Senin, 01 Juni 2020

AS Laksana uraikan bagaimana GM dkk promosikan Laksmi Pamuntjak

Reporter : Laurencius Simanjuntak
merdeka.com 7 Juli 2015

AS Laksana semakin gencar mengeluarkan kritik keras atas penyelenggaraan Frankfurt Book Fair (FBF) 2015, setelah dirinya disebut sastrawan medioker oleh Luthfi Assyaukanie, cendekiawan yang terlibat dalam Komite Nasional FBF 2015 di bawah komando Goenawan Mohamad (GM).

“Menghadapi yang semacam itu, kita bisa bebas memilih: apakah menunjukkan kehalusan budi pekerti demi membuktikan bahwa mereka keliru atau menjadikan diri lebih kasar dari yang mereka inginkan,” kata Sulak, sapaan akrab Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2013, lewat akun Facebook-nya, Jumat 3 Juli lalu.

Sulak pun akhirnya secara gamblang menguraikan analisisnya yang berujung pada satu kesimpulan: Laksmi Pamuntjak sengaja dipromosikan oleh GM dan kawan-kawan.

“Pada Oktober 2012, Goenawan Mohamad menulis Catatan Pinggir berjudul ‘Amba’, sama dengan judul novel Laksmi Pamuntjak yang sedang ia bicarakan dalam kolomnya. Sebentar kemudian, Desember 2012, ia sekali lagi menulis tentang ‘Amba’, kali ini bersama ‘Pulang’ karya Leila S Chudori, dalam Catatan Pinggir berjudul ‘1965’,” tulis Sulak.

GM belum berbicara soal tudingan mempromosikan Laksmi dari jauh hari. Namun, sang budayawan pernah menyangkal semua tuduhan menjadikan Laksmi bintang utama di pameran buku terbesar di dunia tersebut. Dan berikut uraian lengkap Sulak tersebut:

LAKSMI PAMUNTJAK DAN MEDIOKRITAS

Dalam situasi pelik dan karut marut, orang seringkali mengungkap dirinya sendiri. Mereka yang selama ini menampilkan diri sebagai orang bijak dan cendekia, pembela kebebasan bersuara, menghargai sikap kritis dan rajin mendorong orang-orang lain untuk bersikap kritis, bisa seketika menjadi orang-orang yang cepat kalap dan dengan enteng menghakimi para pengkritik sebagai medioker, orang-orang yang dengki, orang-orang jahat dan kasar, dan sebagainya.

Menghadapi yang semacam itu, kita bisa bebas memilih: apakah menunjukkan kehalusan budi pekerti demi membuktikan bahwa mereka keliru atau menjadikan diri lebih kasar dari yang mereka inginkan.

Tapi orang berbuat atau tidak berbuat sesuatu bukan karena mengikuti ucapan orang-orang lain. Charles Darwin tidak akan pernah mengeluarkan teori evolusi sekiranya ia mendengarkan suara orang-orang gereja waktu itu. Dan kita tidak akan pernah berani bersuara jika risau memikirkan apa kata orang.

Sebenarnya saya berhak marah terhadap komentar-komentar sembrono yang menyamakan kritik saya sebagai ekspresi kebencian personal. Itu kedangkalan yang mengerikan. Saya kenal dan berteman baik dengan sejumlah orang di komunitas Salihara. Bagi saya, Salihara adalah komunitas yang menyenangkan. Ia memiliki program rutin dan menawarkan acara-acara yang, bagi saya, banyak yang menarik. Ia menjadikan dirinya tempat di mana pemikiran mendapatkan apresiasi dan dibicarakan dengan takzim. Ia juga memiliki keberanian bahkan untuk mendukung pemikiran dan gerakan yang bagi orang banyak sangat kontorversial. Saya menghormati keberanian yang mereka tunjukkan.

Dengan segala yang dilakukannya, Salihara memikat bagi banyak orang dan saya percaya banyak juga orang yang ingin menjadi bagian dari komunitas tersebut, di samping Salihara sendiri rajin merawat dan memperluas jaringan. Kita tahu, Salihara bukan sekadar gedung pertunjukan. Ia sebuah komunitas—sebuah gerakan yang memiliki tujuan. Karenanya Salihara mengembangkan jaringan dan itu gejala yang sehat. Saya kira hanya makhluk yang sudah putus asa yang tidak merasa perlu mengembangkan dan merawat jaringan.

Salihara bukan makhluk yang putus asa. Maka ia mengembangkan jaringan dan, dengan jaringan yang ia miliki, Salihara bisa menjadi mesin promosi yang sangat baik untuk ide-ide dan apa saja yang ingin mereka promosikan, termasuk buku-buku yang ditulis oleh orang-orang Salihara. Tentu saja tidak semua. Salihara bukan agen pemasaran buku. Nirwan Dewanto menulis dua kumpulan puisi dan orang-orang Salihara tidak membuat gerakan untuk mempromosikan kedua buku Nirwan. Sitok Srengenge menerbitkan kumpulan puisi dan Salihara tidak membuat gerakan promosi untuk buku Sitok. Goenawan Mohamad menerbitkan kumpulan puisi, naskah drama, kumpulan esai, dan Salihara tidak menggunakan jaringannya untuk menggencarkan promosi buku-buku Goenawan Mohamad.

Terhadap novel Laksmi Pamuntjak, jaringan itu bekerja. Pada Oktober 2012, Goenawan Mohamad menulis Catatan Pinggir berjudul “Amba”, sama dengan judul novel Laksmi Pamuntjak yang sedang ia bicarakan dalam kolomnya. Sebentar kemudian, Desember 2012, ia sekali lagi menulis tentang “Amba”, kali ini bersama “Pulang” karya Leila S. Chudori, dalam Catatan Pinggir berjudul “1965”. Bambang Sugiharto segera menyiarkan pujian-pujiannya terhadap novel tersebut, dalam artikelnya di Kompas, dengan menyebut “Amba” sebagai novel “world class”. Sitok Srengenge diminta juga oleh GM untuk menulis tentang Amba—ia menceritakan itu kepada saya—dan ia menulis untuk Tempo. Andy Budiman mewawancarai penulisnya untuk disiarkan di Deutsche Welle, media publik Jerman, tahun 2013.

Di antara kerja-kerja promosi ini tulisan Elya Utama berjudul “Dua Wanita” muncul di harian Kompas, seminggu setelah puji-pujian oleh Bambang Sugiharto. Tulisan ini berupaya menunjukkan kepada pembaca kesamaan-kesamaan antara “Amba” dan “Saman”—baik dalam struktur, plot, diksi, pandangan tokoh-tokohnya, dll. Di ujung tulisannya Elya Utama membuat dugaan-dugaan: (1) penulis “Amba” meniru penulis “Saman”, (2) kedua penulis memiliki latar belakang yang sama dan bekerja bersama-sama, (3) kedua karya sebenarnya karya arsitek yang sama, menggunakan nama yang berbeda-beda.

Itu tulisan yang mengganggu promosi baik tentang Amba. Lalu muncullah “gremang-gremeng” dan spekulasi pada pihak yang jengkel bahwa Elya Utama tidak lain adalah Bre Redana, seolah-olah Bre memiliki motif untuk menjegal “Amba”.

Saya kira tulisan Elya Utama sangat membantu “Amba” dipergunjingkan orang. Saya tergerak untuk membeli novel tersebut dan ikut mengulasnya. Saya juga menyampaikan penilaian-penilaian saya tentang “Amba” ketika majalah Tempo mengundang saya sebagai narasumber ahli pada akhir tahun 2012 untuk menentukan buku sastra terbaik tahun itu. Saya tidak kenal secara pribadi dengan Laksmi Pamuntjak dan tidak memiliki alasan apa pun untuk membencinya dan saya tidak memilih “Amba”. Redaksi majalah Tempo tentu akan menolak keras penilaian saya jika alasan saya adalah, “Saya tidak memilih ‘Amba’ karena saya tidak suka kepada pengarangnya.”

Dengan pertimbangan-pertimbangannya sendiri, narasumber ahli lainnya, Manneke Budiman, juga tidak memilih “Amba”. Demikian pula narasumber ahli ketiga Melani Budianta, profesor sastra UI, yang dihadirkan pada rapat terakhir—ia juga tidak memilih “Amba”.

Leila S. Chudori sependapat dengan saya dan Manneke (pada waktu itu Melani Budianta belum terlibat) untuk tidak memilih “Amba”. Leila duduk persis di sebelah saya dan saya sempat keliru mengambil dan mengenakan kacamatanya, yang ia taruh di atas meja, karena mengira itu kacamata saya. Bingkai kacamata kami ternyata mirip.

Ada beberapa dari awak redaksi Tempo yang menyukai “Amba” dan rapat untuk menentukan buku terbaik berjalan agak alot. Di tengah situasi itu, Leila mengatakan secara tegas agar dirinya dianggap tidak pernah terlibat dalam penjurian jika Tempo memilih “Amba” sebagai buku sastra terbaik tahun 2012. Novel “Pulang” karya Leila tidak dilibatkan dalam penjurian karena Tempo memiliki kebijakan untuk tidak mengikutkan karya orang-orang Tempo di dalam seleksi.

Apakah ada di antara orang-orang bijak itu yang akan mengatakan bahwa Leila S. Chudori membuat penolakan keras karena ia memiliki persoalan pribadi dengan Laksmi Pamuntjak? Silakan saja. Saya tidak akan mendukung ataupun menahan-nahan gairah orang untuk membuat kesimpulan apa pun berkaitan dengan penolakan Leila terhadap “Amba”. Itu masalah mereka sendiri.

Mengenai gerakan mempromosikan teman sendiri, setiap komunitas atau pribadi tidak dilarang melakukannya. Saut Situmorang boleh melakukannya, Goenawan Mohamad boleh melakukannya, Waljinah boleh melakukannya. Saya juga kadang melakukannya. Pernah dalam sebuah forum saya ditanya siapa penulis-penulis Indonesia terbaik menurut saya dan dengan ringan hati saya menjawab: “Teman-teman saya. Semua teman saya adalah penulis terbaik Indonesia.”

Namun, kita tahu, promosi dan pujian yang dilakukan oleh jaringan pertemanan, segencar apa pun, tidak akan membuat sebuah karya yang medioker menjadi bermutu tinggi. Caci maki tanpa alasan juga tidak akan menurunkan mutu sebuah karya—jika karya itu memang benar-benar bermutu. Penjurian di Tempo tahun 2012 itu akhirnya memilih kumpulan puisi Joko Pinurbo sebagai buku terbaik. Bahwa promosi terhadap “Amba” terus dijalankan dan Goenawan Mohamad menggunakan jaringan pertemanannya di luar negeri untuk mempromosikan kehebatan novel tersebut, tidak ada orang yang berhak melarangnya. Sekiranya GM yakin betul bahwa “Amba” adalah novel “world class” sebagaimana kata Bambang Sugiharto, malahan keliru kalau ia tidak menggunakan jaringan teman-temannya di luar negeri untuk mempromosikan buku itu.

Selanjutnya, mari kita dudukkan saja urusan ini dalam cara pandang yang lebih beres: Kritik terhadap kepanitiaan Guest of Honour FBF 2015 adalah kontrol publik terhadap kegiatan yang dijalankan dan didanai oleh negara. Transparansi diperlukan agar publik bisa melihat dengan terang bahwa yang menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015 adalah Indonesia dan bukan kelompok tertentu. Ini krusial karena publik tahu bahwa GM menjadi ketua panitia dan sejumlah orang di dalam jaringannya terlibat dalam kepanitiaan itu. Jauh sebelumnya mereka adalah orang-orang yang mempromosikan Laksmi Pamuntjak. [ren]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons