Senin, 21 September 2020

Membaca Perjalanan Kepenyairan Chairil Anwar dalam Karangan H.B. Jassin

: Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45, Disertai Kumpulan Hasil-hasil Tulisannja

Nurel Javissyarqi

Tanggal 20 Agustus 2020 saya mengawali tulisan ini, bertepatan datangnya Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram 1442. Semoga lewat permulaan baik, saya bisa sedikit mengungkap perjalanan penyair Chairil Anwar (CA) yang telah melegenda, barangkali sudah menyentuh pekabutan tinggi di pegunungan ‘mitos’ kesusastraan Indonesia. Karena hampir semua insan di Tanah Air di belahan bumi di bentangan Nusantara, mengenal nama besar beserta karya-karyanya, khususnya yang sempat mengenyam bangku pendidikan di sekolah atau di madrasah, tetapi tidak di madrasah diniyah. CA adalah cerminan sosok pemuda bernasib mujur diujung kertas riwayatnya, meski alur laku hayatnya kerap menjumpai pintu-pintu tertutup kepiluan, awan menghitam kebuntuan penderitaan, terkantuk batu-batu tajam sandungan kesengsaraan di kegelapan, dengan ditemani ibundanya tercinta; Saleha, selepas bercerai dengan bapaknya CA bernama Toeloes, seorang Bupati Inderagiri, Riau. Lalu CA dan ibundanya kembara ke Ibukota Jakarta tahun 1941; mereka berdua menyeberangi pegunungan air mengarungi selat Sunda dalam lambung kapal dari Bakauheni menuju Pelabuhan Merak.

Bulit-bulir air mata kesedihan memberat ibunya barangkali yang membeningkan pancaran indah bahasa dalam puisinya; ada pekerti mudah dikenali dari luka goresan menyayat pedih dalam usianya ke 19 tahun menginjak 20 tahun. Jiwa mudanya dituntun perasaan sengkarut diantara kecamuk peperangan, yang bisa lain jikalau berdekatan orang tua laki-laki, tentu dijulurkan pada daun-daun pintu logika. Perasaan halus CA diasah bebatuan waktu tumpukan peristiwa yang senantiasa bergerak lembut menajamkan nalurinya. Dan nyata, semasa perang mempercepat kematangan anak manusia lebih banter dari waktu berjalan damai dalam kehidupan. Selain bibit-bibit tekad pemberontakan sebagai seniman telah ditanam sejak di tanah kelahiran diusia 15 tahun, dan memasuki umur 18 lepas sekolah. Ada dorongan kuat di batinnya lebihi pecahan guntur gelegak lahar halilintar, awan-gemawan diajak bercengkerama, rintik hujan kawan bercanda, atau sentuhan alam hembusan bayu tiupan debu di jalanan, menggiring pribadinya ditempa peredaran musim membentuk jati dirinya kian mempurna.

***

Sebenarnya saya pingin punya waktu khusus mengungkap CA lebih lama, tapi keadaan belum cukup beri ruang lapang, sebab catatan ini diharapkan seminggu jadi untuk acara ngobrol sastra di Rumah Budaya Pantura, Larung Sastra #7, 26 Agustus nanti, maka semoga perihal ini menjadi pijakan awal merangsang guna penelusuran nun jauh di masa mendatang. Bisa dibilang dalam kesempatan berikut sekadar menarik beberapa serpihan lembut yang diambil dari kacamata Paus Sastra Indonesia: “Saya tidak merasa mempunjai kompetensi untuk menjoroti sudut moral dari seniman ini. Hanja berhubung dengan penemuan-penemuan plagiat semasa hidupnja dan sesudah meninggalnja agaknja sudah waktunja sekarang menindjau Chairil kembali.” (Ejaan lama, huruf “j” dapat diganti “y,” halaman 7 di buku karangan H.B. Jassin, “Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45, Disertai Kumpulan Hasil-hasil Tulisannja,” Penerbit Gunung Agung Djakarta 1956, Rp. 22,50).

Buku-buku cetakan lama, mampu menggiring pembaca untuk merasuk lebih jauh pula dapat menjangkau peristiwa lain pada kisaran masa-masa sebelum juga setelahnya. Dan sering terjadi kertas-kertas usang di buku lawas mendorong lamunan hingga menciptakan gugusan ‘kabut mitologi’ yang membuat terlena pembacanya. Untuk menyiasati agar tak terperangkap masuk gelombang pemberhalaan sejenis taklid, saya sisipkan juga waktu membaca buku atas persoalan sama, di sini buku-buku tentang CA pada cetakan lain yang lebih muda usia kertasnya. Bolak-balik buku cetakan kawak dan anyar, rasanya berjalan di atas tali di antara pegunungan satu dan lainnya, atau di antara gedung-gedung bertingkat. Pada ketinggian itu, berasa lebih bebas laksana burung mengapung di udara, sambil meresapi timbangan gaya tarik gravitasi hati, pula berayun ringan dalam kebebasan angin memberkati segenap kemungkinan terbit bersama lintasan sinar mentari; sebagaimana menyimak lantunan irama kata-kata setarikan napas dalam kesatuan kesaksian, yang lebih seimbang daripada bertapa dalam gua dengan sedikit terbitnya bebulir cahaya terang kemungkinan.

***

H.B. Jassin di hadapan saya termasuk kritikus kalem, santun; perhitungannya hampir mendekati purna, karena setiap logika dibangun selalu menyelipkan perasaan, pun sebaliknya setiap perasaan diunggahnya, tidak luput dari jangkauan penalaran indah. Kalimat yang ada tanda petik di atas betapa menawan, menyimpan keindahan “muslihat” bertutur kata: “Saya tidak merasa...” -yang betapa kita memahami bahwa perasaan itu bertingkat-tingkat, ada yang tebal juga tipis, logika-rasa pun demikian. Inilah permainan hati yang dapat diserang khilaf, lantaran jiwa manusia sangat rumpil mudah berbolak-balik, sifatnya kalbu gampang dirayu, digoda, dibujuk meski sebersit rindu. Kangen yang tipis tetapi manis, kerinduan tebal berasa ampang, atau belahan-belahan batinlah yang sanggup merasai kejujuran, sebab satu huruf pun bisa dimaknai pelbagai rupa, meski berangkat dari ketulusan; oleh karena kelak berpapasan dengan tingkat kecerdasan penerimaan, tangga keinsafan dari masing-masing para pembaca yang berbeda kelas ruangannya.

Jassin dengan kepiawaiannya ditempa bertahun-tahun berolah sastra, begitu mudah menekuk perangai kata, menghaluskan pekerti bahasa, hingga seolah-olah setiap “kata-kata” dapat dikendalikan kejatuhannya, melewati ambang taksiran ringan ditangkap turun nyaman sesuai harapan. Melalui lorong panjang ‘logika-perasaan’ demi menggiring napas-napas pembaca untuk berkenan “mikul duwur mendem jero,” mengangkat yang baik sambil menutupi segenap kekurangajaran CA. “Dalam hal ini plagiat dikembalikan pada proporsinja yang sebenarnja sebagai terjamahan” (H.B. Jassin).

Sungguh elok nasib CA di tangan Jassin, seakan-akan dinaungi pancaran kasih dewi fortuna; fatwa-fatwa sang paus mampu menikam kalbu merasuki jantung sanubari khalayak susastra. Sebab alur baik itu pada genggaman penguasa, atau kekuasaan sederajat ilmu pengetahuan. Pun begitu tetap merasa berhutang budi dengan Jassin atas kabar terang CA dengan cukup objektif menunjuk belang-belangnya. Bagi pembelajaran, bolehlah yang kepergok plagiat dikembalikan pada kedudukan yang asli yakni terjemahan, lalu disebutkan seterus-terang Pelopor Angkatan 45 catat mental. Bagi berjiwa pengarang, karyanya adalah segenap perjuangan fitri di atas bakti hidup kepada kehidupan, jalanan setapak menuju kemuliaan, suci hati, jujur diri juga bagi sesama. Melalui selaput mata saya, buku Jassin dapat diposisikan dan sebenarnya sejenis buku putih penghapus dosa, tersebab para pembaca setelahnya melupa atau memaklumi keserampangan CA sekaligus mengangkat tinggi sebagai pelopor susastra 45.

***

Dan kelihaian lain Jassin menjejaki tangga sejarah sastra, lewat mendompleng merasuki sejarah pergerakan di tanah air dengan disusunnya buku-buku secara rapi dengan pijakan judul-judul menghipnosis; Pelopor Angkatan 45, Angkatan 66 Prosa dan Puisi, yang mana alam di luar sastra, 1945 merupakan tahun kemerdekaan Republik Indonesia, dan 1966 awal munculnya pergerakan mahasiswa membentuk tonggak lahirnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), dst. Jassin selain telah tanak menyadari posisi kediriannya juga paham betul watak peredaran masa, tempo yang mudah terselip luput serta bisa berlaku balik kepala jadi ekor pun sebaliknya. Dengan perangai tersebut, orang-orang sastra yang biasa bermain bahasa sangat lincah mengubah yang jadi kepala perjuangan, lantas muncul pahlawan kesiangan, tetapi untunglah kaum sejarawan sadar mana yang diikuti. Pun begitu lukisan penghormatan kepada pahlawan dibayangkan pula di dunia sastra, yang meninggal dinaikkan pangkatnya dengan mengagung-agungkan setinggi langit serupa patung-patung penanda sewujud para dewata.

Maka ada baiknya mengolah alur pernapasan, mengatur keluar masuknya napas dari dalam tubuh, agar bisa meresapi semesta hidup di reruang lain pada galaksi berbeda pancaran, sehingga mampu mencerna lebih baik, atau perlu berjalan-jalan dengan berjarak dari persoalan; jalan santai sambil memetik kembang, atau berciuman bibir hingga sekejap lalai hadir lantas kembali dengan kesadaran berulang yang lebih segar dari sebelumnya, kemudian menemukan pengertian baru yang sempat luput dari jangkauan semula. Sedewasa dewa manapun, sematang filsuf apapun di atas nalar seseorang, jikalau dihinggapi napsu hasrat besar tanpa diiringi pengolahan emosi pengaturan gejolak jiwa di sisi baca ukuran benda-masa-peristiwa dengan membentangi peta yang benar, maka bisa terjadi tindak tergelincir sekaligus sanggup menggelincirkan yang lain. Dan,...

Dengan menggeser tempat duduk sedikit disaat-saat baca buku Jassin, dapat ditemui persoalan moral, misal: “kedjahatan jang luar biasa,” lalu kata “kepergok” sebagai plagiat atau saduran. Selain pilihan kata bergaya menggiring, untaian kata-kata dalam kalimatnya dengan tarikan napas panjang, sehingga terasa lembut tuturannya, dan bentuk serupa penghakiman terhadap CA jadi ambang batas manusiawi, atau peleburan mengusahakan agar pembaca menerima apa adanya, padahal persoalan tengah menimpa berbeda, seperti pengertian plagiat dan penyadur disejajarkan. Jika Jassin sosok hakim, maka dia sangat bijak, kebijakan tersebut ditimba dari perenungan lama, wewaktu jenak mematangkan peristiwa jadi bermakna dengan memberi kenyamanan ke pembaca sesuai tarikan napas sudah diperhitungkan, lantas semua jadi teratasi sudah, tepatnya tak kan muncul bantahan keras dengan kewibawaan sepadan sama, kecuali memakai kalimat-kalimat pendek dengan titik-titik rapat hentakan kuat, maka penyangkalan bisa lebih keras. Seperti itu Jassin menyenggamai dengan santun, dan waktu memberinya hadiah berupa pengertian lapang di dada para pembaca. Dari sanalah alam penerimaan lebih jenak kepadanya, dibanding kritikus lain meski lebih kokoh posisinya di kampus-kampus ternama.

Masih mengurai halaman 7 dan secuil ke 8, atau tiga paragraf awal. Selain Jassin membikin titik-titik pemberhentian nan jitu di tubuh satuan kalimat, disusul rangkaian tepat sulit terbantah, lantaran seimbangnya membentangi pepokok soal, mendedah wajah masalah yang dihadapi. Sekali lagi, wewaktu perevisian yang jenak mematangkan; yang bisa jadi buku itu digarap tidak lama selepas CA ke alam kubur, disisi bahan-bahan lawas hasil penyelidikannya, dan atau genap tujuh tahun kerja teramat berat menyelidiki hingga banyak ditemukan, atau memilah mana saja sajak-sajak CA yang asli, saduran, pun yang lantas didudukkan sebagai terjemahan. Di sinilah bukti Jassin sangat mencintai dunia sastra, meluangkan waktu selebar-luasnya, bertekun-tekun dalam keleluasaan pencariannya, jauh lebih jeli daripada Pamusuk Eneste, editor buku Chairil Anwar, “Aku Ini Binatang Jalang,” Gramedia, November 1986, yang tak lagi memasukkan sajak “Biar Malam” pada cetakan kedua, karena kepergok hasil terjemahan dari karyanya W.H. Auden yang bertitel “Song IV.”

***

Dengan kekhusyukan penelusuran mendalam serta sikap kehati-hatian atas pemilihan kata ketika mengurai langgam penelitian, iramanya didengar pancaindra pembaca menjelma keniscayaan seolah tak terbantah. Contoh di halaman 11 tertuang: “Chairil bukan seorang jang lantjar membuat sadjak dalam pengertian bahwa dia dengan mudah menulis sadjak. Ini ternjata dari hasilnja jang dalam 6 1/2 (enam setengah) tahun hanja berdjumlah kira-kira 70 sadjak.” Kata “kira-kira” inilah cerminan perilaku hati-hati, meski sebelumnya lama bersuntuk mengarungi lelipatan penyelidikan seperti tertera di halaman 8: “...Ternjata bahwa selama tahun 1942 sampai 1949 Chairil telah membuat 69 sadjak asli, 4 sadjak saduran, 10 sadjak terdjemahan, 6 prosa asli dan 4 prosa terdjemahan, sama sekali djadi 93 tulisan.” Dan mengenai jumlah “kira-kira 70 sadjak” (asli) tersebut diperoleh tambahan data dari buku karangan S. Mundingsari, “Manusia sebagai Pengarang” djilid I, Penerbit Pena 1953, halaman 97 yang mencantumkan sadjak bertitel “Kuda Djalang.” Ini juga wujud kehati-hatian istimewa di dalam memoles paragraf sebelumnya, di halaman 7 tertoreh kalimat: “Pada hemat saja sekalipun misalnja ditemui semua hasil-hasil Chairil Anwar plagiat, tak dapat disangkal bahwa lepas dari soal itu, ia sebagai penerdjemah, masih berjasa telah membaharui persadjakan Indonesia sesudah perang jang njata lain dari jang tertjapai sebelum perang.”

Dan sepeninggal CA ke alam keabadian, karya-karyanya kian meledak menjelma perbincangan serius setelah terbit antologi tunggal: “Deru tjampur Debu,” Penerbit Pembangunan 1949, disusul “Kerikil Tadjam dan jang terampas dan jang putus,” Pustaka Rakjat 1949, lantas tahun berikutnya antologi sajak bersama Asrul Sani dan Rivai Apin bertitel “Tiga Menguak Takdir,” Balai Pustaka 1950. Ketiga buku tersebut terus saja menjadi acuan, pedoman, dan memanen perdebatan di media, lantaran ditemukan karya-karya saduran pula terjemahan atas karangan CA. Dan terbitnya buku H.B. Jassin yang sedang dibicarakan ini seolah tabuhan gong penutup polemik meski terus ada yang mempertentangkan, memperkarakan, kemudian lebih banyak tulisan Jassin yang menjadi papan penerang jalan. Jassin terus saja mengawal karir kepenyairan almarhum Chairil sampai tutup usianya di penghujung abad ke 20 (Hans Bague Jassin lahir di Gorontalo, Sulawesi Utara, 31 Juli 1917, dan meninggal dunia di Jakarta, 11 Maret 2000).

***

Dari kepulauan Indonesia Timur, Yohanes Sehandi dalam esainya memberitakan kesaksian Chairil Anwar dan W.S. Rendra berjudul: “Yesus di Salib, Menurut Penyair Besar Indonesia,” Pos Kupang 29/8/2019 menyebutkan: “Menurut kritikus H.B. Jassin dalam bukunya Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45 (1982, cetakan ke-5, halaman 49), Nasrani Sejati dan Pemeluk Teguh yang dimaksudkan Chairil adalah WJS Poerwadarminta, seorang ilmuwan bahasa dan tokoh Katolik yang dikenal Chairil Anwar pada masa pendudukan Jepang 1940-an. Karya monumental Poerwadarminta adalah buku Kamus Umum Bahasa Indonesia dan buku Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang.”

Sedangkan pada cetakan pertama, saya tidak menemukan keterangan itu, lantas; apakah tambahan tersebut dari HB. Jassin sendiri, ataukah pihak penerbit? Kenapa baru ada di cetakan berikutnya (ke-5)? Apakah pada kedua puisi tersebut (sebelumnya), tidak mencantumkan hal itu? Ataukah langkah demikian diambil demi meyakinkan pembaca, atau mendekati bentuk mengada? Pada halaman 49, yang ada puisi CA bertitel “Situasi” dan saya tak menemukan yang berlabel “Isa” maupun “Doa” yang diperuntukkan Kepada Nasrani Sejati dan Kepada Pemeluk Teguh. Jadi, sangat mungkin buku yang dipegang Sehandi sudah mengalami perombakan besar-besaran dari terbitan awal. Dan mengenai penyebutan dua puisi itu, saya temukan di halaman 11, paragraf komplitnya:

“Adapun apa jang disebut Kerikil Tadjam, inilah kumpulan Chairil jang beredar dimasa Djepang diantara kawan-kawan, tatkala itu hanja terdiri dari 28 sadjak, sedang jang terbit dalam edisi Pustaka Rakjat (PR) terdiri dari 32 sadjak. Djika dibandingkan keduanja, maka ada 26 sadjak jang sama. Dua sadjak dalam jang asli tidak kita temukan dalam edisi Pustaka Rakjat, jaitu Isa dan Doa. Djadi dalam edisi Pustaka Rakjat ada 6 sadjak jang lain dari jang dimuat dalam jang asli.”

Wilfridus Josephus Sabarija (disingkat WJS) Poerwadarminta, lahir di Yogyakarta 12 September 1904 dan meninggal dunia di Yogyakarta 28 November 1968. Karena saya tidak punya buku Jassin yang cetakan ke 2-5, jadi belum bisa lacak kebenarannya. Yang bisa jadi, penambahan berita seirama pekabaran Sehandi terdapat juga pada cetakan kedua sampai kelima, dst. Adanya kemungkinan WJS. Poerwadarminta memegang buku cetakan pertama, lantas memberitahu kepada Jassin, kalaulah dua puisi CA tersebut diperuntukkan dirinya, atau Jassin menanyakan hal itu kepada Poerwadarminta, lalu terjadi penambahan keterangan di cetakan lanjut. Lebih terangnya, tentu diperlukan penelitian mendalam dan seksama demi mengungkit-lacak kebenarannya.

Kemudian mengenai sajak-sajak CA yang kepergok saduran, saya ambil dua paragraf Jassin halaman 28 dan 29: “Beberapa sadjak Chairil jang djelas saduran tapi pula saduran jang puitis ialah Rumahku, Kepada Peminta-minta, Orang Berdua ( =Dengan Mirat) jang sudah dibitjarakan diatas, Krawang-Bekasi. Bisa kita golongkan terdjemahan sadjak-sadjak Datang Dara hilang Dara dan Fragmen (Tiada lagi jang akan diperikan?).” Dan “Kedua sadjak saduran Rumahku dan Kepada Peminta-minta setjara kronologi terdjadi tahun 1943. Orang Berdua ( =Dengan Mirat) terdjadi tahun 1946, sedang Krawang-Bekasi achir tahun 1948. Dua terdjemahan Datang Dara hilang Dara dan Fragmen pun keduanja dikerdjakan achir-achir tahun 1948.”

Penelusuran Jassin hampir sama berat jalan kepenyairan CA; yang satu menyusuri buku-buku susastra, membuka lelipatan waktu-peristiwa, mengadakan bayang-bayang dari kegelapan untuk menemukan kepastian dari keraguan yang senantiasa berulang mendera atas jiwa pengamatan, memasuki lipatan kata, menggerayangi larik-larik puisi, memadukan warna sajak, menggolongkan yang seirama puitika demi mencapai kemungkinan terdekat dari alam perkiraan yang terus beredar. Dan kegiatan CA mencecapi rasa setiap kata gubahan makna peristiwa, mengukur tiap-tiap terbitan inspirasi, demi peroleh kadar keseimbangan ruang-waktu yang diharap bisa langgeng tidak berubah asal pokoknya daya.

Lagi, di halaman 9: “Didalam menjelidiki Chairil Anwar sebagai penjair tentu pernah timbul pula pertanjaan: Apakah sadjak Nisan jang ditulisnja bulan Oktober 1942, sadjaknja jang pertama, ataukah sebelum itu sudah ada sadjak-sadjak jang lain dan bagaimana tjoraknja? Hal ini pernah saja tanjakan pada penjair dan menurut keteranganja perhatianja kepada kesusastraan sudah mulai sedjak ia duduk dibangku sekolah rendah dan dia sudah lebih dulu membuat sadjak-sadjak tjorak Pudjangga Baru, tapi karena tidak memuaskanja lalu dibuangnya. Dari sudut penjelidikan perkembangan pribadi seniman sebagai penjair, pun periode sebelum sadjak Nisan ini menurut pendapat saja penting kita selidiki djika ada bahan-bahannja.”

Pada paragraf di atas laksana berkehendak menutupi, kalau dari sajak “Nisan” seharusnya menjadi suatu pijakan awal, dikarena tidak diketemukannya sajak-sajak sebelum bulan Oktober 1942. Sampai kini sepertinya belum ada yang meneliti, mengungkap lebih jauh, misal menanyakan kepada anak perempuan semata wayang CA yakni Evawani Alissa. Memang jarak waktu dan peristiwa semakin menjauh, jikalau tiada yang menyambangi kuntum-kuntum bunga masa lampau dengan hanya berpegang ungkapan CA kepada Jassin, bahwa dirinya sudah menuliskan sajak bercorak sajak-sajak Pujangga Baru, yang telah dibuang entah di Selat Sunda atau dibakarnya di Ibu Kota Jakarta.

***

Membayangkan proses kreatif CA sebelum sajak pertamanya yang muncul ke publik “Nisan.” Adalah setiap penyair menaiki tangga keisyafan pada dirinya terdalam, tapak-tapak kesadaran atas pergumulan menerus terhadap kehidupan disisi senantiasa mencermati ukuran-ukuran telah dipegang bagi keyakinannya, dan tatkala terjadi pergeseran perubahan meski setingkap, itu melewati proses panjang perhitungan matang, kebijakan lama terperoleh dari pergolakan selama hayat dikandung badan. Dan peralihan bobot ukuran di hadapannya; apakah bentuk makna kata; menjadikan perihal menentukan pijakan, menjatuhkan kebijakan, melayarkan pilihan; tentunya menimbulkan resiko menerbitkan konsekuensi tersendiri; hantu-hantu membayang kalau dirasa kurang tepat, renggang atau mengsle, seumpama merasai agak-agak mengingkari hukum sketsa kausalitas.

Misalkan sampai sepeninggal H.B. Jassin, tidak ditemukan sajak-sajak lama CA, yang dimaksud secorak para penyair sebelumnya dari prosesnya sejak dibangku sekolah rendah. Apakah CA dengan sengaja menghilangkan mata rantai proses kreatifnya agar tidak diketahui oleh publik, atau secara sadar mengawali kepenyairannya atas sajak Nisan, dst. Corak puisi, bentuk sajak, wujud syair, perangai kata, warna karangannya dapat dibilang hampir sama dari sajak Nisan hingga karya di akhir hayatnya. Jangan-jangan bisa jadi, kehadiran CA dan sajak-sajaknya yang kita ketahui merupakan tampilan yang diharapkan H.B Jassin ataukah penerbit? Dan atau keputusan CA membuang, membakar, atau menyembuyikan sajak-sajak lamanya, tak lebih mengaburkan para peneliti, atau sekiranya rupa yang sudah dikenal publik itu saja yang pantas diselidiki?

***

Kini lihat alasan CA tidak mencantumkan karya terjemahan bersama nama penulis aslinya. Begini paragraf Jassin di halaman 35: “Timbul pertanjaan apakah sebabnja Chairil melakukan plagiat? Apakah Plagiat hobbynja? Ataukah ia menganggap orang Indonesia tjukup bodoh untuk tidak akan pernah menemukan plagiatnja? Plagiatnja jang menggemparkan ialah Datang Dara hilang Dara, jaitu terdjemahan dari sadjak Hsu Chih-Mo, beberapa bulan sebelum ia meninggal. Ini bisa diterangkan disebabkan karena penjakitnja jang banjak makan ongkos untuk pembajaran dokter. Kira-kira waktu inilah pula ia mengumumkan dibawah namanja sendiri sadjak-sadjak Fragmen dan Krawang-Bekasi. Saudara bertanja: Mengapa dia tidak menjerahkan sadjak-sadjak itu sebagai terdjemahan kepada redaksi madjalah? – Tidak akan diterima saudara. Madjalah-madjalah kebandjiran oleh sadjak-sadjak jang asli dan terdjemahan djarang diterima, atau kalau diterima lama sekali baru dimuat dan honorarium pun kurang dari honorarium sadjak asli. Dan penjair begitu memerlukan uang dan segera untuk pengobatan penjakitnja. Sangat prosais alasan ini saudara, tapi begitulah.”

Lagi-lagi persoalan kebutuhan hidup, dan sudah banyak saya saksikan kawan penulis yang namanya melambung tinggi tercatat di buku-buku sejarah, tetapi kini enggan berkarya jadi beralih profesi menekuni penerbitan atau lainnya. Barangkali telah menikmati kenyamanan hidup, hingga melupa perjuangan semula; darah keringat menghantam dinding kebuntuan pertama dalam berkarya. Memang di sisi lain kemapanan sanggup menggerus mentalitas memandulkan daya cipta, sekiranya tidak merawat kepekaan akan “ingat lan waspada,” sekecilnya kurang dalam menancapkan jiwa kepengarangan, sehingga mudah dibanting bujuk rayu lebih menjanjikan. Mungkin, hanya orang-orang selalu tekun menguri-uri keberadaan jiwa karyanya, meski dengan keterbatasan sangat, berdiri tegak oleh hantaman gelombang tak habis selesai, badai persoalan siap meringkus setiap waktu, dan walau ombang lebih purba daripada karang, atau reribuan pasir dihempaskannya. Di ujung tepian pantai keyakinan, harapan terbit seperti matahari yang menyentuh lapisan pertama langit paling pagi.

26 Agustus 2020, Lamongan.

http://sastra-indonesia.com/2020/09/membaca-perjalanan-kepenyairan-chairil-anwar-dalam-karangan-h-b-jassin/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons