Penulis: Orhan Pamuk
Penerjemah: Rama Dira J
Suara Merdeka, 21 Maret 2010
KAMI berjalan di sepanjang Jalan Valikonagi, menikmati malam musim semi yang sejuk. Pertunangan kami baru saja diresmikan; kami sedang mabuk dan dalam semangat yang tinggi. Kami baru saja ke Fuaye, restoran mewah baru di Nisantasi; saat makan malam bersama orangtuaku, kami membicarakan panjang lebar segala persiapan pesta pertunangan yang dijadwalkan pertengahan Juni.
Dalam perjalanan pulang ke rumah Sibel sore itu, saat lenganku merangkul dengan penuh kasih bahunya yang kokoh, ia tiba-tiba berujar, “Oh, tas yang indah!” Walaupun pikiranku dikaburkan oleh anggur yang memabukkan, aku berusaha mengingat tas tangan dan nama butiknya, dan keesokan harinya aku kembali.
Pemilik butik Sanzelize, Senay Hanim, masih memiliki hubungan kekerabatan dengan ibuku, tapi dia tidak ada ketika aku masuk ke butik sekitar jam dua belas siang. Saat itu hari panas, tapi di dalam toko dingin dan gelap. Mulanya aku berpikir bahwa tidak ada seorang pun di sana sebelum muncul seorang perempuan yang mendadak membuat hatiku terasa naik ke tenggorokan. Aku langsung berujar: “Saya ingin membeli tas tangan di manekin itu.” Aku mencoba berkata, meski terbata-bata.
“Maksud Anda Jenny Colon yang berwarna krem?”
Ketika kami saling tatap, aku segera teringat siapa dia.
“Tas tangan di manekin jendela pajang,” aku mengulangi.
“Oh, baiklah,” katanya dan kemudian berjalan ke jendela. Dengan cepat ia melepas salah satu dari pantofel kuning berhak tinggi miliknya, merentangkan kakinya yang telanjang—yang kukunya tampak dicat merah dengan rapi— ke lantai area pajangan, dan merentangkan lengan ke arah manekin. Mataku mengarah dari sepatu yang dilepasnya sampai ke kaki telanjang yang panjang. Panjang kakinya membuat rok berenda kuningnya tampak lebih pendek. Sambil membawa tas, dia kembali ke meja dan dengan jari-jari yang lentik dan terampil, mengeluarkan gumpalan bola kertas tisu, menunjukkan kepadaku bagian dalam ritsleting saku, dua saku kecil (keduanya kosong), dan juga sebuah kantong rahasia, yang darinya ia mengeluarkan kartu bertuliskan “Jenny Colon,” semua geraknya tampak misterius dalam keseriusan, seolah-olah ia menunjukkan kepadaku sesuatu yang sangat pribadi.
“Halo, Fusun,” kataku. “Kau sudah dewasa! Mungkin kau tidak mengenaliku lagi.”
“Tentu saja, Kemal, aku langsung mengenalimu, tetapi ketika aku mengira kau tidak mengenaliku lagi, kupikir akan lebih baik aku tidak mengganggumu.”
Ada keheningan sekejap. Kecantikannya atau roknya, yang terlalu pendek atau sesuatu yang lain, telah mengguncangku, dan aku tidak dapat bersikap alami.
“Eee…. Berapa harga tas tangan ini?”
Sambil mengerutkan keningnya, ia memerhatikan tempelan tulisan harga di bagian bawah tas: “Seribu lima ratus lira.” Aku mengeluarkan dompet dengan sebuah gerakan yang canggung, aku menghitung sesuai harga. Fusun membungkus tas dengan kertas, dengan hati-hati dan cekatan lantas memasukkannya ke dalam kantong plastik.
Aku membayar sambil berujar, “Tolong beri salamku kepada Bibi Nesibe dan ayahmu,” kataku. Kemudian, untuk sesaat, aku terdiam: rohku meninggalkan tubuhku dan sekarang, di sebuah sudut surga, ia tengah merangkul Fusun dan menciumnya. Aku bergegas menuju pintu. Bel berdenting, dan aku mendengar burung kenari berkicau. Aku keluar ke jalan, senang merasakan kembali hawa panas. Aku senang dengan apa yang kubeli; aku sangat mencintai Sibel. Aku memutuskan untuk segera melupakan toko itu dan Fusun. Namun demikian, saat makan malam kuceritakan kepada ibuku bahwa aku telah bertemu dengan saudara jauh kami, Fusun saat membeli sebuah tas untuk Sibel.
“Oh, ya? Putri Nesibe bekerja di took Senay? Kasihan sekali!” Kata ibuku. “Mereka bahkan tidak mengunjungi kita pada musim liburan lagi. Kontes kecantikan itu telah menempatkan mereka di tempat terendah.”
“Bagaimana tepatnya hubungan kita dengan mereka?”
“Jauh sebelum kakekmu, Kemal Ethem menikah dengan nenek kami dalam perkawinan yang sangat terburu-buru pada usia dua puluh tiga, sebelumnya ia sudah menikah dengan buyutnya Fusun yang berasal dari Bosnia, yang meninggal dalam perang Balkan, selama masa evakuasi dari Edirne. Meskipun wanita yang malang itu tidak memberikan Kemal Ethem anak, dia sudah punya anak perempuan bernama Mihriver hasil perkawinannya dengan seorang syekh miskin, ketika dia masih anak-anak.”
Jadi, Bibi Mihriver (nenek Fusun, yang telah dibesarkan oleh bermacam-macam orang) dan putrinya, Nesibe Hanim (ibu Fusun), tidak secara tegas dinyatakan sebagai saudara, mereka lebih seperti pihak besan, dan meskipun ibuku selalu menekankan ini, dia tetap mengarahkan kami untuk memanggil para wanita dari cabang jauh keluarga dengan sebutan “Bibi.” Selama kunjungan liburan terakhir mereka, ibuku memberikan sambutan yang dingin sehingga menyakitkan perasaan mereka (yang tinggal di jalan belakang Tesvikiye) karena, dua tahun sebelumnya, Bibi Nesibe, tanpa menegur sedikitpun, telah membiarkan putrinya yang berusia enam belas tahun—yang kemudian menjadi siswa di Nisantasi Lyce untuk Perempuan—untuk ikut kontes kecantikan. Ibuku, di kemudian hari mengetahui bahwa Bibi Nesibe-lah yang sebenarnya memaksa anak perempuannya dan merasa bangga melakukan ini, yang justru akhirnya hanya membuahkan rasa malu. Kejadian ini membuat ibuku mengeraskan hatinya menentang Bibi Nesibe, yang dulu begitu ia cintai dan lindungi.
“Mereka sangat miskin,” kata ibuku. Ibuku telah merekomendasikan Bibi Nesibe pada semua teman-temannya, dan sekali setahun (kadang-kadang dua kali) dia sendiri akan meneleponnya untuk datang ke rumah kami menjahitkan gaun untuk pesta atau pernikahan.
Karena kunjungan menjahit ini hampir selalu terjadi pada jam sekolah, aku jarang bertemu dengannya. Tetapi pada tahun 1957, pada akhir Agustus, ibuku, sangat membutuhkan sebuah gaun untuk pernikahan, menelepon Nesibe untuk ke rumah musim panas kami, di Suadiye.
Aku ingat waktu itu Bekri, sang juru masak, yang membawa satu gelas limun—setelah isi gelas-gelas lain sebelumnya habis—ke dalam ruangan itu (udara panas semakin gerah dengan debu beludru), karena Nesibe, yang berumur dua puluh tahun dan hamil, sangat rentan terhadap ketagihan; ketika kami semua duduk untuk makan siang, ibu saya akan mengatakan pada Bekri, setengah becanda, “Apa pun yang dimaui seorang wanita hamil, Anda harus membiarkannya, atau anaknya nanti akan berubah menjadi jelek!” Dan, dengan itu, aku ingat, aku melihat dengan penuh perhatian pada benjolan kecil di perut Nesibe. Pasti itulah kesadaran pertamaku akan keberadaan Fusun, meskipun belum ada seorang pun tahu apakah dia perempuan atau laki-laki.
“Nesibe bahkan tidak memberitahu suaminya – ia berbohong tentang usia putrinya dan mengikutkannya dalam kontes kecantikan,” kata ibuku. “Syukurlah, dia tidak menang, sehingga mereka terhindar dari aib. Jika pihak sekolah mendengar kabar itu, mereka akan mengusir gadis itu. Dia pasti telah selesai dari sekolah Lyce sekarang.” ujarnya menutup pembicaraan kami.
***
BEGITU aku lulus dari sekolah bisnis di Amerika dan menyelesaikan dinas militer, ayah menuntutku untuk mengikuti jejak kakak dan menjadi seorang manajer dalam perusahaannya yang sedang tumbuh pesat. Maka ketika aku masih sangat muda ia menunjukku menjadi General Manager Satsat, perusahaan distribusi dan ekspor. Satsat mempunyai anggaran operasional yang melambung dan membuat keuntungan besar, bukan karena aku tapi berbagai trik akuntansi yang mana keuntungan-keuntungan dari pabrik dan bisnis ayahku yang lain dimasukkan ke Satsat (nama ini dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai “Sellsell”).
Pada penghujung jam kerja, sementara bis dan trem setua para karyawan Satsat bergemuruh menuruni jalan, mengguncang bangunan hingga ke fondasinya, Sibel, calon istriku, akan datang berkunjung, dan kami akan bercinta di kantorku.
Pada janji makan malam di Fuaye, aku akan memberikan tas tangan yang baru saja kubelikan itu kepada Sibel. Iseng-iseng aku menyarankannya untuk mengikutiku ke apartemen ibuku yang kosong. “Bukankah lebih baik jika dari sekarang dan seterusnya kita bertemu di flat kosong ibuku di Apartemen Merhamet? Dari atas, terlihat jelas taman yang cantik.”
“Apakah kau bermaksud menunda waktu sebelum pindah ke rumah kita sendiri setelah kita menikah?” Ia bertanya.
“Tidak, Sayang, aku tidak bermaksud seperti itu.”
“Aku tidak mau diam-diam mengendap-endap ke dalam apartemen, seolah-olah aku simpananmu.”
“Kau benar.”
“Dari mana asal ide bertemu di apartemen itu muncul?”
“Sudahlah,” kataku. Aku menatap ceria orang-orang di sekitarku ketika aku mengeluarkan tas tangan, masih terbungkus dalam plastik.
“Apa ini?” Sibel bertanya, mereka-reka hadiah itu.
“Sebuah kejutan! Buka dan lihatlah.”
“Sungguh?” Ketika ia membuka kantong plastik dan melihat tas tangan itu, kegembiraan yang kekanak-kanakan berujung pada ekspresi bingung di wajahnya, dan kemudian berbentuk kekecewaan yang coba ia sembunyikan.
“Apakah kau ingat?” Aku memberanikan diri. “Ketika kita sedang berjalan pulang tadi malam, kau melihatnya di jendela toko itu dan mengaguminya.”
“Oh, ya. Betapa baik hatinya kau.”
“Aku senang kau menyukainya. Akan tampak begitu elegan di tanganmu di pesta pertunangan kita nanti.”
“Aku benci mengatakannya, tapi tas tangan yang akan aku pakai waktu pesta pertunangan kita, sudah kutentukan jauh sebelumnya,” kata Sibel. “Oh, jangan sedih begitu! Begitu baik hatinya kau berupaya membeli hadiah indah ini untukku…. Baiklah, supaya kau tidak berpikir aku sedang tidak baik kepadamu. Aku tidak akan pernah memakai tas ini di pesta pertunangan kita, karena tas ini adalah palsu!”
“Apa?”
“Ini bukan tas Jenny Colon asli, sayangku Kemal. Ini imitasi.”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Hanya dengan melihatnya, Sayang. Lihat cara label dijahit ke kulit? Sekarang lihat jahitan di Jenny Colon yang benar-benar aku beli di Paris. Bukannya apa-apa, merek ini adalah eksklusif di Perancis dan seluruh dunia. Dia tidak pantas diperlakukan murahan seperti itu.”
Untuk sesaat, ketika melihat jahitan pada yang asli, aku bertanya pada diri sendiri mengapa pengantin masa depanku ini bernada penuh kemenangan. Merasa terganggu oleh tas tangan “palsu”, semua kemajuan bertahap yang telah kami capai serasa runtuh. Ketika ia melihat semangatku padam, Sibel membelai tanganku. “Berapa banyak yang kau bayarkan untuk tas itu?”
“Seribu lima ratus lira,” kataku.
“Jika kau tidak menginginkannya, aku dapat menukarnya besok.”
“Jangan ditukar, Sayang. Mintalah uangnya kembali karena mereka benar-benar telah menipumu.
Sibel mengambil kembali tas yang secara diam-diam interiornya telah kujelajahi. “Kau begitu berpengetahuan, Sayang, begitu pandai dan berbudaya,” katanya, dengan senyum yang lembut, “tapi kau sama sekali tidak tahu betapa mudahnya wanita bisa menipumu.”
Pada tengah hari keesokannya, aku pergi kembali ke Butik Sanzelize membawa tas di kantong plastik yang sama. Bel masih berbunyi saat aku berjalan masuk. Lalu aku melihat bayangan Fusun melalui tirai, antara daun-daun cyclamens besar.
“Aku melihatmu berjalan kaki di jalan kemarin malam,” katanya, sambil menggigit bibirnya yang indah. Dia mengenakan lipstick merah muda yang menyala, dijual dengan merek Misslyn, dan meskipun produk Turki yang umum, padanya tampak eksotis dan memikat.
“Kapan kau melihat aku?” tanyaku.
“Pada awal malam. Kau bersama Sibel Hanim. Aku sedang berjalan di trotoar di seberang jalan. Apakah kalian mau keluar makan?”
“Ya.”
“Kalian pasangan yang serasi!” katanya.
Aku tidak bertanya bagaimana ia bisa mengenal Sibel. “Ada bantuan kecil yang ingin kami minta,” kataku. Saat aku mengeluarkan tas, aku merasa malu dan agak panik.
“Kami mau mengembalikan tas ini.”
“Tentu saja. Aku akan senang menukarkannya dengan barang lain untukmu. Sibel Hanim tidak suka tas?”
“Aku tidak bermaksud menukarnya,” kataku malu-malu. “Aku ingin meminta uangku kembali.” Aku melihat keterkejutan di wajahnya, bahkan semacam ketakutan.
“Kenapa?” Ia bertanya.
“Rupanya tas ini bukan Jenny Collon yang asli,” bisikku. “Itu palsu.”
“Apa?”
“Aku tidak benar-benar memahami hal-hal semacam ini,” kataku tak berdaya.
“Tak pernah terjadi hal semacam itu di sini!” katanya dengan suara keras. “Apakah kau ingin uang kembali sekarang?”
“Ya!” Aku jawab langsung.
Dia tampak sangat kesakitan. Ya Tuhan, aku pikir, kenapa tidak kubuang saja tas itu dan bilang pada Sibel uangnya sudah berhasil kudapatkan kembali?
“Aku akan memberi uangmu kembali,” katanya dengan suara keras. Aku menunduk dan tetap diam, bersiap untuk menghadapi nasibku. Ia mulai menangis pelan. Aku tidak tahu pasti bagaimana ini terjadi, tapi aku merangkul dan memeluknya dan ia menyandarkan kepalanya di dadaku dan menangis. “Fusun, aku sangat menyesal,” bisikku. Aku membelai lembut rambut dan dahinya. “Tolong, lupakan saja jika hal ini pernah terjadi. Ini hanya sebuah tas palsu, itu saja.”
Menyentuh tubuhnya dan lengannya yang indah, merasakan payudaranya menekan dadaku, memeluknya seperti itu, walau hanya sebentar, membuat kepalaku berputar.
“Tidak ada yang perlu dirisaukan,” kataku, sambil membelai rambutnya yang pirang.
“Aku tidak bisa memberikan kembali uangmu sekarang,” jelasnya. “Karena ketika Senay Hanim pulang untuk makan siang, ia kunci laci dan membawa serta kuncinya, aku malu mengatakannya.” Sambil kepalanya di dadaku, ia mulai menangis lagi, ketika aku terus dengan sungguh-sungguh dan penuh kasih membelai rambutnya. “Aku hanya bekerja di sini untuk bertemu orang-orang dan menghabiskan waktu. Bukan untuk uang,” katanya, terisak-isak.
“Bekerja untuk uang adalah tak perlu malu,” kataku dengan bodoh, tanpa perasaan.
“Ya,” katanya, seperti anak kecewa.
“Ayahku adalah seorang pensiunan guru…. Aku berusia delapan belas tahun dua minggu lalu, dan aku tidak ingin menjadi beban.”
“Tolong jangan katakan kepada siapa pun aku menangis,” katanya, setelah menggosok matanya.
“Aku janji,” kataku. “Sebuah janji antara teman, Fusun. Kita bisa saling percaya dengan rahasia kita.” Aku melihatnya tersenyum. “Biar kutinggal saja tasnya di sini,” kataku. “Aku bisa kembali untuk mengambil uangnya nanti.”
“Tinggalkan tas jika kau ingin, tapi akan lebih baik jika kau tidak datang ke sini untuk mendapatkan uangmu kembali. Senay Hanim akan bersikeras bahwa itu bukan palsu dan kau akan datang untuk menyesal bahwa kau tidak bermaksud begitu.”
“Kalau begitu mari kita menukarnya dengan sesuatu,” kataku.
“Aku tidak bisa lagi melakukan itu,” katanya, terdengar seperti seorang gadis yang angkuh dan mudah tersinggung.
“Tidak, sungguh, itu tidak penting,” kataku.
“Tapi itu sungguh penting bagiku,” katanya tegas. “Ketika Senay Hanim datang kembali ke toko, aku akan mendapatkan uang dari dia.”
“Aku tidak ingin wanita itu menyebabkan kau marah lagi,” jawabku.
“Jangan khawatir, aku baru saja mendapatkan bagaimana jalan keluarnya,” katanya dengan senyum samar. “Aku akan mengatakan bahwa Sibel Hanim sudah memiliki tas yang persis sama, dan itulah sebabnya dia mengembalikannya. Bagaimana?”
“Ide yang bagus,” kataku. “Tapi kenapa bukan aku saja yang mengatakannya pada Senay Hanim?”
“Tidak, jangan katakan apapun padanya,” kata Fusun tegas. “Karena dia hanya mencoba untuk menipumu, dengan mengorek informasi pribadi darimu. Jangan sekali-kali datang lagi ke toko ini. Aku bisa menitipkan uangnya pada Bibi Vecihe.”
“Oh, tolong, jangan melibatkan ibuku dalam hal ini. Dia akan membuat masalah menjadi runyam.”
“Lalu kemana aku harus menitipkankan uangmu?” tanya Fusun, mengangkat alisnya.
“Di Apartemen Merhamet, Jalan Tesvikiye 131, di sana ada flat milik ibuku,” kataku. “Sebelum aku pergi ke Amerika, aku menggunakannya sebagai tempat persembunyian. Aku biasa pergi ke sana untuk belajar dan mendengarkan musik. Itu tempat yang menyenangkan yang dari atasnya bisa tampak sebuah taman…. Aku masih sering pergi ke sana saat makan siang, antara jam dua dan jam empat, untuk membereskan dokumen-dokumen penting.”
“Tentu. Aku bisa membawa uangmu ke sana. Berapa nomor apartemennya?”
“Empat,” bisikku. Aku nyaris tidak bisa mengeluarkan kalimat berikutnya, yang sepertinya mati di tenggorokan. Lantai dua. Selamat tinggal.”
Hatiku telah memperhitungkan semuanya dan berdebar liar. Sebelum bergegas ke luar, aku mengumpulkan kekuatan dan berpura-pura tidak ada hal di luar kebiasaan yang terjadi, sambil memberinya satu tatapan terakhir.
Setibaku di rumah, aku menyapa ibuku dengan ciuman, meskipun senang melihatku sore itu, ia tetap terkejut. “Bu, bisakah kau memberiku kunci Apartemen Merhamet? Terkadang kantor terlalu berisik hingga aku tidak bisa berkonsentrasi. Aku berharap lebih beruntung di apartemen. Itu cukup membantu semenjak aku masih remaja.”
“Jangan bekerja terlalu keras. Ayahmu menghabiskan seluruh hidupnya bekerja keras agar kalian yang muda bisa bersenang-senang dalam hidup. Kau berhak bahagia. Ajak Sibel keluar dan menikmati udara musim semi.” Kemudian, sambil memberikan kunci ke tanganku, dia memandangku dengan aneh sambil berkata tegas, “Hati-hati!” Ini adalah jenis pandangan yang biasa ia berikan pada kami ketika masih kanak-kanak untuk memperingatkan bahwa hidup mengandung ancaman yang kadang tak terduga yang jauh lebih dalam dan lebih berbahaya akibatnya ketimbang, misalnya, tidak menjaga dengan baik sebuah kunci apartemen. (*)
(Diterjemahkan dari Bahasa Turki oleh Maureen Freely dan diterjemahkan dan dipendekkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Rama Dira J).
https://tabloidsastra.wordpress.com/2014/12/12/saudara-jauh/
the spaces of world figures, literature studies, new school of thought in the world of literature (art, letters, etc.)
Kamis, 16 April 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.C. Andre Tanama
Aang Fatihul Islam
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Adam Roberts
Adelbert von Chamisso
Adreas Anggit W.
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus R. Sarjono
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Albert Camus
Albrecht Goes
Alexander Pushkin
Alit S. Rini
Amien Kamil
Amy Lowell
Andra Nur Oktaviani
André Chénier
Andy Warhol
Angela
Angela Dewi
Angrok
Anindita S. Thayf
Anton Bruckner
Anton Kurnia
Anwar Holid
Arif Saifudin Yudistira
Arthur Rimbaud
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asep Sambodja
Awalludin GD Mualif
Axel Grube
Bambang Kariyawan Ys
Basoeki Abdullah
Beethoven
Ben Okri
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Berto Tukan
BI Purwantari
Birgit Lattenkamp
Blaise Cendrars
Book Cover
Brunel University London
Budi Darma
Buku Kritik Sastra
C.C. Berg
Candra Kurnia
Cecep Syamsul Hari
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Charles Baudelaire
Claude Debussy
Cristina Lambert
D. Zawawi Imron
Damhuri Muhammad
Dana Gioia
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darwin
Dea Anugrah
Denny Mizhar
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dwi Cipta
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Edgar Allan Poe
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Emha Ainun Nadjib
Emily Dickinson
Enda Menzies
Endorsement
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Essay
Evan Ys
Fahmi Faqih
Fatah Anshori
Fazabinal Alim
Feby Indirani
François Villon
François-Marie Arouet (Voltaire)
Frankfurt Book Fair 2015
Franz Kafka
Franz Schubert
Franz Wisner
Frederick Delius
Friedrich Nietzsche
Friedrich Schiller
Fritz Senn
FX Rudy Gunawan
G. J. Resink
Gabriel García Márquez
Gabriela Mistral
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Goethe
Hamid Dabashi
Hardi Hamzah
Hasan Junus
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier
Henry Lawson
Hera Khaerani
Hermann Hesse
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ignas Kleden
Igor Stravinsky
Imam Nawawi
Indra Tjahyadi
Inspiring Writer
Interview
Iskandar Noe
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rumi
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jiero Cafe
Johann Sebastian Bach
Johannes Brahms
John H. McGlynn
John Keats
José de Espronceda
Jostein Gaarder
Kamran Dikarma
Katrin Bandel
Khalil Gibran (1883-1931)
Koesoema Affandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Koskow
Kulya in the Niche of Philosophjy
Laksmi Pamuntjak
Laksmi Shitaresmi
Lathifa Akmaliyah
Laurencius Simanjuntak
Leila S Chudori
Leo Tolstoy
Lontar Foundation
Lorca
Lord Byron
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lutfi Mardiansyah
Luthfi Assyaukanie
M. Yoesoef
M.S. Arifin
Mahmoud Darwish
Mahmud Ali Jauhari
Mahmudi
Maman S. Mahayana
Marco Polo
Martin Aleida
Mathori A Elwa
Max Dauthendey
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Michael Kumpfmüller
Michelangelo
Milan Djordjevic
Minamoto Yorimasa
Modest Petrovich Mussorgsky
Mozart
Mpu Gandring
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mulla Shadra
Nenden Lilis A
Nikmah Sarjono
Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Notes
Novel Pekik
Nunung Deni Puspitasari
Nurel Javissyarqi
Octavio Paz
Orasi Budaya
Orhan Pamuk
Pablo Neruda
Panos Ioannides
Patricia Pawestri
Paul Valéry
Paul van Ostaijen
PDS H.B. Jassin
Penerbit SastraSewu
Percy Bysshe Shelley
Pierre de Ronsard
Poems
Poetry
Pramoedya Ananta Toer
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Setia
Pyotr Ilyich Tchaikovsky
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Radhar Panca Dahana
Rainer Maria Rilke
Rakai Lukman
Rama Dira J
Rambuana
Read Ravel
Rengga AP
Resensi
reviewer
RF. Dhonna
Richard Strauss
Richard Wagner
Ridha al Qadri
Robert Desnos
Robert Marcuse
Ronny Agustinus
Rosalía de Castro
Ruth Martin
S. Gunawan
Sabine Müller
Samsul Anam
Santa Teresa
Sapardi Djoko Damono
Sara Teasdale
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Schreibinsel
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Short Story
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Solo Exhibition Rengga AP
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Stefan Zweig
Stefanus P. Elu
Subagio Sastrowardoyo
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
T.S. Eliot
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Thales
The World Readers Award
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
To Take Delight
Toeti Heraty
Tunggul Ametung
Ulysses
Umar Junus
Unknown Poet From Yugoslavia
Usman Arrumy
Utami Widowati
Vladimir Nabokov
W.S. Rendra
Walter Savage Landor (1775-1864)
Watercolour Paint
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Welly Kuswanto
Wildani Hefni
William Blake
William Butler Yeats
Wizna Hidayati Umam
World Letters
X.J. Kennedy
Yasraf Amir Piliang
Yasunari Kawabata
Yogas Ardiansyah
Yona Primadesi
Yuja Wang
Yukio Mishima
Z. Afif
Zadie Smith
Zeynita Gibbons
Tidak ada komentar:
Posting Komentar