Reporter : Laurencius Simanjuntak
merdeka.com 7 Juli 2015
AS Laksana semakin gencar mengeluarkan kritik keras atas
penyelenggaraan Frankfurt Book Fair (FBF) 2015, setelah dirinya disebut
sastrawan medioker oleh Luthfi Assyaukanie, cendekiawan yang terlibat dalam
Komite Nasional FBF 2015 di bawah komando Goenawan Mohamad (GM).
“Menghadapi yang semacam itu, kita bisa bebas memilih:
apakah menunjukkan kehalusan budi pekerti demi membuktikan bahwa mereka keliru
atau menjadikan diri lebih kasar dari yang mereka inginkan,” kata Sulak, sapaan
akrab Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2013, lewat akun Facebook-nya, Jumat 3 Juli
lalu.
Sulak pun akhirnya secara gamblang menguraikan
analisisnya yang berujung pada satu kesimpulan: Laksmi Pamuntjak sengaja dipromosikan
oleh GM dan kawan-kawan.
“Pada Oktober 2012, Goenawan Mohamad menulis Catatan
Pinggir berjudul ‘Amba’, sama dengan judul novel Laksmi Pamuntjak yang sedang
ia bicarakan dalam kolomnya. Sebentar kemudian, Desember 2012, ia sekali lagi
menulis tentang ‘Amba’, kali ini bersama ‘Pulang’ karya Leila S Chudori, dalam
Catatan Pinggir berjudul ‘1965’,” tulis Sulak.
GM belum berbicara soal tudingan mempromosikan Laksmi
dari jauh hari. Namun, sang budayawan pernah menyangkal semua tuduhan
menjadikan Laksmi bintang utama di pameran buku terbesar di dunia tersebut. Dan
berikut uraian lengkap Sulak tersebut:
LAKSMI PAMUNTJAK DAN MEDIOKRITAS
Dalam situasi pelik dan karut marut, orang seringkali
mengungkap dirinya sendiri. Mereka yang selama ini menampilkan diri sebagai
orang bijak dan cendekia, pembela kebebasan bersuara, menghargai sikap kritis
dan rajin mendorong orang-orang lain untuk bersikap kritis, bisa seketika
menjadi orang-orang yang cepat kalap dan dengan enteng menghakimi para
pengkritik sebagai medioker, orang-orang yang dengki, orang-orang jahat dan
kasar, dan sebagainya.
Menghadapi yang semacam itu, kita bisa bebas memilih: apakah
menunjukkan kehalusan budi pekerti demi membuktikan bahwa mereka keliru atau
menjadikan diri lebih kasar dari yang mereka inginkan.
Tapi orang berbuat atau tidak berbuat sesuatu bukan
karena mengikuti ucapan orang-orang lain. Charles Darwin tidak akan pernah
mengeluarkan teori evolusi sekiranya ia mendengarkan suara orang-orang gereja
waktu itu. Dan kita tidak akan pernah berani bersuara jika risau memikirkan apa
kata orang.
Sebenarnya saya berhak marah terhadap komentar-komentar
sembrono yang menyamakan kritik saya sebagai ekspresi kebencian personal. Itu
kedangkalan yang mengerikan. Saya kenal dan berteman baik dengan sejumlah orang
di komunitas Salihara. Bagi saya, Salihara adalah komunitas yang menyenangkan.
Ia memiliki program rutin dan menawarkan acara-acara yang, bagi saya, banyak
yang menarik. Ia menjadikan dirinya tempat di mana pemikiran mendapatkan
apresiasi dan dibicarakan dengan takzim. Ia juga memiliki keberanian bahkan
untuk mendukung pemikiran dan gerakan yang bagi orang banyak sangat
kontorversial. Saya menghormati keberanian yang mereka tunjukkan.
Dengan segala yang dilakukannya, Salihara memikat bagi
banyak orang dan saya percaya banyak juga orang yang ingin menjadi bagian dari
komunitas tersebut, di samping Salihara sendiri rajin merawat dan memperluas
jaringan. Kita tahu, Salihara bukan sekadar gedung pertunjukan. Ia sebuah
komunitas—sebuah gerakan yang memiliki tujuan. Karenanya Salihara mengembangkan
jaringan dan itu gejala yang sehat. Saya kira hanya makhluk yang sudah putus
asa yang tidak merasa perlu mengembangkan dan merawat jaringan.
Salihara bukan makhluk yang putus asa. Maka ia
mengembangkan jaringan dan, dengan jaringan yang ia miliki, Salihara bisa
menjadi mesin promosi yang sangat baik untuk ide-ide dan apa saja yang ingin
mereka promosikan, termasuk buku-buku yang ditulis oleh orang-orang Salihara.
Tentu saja tidak semua. Salihara bukan agen pemasaran buku. Nirwan Dewanto
menulis dua kumpulan puisi dan orang-orang Salihara tidak membuat gerakan untuk
mempromosikan kedua buku Nirwan. Sitok Srengenge menerbitkan kumpulan puisi dan
Salihara tidak membuat gerakan promosi untuk buku Sitok. Goenawan Mohamad
menerbitkan kumpulan puisi, naskah drama, kumpulan esai, dan Salihara tidak
menggunakan jaringannya untuk menggencarkan promosi buku-buku Goenawan Mohamad.
Terhadap novel Laksmi Pamuntjak, jaringan itu bekerja.
Pada Oktober 2012, Goenawan Mohamad menulis Catatan Pinggir berjudul “Amba”,
sama dengan judul novel Laksmi Pamuntjak yang sedang ia bicarakan dalam
kolomnya. Sebentar kemudian, Desember 2012, ia sekali lagi menulis tentang
“Amba”, kali ini bersama “Pulang” karya Leila S. Chudori, dalam Catatan Pinggir
berjudul “1965”. Bambang Sugiharto segera menyiarkan pujian-pujiannya terhadap
novel tersebut, dalam artikelnya di Kompas, dengan menyebut “Amba” sebagai
novel “world class”. Sitok Srengenge diminta juga oleh GM untuk menulis tentang
Amba—ia menceritakan itu kepada saya—dan ia menulis untuk Tempo. Andy Budiman
mewawancarai penulisnya untuk disiarkan di Deutsche Welle, media publik Jerman,
tahun 2013.
Di antara kerja-kerja promosi ini tulisan Elya Utama
berjudul “Dua Wanita” muncul di harian Kompas, seminggu setelah puji-pujian
oleh Bambang Sugiharto. Tulisan ini berupaya menunjukkan kepada pembaca
kesamaan-kesamaan antara “Amba” dan “Saman”—baik dalam struktur, plot, diksi,
pandangan tokoh-tokohnya, dll. Di ujung tulisannya Elya Utama membuat
dugaan-dugaan: (1) penulis “Amba” meniru penulis “Saman”, (2) kedua penulis
memiliki latar belakang yang sama dan bekerja bersama-sama, (3) kedua karya
sebenarnya karya arsitek yang sama, menggunakan nama yang berbeda-beda.
Itu tulisan yang mengganggu promosi baik tentang Amba.
Lalu muncullah “gremang-gremeng” dan spekulasi pada pihak yang jengkel bahwa
Elya Utama tidak lain adalah Bre Redana, seolah-olah Bre memiliki motif untuk
menjegal “Amba”.
Saya kira tulisan Elya Utama sangat membantu “Amba”
dipergunjingkan orang. Saya tergerak untuk membeli novel tersebut dan ikut
mengulasnya. Saya juga menyampaikan penilaian-penilaian saya tentang “Amba”
ketika majalah Tempo mengundang saya sebagai narasumber ahli pada akhir tahun 2012
untuk menentukan buku sastra terbaik tahun itu. Saya tidak kenal secara pribadi
dengan Laksmi Pamuntjak dan tidak memiliki alasan apa pun untuk membencinya dan
saya tidak memilih “Amba”. Redaksi majalah Tempo tentu akan menolak keras
penilaian saya jika alasan saya adalah, “Saya tidak memilih ‘Amba’ karena saya
tidak suka kepada pengarangnya.”
Dengan pertimbangan-pertimbangannya sendiri, narasumber
ahli lainnya, Manneke Budiman, juga tidak memilih “Amba”. Demikian pula
narasumber ahli ketiga Melani Budianta, profesor sastra UI, yang dihadirkan
pada rapat terakhir—ia juga tidak memilih “Amba”.
Leila S. Chudori sependapat dengan saya dan Manneke (pada
waktu itu Melani Budianta belum terlibat) untuk tidak memilih “Amba”. Leila
duduk persis di sebelah saya dan saya sempat keliru mengambil dan mengenakan
kacamatanya, yang ia taruh di atas meja, karena mengira itu kacamata saya.
Bingkai kacamata kami ternyata mirip.
Ada beberapa dari awak redaksi Tempo yang menyukai “Amba”
dan rapat untuk menentukan buku terbaik berjalan agak alot. Di tengah situasi
itu, Leila mengatakan secara tegas agar dirinya dianggap tidak pernah terlibat
dalam penjurian jika Tempo memilih “Amba” sebagai buku sastra terbaik tahun
2012. Novel “Pulang” karya Leila tidak dilibatkan dalam penjurian karena Tempo
memiliki kebijakan untuk tidak mengikutkan karya orang-orang Tempo di dalam
seleksi.
Apakah ada di antara orang-orang bijak itu yang akan
mengatakan bahwa Leila S. Chudori membuat penolakan keras karena ia memiliki
persoalan pribadi dengan Laksmi Pamuntjak? Silakan saja. Saya tidak akan
mendukung ataupun menahan-nahan gairah orang untuk membuat kesimpulan apa pun
berkaitan dengan penolakan Leila terhadap “Amba”. Itu masalah mereka sendiri.
Mengenai gerakan mempromosikan teman sendiri, setiap
komunitas atau pribadi tidak dilarang melakukannya. Saut Situmorang boleh
melakukannya, Goenawan Mohamad boleh melakukannya, Waljinah boleh melakukannya.
Saya juga kadang melakukannya. Pernah dalam sebuah forum saya ditanya siapa
penulis-penulis Indonesia terbaik menurut saya dan dengan ringan hati saya
menjawab: “Teman-teman saya. Semua teman saya adalah penulis terbaik
Indonesia.”
Namun, kita tahu, promosi dan pujian yang dilakukan oleh
jaringan pertemanan, segencar apa pun, tidak akan membuat sebuah karya yang
medioker menjadi bermutu tinggi. Caci maki tanpa alasan juga tidak akan
menurunkan mutu sebuah karya—jika karya itu memang benar-benar bermutu.
Penjurian di Tempo tahun 2012 itu akhirnya memilih kumpulan puisi Joko Pinurbo
sebagai buku terbaik. Bahwa promosi terhadap “Amba” terus dijalankan dan
Goenawan Mohamad menggunakan jaringan pertemanannya di luar negeri untuk
mempromosikan kehebatan novel tersebut, tidak ada orang yang berhak
melarangnya. Sekiranya GM yakin betul bahwa “Amba” adalah novel “world class”
sebagaimana kata Bambang Sugiharto, malahan keliru kalau ia tidak menggunakan
jaringan teman-temannya di luar negeri untuk mempromosikan buku itu.
Selanjutnya, mari kita dudukkan saja urusan ini dalam
cara pandang yang lebih beres: Kritik terhadap kepanitiaan Guest of Honour FBF
2015 adalah kontrol publik terhadap kegiatan yang dijalankan dan didanai oleh
negara. Transparansi diperlukan agar publik bisa melihat dengan terang bahwa
yang menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015 adalah Indonesia dan
bukan kelompok tertentu. Ini krusial karena publik tahu bahwa GM menjadi ketua
panitia dan sejumlah orang di dalam jaringannya terlibat dalam kepanitiaan itu.
Jauh sebelumnya mereka adalah orang-orang yang mempromosikan Laksmi Pamuntjak.
[ren]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar