(Catatan HUT W.S. Rendra, 7 November)
Muhammad Muhibbuddin *
“Mana itu seniman Islam? Islam ‘kan tak punya Beethoven, tak punya Mozart, Picasso?’, begitulah ledekan Rendra terhadap seniman Muslim, Syu’bah Asa, sekitar 1970-an. Mendengar ledekan penyair Si Burung Merak itu, Syu’bah Asa, yang saat itu menjadi mahasiswa IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, hanya diam saja. Selama bergaul dengan Syu’bah, Rendra mengaku sendiri sering meledek, mencandai dan mem-bully seniman Muslim itu, namun orang yang di-bully itu nampak tidak merespon; cuek; tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Sikap Syu’bah yang pasif dan cuek itulah yang membuat Rendra justru penasaran.
Namun siapa sangka Rendra masuk Islam justru terinspirasi oleh karya Syu’bah Asa. Saat itu, Syu’bah Asa sedang menerjemahkan kitab al-Barzanji, Syaroful Anam—sebuah kitab yang berisi tentang sejarah dan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad Saw. Hasil terjemahan Syu’bah ini lalu menarik perhatian Rendra; dibacanya kitab itu dan tertariklah Rendra dengan sosok Nabi Muhammad Saw. Kecintaannya pada sosok Rasulullah Saw.yang terlukiskan dalam al-Barzanji yang diterjemahkan Syu’bah itu menginspirasi Rendra untuk masuk Islam.
“Ketertarikan saya pada Islam bermula pada syair-syair Syaraful ‘Anam dan Al-Barzanji yang diterjemahkan Syu’bah. Syair-syair ini adalah kasidah puji-pujian terhadap Nabi Muhammad. Di situ, Nabi Muhammad digambarkan menambal gamisnya sendiri; jika berjalan dengan sahabat-sahabatnya beliau berjalan paling belakang; beliau juga amat menyukai anak-anak. Dan, jika tangan seorang sahabat berbau wangi, orang akan berkata, ‘Tangan ini pasti baru disentuh Nabi.’ Bukankah ini berarti Nabi suka bergaul? Saya amat terharu membaca syair-syair itu, dan saya berpikir, ‘Boleh, kan, bila saya ikut terharu? Dan ikut numpang kagum pada Muhammad?”begitulah pengakuan Rendra saat diwawancarai oleh Majalah Ummat No.1, 1994.
Kitab al-Barzanji yang berisi tentang sosok mulia Rasulullah Saw. dan yang telah diterjemahkan Syu’bah itu kemudian dipentaskan Rendra ke dalam pertunjukan teaternya dengan judul “Kasidah Barzanji”. Pada saat itu Rendra sudah menjadi dramawan terkenal di seantero Indonesia melalui Bengkel Teater yang dipimpinnya. Pementasan Kasidah Barzanji ini menjadi salah satu karya Rendra yang sangat melegenda hingga saat ini. Karya ini dipentaskan berulang kali, termasuk pada 2014, ketika Rendra sudah enam tahun meninggalkan dunia ini.
Saat masih suka meledek Syu’bah itu, Rendra secara formal masih beragama Katolik. Rendra sejak kecil memang lahir dari keluarga Katolik dan dididik dalam lembaga pendidikan Katolik. Sejak TK hingga SMU, penyair yang kelahiran Solo, 7 November 1935 itu menempuh pendidikannya di yayasan Katolik. Semasa masih Katolik ini, Rendra mengaku agak sinis dengan Islam.
Dalam pandangan Rendra saat itu, umat Islam itu kasar, tidak ramah dan tidak begitu kreatif. Karenanya, meski telah terpesona dengan Rasulullah Saw. dan telah mementaskan al-Barzanji, Rendra mengaku tidak langsung tertarik masuk Islam. “…bahkan ketika itu saya masih belum tertarik untuk masuk Islam: saya takut jika daya cipta saya lalu mati!, begitulah alasan Rendra untuk tidak segera masuk Islam setelah berhasil mementaskan al-Barzanji. Dari pernyataannya itu, bisa dibayangkan bahwa Rendra saat itu memandang umat Islam sebagai komunitas yang jumud dan tidak memberikan peluang bagi tumbuh-kembangnya kreativitas seseorang.
Penyair Pemberontak
Rendra, yang nama lengkapnya Willibrordus Surendra Broto (disingkat W.S.Rendra), seperti dikatakan oleh Syu’bah Asa adalah seniman pemberontak. Jiwa pemberontakan Rendra dalam kesenimanan dan kepenyairannya ini jika dirunut dari sejarah kehidupannya merupakan bagian dari eksistensinya yang sejak remaja memang sering mengalami pergolakan.
Tentang pergolakan eksistensinya yang sudah dialaminya sejak remaja itu dikisahkan sendiri dalam video dokumenternya yang berjudul, “Rendra: Si Burung Merak” produksi Lontar Foundation. Di bagian awal video itu, Rendra mengisahkan, bahwa ketika masih di SMA, dirinya mengalami semacam absurditas dan disorientasi; goncangan eksistensial; yang membuat ia dilanda kebingungan akut. Ia pun mengkonsultasikan persoalan ini ke sejumlah orang termasuk pada guru-gurunya. Namun, gurunya justru menilai, apa yang dialaminya itu bagus dan sangat cocok dengan bakat dirinya di jurusan bahasa. Jawaban gurunya ini tetap tidak memuaskan dirinya.
Dalam kondisi dirundung absurditas itu, Rendra merasa buntu. Blong. Tidak tahu apa yang hendak dikerjakan. Ia merasa tidak bisa berdamai dengan kelahirannya ke dunia. Karenanya, ketika perasaan absurditas ini semakin mengoyak jiwanya, Rendra saat itu mulai ada kecenderungan untuk berprilaku brutal. Namun, daripada ia menunjukkan prilaku buruk terhadap orangtua, guru-guru dan teman-temannya, ia lebih memilih “minggat” dari rumah. Saat itu juga ia mempunyai niat kuat untuk berpuasa 9 hari. Puasa ini digunakannya untuk bertanya dan mengadu kepada Tuhan. Dalam bahasa Jawa: Neges ing ngarsaning jawoto. Melalui laku spiritualnya itu Rendra ingin bertanya, apa kehendak Tuhan atas dirinya, sebab ia merasa bahwa dirinya sudah tidak mempunyai kehendak apa-apa.
Selain itu, jiwa pemberontakan Rendra juga nampak pada gaya hidupnya yang tidak mau diatur dan suka keluyuran hingga tak kenal waktu. Ayahnya sendiri, Raden Cyprianus Soegeng Brotoatmodjo (dipanggil Pak Broto) bilang, “Bahkan aku pernah mengusir Willy (panggilan akrab Rendra—pen) dari rumah karena kerjanya keluyuran tak mengeal waktu”. Pak Broto juga mengakui, untuk mengajar Rendra soal seni drama dan sastra lumayan mudah karena otak anaknya itu memang encer. Namun mendidik Rendra untuk disiplin dan tertib bersekolah, bagi Pak Broto, sungguh perjuangan berat.
Sejak remaja Rendra sendiri mengakui sangat suka menonton seni pertunjukan seperti wayang kulit, lenong, gambang kromong, ketoprak, reog, ludruk, besut, wayang potehi dan sebagainya. Untuk menyalurkan hobinya menonton seni pertunjukan ini, ia sering berjalan jauh dan mencari-cari kesempatan. Hobinya berburu seni pertunjukan ini, yang membuat Rendra suka keluyuran ke mana-mana. Namun berkat hobinya ini pula barangkali yang membuat dirinya kelak selain sebagai seorang penyair besar, juga sebagai dramawan ulung.
Latar belakang hidupnya yang penuh pergolakan seperti itu sangat mungkin mempengaruhi karya-karya Rendra, baik di bidang sastra maupun teater yang sarat dengan pemberontakan dan perlawanan. Kebanyakan karya-karya Rendra berisi tentang kritikan, perlawanan dan pemberontakannya terhadap sistem sosial yang kacau dan timpang. Hal ini terutama menyangkut sistem kehidupan sosial, politik dan agama. Rendra melalui karya-karyanya itu tak segan melabrak segala otoritas yang menindas.
Sajak-sajaknya tentang Pamflet, Menghisap Sebatang Lisong, Bersatulkah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, Orang-Orang Rankasbitung, Nyanyian Angsa, Khotbah dan yang lainnya sarat dengan kritik dan gugatannya terhadap realitas dan otoritas sosial. Begitu juga dengan karya-karyanya di bidang teater seperti Mastodon dan Burung Kondor, Panembahan Reso, Oedipus Rex,Sekda, Perang Troya dan yang lainnya juga berisi pesan moral dan sosial yang hampir sama.
Melalui karya-karyanya inilah, Rendra tak lelah melancarkan perlawanannya dan kritik-kritiknya terhadap penguasa dan otoritas sosial lainnya. Apa yang diperjuangkan oleh Rendra melalui pemberontakannya itu adalah hidupnya akal sehat kolektif dan keadilan bagi seluruh elemen masyarakat. Dari sini Rendra meneguhkan keberpihakannya, termasuk dalam aktivitas berkeseniannya. Melalui sajak-sajak perlawanannya itu, dirinya berusaha untuk berpihak kepada kepentingan rakyat secara keseluruhan, terutama bagi orang-orang kecil yang tertindas dan tak berdaya.
Atas dasar itu, Rendra berpendapat bahwa sebuah maksud baik tidaklah cukup jika tidak didasarkan pada keberpihakan yang jelas kepada mereka yang tertindas. Apa yang disebut dengan “maksud baik”, bagi Rendra, tidak ada nilai dan manfaatnbya jika hanya digunakan untuk mendukung penguasa yang menindas dan merampas hak-hak rakyat. Hal ini nampak dalam sajaknya yang berjudul, Sajak Pertemuan Mahasiswa:
...
Orang berkata “Kami adalah maksud baik”
Dan kita bertanya: ”Maksud baik untuk siapa?”
Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka
Ada yang duduk, ada yang diduduki
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras
Dan kita di sini bertanya:
“Maksud baik saudara untuk siapa?”
“Saudara berdiri di pihak yang mana?”
Kenapa maksud baik dilakukan
Tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota
Perkebunan yang luas
Hanya menguntungkan segolongan kecil saja
Alat-alat kemajuan yang diimpor
Tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya
Tentu kita bertanya: “Lantas maksud baik saudara untuk siapa?”
Atas tindakannya yang cenderung memberontak dan menggugat segala ketimpangan dan ketidakadilan sosial itu, Rendra harus berhadapan dengan penguasa dan keluar masuk penjara. Bukan hanya itu pementasan keseniannya juga seringkali dilarang oleh aparat keamanan. Hal seperti ini ia alami baik ketika di masa Orde Lama maupun di masa Orde Baru. Meski demikian, Rendra adalah Rendra. Ia tidak pernah surut untuk menciptakan karya-karya perlawanan meski dirinya sering diteror, dilempar gas amoniak bahkan ditangkap dan dimasukkan ke dalam jeruji besi.”Dilarang dan tidak itu urusan pemerintah. Urusan saya adalah mencipta dan mencipta”, begitulah kata Rendra saat menghadapi pelarangan pementasan karya-karyanya oleh aparat sebagaimana dikutip oleh sahabat karibnya, Emha Ainun Nadjib (Kompas, 22/4/1975).
Seni dan Politik
Rendra memang tergolong sastrawan dan seniman yang menolak prinsip “seni untuk seni” (art for art’s sake). Seni bagi Rendra haruslah menjadi media refleksi kritis terhadap problematika sosial yang ada. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Ignas Kleden, dalam tulisannya, Rendra, Ilmu Silat, Ilmu Surat (2009:xii) bahwa melalui sajak-sajak dan teaternya Rendra menyatakan dengan tegas: estetika tidak bisa membenarkan penyairnya melarikan diri dan mengisolasi dari persoalan-persoalan sosial dan politik; sajak dan puisi bukanlah alat dan ruang untuk mencari kesunyian dan kesendirian, melainkan sebagai medium yang perlu dilibatkan dalam perjuangan demi terciptanya perbaikan kehidupan. Rendra dalam puisinya Menghisap Sebatang Lisong, mengutuk keras,“Para penyair salon //, yang bersajak tentang anggur dan rembulan//, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya”.
Meski demikian, Rendra berbeda dengan para seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang menjadikan politik sebagai panglima. Politik bagi Rendra bukanlah panglima, melainkan sebuah tugas. Semangat kerakyatan dan kemanusiaan yang diusung Rendra dikatakan berbeda dengan Lekra, karena apa yang dilakukan Rendra itu bukan manifestasi dari program partai dan ideologi. Hal ini berbeda dengan konsep kerakyatan yang diusung Lekra, yang atas dasar politik sebagai panglima, semangat kerakyatan lebih merupakan representasi dari program partai (PKI).
Dengan semangat kerakyatannya itu, Rendra mengutuk keras segala tindakan kediktatoran dan otoritarianisme yang cenderung membungkam kebebasan berekspresi dan daya kritis dengan dalih apapun, termasuk demi “Revolusi” sebagaimana yang kerap terdengar ketika politik masih menjadi panglima. Begitu juga, ia melawan keras terhadap segala penindasan dan absolutisme kekuasaan dengan dalih untuk “Pembangunan” ketika ekonomi sebagai panglima.
Segala persoalan yang diakibatkan oleh politik dan/atau ekonomi sebagai panglima ini menjadi concern dan pemberontakan Rendra yang membuatnya sering berurusan dengan aparat keamanan. Dalam kondisi kehidupan sosial yang tidak ideal itulah, Rendra menegaskan bahwa kesenian bukanlah barang “eksklusif dan mewah” yang harus terlepas dan jauh dari pergumulan sosial dan kehidupan. Seni bagi Rendra adalah pekerjaan yang menjadi panggilan hidup sehari-hari seperti belajar, menulis, bekerja di sawah, berdagang, mengolah ladang dan sebagainya. Karenanya seni haruslah sangat berkaitan dan saling berhubungan dengan sektor-sektor kehidupan lain,termasuk politik. Seni bagi Rendra harus turut andil melahirkan perubahan dalam masyarakat terhadap segala tatanan yang tidak ideal.
Namun, Rendra menolak segala perubahan yang penuh anarkhis dan revolusioner. Apa yang dikehendaki Rendra adalah perubahan secara gradual dengan tetap mengedepankan akal sehat dan hati nurani. Hal ini terlihat jelas dalam pementasan karyanya, Mastodon dan Burung Kondor. Pentas teater Rendra ini terilhami oleh gerakan revolusi di Amerika Latin. Dalam pentas teater ini dikisahkan bahwa ada sebuah rezim dengan segala aparatus represifnya yang benar-benar menindas rakyat. Rezim penindas inilah yang kemudian menjadi simbol Mastodon. Lahirnya Mastodon kemudian melahirkan banyak Burung Kondor yaitu rakyat kecil, tertindas dan tak berdaya yang menjadi korban kediktatoran dan penindasan si Mastodon.
Dalam kondisi yang penuh represifitas itulah muncul kaum intelektual, para profesor dan mahasiswa yang merancang sebuah gerakan revolusi untuk menumbangkan sistem yang diktator tersebut. Namun sebelum mereka mewujudkan aksi revolusionernya, muncul seorang sastrawan yang memberikan masukan tentang bahaya revolusi. Sang penyair ini berpendapat bahwa perubahan kebudayaan yang ditempuh dengan jalan kekerasan dan revolusioner tidak akan pernah berhasil. Para pejuang revolusi jika berhasil menggulingkan rezim lama lalu meneguhkan dirinya sebagai penguasa baru maka mereka juga cenderung menjadi diktator baru. Rezim yang ditegakkan melalui hasil revolusi dan gerakan anarkhisme, cenderung memaksakan program-programnya atas nama pemerintahan revolusioner. “Yang beda namanya saja,” begitulah kata sang penyair.
Lewat karyanya ini Rendra sebenarnya sangat pro dengan semangat transformasi, perubahan, progresifitas dan dinamika, namun semua ini harus ditempuh dengan cara-cara yang humanis, gradual dan elegan, dengan tetap mengendepankan akal sehat dan mempertimbangkan kebutuhan. Perubahan yang serentak, radikal dan revolusioner bagi Rendra justru hanya menghadirkan persoalan baru yang tingkat negatifitasnya bisa jadi lebih parah dari yang sebelumnya.
Itulah sepercik eksistensialisme Rendra dalam dunia kesenian dan kepenyairan. Akhirnya, Rendra boleh saja telah lama wafat, tetapi semangat dan idealismenya dalam berkesenian itu tidak boleh padam. Problematika sosial, ketidakadilan dan ketimpangan struktural masih terus berlangsung hingga detik ini. Di sinilah diperlukan sebuah seni “yang membebaskan” bagi seluruh elemen masyarakat dari berbagai kungkungan struktur yang menindas. Ketidakadilan dan ketimpangan sosial inilah yang selalu digugat dan disoal oleh Rendra, sebagaimana dalam sajaknya yang berjudul Sajak Sebotol Bir:“Hiburan kota besar dalam semalam//,sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa//,peradaban apakah yang kita pertahankan?”
*) Muhammad Muhibbuddin adalah penulis lepas, tinggal di Krapyak, Yogyakarta.
http://www.bilikkata.com/2019/11/07/eksistensialisme-kepenyairan-rendra/
the spaces of world figures, literature studies, new school of thought in the world of literature (art, letters, etc.)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.C. Andre Tanama
Aang Fatihul Islam
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Adam Roberts
Adelbert von Chamisso
Adreas Anggit W.
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus R. Sarjono
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Albert Camus
Albrecht Goes
Alexander Pushkin
Alit S. Rini
Amien Kamil
Amy Lowell
Andra Nur Oktaviani
André Chénier
Andy Warhol
Angela
Angela Dewi
Angrok
Anindita S. Thayf
Anton Bruckner
Anton Kurnia
Anwar Holid
Arif Saifudin Yudistira
Arthur Rimbaud
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asep Sambodja
Awalludin GD Mualif
Axel Grube
Bambang Kariyawan Ys
Basoeki Abdullah
Beethoven
Ben Okri
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Berto Tukan
BI Purwantari
Birgit Lattenkamp
Blaise Cendrars
Book Cover
Brunel University London
Budi Darma
Buku Kritik Sastra
C.C. Berg
Candra Kurnia
Cecep Syamsul Hari
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Charles Baudelaire
Claude Debussy
Cristina Lambert
D. Zawawi Imron
Damhuri Muhammad
Dana Gioia
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darwin
Dea Anugrah
Denny Mizhar
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dwi Cipta
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Edgar Allan Poe
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Emha Ainun Nadjib
Emily Dickinson
Enda Menzies
Endorsement
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Essay
Evan Ys
Fahmi Faqih
Fatah Anshori
Fazabinal Alim
Feby Indirani
François Villon
François-Marie Arouet (Voltaire)
Frankfurt Book Fair 2015
Franz Kafka
Franz Schubert
Franz Wisner
Frederick Delius
Friedrich Nietzsche
Friedrich Schiller
Fritz Senn
FX Rudy Gunawan
G. J. Resink
Gabriel García Márquez
Gabriela Mistral
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Goethe
Hamid Dabashi
Hardi Hamzah
Hasan Junus
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier
Henry Lawson
Hera Khaerani
Hermann Hesse
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ignas Kleden
Igor Stravinsky
Imam Nawawi
Indra Tjahyadi
Inspiring Writer
Interview
Iskandar Noe
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rumi
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jiero Cafe
Johann Sebastian Bach
Johannes Brahms
John H. McGlynn
John Keats
José de Espronceda
Jostein Gaarder
Kamran Dikarma
Katrin Bandel
Khalil Gibran (1883-1931)
Koesoema Affandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Koskow
Kulya in the Niche of Philosophjy
Laksmi Pamuntjak
Laksmi Shitaresmi
Lathifa Akmaliyah
Laurencius Simanjuntak
Leila S Chudori
Leo Tolstoy
Lontar Foundation
Lorca
Lord Byron
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lutfi Mardiansyah
Luthfi Assyaukanie
M. Yoesoef
M.S. Arifin
Mahmoud Darwish
Mahmud Ali Jauhari
Mahmudi
Maman S. Mahayana
Marco Polo
Martin Aleida
Mathori A Elwa
Max Dauthendey
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Michael Kumpfmüller
Michelangelo
Milan Djordjevic
Minamoto Yorimasa
Modest Petrovich Mussorgsky
Mozart
Mpu Gandring
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mulla Shadra
Nenden Lilis A
Nikmah Sarjono
Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Notes
Novel Pekik
Nunung Deni Puspitasari
Nurel Javissyarqi
Octavio Paz
Orasi Budaya
Orhan Pamuk
Pablo Neruda
Panos Ioannides
Patricia Pawestri
Paul Valéry
Paul van Ostaijen
PDS H.B. Jassin
Penerbit SastraSewu
Percy Bysshe Shelley
Pierre de Ronsard
Poems
Poetry
Pramoedya Ananta Toer
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Setia
Pyotr Ilyich Tchaikovsky
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Radhar Panca Dahana
Rainer Maria Rilke
Rakai Lukman
Rama Dira J
Rambuana
Read Ravel
Rengga AP
Resensi
reviewer
RF. Dhonna
Richard Strauss
Richard Wagner
Ridha al Qadri
Robert Desnos
Robert Marcuse
Ronny Agustinus
Rosalía de Castro
Ruth Martin
S. Gunawan
Sabine Müller
Samsul Anam
Santa Teresa
Sapardi Djoko Damono
Sara Teasdale
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Schreibinsel
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Short Story
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Solo Exhibition Rengga AP
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Stefan Zweig
Stefanus P. Elu
Subagio Sastrowardoyo
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
T.S. Eliot
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Thales
The World Readers Award
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
To Take Delight
Toeti Heraty
Tunggul Ametung
Ulysses
Umar Junus
Unknown Poet From Yugoslavia
Usman Arrumy
Utami Widowati
Vladimir Nabokov
W.S. Rendra
Walter Savage Landor (1775-1864)
Watercolour Paint
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Welly Kuswanto
Wildani Hefni
William Blake
William Butler Yeats
Wizna Hidayati Umam
World Letters
X.J. Kennedy
Yasraf Amir Piliang
Yasunari Kawabata
Yogas Ardiansyah
Yona Primadesi
Yuja Wang
Yukio Mishima
Z. Afif
Zadie Smith
Zeynita Gibbons
Tidak ada komentar:
Posting Komentar