Minggu, 01 Desember 2019

Eksistensialisme Kepenyairan Si Burung Merak

(Catatan HUT W.S. Rendra, 7 November)
Muhammad Muhibbuddin *

“Mana itu seniman Islam? Islam ‘kan tak punya Beethoven, tak punya Mozart, Picasso?’, begitulah ledekan Rendra terhadap seniman Muslim, Syu’bah Asa, sekitar 1970-an. Mendengar ledekan penyair Si Burung Merak itu, Syu’bah Asa, yang saat itu menjadi mahasiswa IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, hanya diam saja. Selama bergaul dengan Syu’bah, Rendra mengaku sendiri sering meledek, mencandai dan mem-bully seniman Muslim itu, namun orang yang di-bully itu nampak tidak merespon; cuek; tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Sikap Syu’bah yang pasif dan cuek itulah yang membuat Rendra justru penasaran.

Namun siapa sangka Rendra masuk Islam justru terinspirasi oleh karya Syu’bah Asa. Saat itu, Syu’bah Asa sedang menerjemahkan kitab al-Barzanji, Syaroful Anam—sebuah kitab yang berisi tentang sejarah dan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad Saw. Hasil terjemahan Syu’bah  ini lalu menarik perhatian Rendra; dibacanya kitab itu dan tertariklah Rendra dengan sosok Nabi Muhammad Saw. Kecintaannya pada sosok Rasulullah Saw.yang terlukiskan dalam al-Barzanji yang diterjemahkan Syu’bah itu menginspirasi Rendra untuk masuk Islam.

 “Ketertarikan saya pada Islam bermula pada syair-syair Syaraful ‘Anam dan Al-Barzanji yang diterjemahkan Syu’bah. Syair-syair ini adalah kasidah puji-pujian terhadap Nabi Muhammad. Di situ, Nabi Muhammad digambarkan menambal gamisnya sendiri; jika berjalan dengan sahabat-sahabatnya beliau berjalan paling belakang; beliau juga amat menyukai anak-anak. Dan, jika tangan seorang sahabat berbau wangi, orang akan berkata, ‘Tangan ini pasti baru disentuh Nabi.’ Bukankah ini berarti Nabi suka bergaul? Saya amat terharu membaca syair-syair itu, dan saya berpikir, ‘Boleh, kan, bila saya ikut terharu? Dan ikut numpang kagum pada Muhammad?”begitulah pengakuan Rendra saat diwawancarai oleh Majalah Ummat No.1, 1994.

Kitab al-Barzanji yang berisi tentang sosok mulia Rasulullah Saw. dan yang telah diterjemahkan Syu’bah itu kemudian dipentaskan Rendra ke dalam pertunjukan teaternya dengan judul “Kasidah Barzanji”. Pada saat itu Rendra sudah menjadi dramawan terkenal di seantero Indonesia melalui Bengkel Teater yang dipimpinnya. Pementasan Kasidah Barzanji ini menjadi salah satu karya Rendra yang sangat melegenda hingga saat ini. Karya ini dipentaskan berulang kali, termasuk pada 2014, ketika Rendra sudah enam tahun meninggalkan dunia ini.

Saat masih suka meledek Syu’bah itu, Rendra secara formal masih beragama Katolik. Rendra sejak kecil memang lahir dari keluarga Katolik dan dididik dalam lembaga pendidikan Katolik. Sejak TK hingga SMU, penyair yang kelahiran Solo, 7 November 1935 itu menempuh pendidikannya di yayasan Katolik. Semasa masih Katolik ini, Rendra mengaku agak sinis dengan Islam.

Dalam pandangan Rendra saat itu, umat Islam itu kasar, tidak ramah dan tidak begitu kreatif. Karenanya, meski telah terpesona dengan Rasulullah Saw. dan telah mementaskan al-Barzanji, Rendra mengaku tidak langsung tertarik masuk Islam. “…bahkan ketika itu saya masih belum tertarik untuk masuk Islam: saya takut jika daya cipta saya lalu mati!, begitulah alasan Rendra untuk tidak segera masuk Islam setelah berhasil mementaskan al-Barzanji. Dari pernyataannya itu, bisa dibayangkan bahwa Rendra saat itu memandang umat Islam sebagai komunitas yang jumud dan tidak memberikan peluang bagi tumbuh-kembangnya kreativitas seseorang.

Penyair Pemberontak

Rendra, yang nama lengkapnya Willibrordus Surendra Broto (disingkat W.S.Rendra), seperti dikatakan oleh Syu’bah Asa adalah seniman pemberontak. Jiwa pemberontakan Rendra dalam kesenimanan dan kepenyairannya ini jika dirunut dari sejarah kehidupannya merupakan bagian dari eksistensinya yang sejak remaja memang sering mengalami pergolakan.

Tentang pergolakan eksistensinya yang sudah dialaminya sejak remaja itu dikisahkan sendiri dalam video dokumenternya yang berjudul, “Rendra: Si Burung Merak” produksi Lontar Foundation. Di bagian awal video itu, Rendra mengisahkan, bahwa ketika masih di SMA, dirinya mengalami semacam absurditas dan disorientasi; goncangan eksistensial; yang membuat ia dilanda kebingungan akut. Ia pun mengkonsultasikan persoalan ini ke sejumlah orang termasuk pada guru-gurunya. Namun, gurunya justru menilai, apa yang dialaminya itu bagus dan sangat cocok dengan bakat dirinya di jurusan bahasa. Jawaban gurunya ini tetap tidak memuaskan dirinya.

Dalam kondisi dirundung absurditas itu, Rendra merasa buntu. Blong. Tidak tahu apa yang hendak dikerjakan. Ia merasa tidak bisa berdamai dengan kelahirannya ke dunia. Karenanya, ketika perasaan absurditas ini semakin mengoyak jiwanya, Rendra saat itu mulai ada kecenderungan untuk berprilaku brutal. Namun, daripada ia menunjukkan prilaku buruk terhadap orangtua, guru-guru dan teman-temannya, ia lebih memilih “minggat” dari rumah. Saat itu juga ia mempunyai niat kuat untuk berpuasa 9 hari. Puasa ini digunakannya untuk bertanya dan mengadu kepada Tuhan. Dalam bahasa Jawa: Neges ing ngarsaning jawoto. Melalui laku spiritualnya itu Rendra ingin bertanya, apa kehendak Tuhan atas dirinya, sebab ia merasa bahwa dirinya sudah tidak mempunyai kehendak apa-apa.

Selain itu, jiwa pemberontakan Rendra juga nampak pada gaya hidupnya yang tidak mau diatur dan suka keluyuran hingga tak kenal waktu. Ayahnya sendiri, Raden Cyprianus Soegeng Brotoatmodjo (dipanggil Pak Broto) bilang, “Bahkan aku pernah mengusir Willy (panggilan akrab Rendra—pen) dari rumah karena kerjanya keluyuran tak mengeal waktu”.  Pak Broto juga mengakui, untuk mengajar Rendra soal seni drama dan sastra lumayan mudah karena otak anaknya itu memang encer. Namun mendidik Rendra untuk disiplin dan tertib bersekolah, bagi Pak Broto, sungguh perjuangan berat.

Sejak remaja Rendra sendiri mengakui sangat suka menonton seni pertunjukan seperti wayang kulit, lenong, gambang kromong, ketoprak, reog, ludruk, besut, wayang potehi dan sebagainya. Untuk menyalurkan hobinya menonton seni pertunjukan ini, ia sering berjalan jauh dan mencari-cari kesempatan. Hobinya berburu seni pertunjukan ini, yang membuat Rendra suka keluyuran ke mana-mana. Namun berkat hobinya ini pula barangkali yang membuat dirinya kelak selain sebagai seorang penyair besar, juga sebagai dramawan ulung.

Latar belakang hidupnya yang penuh pergolakan seperti itu sangat mungkin mempengaruhi karya-karya Rendra, baik di bidang sastra maupun teater yang sarat dengan pemberontakan dan perlawanan. Kebanyakan karya-karya Rendra berisi tentang kritikan, perlawanan dan pemberontakannya terhadap sistem sosial yang kacau dan timpang. Hal ini terutama menyangkut sistem kehidupan sosial, politik dan agama. Rendra melalui karya-karyanya itu tak segan  melabrak segala otoritas yang menindas.

Sajak-sajaknya tentang Pamflet, Menghisap Sebatang Lisong, Bersatulkah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, Orang-Orang Rankasbitung, Nyanyian Angsa, Khotbah  dan  yang lainnya sarat dengan kritik dan gugatannya terhadap realitas dan otoritas sosial. Begitu juga dengan karya-karyanya di bidang teater seperti Mastodon dan Burung Kondor, Panembahan Reso, Oedipus Rex,Sekda, Perang Troya dan yang lainnya juga berisi pesan moral dan sosial yang hampir sama.

Melalui karya-karyanya inilah, Rendra tak lelah melancarkan perlawanannya dan kritik-kritiknya terhadap penguasa dan otoritas sosial lainnya. Apa yang diperjuangkan oleh Rendra melalui pemberontakannya itu adalah hidupnya akal sehat kolektif dan keadilan bagi seluruh elemen masyarakat. Dari sini Rendra meneguhkan keberpihakannya, termasuk dalam aktivitas berkeseniannya. Melalui sajak-sajak perlawanannya itu, dirinya berusaha untuk berpihak kepada kepentingan rakyat secara keseluruhan, terutama bagi orang-orang kecil yang tertindas dan tak berdaya.

Atas dasar itu, Rendra berpendapat bahwa sebuah maksud baik tidaklah cukup jika tidak didasarkan pada keberpihakan yang jelas kepada mereka yang tertindas. Apa yang disebut dengan “maksud baik”, bagi Rendra, tidak ada nilai dan manfaatnbya jika hanya digunakan untuk mendukung penguasa yang menindas dan merampas hak-hak rakyat. Hal ini nampak dalam sajaknya yang berjudul, Sajak Pertemuan Mahasiswa:

...
Orang berkata “Kami adalah maksud baik”
Dan kita bertanya: ”Maksud baik untuk siapa?”
Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka
Ada yang duduk, ada yang diduduki
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras

Dan kita di sini bertanya:
“Maksud baik saudara untuk siapa?”
“Saudara berdiri di pihak yang mana?”
Kenapa maksud baik dilakukan
Tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota
Perkebunan yang luas
Hanya menguntungkan segolongan kecil saja

Alat-alat kemajuan yang diimpor
Tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya
Tentu kita bertanya: “Lantas maksud baik saudara untuk siapa?”

Atas tindakannya yang cenderung memberontak dan menggugat segala ketimpangan dan ketidakadilan sosial itu, Rendra harus berhadapan dengan penguasa dan keluar masuk penjara. Bukan hanya itu pementasan keseniannya juga seringkali dilarang oleh aparat keamanan. Hal seperti ini ia alami baik ketika di masa Orde Lama maupun di masa Orde Baru. Meski demikian, Rendra adalah Rendra. Ia tidak pernah surut untuk menciptakan karya-karya perlawanan meski dirinya sering diteror, dilempar gas amoniak bahkan ditangkap dan dimasukkan ke dalam jeruji besi.”Dilarang dan tidak itu urusan pemerintah. Urusan saya adalah mencipta dan mencipta”, begitulah kata Rendra saat menghadapi pelarangan pementasan karya-karyanya oleh aparat sebagaimana dikutip oleh sahabat karibnya, Emha Ainun Nadjib (Kompas, 22/4/1975).

Seni dan Politik

Rendra memang tergolong sastrawan dan seniman yang menolak prinsip “seni untuk seni” (art for art’s sake). Seni bagi Rendra haruslah menjadi media refleksi kritis terhadap problematika sosial yang ada. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Ignas Kleden, dalam tulisannya, Rendra, Ilmu Silat, Ilmu Surat (2009:xii) bahwa melalui sajak-sajak dan teaternya Rendra menyatakan dengan tegas: estetika tidak bisa membenarkan penyairnya melarikan diri dan mengisolasi dari persoalan-persoalan sosial dan politik; sajak dan puisi bukanlah alat dan ruang untuk mencari kesunyian dan kesendirian, melainkan sebagai medium yang perlu dilibatkan dalam perjuangan demi terciptanya perbaikan kehidupan. Rendra dalam puisinya Menghisap Sebatang Lisong, mengutuk keras,“Para penyair salon //, yang bersajak tentang anggur dan rembulan//, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya”.

Meski demikian, Rendra berbeda dengan para seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang menjadikan politik sebagai panglima. Politik bagi Rendra bukanlah panglima, melainkan sebuah tugas. Semangat kerakyatan dan kemanusiaan yang diusung Rendra dikatakan berbeda dengan Lekra, karena apa yang dilakukan Rendra itu bukan manifestasi dari program partai dan ideologi. Hal ini berbeda dengan konsep kerakyatan yang diusung Lekra, yang atas dasar politik sebagai panglima, semangat kerakyatan lebih merupakan representasi dari program partai (PKI).

Dengan semangat kerakyatannya itu, Rendra mengutuk keras segala tindakan kediktatoran dan otoritarianisme yang cenderung membungkam kebebasan berekspresi dan daya kritis dengan dalih apapun, termasuk demi “Revolusi” sebagaimana yang kerap terdengar ketika politik masih menjadi panglima. Begitu juga, ia melawan keras terhadap segala penindasan dan absolutisme kekuasaan dengan dalih untuk “Pembangunan” ketika ekonomi sebagai panglima.

Segala persoalan yang diakibatkan oleh politik dan/atau ekonomi sebagai panglima ini menjadi concern dan pemberontakan Rendra yang membuatnya sering berurusan dengan aparat keamanan. Dalam kondisi kehidupan sosial yang tidak ideal itulah, Rendra menegaskan bahwa kesenian bukanlah barang “eksklusif dan mewah” yang harus terlepas dan jauh dari pergumulan sosial dan kehidupan. Seni bagi Rendra adalah pekerjaan yang menjadi panggilan hidup sehari-hari seperti belajar, menulis, bekerja di sawah, berdagang, mengolah ladang dan sebagainya. Karenanya seni haruslah sangat berkaitan dan saling berhubungan dengan sektor-sektor kehidupan lain,termasuk politik. Seni bagi Rendra harus turut andil melahirkan perubahan dalam masyarakat terhadap segala tatanan yang tidak ideal.

Namun, Rendra menolak segala perubahan yang penuh anarkhis dan revolusioner. Apa yang dikehendaki Rendra adalah perubahan secara gradual dengan tetap mengedepankan akal sehat dan hati nurani. Hal ini terlihat jelas dalam pementasan karyanya, Mastodon dan Burung Kondor. Pentas teater Rendra ini terilhami oleh gerakan revolusi di Amerika Latin. Dalam pentas teater ini dikisahkan bahwa ada sebuah rezim dengan segala aparatus represifnya yang benar-benar menindas rakyat. Rezim penindas inilah yang kemudian menjadi simbol Mastodon. Lahirnya Mastodon kemudian melahirkan banyak Burung Kondor yaitu rakyat kecil, tertindas dan tak berdaya yang menjadi korban kediktatoran dan penindasan si Mastodon.

Dalam kondisi yang penuh represifitas itulah muncul kaum intelektual, para profesor dan mahasiswa yang merancang sebuah gerakan revolusi untuk menumbangkan sistem yang diktator tersebut. Namun sebelum mereka mewujudkan aksi revolusionernya, muncul seorang sastrawan yang memberikan masukan tentang bahaya revolusi. Sang penyair ini berpendapat bahwa perubahan kebudayaan yang ditempuh dengan jalan kekerasan dan revolusioner tidak akan pernah berhasil. Para pejuang revolusi jika berhasil menggulingkan rezim lama lalu meneguhkan dirinya sebagai penguasa baru maka mereka juga cenderung menjadi diktator baru. Rezim yang ditegakkan melalui hasil revolusi dan gerakan anarkhisme, cenderung memaksakan program-programnya atas nama pemerintahan revolusioner. “Yang beda namanya saja,” begitulah kata sang penyair.

Lewat karyanya ini Rendra sebenarnya sangat pro dengan semangat transformasi, perubahan, progresifitas dan dinamika, namun semua ini harus ditempuh dengan cara-cara yang humanis, gradual dan elegan, dengan tetap mengendepankan akal sehat dan mempertimbangkan kebutuhan. Perubahan yang serentak, radikal dan revolusioner bagi Rendra justru hanya menghadirkan persoalan baru yang tingkat negatifitasnya bisa jadi lebih parah dari yang sebelumnya.

Itulah sepercik eksistensialisme Rendra dalam dunia kesenian dan kepenyairan. Akhirnya, Rendra boleh saja telah lama wafat, tetapi semangat dan idealismenya dalam berkesenian itu tidak boleh padam. Problematika sosial, ketidakadilan dan ketimpangan struktural masih terus berlangsung hingga detik ini. Di sinilah diperlukan sebuah seni “yang membebaskan” bagi seluruh elemen masyarakat dari berbagai kungkungan struktur yang menindas. Ketidakadilan dan ketimpangan sosial inilah yang selalu digugat dan disoal oleh Rendra, sebagaimana dalam sajaknya yang berjudul Sajak Sebotol Bir:“Hiburan kota besar dalam semalam//,sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa//,peradaban apakah yang kita pertahankan?”

*) Muhammad Muhibbuddin adalah penulis lepas, tinggal di Krapyak, Yogyakarta.
http://www.bilikkata.com/2019/11/07/eksistensialisme-kepenyairan-rendra/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons