Koskow alias FX Widyatmoko,
dilahirkan di Semarang 10 Juli 1975. Pendidikan dari TK hingga SMA di tanah
kelahirannya. Sedang pendidikan formal desain di Bandung, dan sejak tahun 2005
mengajar di Program Studi Desain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia
(ISI) Yogyakarta.
Buku yang
diterbitkan (antara lain): “Merupa Buku” (LKiS, 2009), “sepi yang paling indah
– membayangkan desain(er)” (Tan Kinira), “Sudut-Sudut Hati” (fiksi, Sastra
Sewu), “Bercocok Tanam – Nirmana Tipografi Desain” (Penerbit Gelombang, 2018),
dan buku ajar “Nirmana Tipografi Desain – Wawasan Dasar” (Badan Penerbitan ISI
Yogyakarta, 2019). Pustaka kumpulan tulisan bersama (antara lain) buku:
“Aksara-Aksara Nusantara” (Zat Publishing), jurnal “Antologi Desain Grafis
Indonesia” (DGI Press), dan zine “Jauh-Dekat” Vol. 01 (Gen Druwo Press,
Yogyakarta, 2017).
Bersama rekan-rekannya
di Yogyakarta, menekuni perbukuan (Bundakata – Buku Gotong Royong, Andong Buku,
Jadi Buku), grafis cetak bermetode dekat-ramah (tindes art & friends), dan
bermusik pada kelompok musik MAMAHIMA. Pernah menjadi kontributor penulis
majalah perbukuan MATABACA. Lokakarya perbukuan yang pernah digelar yaitu tata
letak isi buku dan pers kampus. Diskusi / sharing perbukuan yang pernah digelar
tentang buku visual (visual book). Gelaran yang diikuti dalam setahun terakhir
adalah, Semarang Literary Triennale (Juli, 2019), dan Bandung Reader Festival
(September, 2019). Tinggal di Bantul, D.I. Yogyakarta. Email:
koskowbuku@gmail.com Blog: koskowbuku.wordpress.com Berikut ini wawancara bersama
Koskow mengenai proses kreatif yang diambil dari Grup Facebook Apresiasi Sastra
(Apsas) Indonesia.
***
Cak Bono:
“Apa yang pertama
kali jadi pijakan atau yang utama, ketika menentukan Desain Cover dengan isi
buku?”
Koskow:
“Mulai dari mana
untuk mendesain sampul sebuah buku? Mendesain sampul sebuah buku bisa dimulai
dari tujuan awal yang telah dirembug-tetapkan, baik oleh penerbit, penulis, serta
desainer. Tiap penerbit memiliki gaya desain (house style) masing-masing, baik
untuk sampul maupun isi (seperti halnya selingkung). Meski demikian tujuan awal
yang sudah dirembug-tetapkan tersebut, terlebih dahulu dengan memahami siapa
pembaca buku tersebut. Pula menempatkan buku dalam kode tertentu. Satu hal yang
perlu disadari oleh semua pihak, bahwa desain sampul bukan satu-satunya, atau
yang paling berat memikul beban agar buku terjual!”
“Kembali ke kode.
Saya gunakan istilah kode dan bukan genre. Berikut penjelasannya. Jika nama
seorang penulis telah dikenal, nama tersebut bisa menjadi daya tarik pada
sampul. Ini tidak berarti kemudian tak diperlukan gambar atau ilustrasi. Ini
hanya, sekali lagi, soal kecepatan untuk dikenali oleh calon pembeli-pembaca.
Beberapa penulis yang sudah dikenal (terutama buku-buku seri terbitannya)
memiliki signature nama bagi yang bersangkutan, atau signature nama tokoh seri
buku, misalkan novel Agatha Christi, atau seri buku Harry Potter, atau
belakangan buku-buku Emha Ainun Nadjib, Sujiwo Tedjo, Andrea Hirata, dan
Dee-Dewi Lestari terbitan Bentang Budaya, serta era 80-90an seri Lupus, serta
buku-buku Pramoedya Ananta Toer terbitan ulang Hasta Mitra. Intinya, nama
sebagai kode (bukan genre). Di rak lain, buku-buku biografi, juga beberapa
buku-buku menejemen, kadang menyertakan nama dan foto penulis.”
“Signature juga
bisa diterapkan pada genre, misalkan genre sastra klasik seperti terbitan
Gramedia. Atau terbitan ulang sastra lama oleh Balai Pustaka dengan strategi
perwajahan baru. Awal 2000an desain sampul buku di Tanah Air juga diwarnai oleh
para penulis perempuan, dan ada pula genre yang lebih populer seperti teenlit,
chicklit dengan gaya desain sampul dan ilustrasinya yang dekoratif. Belakangan,
desain buku menerapkan gaya, yang dalam sejarah desain grafis dikenal dengan
Art Nouveau. Gaya ini kerap menerapkan unsur alam terutama tumbuhan. Pendapat
saya, yaitu dengan menerapkan unsur alam maka ia mudah dipahami hampir oleh
berbagai orang di penjuru dunia (dengan mengandaikan pohon itu serupa, akar,
batang, daun, dsb, kecuali pohon endemik yang khas hanya terdapat di daerah
tertentu). Cara ini bisa diterapkan di ajang buku internasional, dengan tujuan
agar desain cukup mudah dikenali. Sebaliknya, memilih cara yang berbeda (yang
kultural) pun juga sebuah pilihan, dengan dampak desain perlu dikenali
(misalkan, menerapkan gaya tradisi / kelokalan).”
“Jika penekanan
signature nama pada kode desain sampul buku di atas sebagai satu cara
komunikasi yang cepat dikenali, signature pada genre lebih pada gaya desain
yang berlaku umum saat itu. Misalkan, desain sampul ilustrastif seri teenlit
dan chicklit analog dengan gaya ilustrasi pada majalah populer. Semacam
episteme dalam terapan gaya desain seturut jamannya.”
“Hal yang menarik
(dan penting) dalam desain sampul buku yaitu beberapa penulis, penerbit, dan
desainer tidak ambil pusing dengan trend, kode, genre, dsb. Ada dari sekian
yang memilih untuk menggagas sisi lain, misalkan menerapkan wacana desain yang
ramah lingkungan dengan menggunakan kertas bekas untuk material sampul, atau
teknik manual seperti stempel, penempelan kertas etiket untuk judul buku, dsb.
Ini juga sama pentingnya dengan nalar desain seperti yang telah dituliskan di
awal. Soal resiko yang akan didapati tentulah perlu dipertimbangkan, misalkan
daya serap buku dan kuantitas terbitannya. Setidaknya, bagi saya, menerbitkan
dan mendesain (sampul) buku itu memerjuangkan sesuatu, terutama sesuatu yang
lebih besar dan mendasar. Dalam hal inilah isi kepala dan hati penerbit,
penulis, desainer, bahkan pembaca belum tentu sependapat-bersepakat.”
“Maka, mengawali
pertanyaan Cak Bono, bukan lagi apa yang paling mendasar dalam kerja mendesain
sampul buku, bagaimana memulainya, namun apa yang perlu dikerjakan untuk lebih
mengapresiasi perbukuan, terutama dalam desain. Jawabannya bisa beragam,
seperti pameran desain buku, lomba desain buku, desain buku dan wacana desain,
serta keberanian melaut di arus atau wacana desain yang tidak harus sama dengan
arus desain yang boleh jadi kuat disetir oleh satu-dua-tiga penerbit
mainstream.”
“Penerbit
mainstream di sini bukan selalu yang bermodal besar dalam hal finansial, namun
juga yang memengaruhi opini publik dengan berbagai kekuatan modal sosialnya.
Ini harus fair, bahwa menjadi sejahtera di perbukuan juga sebuah capaian, namun
satu hal yang jangan sampai terjadi yaitu, karena menempati peran sosial yang
cukup besar seseorang atau segelintir orang bisa dengan mudah menilai secara
tidak etis perihal desain sebuah buku, pula sebaliknya, sentimen si kecil / pemula
pada si besar / pemain lama juga bisa sama-sama saling menghancurkan satu sama
lain.”
***
“Itu saja dulu Cak Bono.
Saya sampaikan pendapat saya lagi: ...bagi saya, menerbitkan dan mendesain
(sampul) buku itu memerjuangkan sesuatu, terutama sesuatu yang lebih besar dan
mendasar. Dalam hal inilah isi kepala dan hati penerbit, penulis, desainer,
bahkan pembaca belum tentu sependapat-bersepakat. Dengan kata lain, mendesain
sampul buku dimulai dari dialog inklusif satu sama lain, termasuk dengan bumi
yang kita huni bersama. Terima kasih pertanyaannya, semoga bisa / cukup
menjawab.”
“Nah, soal cover
dengan isi buku akan saya jawab setelah ini (saya susun dulu).”
Cak Bono:
“Wah, saya
mendapatkan perspektif yang melimpah ruah, informatif, bahkan dengan dimensi
filosofis pula. Sangat-sangat mencerahkan.”
Koskow:
“Tentang hubungan
sampul dengan isi sedang saya susun, serta saya cari gambar pendukungnya.
Jawaban di atas sebagai gambaran atau konteks desain buku terutama desain
sampul. Konteks ini perlu juga, sbg katakanlah situasi jaman penerbitan / perbukuan.”
Cak Bono:
“Mantap!”
Koskow:
“Hubungan desain
sampul dengan isi bisa diibaratkan seperti halnya arsitektur dengan desain
interior. Arsitektur member wajah lanskap luar, dan interior mengelola ruang
dalam. Ada penerbit yang menerapkan terpisah antara desainer sampul dengan
desainer isi. Ada pula penerbit, atau beberapa buku yang keduanya dikerjakan
oleh orang yang sama, pula ada kalanya dikerjakan secara teamwork seperti
desain buku Ria SW Off The Record. Desain buku ini unik dan (istilah Jawanya)
njamani, yaitu dengan menghembuskan nuansa sosial media dan gaya Korea. Saya
rasa soal gaya Korea tidak semua desainer mampu mengerjakan karena soal gaya
itu dihayati, tidak sebatas diketahui. Saya belum tentu mampu mengerjakan
desain buku yang demikian jika sendirian, namun dengan kerja tim itu
dimungkinkan (mencari rekan yang paham, mampu, dan menghayati betul dengan gaya
Korea).”
Koskow:
“Selama ini umum
berjalan secara terpisah antara desain sampul dengan isi, apalagi dalam kerja
freelance. Ini tidak jadi kendala selama komunikasi antara penerbit dengan para
desainer (sampul dan isi) komunikatif dan paham batas-batas selera pribadi
(meski tidak mudah bagi desainer yang memapankan selera dirinya, toh ini pun
dalam hal tertentu merupakan sebuah pencapaian, istilahnya the style is the
man, kuat signature dirinya).”
“Belakangan mulai
muncul istilah desain buku, bukan desain isi maupun desain sampul. Artinya,
desainer tersebut mengerjakan keseluruhan desain buku, meski ilustrasi untuk
sampul maupun isi bisa dikerjakan orang lain. Hal ini menggambarkan bahwa
desain buku tidak sebatas soal pilihan gaya gambar, atau gaya desain sampul,
tapi gaya desain buku secara keseluruhan termasuk jenis dan ukuran huruf,
penataan / tata letak (organisasi ruang kosong), hingga material dan finishing
buku (jika cetak), misalkan buku-buku Tan Kinira dengan Gamaliel W. Budiharga
sebagai desainernya. Muncul pula istilah konseptor buku, misalkan buku-buku
terbitan Nyala dengan Topan Akbar sebagai konseptor buku, meski dirinya belum
tentu mendesain sampul maupun isi. Sebagai catatan, saya pernah terlibat / dilibatkan
dengan keduanya, Gamaliel maupun Topan Akbar.”
“Pendapat saya
tentang titik pijak desain sampul dan hubungannya dengan isi buku yaitu dalam
hal dunia seperti apa yang mau dibangun. Dunia ini disusun lewat berbagai unsur
visual seperti ukuran (bidang), warna, jenis / gaya huruf, tata letak, gaya
ilustrasi, dan gaya desain. Dunia seperti apa yang hendak dibayangkan ini
merupakan sebuah kesatuan (prinsip unity), atau bisa pula sebuah dunia
kekontrasan, sehingga antara sampul dengan isi, dan dengan teks isi
menggambarkan konsep dunia yang diimajinasikan sejak awal. Besar kemungkinan
perdebatan seru bakal terjadi antara penulis, penerbit, dan desainer. Cara yang
bisa diajukan dalam perdebatan tersebut, yaitu dengan mangajukan referensi
desain, yang tidak harus berupa desain buku.”
“Maka, idealnya,
desainer penting untuk membaca isi buku. Kalau pun tidak, obrolan tentang dunia
seperti apa yang mau dibangun (cat: gaya desain) perlu digelar bersama antara
penulis, penerbit, dan desainer serta ilustrator.”
“Jadi, pijakan
awalnya, yaitu sesuatu yang akan tercipta secara keseluruhan di akhir nanti:
gambaran sebuah dunia (teks). Terima kasih pertanyaannya, semoga bisa / cukup
menjawab.”
Koskow:
“Foto di atas
merupakan foto salah satu desain buku yg sampul dan isinya memikat saya,
terutama cara menuliskan judul bab dan penerapan ruang kosong dg pilihan huruf
yg serasi.”
Cak Bono:
“Sekali lagi
kupasan yang cukup unik, dan memang dunia desainer menurut saya adalah entitas
tersendiri dengan content visualnya. Sebenarnya, dan harusnya desain buku harus
dihargai secara tersendiri. Karena seringkali justru desain buku membawa dampak
psikologisnya sendiri dalam mendeliver kedalaman content buku. Bahkan bisa
menjadi lead tersendiri bagi persepsi pun visual reception bagi pembaca. Meski
mungkin bisa dikata jarang pembaca membeli dari desainnya, mungkin ada buku
yang justru content narasi tidak dibangun dari kekuatan teks tapi dari kekuatan
desain itu sendiri. Karena Desain buku adalah lead, maka seringkali Desain itu
lebih puitis meringkas kedalaman konten dengan abstraksi yang 'tidak' abstrak.
Rasanya, pencerahan Pak Koskow yang komprehensif ini sepertinya menjadi
renungan, bahwa seorang penulis harusnya- setidaknya sedikit memahami kebutuhan
desain. Terimakasih ilmunya Pak koskow!”
Koskow:
“Siap, terima
kasih, sama-sama, baik lancar bagi semua.”
***
Nurel Javissyarqi:
“Pak, saya coba
bertanya, mungkin pertanyaan ini agak melebar atau dapat dibilang ambyar karena
awam: (1). Apakah warna dasar maupun bentuk dasar dari seni rupa masih menjadi
yang utama, atau jalan awal dalam penilaian suatu karya seni atau jadi
pembimbing kala memasuki abad-abad? (2). Sampean kan juga menyukai musik,
pertanyaannya: Apakah dentingan alat musik maupun nada iramanya, juga pernah
sampean masukkan ke dalam bentuk karya rupa misalkan dalam bentukan komposisi
atau semacamnya? (3). Apakah desain buku, ilustrasi perbukuan di Indonesia
berjalan sendiri dalam mengikuti perkembangannya setelah masa-masa reformasi,
dan atau bagaimana hubungan seni gaya rupa perbukuan tanah air dengan yang ada
di luar negeri? Matur suwon sanget sebelumnya.”
Cak Bono:
“Nah, ini juga
membuat saya sebagai awam juga penasaran. TONE, nada dasar. Sejauh mana dan
bagaimana pertimbangannya, sehingga nada dasar bisa menjadi pondasi antara yang
abstrak (ide) dengan yang konkrit (warna, shape, tata letak, dsb).”
Koskow:
“Pertanyaan Cak Nurel
akan saya jawab dengan menempatkan dalam konteks perbukuan. Pertanyaan tentang
seni rupa sebagai pembimbing memasuki abad, dan pertanyaan sekitar musik yang
masuk ke dalam desain perbukuan.”
“Pertanyaan pertama
saya tempatkan seni rupa serta desain sebagai gaya desain, dan gaya desain itu
menjaman (era modern termasuk yang cukup ramai kemunculan berbagai gaya
desain). Pengaruh tersebut lebih terasa hadir pada media massa seperti poster
cetak dan iklan cetak. Di kancah desain grafis, kedua media tersebut lebih
sering dipamerkan, pun hingga kini. Belakangan, komik turut giat dipamerkan,
dan pada komik bisa dilihat pengaruh gaya gambar dengan tren seperti Manga (dan
Manga tidak sebatas di komik, ia hadir di animasi, merchandise, reka foto
profil, hingga gaya ilustrasi iseng-iseng).”
“Keyword yang bisa
digunakan untuk meneropong seni rupa-desain dan pembimbing memasuki sebuah abad
salah satunya yaitu gaya desain. Tentu ada keyword lain, terutama di seni
murni. Pula di wilayah ilmu sosial juga bekerja hal-hal demikian, misal gaya
komunikasi simbolik, termasuk di dunia teknologi komunikasi (misal, saat ini
gaya berbahasa alay). Jadi, dalam hal gaya dan masa-masa inilah muncul
kebaruan, tanda di wilayah bahasa. Kadang kebaruan tersebut tidak benar secara
kaidah-ketentuan yang dibakukan, namun ia baik karena fungsinya sebagai media
komunikasi sejaman. Mungkin semacam rasa dalam berbahasa.”
“Ilustrasi lain,
latar waktu tren distro, katakanlah gaya desain grafis kaos distro yang umum
mereka-reka huruf hingga sulit dibaca, dengan gaya desain grafis kaos gambar
realis. Mungkin yang distro tidak lebih bagus dari gambar realis, namun lain
hal jika untuk kebutuhan dikenakan saat itu. Saya mau yang ini, keren, demikian
sembari menunjuk yang gambar distro.”
“Tak banyak
pengalaman saya mendesain sampul dan layout buku yang berhubungan dengan musik.
Novel Kidung (karya Anjar, Grasindo), meski tidak secara langsung tentang
musik, namun bernuansa musik. Desain sampulnya saya sertakan partitur.”
“Buku Krontjong
Toegoe, jelas tentang musik, karya Victor Ganap (terbit oleh BP ISI Yogyakarta).
Saya melayout isi buku ini, yang penuh dengan partitur. Ilustrasi dan desain
sampul dikerjakan oleh Mara Widya A, kerap disapa Awa, yang saat itu sedang
menyelesaikan Tugas Akhir di DKV ISI Yogyakarta (tentang Museum Pangeran
Diponegoro, Magelang). Gaya ilustrasi Awa pas untuk gambar sampul buku
Krontjong Toegoe, dan tidak perlu banyak simbol musik, karena buku ini sudah
tentang musik dan kelompok musik. Hal lain yang ditekankan yaitu ketepatan
kostum, alat musik, dan nuansa (warna) yang mau dibangun. Jadi, ini soal
kehadiran musik lewat berbagai unsur visual dan dalam hal tertentu dengan kode
ruang-waktu (sejarah).”
Koskow:
“Pertanyaan
terakhir dari Cak Nurel, yaitu hubungan seni gaya rupa perbukuan tanah air,
bagaimana perkembangannya setelah masa-masa Reformasi, dan bagaimana
hubungannya dengan seni gaya rupa di luar negeri.”
“Ada beberapa buku
yang tidak begitu saja seni gaya rupanya diubah, misalkan buku cerita
bergambar, dan ada jenis buku yang seni gaya rupa bukunya bisa diubah, misalkan
buku-buku terjemahan karya sastra klasik, terutama yang sudah boleh
diterjemahkan dan diterbitkan secara umum. Ada beberapa yang mirip-mirip,
misalkan untuk buku-buku menejemen yang nama pengarangnya tenar / dikenal,
misal buku Black Swan karya Nassim Nicholas Taleb, atau seri buku Malcolm
Gladwell yang mirip-mirip desain versi terjemahannya, bahkan judulnya tetap
bahasa Inggris.”
“Jadi, pertanyaan
Cak Nurel ini sangat besar cakupannya. Paling tidak bisa saya sampaikan lagi
simbol angsa hitam mudah diterima di mana-mana, seperti halnya simbol alam
lainnya (kecuali endemik). Justru era Reformasi, dengan sangat berani dan
yakin, buku-buku terjemahan diberi wajah budaya lokal. Sebaliknya, di era Orde
Baru beberapa buku ekonomi politik memiliki wajah statistik. Saya rasa banyak
kisah yang - meminjam istilah yang saat ini populer berkelindan, atau mengendus
endap. Dan endus endap tersebut berjejaring (sistemik): buku, pendidikan,
kurikulum, undang-undang, kaum intelektual, dsb. Jadi, ini juga pertanyaan
dengan cakupan yang luas.”
“Kira-kira ini yang
bisa saya ajukan untuk menjawab pertanyaan besar dari kaum awam. Tidak mudah
kan bagi saya. Terima kasih pertanyaannya Cak.”
Nurel Javissyarqi:
“Terima kasih pula
Pak, sekali lagi matur suwon sanget...”
Koskow:
“Siap, baik lancar.”
http://sastra-indonesia.com/2020/04/wawancara-proses-kreatif-desain-buku-bersama-koskow/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar