Reporter : Laurencius Simanjuntak
merdeka.com, 6 Juli 2015
Goenawan Mohamad (GM) akhirnya angkat suara soal riuh
jagat sastra terkait Frankfurt Book Fair (FBF) 2015. Ketua Komite Nasional FBF
2015 itu membantah sejumlah tudingan bahwa pihaknya sengaja menjadikan Laksmi
Pamuntjak, penulis novel Amba, dan Leila S Chudori, penulis novel Pulang,
sebagai “bintang utama”.
Sejumlah pihak menilai tudingan dari para sastrawan tidak
mengada-ada, lantaran Laksmi dan Leila memang dikenal dekat dengan GM. Laksmi
merupakan penerjemah sejumlah kumpulan puisi Goenawan. Sementara Leila, rekan
sekaligus bekas anak buah sang budayawan sewaktu masih menjadi pemimpin redaksi
di sebuah media besar.
Namun, lewat akun Facebook-nya GM membantah semua
tudingan tersebut. “Dugaan itu jauh panggang dari api,” tulisnya beberapa hari
lalu. Bahkan, secara gamblang mengakui Laksmi lebih menonjol ketimbang penulis
lain. Berikut penjelasan lengkap GM yang dikutip dari akun Facebook-nya:
SEDIKIT TENTANG FRANKFURT BOOK FAIR
Goenawan Mohamad
Di tahun 2015 ini, Indonesia jadi Ehrengast, atau The
Guest of Honour, atau Tamu Kehormatan, dalam Frankfurt Book Fair (FBF) 2015.
Sejak awal tahun ini pula, saya ditunjuk Menteri Pendidikan & Kebudayaan
Anies Baswedan sebagai Ketua Komite Nasional Pelaksana perhelatan itu.
Saya ingin menggunakan ruangan ini untuk menjelaskan
beberapa hal yang dibicarakan dengan ramai, kadang sengit, dalam Face Book,
tentang beberapa hal yang menyangkut hal ini.
Ada teman yang mengesankan ke publik, malah cenderung
menuduh, bahwa Komite Nasional telah menjadikan Peristiwa 1965 itu thema pokok
kehadiran sastra Indonesia di Frankfurt nanti. Dengan itu, dua sastrawan,
Laksmi Pamuntjak (penulis novel "Amba") dan Leila S. Chudori
("Pulang") akan ditampilkan sebagai "pelopor" mengungkap
1965.
Dugaan itu jauh panggang dari api.
Ketika dalam konferensi pers dengan media Jerman di
Frankfurt 23 Juni yang lalu ada wartawan Jerman yang bertanya, apa kiranya
thema utama sastra Indonesia sekarang -- apakah itu menengok kembali sejarah
yang dibungkam -- saya menjawab: ada 40 ribu buku terbit tahun lalu di
Indonesia, rasanya tak bisa dikatakan ada satu thema pokok.
Bahwa "Amba" dan "Pulang" menonjol,
itu karena dua hal.
Pertama, buku Indonesia memang tidak banyak, dan
Indonesia mungkin "Guest of Honour" yang paling kurus; kita tak punya
novel sebanyak India, Brazil, atau RRT. Apalagi Jepang... Persiapan Indonesia
juga sangat mepet waktunya, hingga makin terbatas kemungkinan memperluas kerja
penerjemahan. Kesepakatan resmi Pemerintah Indonesia untuk jadi Tamu Kehormatan
baru dinyatakan di tahun 2013. Kita cuma punya waktu sekitar dua tahun. Sebagai
perbandingan, Tamu Kehormatan di FBF tahun lalu, Finlandia, menyiapkan diri
selama enam tahun.
Tentu kami bersyukur, kerja siang malam, persiapan sejauh
ini sudah mencapai 85%. Ada lebih 200 jilid buku yang telah diterjemahkan dalam
bahasa inggris, Jerman dan bahasa lain yang akan dipajang di FBF 2015.
"Pulang" dan "Amba" hanya dua di antaranya. Ada karya Eka
Kurniawan, Andrea Hirata, Dee, Ahmad Tohari, Ahmad Fuadi, Oky Madasari, Ayu
Utami, dan juga buku anak-anak, buku kuliner, buku perjalanan, dan lain-lain.
Mengapa Laksmi lebih tampak menonjol kali ini -- setelah
Oktober tahun 2014, yang menonjol adalah Dee (Dewi Lestari) dan Januari 2015
Ayu Utami dan Afrizal Malna?
"Amba" (versi Jermannya "Alle Farben
Rot") ditemukan dan dibeli hak ciptanya oleh Penerbit Ulstein Verlag
melalui Borobudur Literary Agency di tahun 2013, dua tahun sebelum Komite
Nasional yang sekarang dibentuk. Ancang-ancangnya sudah lebih lama.
Di saming itu, Ulstein Verlag penerbit yang punya dana
promosi yang besar. Usaha publisitasnya gencar. Waktu Indonesia hadir dalam
Leipzig Book Fair, Mei yang lalu, Laksmi lebih sering muncul karena acara yang
diselenggarakan Penerbit Ulstein ketimbang dalam acara di stand Indonesia.
Kedua, soal 1965 sedang menarik perhatian di Frankfurt.
Film Joshua Oppenheimer diputar di dalam Museum Fillm Jerman, dan Joshua
Oppenheimer hadir, dan ia tak sendiri. Tokoh utama film dokumenter itu, Adi,
juga muncul. Sebuah diskusi yang hangat dilaksanakan di museum itu. Di kota
Koln, sementara itu, diluncurkan buku yang disusun Annet Keller dari karya
orang Indonesia, tentang kekejaman terhadap pendukung PKI.
Memang 2015 adalah "ulangtahun" ke-50
"G-30-S". Dan orang Jerman -- dengan masa lalu mereka, terutama di
bawah Nazi -- suka mengungkit tentang "masa lalu" yang dihapuskan. Di
sana buku-buku sastra, menurut seorang wartawan Jerman kepada seorang teman
Indonesia, sedang ramai mengungkapkan kembali sejarah ketika
"Holocaust" terjadi.
Maka mereka tertarik kepada buku seperti
"Pulang" dan "Amba".
Buku, bukan pengarangnya.
Yang tampaknya dilupakan : Frankfurt Book Fair ini bukan
festival sastrawan seperti Ubud atau Winternachten. Dalam FBF, yang jadi tamu
utama adalah buku. "Fair": tempat jual beli, dalam hal ini jual beli
hak cipta. Yang datang kebanyakan penerbit, pedagang buku, produser film, dsb.
Maka selama bertahun-tahun Indonesia hadir di sana (bukan sebagai tamu
kehormatan, melainkan sebagai peserta biasa), yang menggerakkan adalah IKAPI,
ikatan penerbit.
Untuk itu, Komite Nasional pun menyeleksi
"karya", atau "buku", bukan "pengarang", dengan
pilihan dilakukan para kurator dari luar Komite, pakar dari
universitas-universitas. Bila pengarang hadir, ia mengikuti buku yang dipilih.
Tak mengherankan bila pengarang yang diundang terutama
adalah pengarang yang sudah punya buku -- dan buku itu harus yang sudah
diterjemahkan hingga bisa dibaca dan dipilih.
Dalam "fair", atau "pekan raya",
pertimbangan komersial penting. Buku puisi, esei dan lakon tidak laku untuk
dibeli hak ciptanya. Novel biasanya yang dicari. Lakon saya, misalnnya, sudah
diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan Jerman; tak ada penerbit yang mau
memungutnya. . Buku puisi saya, "Don Quixote" yang sudah diterjemahkan
atas inisiatif penerjemahnya sendiri, baru bulan lalu dapat penerbit -- sebuah
penerbit kecil, milik orang keturunan Iran. "Tuhan dan Hal-Hal yang
Selesai" juga hampir tak punya penerbit, sampai datang RegioSpectra, yang
didirikan seorang perempuan lulusan studi Indonesia di Pasau. Kedua penerbit
itu tak akan mampu membuat promosi segencar Ulstein Verlag, penerbit novel
"Alles Farben Rot".
Untuk mengatasi kekurangan yang terjadi Komite menampung
inisiatif John MacGlynn, dari Yayasan Lontar, Sejak 2013 John MacGlynn
mengantisipasi problem itu dengan menerjemahkan dan menerbitkan dalam bentuk
buku-buku kecil karya sastrawan Indonesia yang belum punya novel, sekitar 24
buah, dalam terjemahan Inggris. Termasuk karya A.S. Laksana.
Buku-buku Ini yang ditawarkan ke penerbit Jerman.
Sekarang baru satu yang dibeli: buku Linda Christanty, "Jangan Panggil
Kami Teroris". Maka Linda diwawancara sejumlah wartawan Jerman yang
baru-baru ini berkunjung ke Indonesia. Dalam salah satu kegiatan FBF 2015 pula,
Linda juga akan hadir dalam satu diskusi panel bersama seorang sarjana Jerman,
Gunnar Stange, di Frankfurt Book Fair 13-18 Oktober nanti.
Tapi tak hanya Linda. Komite sedang menyiapkan diri untuk
mengundang sekitar 65 pengarang dan aktivis perbukuan ke Frankfurt. Atas beaya
Negara. Mudah-mudahan anggarannya aman. Tidak dipotong, lancar...
Ya, hambatan besar dalam mengerjakan proyek nasional ini
ialah aturan birokratis dalam mencairkan anggaran. Terutama di bagian
penerjemahan. Para pejabat mengatakan hendak sangat berhati-hati, tak mau
melanggaran prosedur. Mereka tak mau dikriminalkan.
Komite Nasional maklum -- meskipun senantiasa waswas,
bila kerja yang kompleks ini terjepit waktu yang tak mengenal ampun.** [ren]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar