Selasa, 01 Desember 2015

Lima Penulis Memikat: dari Bandung Mawardi hingga Acep Iwan Saidi

Darwin
thephinisipress.blogspot.co.id

Tanpa tulisan, tidak ada dunia modern, ilmu pengetahuan
lambat berkembang, teknologi sebatas sederhana,
komunikasi sejauh teriakan, transportasi sekuat tungkai selebar layar
(Samsudin Berlian, Kompas, 18/6/2010).

Jika ada nama penulis yang saya tunggu-tunggu setiap pekannya di koran atau majalah, lima nama patut disebutkan: Acep Iwan Saidi, Indra Tranggono, Asep Salahudin, Bandung Mawardi, dan nama yang populer di kalangan dunia literasi, Muhidin M. Dahlan. Bukan bermaksud merendahkan penulis-penulis hebat lainnya. Ini tentunya sangat subjektif. Ya, sensasi  dunia tulis menulis memang berbeda bagi setiap orang. Ada yang menyukai tulisan karena tampilan visualnya, misalnya para penggemar komik. Ada yang menyukai lantunan ayat-ayat Tuhan, itu terpuaskan oleh novel-novel karangan sastrawan bergenre religi, atau tulisan-tulisan para pendakwah yang tidak inspiratif itu.
           
Ada lagi yang menyukai  dunia perhantuan, itu tersua pada tulisan para klenikus, ada pula yang menyukai dunia cibi-cibi, medianya adalah novel-novel teenlit yang sangat laris di pasaran itu. Atau bagi penyuka cara hidup instan sudah tersedia di pasaran buku-buku motivator. Dan yang terakhir bagi yang suka berpikir berat-berat, ada penulis yang konsern di wilayah ini, yakni para filsuf, atau sastrawan yang setengah filsuf, yang bisa dilihat dari novel-novel mereka nan berat. Tetapi di balik kerutan kening itu tentu saja ada isi tulisan yang berisi sekaligus menginspirasi.
           
Kembali ke lima nama yang saya tulis di awal. Mereka-mereka ini, menurut pandangan subjektif saya, adalah penulis-penulis yang mempunyai tulisan indah. Tulisan mereka sungguh tidak membosankan. Dari awal hingga tulisan pungkas, kita akan terus dibuai daya sihir kata yang mereka torehkan. Hmm, tentu saja tidak hanya daya pikat kata saja yang menyihir dan melenakan pembaca. Kalau hanya berhenti di sini, pastilah sebuah tulisan tidak akan menarik. Ia hanyalah puisi yang didedahkan para pujangga semacam Sutardji, Chairil Anwar, atau Rendra. Lima penulis yang saya idolakan ini adalah juga perangkai ide yang memesona. Ide dalam tulisan-tulisan mereka tentu saja sulit diduga. Mereka penyampai ide yang tak terpikirkan sebelumnya. Ada satu lagi, tulisan mereka tentu saja informatif. Banyak hal baru yang mereka ulas.
           
Yang menarik perhatian saya ketika membaca tulisan mereka tentu saja daya pikat kata yang mereka mainkan. Permainan diksi mereka sungguh aduhai. Sehingga tulisan mereka tentu saja menjaadi ‘renyah’, ibarat kita menikmati dunia sastra, laiknya puisi yang bertaburan kata-kata indah itu.
           
Lima penulis ini tidak begitu intim buat saya sebagaimana penulis-penulis besar lainnya. Tentu saja kehidupan mereka belum saya ketahui seluk-beluknya, kecuali Muhidin. Kita tahu Muhidin adalah penulis yang tenar karena novelnya, Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur. Belakangan tulisan indahnya memenuhi ruang-ruang surat kabar yang sering kita baca saban harinya. Ada Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, dan koran-koran lainnya yang mengisi ruang baca kita.
           
Empat penulis lain, mungkin yang agak tenar dikit—itu pun posisinya ada di bawah Muhidin—adalah Indra Tranggono. Indra Tranggono setahu saya adalah seorang cerpenis. Cerpen-cerpennya menghiasi surat kabar setiap hari Ahad. Cerpennya beberapa kali termuat dalam buku Cerpen Terbaik Kompas. Esainya juga bertebaran di media nasional maupun lokal Yogyakarta. Kumpulan cerpennya sudah diterbitkan ke dalam Anoman Ringsek dan Iblis Ngambek. Dalam penerokaan saya, ia sangatlah produktif, hampir saban hari tulisannya berupa esai budaya, politik, atau cerpen, akan tersua di koran seperti Kompas, Koran Tempo, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, majalah Horison, dan lainnya. Penulis yang juga konsern di drama ini berdomisili di Bantul, Yogyakarta. Tidak diketahui pekerjaan sesungguhnya selain menulis, karena di setiap tulisannya ia hanya mencantumkan pekerjaannya sebagai Anggota Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa, hanya itu!
           
Bagaimana dengan Bandung Mawardi? Bandung Mawardi adalah penulis produktif. Tulisannya sangat memikat. Diksinya manis. Tulisannya bisa dinikmati di koran-koran nasional dan lokal. Hampir setiap saya membaca Jawa Pos atau Koran Tempo, tulisan indahnya akan selalu dijumpai. Bandung Mawardi bagi saya agak ‘misterius’. Profil pribadinya tidak terlalu diketahui. Di setiap tulisannya ia hanya mencantumkan aktivitasnya sebagai pengelola Jagat Abjad Solo. Entah komunitas apa itu? Mungkin saja ada hubungannya dengan dunia tulis menulis yang dilakoninya. Yang lain, yang saya tahu ia adalah orang nomor satu di organisasi pengarang Tanah Air. Ia didaulat sebagai Ketua Perhimpunan Pengarang Indonesia, yang di dalamnya terhimpun para penulis seluruh Indonesia.
         
Asep dan Acep

Sementara Asep Salahudin adalah pimpinan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah Pesantren Suryalaya,  Tasikmalaya. Ia juga aktivis Lakpesdam NU, Jawa Barat. Tulisan memikatnya sering saya temui di Harian Kompas. Salah satunya adalah analisisnya saat menjelang perayaan Hari Raya Kurban pada bulan Oktober 2013 lalu. Tulisannya berjudul “Daulat Mahkamah Kurban” (Kompas, 14/10/2013). Dengan lihai ia memainkan judul artikel itu. Pada saat itu kita tahu politik negeri ini sedang guncang berkat ulah seorang Akil Mochtar, sang Ketua Mahkamah Konstitusi, yang dipergoki KPK sedang menerima suap di rumah dinasnya. Inilah sedikit kutipan tulisannya:
           
“Memasuki Hari Raya Idhul Adha, memori kolektif kaum beriman selalu diingatkan ihwal drama rohaniah tekad Nabi Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya….”
           
“Setan bukan sekadar imaji makhluk jahat buruk rupa, melainkan yang tidak kalah mengerikan adalah dorongan-dorongan primitif  yang mengendap dalam setiap jiwa kita. Hal itu, misalnya, sikap intoleran, perilaku rakus, tindakan politik menghalalkan segala cara, termasuk hasrat ingin “menjadi Tuhan”, yang dikatakan Sartre sebagai asal mula segala macam kekerasan tergelar.”
           
Penulis kelahiran Garut, Jawa Barat ini, pernah membikin ‘sensasi’ dengan pemuatan tujuh artikelnya sekaligus dalam sehari di tujuh media berbeda pada tanggal 23 Januari 2013 dengan tema Maulid Nabi. Masing-masing berjudul: “Maulid Politik Kenabian” (Kompas), “Tarekat Kultural Maulid” (Tribun Jabar), “Maulid Kita” (Pikiran Rakyat), “Spirit Budaya Kenabian” (Republika, rubrik ‘KabarJabar’), “Religiositas Maulid Nabi” (Republika), “Semiotika Berkat Maulid” (Jurnal Nasional), dan “Maulid dan Paradoks Keberagamaan” (Media Indonesia) (lihat http://www.nu.or.id).
           
Di sinilah kelebihan seorang Asep. Ia bisa meneropong peringatan Maulid Nabi dengan beragam perspektif. Sungguh langka penulis demikian, bukan?
           
Yang terakhir ada penulis yang tidak kalah produktifnya, yakni Acep Iwan Saidi. Ia sebelas dua belas dengan penulis di atas tadi. Tulisannya selalu nampang di kolom opini surat kabar-surat kabar nasional maupun lokal. Ide-ide bernasnya juga tersampaikan melalui media yang ia tuliskan ke dalam buku dengan keindahan kata dan analisis cerdas. Ia selalu menganalisis fenomena budaya, keberagamaan, dan politik, dengan perspektif semiotika, juga filsafat secara keseluruhan.
           
Penulis ini lahir pada 9 Maret 1969, di Bogor. Saat ini ia mengabdikan dirinya di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB), sebagai seorang pengajar. Ia adalah lulusan Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung.
           
Tidak tahu pasti proses kreatif ia menjadi penulis. Yang pasti penulis yang bergelar Doktor ini pernah menjadi Redaktur Opini Majalah Kebudayaan KancahBandung pada tahun 1999-2000, Sekretaris Jurnal Sosioteknologi 2006-2007, dan Pemred Warta Sosioteknologi ITB 2000-2005 (Acepiwansaidi.com). Namun, saya yakin ia adalah seorang pembaca yang kuat, terlihat dari diksi, ide, dan kekuatan sihir tulisannya di berbagai media maupun buku yang dilahirkannya. Kita tahu membaca tidak bisa dipisahkan dengan menulis, ibarat kuku dan daging, demikian pepatah Melayu mengatakan.
           
Sebagai penutup kalam, setelah mengamati sepintas lalu, kelima penulis ini tidak bisa dilepaskan dari yang namanya dunia sastra. Mungkin karena itu pula, tulisan mereka menjadi indah dan tidak membosankan. Muhidin sudah tidak diragukan lagi kepakarannya dalam bidang sastra, dengan novel dan esai sastra yang didedahkannya. Indra Tranggono adalah salah seorang cerpenis produktif dari Yogyakarta, karya-karyanya menghiasi jagat kesastraan Indonesia. Begitu juga dengan Acep, Asep, dan Bandung Mawardi yang bertungkus lumus dengan dunia sastra dalam keseharian mereka. Bandung, misalnya, ia adalah penulis esai sastra yang terpandang di kalangan penulis.
           
Hingga di sini saja, semoga yang membaca tulisan ini juga kepincut dengan lima penulis keren ini! Wallahu a’lam bi al-shawab.

Feb 2014
http://thephinisipress.blogspot.co.id/2014/03/lima-penulis-memikat-dari-bandung.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons