoga kau tahu bahwa di antara kita sebenarnya tak ada rindu/ hanya mungkin kadang semata diindahkan oleh rembesan pilu sangat kontras dengan liukan puisi yang telah lalu termaktub dari halaman pertama sampai menjelang puisi ini. Bahkan, puisi pembuka dalam buku ini yang berjudul ‘Angin 1’, dimulai dengan kata-kata yang puitis-positif: Aku menghayalkan jadi angin/ ikhlas kuhela sesuntuk yang kauingin/ bertiup dengan lembut, bermukim dalam musim. Apa gerangan yang terjadi dengan sang penyair? Dari sini kita bisa melihat ada kesumat di sela-sela relung puisinya; yang meski tabah tetapi tak begitu kuat menahan deraunya.
Meskipun demikian, kita tak boleh berburuk sangka pada pengalaman sang penyair. Nyata atau tidaknya bentuk kesumat itu, semuanya murni hak sang penyair. Kita sebagai pembaca hanya boleh menginterpretasi sejauh yang kita bisa. Meskipun kita gagal mencapai kehidupan privasi penyair, kita tak perlu putus asa. Kita simak bait puisi selanjutnya dari judul di atas:
Ada sesekali perlu rasa kelu demi mendewasakan rindu
sebab tak ada bahagia selain terkelukur sembilu lebih dulu
Bait yang bernada khotbah ini menyuratkan dialektika kesumat-cinta. Sesungguhnya cinta tak pernah selurus pohon bambu; di sana ada kesumat, rindu-dendam, ada sakit yang dihimpit, pilu yang diredam di dada, ada sekarat yang dikubur di jantung. Ya, cinta dan benci bahkan lebih dekat dari tai kucing dengan baunya. Setelah sekian ton sakit dihempaskan di dada, dari pertemuan kemudian kisah cinta yang dijalin bersama, tampak ada yang tak seharusnya dilupakan dari semua itu. Bagaimanapun akhir dari kisah cinta itu, ia tetaplah sebuah pertemuan singkat yang (haram) untuk disesali. Kita lekas teringat pada pepatah lama: yang lalu biarlah berlalu.
Di samping itu, beberapa puisi dalam Mantra Asmara memberikan hidayah pada kita bahwa kesumat tidak harus dipertentangkan dengan cinta. Jika memang keduanya oposisi biner, biarkan mereka bertahan seperti itu dalam dunia kata-kata. Sementara dunia riil ini, seharusnya tak menghendaki kesumat dan benci sebagai oposisi. Tapi jikalau terlanjur demikian adanya, patutlah kita mengaburkan kedua makna itu dalam kehidupan kita. Saya tak yakin bahwa kesumat adalah kesumat secara pure. Untuk mengungguli kesumat, kita perlu tahu bahwa dalam kesumat, pasti ada cinta: minimal cinta terhadap kesumat itu. Satu kelompok fanatik yang membenci kelompok lain, punya unsur cinta di dalamnya, ya, minimal cinta terhadap kebencian itu sendiri. Apalagi kalau kita tarik ke dalam keintiman asmara. Sesungguhnya tak ada yang benar-benar bisa mempertarungkan antara kesumat dengan cinta. Lebih bijak kalau kita kutip sebagian puisi berjudul ‘Forforisma’ ini:
Dan seluruh kata akan kembali kepada cinta
setelah mengembara dari fana ke baka
sebagian mengendap lalu ambyar sewaktu kala
menunggu sampai semesta tak berdaya
Seluruh kata, baik itu benci, kesumat, dendam, amarah, bahkan cinta itu sendiri, pada akhirnya akan kembali kepada ‘cinta’; cinta yang di luar kata cinta. Di sana, kesumat tidak mendapatkan maknanya lagi. Ia hanya tinggal oposisi sebelah; dan kita tahu, opisisi tanpa dua hal yang bertentangan adalah omong kosong. Jika memang kesumat yang menjalar di hati manusia terlanjur mereka artikan sebagai oposisi dari cinta, biarkanlah mereka menikmati kesalahan itu. Sesungguhnya, tiadalah yang mereka yakini itu kecuali sia-sia. Kebencian yang kita saksikan, baik secara langsung maupun melalui sejarah, patut kita pertanyakan ulang. Kebencian atas nama apa jika yang kita temui justru bahwa kita sama-sama manusia. Patut saya kutip sebuah puisi dari A. Mustofa Bisri yang juga dilagukan oleh Iwan Fals berjudul ‘Aku Menyayangimu’:
Aku menyayangimu karena kau manusia
Tapi kalau kau sewenang-wenang kepada manusia
Aku akan menentangmu
Karena aku manusia
Aku menyayangimu karena kau manusia
Tapi kalau kau memerangi manusia
Aku akan mengutukmu
Karena aku manusia
Aku menyayangimu karena kau manusia
Tapi kalau kau menghancurkan kemanusiaan
Aku akan melawanmu
Karena aku manusia
Aku akan tetap menyayangimu
Karena kau tetap manusia
Karena aku manusia
Dalam konteks percintaan, benci hanya interior belaka. Ia bukanlah esensi yang harus dijunjung tinggi. Seorang yang ditinggalkan kekasihnya tanpa alasan yang jelas, akan merasakan kebencian yang semu. Ya, sebab kebencian itu datang dari cinta. Dan tak ada yang bisa merubah perasaan cinta menjadi benci. Jika memang kata benci mendapatkan maknanya, maka itu hanya berlaku dalam kata-kata. Sebab kenyataannya kita sama-sama manusia. Aku akan tetap menyayangimu/ Karena kau tetap manusia/ Karena aku manusia. Seharunya, tidak ada yang perlu kita lakukan di dunia ini kecuali saling menyayangi antar-manusia. Itulah pelajaran terdalam dari dialektika kesumat dan cinta.
Nada serupa saya temukan pada puisi Acep Zamzam Noor berjudul ‘Di Sebuah Taman’. Dari puisi ini, kita lekas menjadi sadar diri, bagaimana cara kita mengutuk kebencinan. Apakah mengutuk kebencian dengan kebencian serupa? Jika demikian halnya, lantas apa bedanya kita dengan mereka? Alangkah lebih baiknya kita kutip seluruh puisi itu:
Setiap kusaksikan kaki langit yang jauh
Kubayangkan cinta akan terus berkobar
Bersama dendam. Dari perut senja yang terbelah
Darah segar mewarnai sebagian langit
Sedang kemurunganku mewarnai sebagian lainnya
Ingin kusaksikan dosa pertama tumpah
Ketika manusia memahami dirinya
Sebagai ancaman bagi sesamanya
Aku duduk di antara meriam-meriam
Yang berdentuman. Di antara reruntuhan kota-kota
Kusaksikan tahun-tahun lepas dari almanak
Seperti orang-orang yang terbunuh dan kemudian
Membusuk dalam got. Lalu kureguk anggur
Ketika sejarah kembali mengirimkan ribuan peluru
Pada mataku. Kulihat bintang-bintang berhamburan
Darah segar mewarnai seluruh langit
Bertahun-tahun aku duduk di taman dunia
Menyaksikan kaki langit yang jauh. Bertahun-tahun
Aku duduk membayangkan cinta dan dendam
Seperti gelap dan terang. Kureguk anggur
Ketika pesawat-pesawat tempur membakar ufuk
Kureguk anggur dan aku mabuk di antara bom-bom
Yang berjatuhan serta bumi yang pelan-pelan
Ditenggelamkan para pemujanya
Ada frasa Kubayangkan cinta akan terus berkobar/ Bersama dendam, yang kira-kira bermakna: bersama kesumat yang menjalari manusia, musti ada cinta yang berbicara. Dendam biarlah tak menemui ruang di dalam relung: kalau perlu, kita leburkan dendam dan cinta agar Manusia tidak memahami dirinya/ Sebagai ancaman bagi sesamanya. Sebab terlampau sering kita menganggap harus ada benci di setiap cinta bukan malah sebaliknya. Kita terlalu nafsu menganggap bahwa cinta dan dendam/ Seperti gelap dan terang. Padahal, gelap tak pernah bermusuhan dengan terang. Mereka sama-sama bermanfaat dan sama-sama memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Baiklah, kita telah sedikit memahami konteks.
Simak pula penggalan puisi berjudul ‘Moksa’ dalam Mantra Asmara:
Ketika udara mengembara ke setra-huma
menebar kabut pirau ke sisi paling peka dari indra
kesunyian tumbuh—menghubungkan kau dan aku
sampai dendam yang kita piara bersekutu dalam kalbu
Penyair ini memiara dendam sekian lama dalam dirinya dan membiarkan dendam itu bersekutu dalam kalbu. Kita gambarkan sedemikian rupa: bahwa dendam, kesumat, dan kata yang sepadan dengan itu, bersekutu dalam kalbu yang juga berisi cinta, kasih, sayang, dan kata yang semakna dengan itu. Dalam hati, kata-kata itu tidak mendapat maknanya yang hakiki tanpa sebuah aksi. Namun demikian, aksi bukanlah menunjukkan keadaan hati dengan sesungguhnya. Seorang tentara yang membunuh rakyat sipil yang tak bersalah, belum pasti dalam hatinya menyimpan dendam kepada rakyat sipil itu. Boleh jadi ia melakukannya karena ada dorongan di luar dirinya: misalnyaya karena tuntutan sang komandan. Dengan demikian, dendam tak pernah hakiki dalam diri manusia. Aksi dari dendam hanya semacam kata yang diciptakan untuk membentuk opoisi dan hirarki. Kita semestinya urung melihat dunia dari sisi gelap dan terang. Kita musti mengungguli atau bahkan mengaburkan makna kedua kalimat itu.
Berbanding lurus dengan itu, kenyataan dalam kebahasaan kita memang menghendaki hirarki dan oposisi. Sampai-sampai dan bahkan lebih-lebih, suatu sistem sosial pun harus dipandang dari teropong itu. Ada kaya ada miskin, ada pejabat ada rakyat, ada kaum modal ada kaum buruh, dan lain sebagainya. Kenyataan itulah yang musti kita pupuskan. Dalam kehidupan privasi, konteks percintaan yang banyak kita saksikan berujung pada dendam, semestinya harus diberi pengertian lain, alternatif lain. Menyangkut hal ini, saya teringat komentar penulis Mantra Asmara: “Tugas saya hanya mencintainya. Selebihnya, entah apakah saya hidup dengannya atau tidak, saya serahkan pada Tuhan.” Kesumat yang mengoposisi cinta itu sungguh tak berlaku di dalam diri seorang yang mengerti hakikat cinta. Penghiantaan, perselingkuhan, perih dan sakit hati, hanya bagian dari mencintai. Saya jadi teringat perkataan seorang teman: “Cinta itu menghapus kriteria.” Orang boleh berkhayal akan memiliki suami/istri yang kriterianya bisa dia ukur. Tapi ketika orang itu sudah jatuh cinta, kriteria sama sekali bungkam. Kaitannya dengan kesumat dan cinta; sejahat apapun orang yang kita cintai, sekejam apapun dia menyakiti kita, cinta dan kesumat tetap menjadi kawan. Ia tak terpisahkan dan tak patut menjadi oposisi. Kita telah belajar sesuatu dari Mantra Asmara. [*]
Kairo, 05 November 2015
Catatan:
Disampaikan pada forum Bincang Puisi Mantra Asmara, Aula Griya Jateng, 06 November 2015.
M.S. Arifin, seorang biasa yang kerjaannya melamun. Pernah menerbitkan beberapa buku puisi tapi pada akhirnya tidak ia akui sebagai karya karena pertimbangan mutu. Saat ini, sedang serius mengawinkan antara puisi Goenawan Mohamad dengan puisi Sapardi Djoko Damono demi kepentingan masa depan puisinya.
Oscar Wilde mengatakan bahwa karya sastra bisa dilihat dari unsur lahir dan unsur batinnya.
Diambil dari buku Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan, Sapardi Djoko Damono (Jakarta: Editum, 2015).
Buku M Aan Mansyur, Melihat Api Bekerja. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015).
Hal ini diperkuat lagi oleh beberapa cerpen Danarto yang oleh Acep Zamzam Noor dianggap puitis. Salah satunya adalah cerpen berjudul ‘Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat’. Setelah saya cek sendiri cerpen ini, saya menemukan kebenaran itu. Cerpen ini bahkan lebih puitis dari beberapa puisi yang belakangan ini saya temui dan saya yakini sebagai puisi. Sedikit iseng, saya mencoba merangkai cerpen Danarto menjadi runtutan bait seperti yang kita lihat dalam puisi. Begini kira-kira hasilnya:
Akulah Jibril,
yang angin adalah aku,
yang embun adalah aku,
yang asap adalah aku,
yang gemerisik adalah aku,
yang menghantar panas dan dingin.
Aku mengirimkan kesejukan, pikiran segar yang mengajak giat belajar.
Akulah yang menyodorkan keheranan sekaligus jawaban.
Aku di kebun rimbun,
aku di padang pasir,
aku di laut,
aku di gunung
aku di udara,kukirimkan layang-layangku kepadamu, kepada kalian.
Lihat betapa puitisnya cerpen itu. Kata-kata puitis dan rangkaian kalimat yang ajaib menghias sampai cerpen itu selesai. Tapi tentu kita enggan menganggap cerpen ini puisi. Kenapa demikian? Karena penulisnya terlanjur menganggap ini adalah cerpen. Entah itu cerpen puitis atau cerpen liris, yang penting orang menganggapnya cerpen. Inilah kenapa anggapan (terutama dari penulis sendiri) dianggap penting. Sampaipun saya menemukan puisi yang tak seputis ini tapi sedari mula dikehendaki sebagai puisi, saya tetap mengaggapnya adalah puisi, terlepas dari mutu dan kualitasnya.
Upaya ini telah lebih dulu dipraktekkan oleh Sapardi Djoko Damono dalam Bilang Begini, Maksudnya Begitu (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014).
Sebuah Esai dari Nirwan Dewanto, Gerimis Logam, Mayat Oliender, dimuat di Jurnal Kalam edisi 26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar