Kamis, 16 April 2020

Menghayati Museum yang Dilahirkan dari Novel Orhan Pamuk

(Tulisan tangan Orhan Pamuk sebelum diketik ulang menjadi novel Museum of Innocence. Jawa Pos)
Candra Kurnia *

Anting Fusun yang Hilang pun Ada di Sini.
Karakter yang terlibat dalam novel dihidupkan dalam museum lewat barang sehari-hari. Mulai puntung rokok, SIM, hingga botol soda. Semua barang itu dikumpulkan dari pasar loak dan sumbangan keluarga serta donatur.
***

ANDAI Fusun benar pernah ada, dia pasti terharu saat melihat cara Kemal Basmaci mengabadikan satu babak tak tergantikan dalam perjalanan cinta keduanya. Sebuah museum didirikan demi menyimpan kenangan apa pun yang pernah menghiasi kisah kasih sepanjang sembilan tahun itu.

Museum of Innocence (MoI) berdiri kukuh di ujung blok permukiman syahdu di kawasan Cukurcuma Cadessi, Beyoglu, Istanbul, Turki. Jalanan paving sepanjang gang menuju rumah kuno dari abad ke-19 itu terbilang sempit. Hanya cukup untuk papasan dua mobil.

Dari kejauhan, museum yang resmi dibuka sejak 2012 itu terlihat mencolok. Sebab, dindingnya dilabur warna merah hati.

Kaan menyapa dari balik jendela berterali yang difungsikan untuk ruang penjualan tiket museum yang didirikan penulis ternama Turki Orhan Pamuk itu. “Wah, jauh sekali,” sambutnya setelah Jawa Pos mengatakan datang langsung dari Indonesia.

Museum sedang sepi. Hanya Jawa Pos yang datang pada Selasa pagi lalu itu (29/5). Di dalamnya, juga hanya ada dua pekerja. Kaan salah satunya. Seorang lainnya pria paro baya yang duduk di samping Kaan.

Dia bertugas mengawasi layar monitor yang tersambung dengan CCTV di setiap sisi lantai meseum. “Boleh foto, tapi jangan pakai flash, ya!” pesan dia.

Aturan itu memang lazim diberlakukan di banyak museum di dunia. Demi merawat koleksi agar tidak rusak.

MoI yang dirilis pada 2008, dua tahun setelah Pamuk dianugerahi Nobel Sastra, bercerita tentang cinta, kejujuran, kemunafikan, dan kehilangan yang mendalam. Tersebutlah Kemal yang mengenal Fusun saat sudah bertunangan dengan Sibel.

Di saat rasa cintanya kian mendalam kepada Fusun, Kemal terus berusaha membohongi diri sendiri bahwa pernikahannya dengan Sibel dan hubungan gelapnya dengan Fusun akan bisa berjalan beriringan. Sebuah upaya yang terbukti gagal. Yang berbuntut kerinduan panjang Kemal terhadap Fusun ketika si gadis penjaga toko itu menghilang.

Saat mereka kembali bertemu, Fusun telah menikah. Dia bersedia menemui Kemal, tapi memperkenalkannya kepada sang suami sebagai saudara jauh.

Selama sembilan tahun, si “saudara jauh” itu merawat cintanya kepada Fusun dengan terus berkunjung ke rumah yang ditempati Fusun bersama suami. Tiap kali pulang dari rumah itu pula, dia membawa barang demi barang yang terkait dengan Fusun. Yang kelak, ketika keduanya berpisah lagi, setelah sempat bertemu dan bercinta dengan hangat, barang-barang itulah yang menjadi pengisi rumah Fusun yang diubah Kemal menjadi museum.

Washington Post memuji novel itu sebagai kisah manusia yang sangat manusiawi. “Lewat buku ini, bisa dibilang Pamuk seperti meletakkan cinta di tangan kita,” tulis koran terkemuka Amerika Serikat itu.

Dan, cinta itulah yang diembuskan Pamuk ke dalam museum. Fusun “dihidupkan” di sini. Barang sehari-hari yang kadang terlihat sepele, tapi sejatinya mengandung cerita.

Pamuk, saat pembukaan museum, sebagaimana dikutip Reuters, menyebutnya sebagai museum yang melambangkan kehidupan sehari-hari di Istanbul.

Keseharian itu sudah langsung tertangkap mata begitu masuk. Ada koleksi ribuan puntung rokok. Diletakkan dalam display kaca berukuran 9 meter persegi.

Jumlah pastinya adalah 4.213 batang. Satu per satu puntung ditusuk dengan jarum. Lalu ditanamkan ke dalam tembok.

Puntung rokok tersebut ditata berbaris sesuai tahun. Mulai 1976 hingga 1984. Ada catatan pengingat di mana dan kapan rokok itu diisap. Bahkan, di ujung beberapa puntung masih tertinggal bekas lipstik.

Semua puntung rokok tersebut diyakini pernah tersentuh bibir Fusun. Kemal yang begitu terobsesi dengan Fusun menyimpan semuanya.

Di tembok samping dekat lemari kaca tersebut, tertanam sembilan monitor mini yang menampilkan video yang menggambarkan jari-jari Fusun -tanpa wajah- sedang mengapit rokok-rokok tersebut.

Itu baru di lantai dasar. Total, ada lima lantai di museum tersebut. Naik ke lantai 1, siapa saja akan bersirobok dengan semua koleksi yang punya kaitan dengan kisah novel The Museum of Innocence dari bab 1-51.

Pada display nomor 1 yang berjudul The Happiest Moment of My Life tersebut, kembali lagi pembaca diingatkan pada kisah ketika Kemal dan Fusun kali pertama memadu kasih. Di rumah yang kemudian dijadikan museum tersebut.

Saat keduanya sedang bercumbu, salah satu anting yang dipakai Fusun terlepas, terlempar ke udara, kemudian jatuh ke lantai. Dikisahkan, anting berbentuk kupu-kupu tersebut hilang.

Di MoI, sebelah anting Fusun itu disimpan dengan rapi di lemari kaca. Berlatar belakang kain kelambu putih. Seakan menutupi adegan dalam novel tersebut.

Ada pula koleksi berupa surat izin mengemudi (SIM) milik Fusun. Tercantum nama lengkap pemilik dengan tulisan tangan bertinta biru, Fusun Masume Keskin. Nama ayah, Tarik. Nama ibu, Nesibe. Dia lahir pada 12 April 1957 di Istanbul.

Alamatnya, Dalgic, Cikmazi No 2 Cukurkuma Caddesi, Beyoglu, Istanbul. Tepat seperti alamat museum tersebut. Sebenarnya terpampang juga foto Fusun di sana. Tapi, wajahnya kabur, tak terlihat.

Di sisi lain, ada sebuah botol tergantung di dalam lemari kaca. Ada narasi jelas di sebelahnya. “Ini adalah botol soda yang diminum Fusun saat nonton di sebuah bioskop ruangan terbuka di Istanbul pada 1976. Botol ini berdiri di samping meja dekat tempat tidur Kemal sampai berhari-hari berikutnya.”

MoI, sebagaimana umumnya dalam karya-karya Pamuk, juga berisi eksplorasi mendalam tentang dunia Barat dan Timur yang bertemu di Istanbul. Modernitasnya, kekayaan sejarahnya.

Semua barang di museum itu dikumpulkan Pamuk dari Pasar Loak Cukurcuma, Istanbul. Juga dari sumbangan keluarga dan donor.

Naik ke lantai 3 museum, novel MoI dalam berbagai bahasa langsung menyambut. Ada empat yang dipajang. Yakni, bahasa Italia, Inggris, Spanyol, dan Prancis. Selain itu, semua benda yang dikisahkan dalam bab 52-79 ada di sana.

Adapun lantai paling atas berupa ruangan yang ditata seperti kamar Kemal di dalam novel. Ada satu ranjang tempat baju tidur Kemal masih tersampir.

Pada salah satu dindingnya tertulis sebuah keterangan. “Antara 2000-2007 Kemal Basmaci tinggal di kamar ini, di mana Orhan Pamuk duduk dan mendengarkan kisahnya. Kemal Basmaci meninggal pada 12 April 2007.”

Pada ruangan itu pula cerita di balik layar penulisan novel MoI terungkap. Ratusan manuskrip cerita yang ditulis tangan oleh Pamuk dipajang. Pada beberapa artikel yang beredar di dunia daring menyebut MoI ditulis setelah Pamuk menerima Nobel Sastra pada 2006. Sejatinya informasi tersebut tak sepenuhnya benar. MoI ditulis jauh sebelum itu.

Pamuk menghabiskan dana USD 1,5 juta untuk membangun museum tersebut. Termasuk membeli rumah yang kini digunakan untuk menyimpan barang-barang Fusun. Sebagian dananya didapatkan dari hadiah ketika menerima Nobel Sastra pada 2006.

Inspirasinya datang setelah Pamuk mengunjungi ratusan museum di seluruh penjuru dunia. Salah satu yang paling menginspirasinya adalah Bagatti Valsecchi Museum di Milan, Italia. Jika biasanya kisah novel roman difilmkan, Pamuk mewujudkannya dengan museum.

*) Candra Kurnia, Istanbul / Editor : Ilham Safutra
https://www.jawapos.com/features/05/06/2018/menghayati-museum-yang-dilahirkan-dari-novel-orhan-pamuk/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons