Selasa, 26 November 2019

Perawan dan Tiga Serigala

Anindita S. Thayf *
Koran Tempo, 14-15 Okt 2017

DAN kini hanya tersisa satu orang perempuan di muka bumi. Satu yang tinggal di dalam bunker perlindungan berpintu platinum lapis lima dan dijaga tiga ekor serigala. Sebenarnya, lebih pantas dia disebut gadis karena usianya masih belia: satu gerhana lagi tujuh belas tahun. Ayahnya, yang kini entah berada di mana—dia lebih suka berpikir orang tua itu masih hidup—berjanji hanya akan pergi sebentar dan bakal kembali sebelum usianya tepat tujuh belas. “Untuk mencari hadiah ulang tahunmu. Yang terbaik, tentu saja,” kata ayahnya pada suatu malam, dan begitu pagi tiba lelaki itu sudah pergi.

Usianya baru sebulan ketika ibunya menolak membuka mata untuk selamanya, sehingga oleh suaminya sendiri perempuan itu dimasukkan ke dalam Ruang Museum. Sejak hari itu hingga seterusnya, sang ibu mesti tinggal bersama benda-benda kuno dan sesamanya di balik dinding, sementara tidak jauh dari situ si gadis mesti belajar hidup tanpa ibu.

Setiap kali merasa sedih atau kesepian, gadis itu berkunjung ke Ruang Museum untuk bertemu ibunya.

“Aku bosan tinggal di sini, Ibu. Aku mau keluar, tapi dilarang Ayah,” keluhnya suatu hari.

“Ibu, tahukah kau kalau anak-anak serigalanya sudah besar? Ketiganya temanku, tapi kata Ayah mereka piaraan. Katanya juga, kalau sudah besar nanti, mereka harus tidur di luar,” lapornya di lain waktu.

Dari balik kaca bening lebar, sosok ibunya tampak diam seolah ingin mendengarkan setiap kata gadis itu. Ibunya masih kelihatan cantik dan sempurna dalam balutan gaun pemakaman. Dengan mata tertutup, perempuan itu berdiri ditopang dua lapis kaca tebal pengawet yang menindihnya dari dua sisi. Tidak ada yang aneh dengan sosok ibunya, kecuali tubuhnya kini sepipih rambut.

“Bagaimana kalau Ibu ternyata masih hidup, Ayah? Apakah dia tidak kesakitan dijepit begitu?” Semasa bocah, gadis itu sering bertanya begini kepada ayahnya, yang dijawab dengan kalimat yang selalu sama. Bahwa ibu gadis itu termasuk beruntung karena berhasil mencapai bunker sebelum penyakit ganas menyerang dan membunuhnya. Bahwa jika ibunya mati di luar sana, dia akan diperlakukan seperti perempuan lain yang gagal: tubuhnya akan dijadikan abu lalu dihisap angin.

“Ibumu salah satu Perempuan Mulia, dan seharusnya kau bersyukur. Jika tidak begitu, kau tidak akan pernah bisa melihat ibumu lagi. Selamanya,” ucap ayahnya dengan nada sedih, sebelum menyuruhnya menyanyikan lagu penghormatan Muliakan Nama Ibu Kami.

Lagu itu diajarkan ayahnya sejak dia masih bayi. Liriknya berisi puja-puji kepada perempuan yang menghidupi bumi dan menjaganya dari kemusnahan, lalu diakhiri dengan menyebutkan nama para Perempuan Mulia. Semula, dia yakin lagu itu ciptaan seseorang yang membangun bunker dan menaruh sejumlah sosok yang seperti ibunya di balik dinding Ruang Museum yang berhias plakat bertulis: Perempuan Mulia. Namun, setelah ibunya meninggal, lagu itu berubah, pun keyakinannya. Dia menemukan ada nama ibunya ditambahkan pada lirik terakhir.

“Apakah kau yang menciptakan lagu itu, Ayah?” selidiknya, tapi dijawab ayahnya dengan penjelasan yang membuatnya bingung. “Itu lagu ciptaan semua anak. Kelak, namamu juga akan ada di dalam lagu itu—tapi itu masih lama, jadi lupakan saja.” Maka dia pun melupakannya.

ADA tiga serigala di depan pintu bunker. Berjalan hilir-mudik laksana penjaga galak walaupun sebenarnya tidak begitu. Ketiganya sedang menunggu pintu berat itu terbuka dari dalam dan sesayup suara halus akan mengundang mereka masuk. Meskipun tertutup dan tidak berhias langit, ketiganya lebih suka berada di dalam bunker. Penyebabnya adalah gadis itu. Tiga serigala memujanya.

Menuruti wasiat induk serigala, sebenarnya majikan mereka adalah ayah si gadis. Induk mereka dan ayah si gadis bersahabat. Ketika lelaki itu melakukan perjalanan panjangnya yang ambisius, sahabat serigalanya diajak serta. Ketika perjalanan tersebut berakhir sukses—lelaki itu bertemu seorang perempuan dan memperistrinya—persahabatan keduanya tetap terjalin. Namun, persahabatan itu ternyata tidak bisa diwariskan. Setelah induknya mati, tiga serigala justru lebih suka berada di dekat putri lelaki itu.

Ketika belum sedewasa sekarang, ayah si gadis masih mengizinkan tiga serigala menemani putrinya menghabiskan hari, bahkan tidur dengannya. Hanya tiga serigala sahabat sekaligus teman bermain gadis itu. Mereka selalu pasrah dijadikan entah lawan gelut atau kucing manja yang suka digendong. Mereka juga mau saja dibacakan buku cerita kesukaan gadis itu, di mana pada akhirnya salah satu dongeng yang ada di sana menjadi kesukaan mereka. Tiga serigala menyukai Pangeran Kodok.

Tiada yang tahu, saat sedang berjaga malam, tiga serigala sering saling menceritakan kembali dongeng itu dalam bahasa serigala. Dongeng yang lama-kelamaan membuat ketiganya dirasuki keyakinan bahwa Pangeran Kodok kisah nyata. Di suatu tempat nun jauh, barangkali benar-benar ada seekor kodok beruntung yang bisa menjelma manusia setelah dicium seorang putri. Barangkali benar-benar ada sebuah keajaiban untuk seekor binatang.

Tiga serigala mengenal kata “keajaiban” dari manusia. Mereka mendengar kata itu dipakai terakhir kali oleh ayah si gadis sesaat sebelum kepergiannya enam gerhana lalu untuk melakukan apa yang disebutnya Perjalanan Ambisius II.

“Kutitip anakku pada kalian untuk dijaga sampai aku pulang. Sebagai imbalannya, nanti kalian akan kuberi dua kaleng daging kering. Bagaimana? Kalian pasti tahu kalau putriku adalah keajaibanku—jadi jagalah dia,” demikian ayah si gadis berpesan, sebelum meninggalkan bunker di ujung malam.

Memperlakukan seperti anak laki-laki yang tidak dimilikinya, demikian cara ayah si gadis menjalin kedekatan dengan tiga serigala. Bersama ketiganya, dia sering menghabiskan waktu entah untuk berburu, mengawasi daerah sekitar bunker, atau sekadar bersantai menikmati angin. Ketiganya juga punya mangkuk makan khusus serupa milik si gadis, tabung tidur jika sedang sakit, bahkan satu hari istimewa untuk bercengkerama.

“Sebab anakku sendiri tidak mungkin melakukan apa yang kita lakukan, kecuali dia bakal sakit. Yah, begitulah perempuan. Lemah,” demikian celoteh ayah si gadis selalu.

Laki-laki itu juga lebih sering mengajak tiga serigala bercakap-cakap. Alasannya, “Ini masalah laki-laki-perempuan tidak perlu tahu. Untung saja kalian serigala jantan. Kalau tidak, bisa mati kesepian aku di sini,” lalu laki-laki itu akan tertawa besar-besar bersama sederet gigi kuning menteganya yang tidak utuh.

Setahu gadis itu, ayahnya pergi mencari hadiah untuk ulang tahunnya yang ketujuh belas, tapi hanya tiga serigala yang tahu persis apa hadiah itu.

GADIS itu selalu menunggu datangnya gerhana, entah bulan entah matahari, sebab selalu sanggup membuat suhu lantai bunker lebih dingin. Meskipun tidak bisa melihatnya karena jendela terlarang hadir di dalam bunker, gadis itu akan menikmati gerhana dengan berbaring di lantai hingga jatuh tertidur.

“Beginikah rasanya rumput basah di luar sana? Tanah berlumpur? Batu sungai? Laut?” Gadis itu menikmati perubahan suhu lantai sambil memejamkan mata dan menggumamkan nama-nama benda yang dikenalinya dari Ruang Perpustakaan, tapi tidak pernah dilihatnya. Sebelumnya, gadis itu telah menyiapkan hidangan khusus karena, sejak ayahnya pergi, tiga serigala selalu diajaknya makan bersama dan menemaninya tidur di dalam bunker.

“Karena kalian sahabatku. Kubuka banyak kaleng makanan untuk kalian. Masuklah,” undangnya tadi.

Tiada gadis itu tahu, kali ini tiga serigala tidak mau lagi menjadi sekadar sahabatnya. Di bawah pengaruh dongeng Pangeran Kodok, ketiganya ingin menjadi lebih daripada itu.

Tiga serigala telah memutuskan untuk menjadi manusia. Mereka yakin, ayah si gadis bakal senang mendapat tiga anak laki-laki dalam keluarganya.

“Hanya laki-laki yang kuat membangun dunia dan memikulnya,” kata ayah si gadis kepada ketiga serigalanya, “karena itu akan kucari satu yang terkuat untuk kukawinkan dengan anakku saat hari ulang tahun ketujuh belasnya nanti. Setelah perkawinan mereka, bumi pasti tidak akan lagi sesepi sekarang karena anak-anak lucu mereka—saat itu aku pasti akan sangat bahagia,” lalu laki-laki itu tertawa besar-besar seperti biasa.

Tiga serigala yakin, mereka akan menjadi laki-laki terkuat sebagaimana yang dimaksud. Mereka akan membuat ayah si gadis bahagia dengan membantunya membangun dunia dan memberinya banyak keturunan yang sehat, juga lucu. Untuk membuktikannya, mereka hanya perlu melakukan sesuatu agar keajaiban yang menghampiri Pangeran Kodok datang pula kepada mereka.

Mengundangnya lewat ciuman tentu tidak mungkin. Selama ini, si gadis selalu menciumi tengkuk, punggung, bahkan moncong mereka, tapi tidak terjadi apa-apa. Untunglah, ketiganya telah menemukan satu cara yang patut dicoba.

Tahapan gerhana bulan kali ini terjadi lebih lama, tapi si gadis sudah jatuh tertidur sebelum gerhana itu sempurna. Berdiri di sekelilingnya, tiga serigala bersiap mengincar apa yang sudah mereka sepakati.

Masing-masing serigala akan menggigit satu jari si gadis. Lewat pertimbangan yang matang, mereka memutuskan bahwa kehilangan satu jari tangan, juga dua jari kaki, tidak akan membuat gadis itu jatuh sakit dan kehilangan pesonanya, melainkan justru sebaliknya.

“Tidak apa-apa kalau hanya cacat sedikit, sebab terlalu sempurna juga tidak bagus.”

Tiga serigala terkenang pada sepotong percakapan yang diucapkan seorang laki-laki muda dalam cerita pengantar tidur yang sering dikisahkan induk mereka. Cerita itu tentang seorang laki-laki muda yang bertemu perempuan pertama dan terakhir dalam hidupnya: seorang perempuan berkaki timpang.

TERLAMBAT dari waktu yang dijanjikan, ayah si gadis akhirnya muncul bersama seorang pemuda tegap gagah. Berdiri di depan bunker yang mendadak runtuh di sana-sini, orang tua itu hanya bisa terdiam gemetar dalam kaget yang tertahan. Tidak ada putrinya yang menyambut kedatangannya, pun tiga serigalanya. Sebuah pemandangan mengerikan justru tersaji di depan matanya bagai mimpi buruk yang menjelma nyata.

Ruangan itu bukan lagi kamar untuk bersantai. Tepat di tengahnya, meringkuk bagai janin, tiga sosok makhluk yang bukan manusia-bukan binatang tampak sedang tertidur pulas di atas kubangan darah kental. Seakan baru saja selesai berpesta, cabikan daging dan cipratan darah berhamburan ke mana-mana, bersama aroma amis pembantaian yang menguar kuat, membuat orang tua itu menahan mual dan hendak segera berlalu demi mencari anaknya, tapi batal. Apa yang terbaring di dekat ketiga makhluk itu menahan langkahnya.

Di sana, sesuatu yang dulunya sekujur tubuh montok kecoklatan kini tinggal sederet tulang utuh, pipih dan mati. Berbaring diam seolah menunggu untuk dikenali, tulang belulang itu berbicara kepada si orang tua lewat apa yang tersisa darinya: tulang kaki yang lebih pendek dan kecil sebelah serupa milik ibunya.

Aku perempuan terakhir yang pernah ada di muka bumi.

Di saat yang sama, kesiur angin terdengar menyanyikan lagu Muliakan Nama Ibu Kami dengan tambahan satu nama baru pada lirik terakhirnya. Seketika, orang tua itu dihampiri firasat bahwa akhir dunia yang ditakutinya akan segera tiba.
***

*) Anindita S. Thayf lahir pada 5 April 1978 di Makassar. Menulis cerpen dan novel. Novelnya, Tanah Tabu (Gramedia Pustaka Utama, 2009), menjadi juara I lomba menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2008, finalis Khatulistiwa Literary Award 2009, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Daughters of Papua (Dalang Publishing, San Francisco, 2014).
https://lakonhidup.com/2017/10/15/perawan-dan-tiga-serigala/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons