Reporter : Laurencius Simanjuntak
Merdeka.com 25 Juni 2015
Dunia sastra Indonesia kembali bergolak. Belum reda betul
polemik akibat nama konsultan politik Denny JA masuk dalam buku “33 Tokoh Sastra
Indonesia Paling Berpengaruh”, kini para sastrawan ribut soal Frankfurt Book
Fair 2015.
Pada pameran buku tahunan terbesar dunia yang dihelat
13-18 Oktober mendatang itu, Indonesia memang ditunjuk sebagai tamu kehormatan
(guest of honour).
Nah, polemik muncul karena ada tuduhan bahwa Komite
Nasional Indonesia untuk Frankfurt Book Fair (FBF) 2015, yang diketuai Goenawan
Mohamad (GM), mempunyai skenario khusus memunculkan dua penulis yang dijadikan
bintang utama dalam pameran di negara bagian Hessen, Jerman, itu.
Dua penulis itu, Laksmi Pamuntjak dan Leila S Chudori,
sastrawan yang memang dikenal dekat dengan GM. Laksmi, merupakan penejermah sejumlah
kumpulan puisi GM. Sementara Leila adalah rekan sekaligus bekas anak buah sang
budayawan sewaktu masih menjadi pemimpin redaksi di sebuah media besar.
Tuduhan muncul pertama kali dari Linda Christanty lewat
dinding akun Facebook-nya. Ialah pemberitaan di situs DW Indonesia pada 23 Juni
2015 yang membuat pemenang Khatulistiwa Literary Award 2004 itu mencium aroma
skenario “bintang utama” tersebut.
Dalam berita di media Jerman versi bahasa Indonesia itu
tertulis, “Dari 13-18 Oktober Indonesia akan tampil di Frankfurt sebagai Tamu
Kehormatan. Yang cukup mengejutkan, kebanyakan yang memaksa Indonesia
berhadapan dengan sejarah gelapnya adalah penulis perempuan.”
Linda menyatakan, fenomena atau kecenderungan penulis
perempuan menulis tentang tema 1965 tidak ada sama sekali. Menurutnya, penulis
Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, mengisahkan peristiwa tersebut
dalam karya-karya mereka sejak masa Soeharto sampai hari ini.
“Itu (kecenderungan penulis perempuan) kebohongan yang
luar biasa,” tulis Linda di dinding akun Facebook-nya, Rabu (23/6).
Linda memaparkan, penulisan dan penerbitan karya fiksi
yang mengisahkan peristiwa 1965 bahkan telah dimulai tidak lama setelah
Soeharto berkuasa. Sebut saja Noorca M Massardi dengan novel “September”, Umar
Kayam dengan cerpen “Sri Sumarah dan Bawuk” dan Ahmad Tohari dengan trilogi
novel “Ronggeng Dukuh Paruk”.
Linda mencurigai, pengarahan tema 1965 hanya demi
mengangkat nama Laksmi dan Leila, yang masing-masing merupakan penulis novel “Amba”
(2012) dan “Pulang” (2014). Kedua karya fiksi itu memang bertema 1965.
Sastrawan AS Laksana juga mencium pengarahan tema 1965
demi memunculkan bintang utama tersebut. Padahal, tema yang diusung Indonesia
sebagai tamu kehormatan itu “17.000 Islands of Imagination”.
“Alih-alih memperkenalkan keberagaman tema karya sastra
Indonesia atau mempromosikan imajinasi dari 17.000 pulau, panitia Indonesia
justru menyempitkan imajinasi dan menyelewengkannya ke peristiwa 1965 sebagai
tema utama bayangan,” kata A.S. Laksana juga dalam dinding akun Facebook-nya,
kemarin.
Ketika pembicaraan tentang 1965 menguat, ujar Sulak,
sapaan akrab Laksana, tentu saja akan tampak masuk akal untuk mengedepankan
Laksmi Pamuntjak. “Ia menulis novel 'Amba' yang bertema 1965. Masuk akal?
Tidak!” tulisnya.
Namun bagi Sulak, nama Leila cuma figuran seperti Ahmad
Tohari yang juga dihadirkan karena trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” mengangkat
tema 1965. “Tetapi Laksmi Pamuntjak yang diarak sebagai bintang utama,” ujar
tokoh sastra pilihan Tempo 2013 itu.
Ribut-ribut soal Laksmi dalam pameran buku Frankfurt ini
pun terus meluas di kalangan publik sastra, khususnya lewat diskusi di media
sosial. [ren]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar