Minggu, 20 Desember 2020

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi



Peresensi: Ahmad Farid Yahya *
 
Buku ini seperti sebuah pintu gerbang yang disajikan oleh penulis untuk mengenal Edgar Allan Poe lewat Jorge Luis Borges. Sebuah buku yang bertebaran komentar-komentar sastra brilian.
 
Borges dan Orang-Utan Abadi merupakan novela terjemahan karya penulis asal Brazil. "Luis Fernando Verissimo adalah salah satu penulis Brasil paling populer berkat kolom satirnya di mingguan nasional Veja. Dia juga seorang novelis, penulis cerita pendek, penyair, kartunis, dan musisi kenamaan. Selain Borges and the Eternal Orang-Utans (2000), karyanya yang lain adalah The Club of Angels (1998), dan The Spies (2009) (halaman iii)." Karya ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Lutfi Mardiansyah, dan diterbitkan oleh Penerbit Trubadur.
 
Novela ini bercerita tentang seorang penulis dan penerjemah bernama Vogelstein yang sedang mengikuti konferensi perkumpulan Israfel di Buenos Aires. Kita tahu bahwa Buenos Aires adalah tempat tinggal Jorge Luis Borges. Pada judul buku ini calon pembaca akan menebak bahwa yang dimaksud dengan Borges dalam Borges dan Orang-Utan Abadi adalah Jorge Luis Borges. Penulis terkemuka asal Buenos Aires tersebut. Anggapan-tebakan tersebut terbukti. Sepanjang cerita, Borges memiliki peran yang hampir sama besarnya dengan narator utama dalam novela ini: Vogelstein. Dikisahkan bahwa Vogelstein merupakan penggemar berat Jorge Luis Borges. Itulah mengapa buku ini seperti buku catatan si Vogelstein tentang Borges dan pertemuan mereka pada konferensi perkumpulan Israfel.
 
Dimulai dengan satu paragraf yang membingungkan (paragraf pertama) dengan huruf miring. "Aku akan mencoba menjadi matamu, Jorge, kuikuti saran yang kauberikan kepadaku saat kita saling mengucapkan selamat tinggal: 'Tulis, dan kau akan ingat.' ... (halaman: 1)." Kemudian paragraf selanjutnya melompat ke peristiwa lainnya. Menandakan bahwa novela ini memiliki alur yang bukan alur maju. Tepat ketika sebelum satu bab terakhir, alur itu terpecahkan juga. Paragraf pertama itu berhubungan dengan satu bab sebelum bab terakhir.
 
Cerita kemudian berawal ketika Vogelstein menarasikan bahwa ia akan mengikuti konferensi perkumpulan Israfel yang akan diadakan di Burnos Aires. Tempat yang tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya, Porto Alegre. Ia mengatakan bahwa geografi adalah takdir. Karena untuk pertama kalinya konferensi tersebut diadakan di luar belahan bumi bagian utara. Perkumpulan Israfel sendiri merupakan sebuah perkumpulan para penikmat dan peneliti karya-karya Edgar Allan Poe, yang mana konferensinya selalu diadakan secara bergiliran di Stockholm, Baltimore, dan Praha. Namun pada tahun itu, untuk pertama kalinya lokasi konferensi dipindah dari tiga tempat tersebut.
 
Vogelstein merasa sangat perlu menghadiri konferensi—yang kebetulan dekat dengan tempat tinggalnya itu. Lebih lagi karena ia ingin bertemu dengan Borges dan memperbaiki semua kesalahannya. Vogelstein merupakan seorang penerjemah, yang beberapa kali menerjemahkan karya Borges. Sekali waktu ia merasa tulisan Borges yang ia terjemahkan kurang sempurna, dan ia menambahkan "ekor" pada cerita tersebut agar lebih sempurna. Namun sepertinya hal itu tak disukai Borges, sehingga semua surat-surat yang dikirimkan kepada Borges sebagai permohonan maafnya tak ada yang dibalas.
 
Peristiwa kemudian berlanjut pada pertemuannya dengan Jorge Luis Borges pada konferensi tersebut. Awalnya pembaca akan mengira bahwa suara narator yakni Vogelstein merupakan suara penulis. Terlihat dari cara berbicara si narator, sudut pandang yang digunakan, dan intelektualitas Vogelstein yang cukup mengesankan, seolah mencerminkan intelektualitas penulis buku ini. Namun anggapan itu ternyata salah. Karena semua kekukuhan tersebut diungkap oleh Jorge Luis Borges pada bab terakhir.
 
Terjadi sebuah pembunuhan salah satu peserta konferensi. Rotkopf ditemukan tewas dengan tiga tusukan pada tubuhnya, satu di antaranya di leher. Darah menggenangi kamar hotelnya. Konferensi akhirnya dibatalkan karena salah satu pembicaranya dibunuh.
 
Terjadi diskusi menarik antara Vogelstein dan Jorge Luis Borges pada bagian mengungkap siapa pembunuh Rotkopf ini. Vogelstein, Borges, dan Cuervo mendiskusikan berbagai macam kemungkinan. Sementara Cuervo memilih pendekatan ilmiah, Borges dan Vogelstein memakai pendekatan sastra untuk menyingkap tabir itu. Terutama yang paling banyak dibicarakan adalah karya-karya Edgar Allan Poe.
 
Beberapa hal seperti Orang-Utan Abadi, Necronomicon, Lovecraft, dan sandi-sandi rahasia dari huruf-huruf vokal dan konsonan dibicarakan dengan mendalam dan cerdas. Pada bagian diskusi ini, novela ini terlihat begitu berbobot.
 
Tak hanya itu (diskusi dengan komentar-komentar sastra brilian itu), penulis menyajikan ending yang plot twist di mana paragraf pertama dari buku ini berhubungan dengan ending, klimaks, dan juga pembahasan tentang "ekor" cerita Borges. Setelah melewati diskusi yang panjang mengenai siapa pembunuh Rotkopf, dan semua buntu, Borges menyarankan agar Vogelstein menuliskan semuanya, yang diingatnya. Karena Vogelstein merupakan orang yang bersama dengan Rotkopf di saat-saat terakhirnya, dan orang yang mendobrak pintu kamar Rotkopf untuk menemukannya sudah tak bernyawa. Semua nama-nama yang dicurigai tak benar-benar bisa diadili, karena bukti yang lemah dan tak ada saksi.
 
Vogelstein pun pulang dari konferensi itu dan menuruti saran Borges untuk menuliskan semuanya. Kali ini ia meminta Borges untuk menulis ekor bagi ceritanya (kesaksiannya) itu. Bab terakhir berjudul "Ekor" menunjukkan analisis Borges yang begitu brilian, dengan mengatakan bahwa tersangka pembunuhan tersebut adalah Vogelstein sendiri. Hal ini menarik, karena ada dua narator dalam rangkaian cerita ini, yakni Vogelstein dan Jorge Luis Borges. Luis Fernando Verissimo seolah merangkai buku catatan Vogelstein dan surat balasan dari Borges setelah konferensi itu, untuk kemudian menjadi apa yang kita sebut Borges dan Orang-Utan Abadi. Pada bab terakhir itu, narasi Borges memperlihatkan bahwa Vogelstein adalah Vogelstein. Tokoh dalam novela ini. Bukan penulis buku ini. Ada detail-detail kecil yang baru kita temukan setelah kita membacanya ulang dari awal. Membuat kita tak hanya membaca peristiwa itu, tapi ikut juga memikirkannya.
 
Judul: Borges dan Orang-Utan Abadi
Penulis: Luis Fernando Verissimo
Penerjemah: Lutfi Mardiansyah
Penerbit: Penerbit Trubadur
Tahun: Cetakan Pertama, September 2020
Tebal: vi+130hlm; 12x19cm
ISBN: 978-602-51629-9-2

*) Ahmad Farid Yahya, penulis asal Lamongan. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media: Amanah, Gelanggang, Radar Bojonegoro, dan Jawa Pos. Bukunya yang sudah terbit: Seorang Bocah yang Menyaksikan Kematian (2020), dan Upacara Penyeretan Jiwa (2020). Aktif di komunitas SAMUDRA, FP2L, KOSTELA, dan Guneman Sastra. http://sastra-indonesia.com/2020/12/membaca-borges-dan-orang-utan-abadi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons