(Tulisan tangan Orhan Pamuk sebelum diketik ulang menjadi novel Museum of Innocence. Jawa Pos)
Candra Kurnia *
Anting Fusun yang Hilang pun Ada di Sini.
Karakter yang terlibat dalam novel dihidupkan dalam museum lewat barang sehari-hari. Mulai puntung rokok, SIM, hingga botol soda. Semua barang itu dikumpulkan dari pasar loak dan sumbangan keluarga serta donatur.
***
ANDAI Fusun benar pernah ada, dia pasti terharu saat melihat cara Kemal Basmaci mengabadikan satu babak tak tergantikan dalam perjalanan cinta keduanya. Sebuah museum didirikan demi menyimpan kenangan apa pun yang pernah menghiasi kisah kasih sepanjang sembilan tahun itu.
Museum of Innocence (MoI) berdiri kukuh di ujung blok permukiman syahdu di kawasan Cukurcuma Cadessi, Beyoglu, Istanbul, Turki. Jalanan paving sepanjang gang menuju rumah kuno dari abad ke-19 itu terbilang sempit. Hanya cukup untuk papasan dua mobil.
Dari kejauhan, museum yang resmi dibuka sejak 2012 itu terlihat mencolok. Sebab, dindingnya dilabur warna merah hati.
Kaan menyapa dari balik jendela berterali yang difungsikan untuk ruang penjualan tiket museum yang didirikan penulis ternama Turki Orhan Pamuk itu. “Wah, jauh sekali,” sambutnya setelah Jawa Pos mengatakan datang langsung dari Indonesia.
Museum sedang sepi. Hanya Jawa Pos yang datang pada Selasa pagi lalu itu (29/5). Di dalamnya, juga hanya ada dua pekerja. Kaan salah satunya. Seorang lainnya pria paro baya yang duduk di samping Kaan.
Dia bertugas mengawasi layar monitor yang tersambung dengan CCTV di setiap sisi lantai meseum. “Boleh foto, tapi jangan pakai flash, ya!” pesan dia.
Aturan itu memang lazim diberlakukan di banyak museum di dunia. Demi merawat koleksi agar tidak rusak.
MoI yang dirilis pada 2008, dua tahun setelah Pamuk dianugerahi Nobel Sastra, bercerita tentang cinta, kejujuran, kemunafikan, dan kehilangan yang mendalam. Tersebutlah Kemal yang mengenal Fusun saat sudah bertunangan dengan Sibel.
Di saat rasa cintanya kian mendalam kepada Fusun, Kemal terus berusaha membohongi diri sendiri bahwa pernikahannya dengan Sibel dan hubungan gelapnya dengan Fusun akan bisa berjalan beriringan. Sebuah upaya yang terbukti gagal. Yang berbuntut kerinduan panjang Kemal terhadap Fusun ketika si gadis penjaga toko itu menghilang.
Saat mereka kembali bertemu, Fusun telah menikah. Dia bersedia menemui Kemal, tapi memperkenalkannya kepada sang suami sebagai saudara jauh.
Selama sembilan tahun, si “saudara jauh” itu merawat cintanya kepada Fusun dengan terus berkunjung ke rumah yang ditempati Fusun bersama suami. Tiap kali pulang dari rumah itu pula, dia membawa barang demi barang yang terkait dengan Fusun. Yang kelak, ketika keduanya berpisah lagi, setelah sempat bertemu dan bercinta dengan hangat, barang-barang itulah yang menjadi pengisi rumah Fusun yang diubah Kemal menjadi museum.
Washington Post memuji novel itu sebagai kisah manusia yang sangat manusiawi. “Lewat buku ini, bisa dibilang Pamuk seperti meletakkan cinta di tangan kita,” tulis koran terkemuka Amerika Serikat itu.
Dan, cinta itulah yang diembuskan Pamuk ke dalam museum. Fusun “dihidupkan” di sini. Barang sehari-hari yang kadang terlihat sepele, tapi sejatinya mengandung cerita.
Pamuk, saat pembukaan museum, sebagaimana dikutip Reuters, menyebutnya sebagai museum yang melambangkan kehidupan sehari-hari di Istanbul.
Keseharian itu sudah langsung tertangkap mata begitu masuk. Ada koleksi ribuan puntung rokok. Diletakkan dalam display kaca berukuran 9 meter persegi.
Jumlah pastinya adalah 4.213 batang. Satu per satu puntung ditusuk dengan jarum. Lalu ditanamkan ke dalam tembok.
Puntung rokok tersebut ditata berbaris sesuai tahun. Mulai 1976 hingga 1984. Ada catatan pengingat di mana dan kapan rokok itu diisap. Bahkan, di ujung beberapa puntung masih tertinggal bekas lipstik.
Semua puntung rokok tersebut diyakini pernah tersentuh bibir Fusun. Kemal yang begitu terobsesi dengan Fusun menyimpan semuanya.
Di tembok samping dekat lemari kaca tersebut, tertanam sembilan monitor mini yang menampilkan video yang menggambarkan jari-jari Fusun -tanpa wajah- sedang mengapit rokok-rokok tersebut.
Itu baru di lantai dasar. Total, ada lima lantai di museum tersebut. Naik ke lantai 1, siapa saja akan bersirobok dengan semua koleksi yang punya kaitan dengan kisah novel The Museum of Innocence dari bab 1-51.
Pada display nomor 1 yang berjudul The Happiest Moment of My Life tersebut, kembali lagi pembaca diingatkan pada kisah ketika Kemal dan Fusun kali pertama memadu kasih. Di rumah yang kemudian dijadikan museum tersebut.
Saat keduanya sedang bercumbu, salah satu anting yang dipakai Fusun terlepas, terlempar ke udara, kemudian jatuh ke lantai. Dikisahkan, anting berbentuk kupu-kupu tersebut hilang.
Di MoI, sebelah anting Fusun itu disimpan dengan rapi di lemari kaca. Berlatar belakang kain kelambu putih. Seakan menutupi adegan dalam novel tersebut.
Ada pula koleksi berupa surat izin mengemudi (SIM) milik Fusun. Tercantum nama lengkap pemilik dengan tulisan tangan bertinta biru, Fusun Masume Keskin. Nama ayah, Tarik. Nama ibu, Nesibe. Dia lahir pada 12 April 1957 di Istanbul.
Alamatnya, Dalgic, Cikmazi No 2 Cukurkuma Caddesi, Beyoglu, Istanbul. Tepat seperti alamat museum tersebut. Sebenarnya terpampang juga foto Fusun di sana. Tapi, wajahnya kabur, tak terlihat.
Di sisi lain, ada sebuah botol tergantung di dalam lemari kaca. Ada narasi jelas di sebelahnya. “Ini adalah botol soda yang diminum Fusun saat nonton di sebuah bioskop ruangan terbuka di Istanbul pada 1976. Botol ini berdiri di samping meja dekat tempat tidur Kemal sampai berhari-hari berikutnya.”
MoI, sebagaimana umumnya dalam karya-karya Pamuk, juga berisi eksplorasi mendalam tentang dunia Barat dan Timur yang bertemu di Istanbul. Modernitasnya, kekayaan sejarahnya.
Semua barang di museum itu dikumpulkan Pamuk dari Pasar Loak Cukurcuma, Istanbul. Juga dari sumbangan keluarga dan donor.
Naik ke lantai 3 museum, novel MoI dalam berbagai bahasa langsung menyambut. Ada empat yang dipajang. Yakni, bahasa Italia, Inggris, Spanyol, dan Prancis. Selain itu, semua benda yang dikisahkan dalam bab 52-79 ada di sana.
Adapun lantai paling atas berupa ruangan yang ditata seperti kamar Kemal di dalam novel. Ada satu ranjang tempat baju tidur Kemal masih tersampir.
Pada salah satu dindingnya tertulis sebuah keterangan. “Antara 2000-2007 Kemal Basmaci tinggal di kamar ini, di mana Orhan Pamuk duduk dan mendengarkan kisahnya. Kemal Basmaci meninggal pada 12 April 2007.”
Pada ruangan itu pula cerita di balik layar penulisan novel MoI terungkap. Ratusan manuskrip cerita yang ditulis tangan oleh Pamuk dipajang. Pada beberapa artikel yang beredar di dunia daring menyebut MoI ditulis setelah Pamuk menerima Nobel Sastra pada 2006. Sejatinya informasi tersebut tak sepenuhnya benar. MoI ditulis jauh sebelum itu.
Pamuk menghabiskan dana USD 1,5 juta untuk membangun museum tersebut. Termasuk membeli rumah yang kini digunakan untuk menyimpan barang-barang Fusun. Sebagian dananya didapatkan dari hadiah ketika menerima Nobel Sastra pada 2006.
Inspirasinya datang setelah Pamuk mengunjungi ratusan museum di seluruh penjuru dunia. Salah satu yang paling menginspirasinya adalah Bagatti Valsecchi Museum di Milan, Italia. Jika biasanya kisah novel roman difilmkan, Pamuk mewujudkannya dengan museum.
*) Candra Kurnia, Istanbul / Editor : Ilham Safutra
https://www.jawapos.com/features/05/06/2018/menghayati-museum-yang-dilahirkan-dari-novel-orhan-pamuk/
the spaces of world figures, literature studies, new school of thought in the world of literature (art, letters, etc.)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.C. Andre Tanama
Aang Fatihul Islam
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Adam Roberts
Adelbert von Chamisso
Adreas Anggit W.
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus R. Sarjono
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Albert Camus
Albrecht Goes
Alexander Pushkin
Alit S. Rini
Amien Kamil
Amy Lowell
Andra Nur Oktaviani
André Chénier
Andy Warhol
Angela
Angela Dewi
Angrok
Anindita S. Thayf
Anton Bruckner
Anton Kurnia
Anwar Holid
Arif Saifudin Yudistira
Arthur Rimbaud
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asep Sambodja
Awalludin GD Mualif
Axel Grube
Bambang Kariyawan Ys
Basoeki Abdullah
Beethoven
Ben Okri
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Berto Tukan
BI Purwantari
Birgit Lattenkamp
Blaise Cendrars
Book Cover
Brunel University London
Budi Darma
Buku Kritik Sastra
C.C. Berg
Candra Kurnia
Cecep Syamsul Hari
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Charles Baudelaire
Claude Debussy
Cristina Lambert
D. Zawawi Imron
Damhuri Muhammad
Dana Gioia
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darwin
Dea Anugrah
Denny Mizhar
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dwi Cipta
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Edgar Allan Poe
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Emha Ainun Nadjib
Emily Dickinson
Enda Menzies
Endorsement
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Essay
Evan Ys
Fahmi Faqih
Fatah Anshori
Fazabinal Alim
Feby Indirani
François Villon
François-Marie Arouet (Voltaire)
Frankfurt Book Fair 2015
Franz Kafka
Franz Schubert
Franz Wisner
Frederick Delius
Friedrich Nietzsche
Friedrich Schiller
Fritz Senn
FX Rudy Gunawan
G. J. Resink
Gabriel García Márquez
Gabriela Mistral
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Goethe
Hamid Dabashi
Hardi Hamzah
Hasan Junus
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier
Henry Lawson
Hera Khaerani
Hermann Hesse
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ignas Kleden
Igor Stravinsky
Imam Nawawi
Indra Tjahyadi
Inspiring Writer
Interview
Iskandar Noe
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rumi
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jiero Cafe
Johann Sebastian Bach
Johannes Brahms
John H. McGlynn
John Keats
José de Espronceda
Jostein Gaarder
Kamran Dikarma
Katrin Bandel
Khalil Gibran (1883-1931)
Koesoema Affandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Koskow
Kulya in the Niche of Philosophjy
Laksmi Pamuntjak
Laksmi Shitaresmi
Lathifa Akmaliyah
Laurencius Simanjuntak
Leila S Chudori
Leo Tolstoy
Lontar Foundation
Lorca
Lord Byron
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lutfi Mardiansyah
Luthfi Assyaukanie
M. Yoesoef
M.S. Arifin
Mahmoud Darwish
Mahmud Ali Jauhari
Mahmudi
Maman S. Mahayana
Marco Polo
Martin Aleida
Mathori A Elwa
Max Dauthendey
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Michael Kumpfmüller
Michelangelo
Milan Djordjevic
Minamoto Yorimasa
Modest Petrovich Mussorgsky
Mozart
Mpu Gandring
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mulla Shadra
Nenden Lilis A
Nikmah Sarjono
Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Notes
Novel Pekik
Nunung Deni Puspitasari
Nurel Javissyarqi
Octavio Paz
Orasi Budaya
Orhan Pamuk
Pablo Neruda
Panos Ioannides
Patricia Pawestri
Paul Valéry
Paul van Ostaijen
PDS H.B. Jassin
Penerbit SastraSewu
Percy Bysshe Shelley
Pierre de Ronsard
Poems
Poetry
Pramoedya Ananta Toer
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Setia
Pyotr Ilyich Tchaikovsky
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Radhar Panca Dahana
Rainer Maria Rilke
Rakai Lukman
Rama Dira J
Rambuana
Read Ravel
Rengga AP
Resensi
reviewer
RF. Dhonna
Richard Strauss
Richard Wagner
Ridha al Qadri
Robert Desnos
Robert Marcuse
Ronny Agustinus
Rosalía de Castro
Ruth Martin
S. Gunawan
Sabine Müller
Samsul Anam
Santa Teresa
Sapardi Djoko Damono
Sara Teasdale
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Schreibinsel
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Short Story
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Solo Exhibition Rengga AP
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Stefan Zweig
Stefanus P. Elu
Subagio Sastrowardoyo
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
T.S. Eliot
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Thales
The World Readers Award
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
To Take Delight
Toeti Heraty
Tunggul Ametung
Ulysses
Umar Junus
Unknown Poet From Yugoslavia
Usman Arrumy
Utami Widowati
Vladimir Nabokov
W.S. Rendra
Walter Savage Landor (1775-1864)
Watercolour Paint
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Welly Kuswanto
Wildani Hefni
William Blake
William Butler Yeats
Wizna Hidayati Umam
World Letters
X.J. Kennedy
Yasraf Amir Piliang
Yasunari Kawabata
Yogas Ardiansyah
Yona Primadesi
Yuja Wang
Yukio Mishima
Z. Afif
Zadie Smith
Zeynita Gibbons
Tidak ada komentar:
Posting Komentar