Minggu, 20 Desember 2020

KRITIK

Jakob Sumardjo


Kata kritik bagi kita mempunyai konotasi tidak menyenangkan. Orang tidak senang dinilai oleh orang lain. Akan tetapi, orang senang melihat orang lain menilai orang lain. Jadi, kritik itu hanya mengasyikkan sebagai ‘tontonan’.
 
Kritik memang tradisi baru dalam masyarakat Indonesia. Istilah kritik sendiri jelas tak ada padanannya dalam bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Istilah itu berasal dari zaman Yunani Purba, dan hidup dalam tradisi kebudayaan Barat sejak zaman renaisans, awal zaman modern. Sikap modern yang selalu ingin lebih maju dari sebelumnya, membutuhkan kritik. ‘Semua kemajuan lahir dari kritik’, kata RC Kwant yang menulis buku khusus mengenai kritik. Kritik dibutuhkan lantaran untuk dapat maju dibutuhkan evaluasi, penilaian kembali. Tanpa penilaian kembali tak akan diketahui hasil yang telah dicapai, dan dengan demikian tak diketahui apakah seseorang harus maju atau memperbaiki keadaan. Kritik, penilaian kembali, evaluasi, selalu diperlukan kalau orang menginginkan perubahan ke arah kondisi yang lebih baru, lebih ‘maju’. Ambisi manusia untuk maju demi ‘kesempurnaan’ kondisinya tak akan pernah berakhir. Kritik berkaitan dengan perubahan ke arah kemajuan, yang lebih baru dari yang sudah ada.
 
Dalam masyarakat Indonesia yang rata-rata berinfrastruktur agraris persawahan sejak nenek moyang hadir di kepulauan ini, keseimbangan dan harmoni kehidupan lebih penting dari sekadar perubahan. Dasar pemikiran bersama perlu dimiliki oleh semua golongan. Tradisi menjadi penjaga harmoni kehidupan. Kritik? Dalam masyarakat Indonesia, kritik hanya hidup secara prapredikatif, tak diucapkan, hanya dilakukan. Dalam cerita wayang, Kumbakarna yang melancarkan kritik ketidaksetujuannya terhadap politik abangnya, Rahwana, dilakukan dengan tidur tanpa peduli rekan-rekannya sibuk berperang melawan Rama. Orang Mataram menyatakan ‘kritik’ dengan berjemur di alun-alun yang menghadap balairung raja. Istri memprotes suami dengan tidur membelakangi sang suami. Jadi, ‘kritik’ itu boleh, menilai dan tidak setuju itu boleh, asal dengan lambang-lambang. Kritik predikatif itu kurang sesuai dengan hidup harmoni. ‘Ngonoyo ngono, ning ojo ngono’ (Maksudmu begitu boleh saja begitu, tetapi jangan diucapkan secara begitu).
 
Tentu saja kita sudah tidak hidup lagi di zama persawahan dan kerajaan. Kita sudah memilih untuk hidup dalam kebudayaan dan sikap modern. Perspektif kita memang ke sana, tetapi beban masa lampau ini tidak begitu saja dapat dihilangkan. Pilihan itu belum genap berusia satu abad, sedangkan budaya harmoni telah hidup sekitar tiga puluh abad. Nilai-nilai kehidupan itu diperoleh manusia melalui pendidikan, entah formal, informal, atau nonformal. Pilihan hidup modern hanya dapat diperoleh lewat pendidikan formal karena masyarakat kita sebelumnya memang tidak menyediakan pendidikan semacam itu. Berapa besar pendidikan informal yang diberikan oleh masyarakat sendiri? Nilai-nilai modern hanya dapat ditanamkan lewat rekayasa secara formal oleh orang-orang yang sedang ‘belajar’ hidup secara modern pula. Generasi yang dapat kita didik secara demikian itu mungkin baru mereka yang dilahirkan setelah kemerdekaan. Orang-orang pergerakan yang hidup pada permulaan abad ini kakinya masih basah oleh warisan nilai-nilai lama.
 
Dalam konteks budaya yang demikian itu, apakah kritik memang diperlukan? Karena arah kita sudah jelas dan tak dapat mundur lagi, sikap kemajuan dan kebaruan harus semakin ditanamkan dan dibudayakan. Tetapi, mengapa kritik tak berkembang? Mengapa di berbagai lapangan orang mengeluh tidak ada kritik? Apakah tidak ada kritikus yang punya kemampuan untuk melakukan tugasnya?
 
Dramawan Arifin C Noer pernah menyatakan bahwa kita semua ini tengah belajar, belajar memerintah dan belajar diperintah, belajar mengeritik dan belajar dikritik. Ini berarti kita tengah mengalami transformasi, seperti dikatakan Umar Kayam. Masa transformasi adalah masa yang sulit serta kadang menjengkelkan, layaknya seorang akil balig yang bukan kanak-kanak lagi, tetapi belum dewasa sepenuhnya. Seperti seorang anak puber yang harus tumbuh dewasa, maka kritik pun harus ada.
 
Dalam tranformasi budaya demikian itu lebih banyak muncul kritik prapredikatif, kritik yang tumbuh di bawah tanah, hidup dalam gosip antarteman, yang dengan sendirinya bukan kritik sama sekali. Sebab kritik harus terbuka dan dengan demikian dapat diterima oleh yang kena kritik. Tradisi kritik kita masih bersifat budaya harmoni, budaya zaman raja-raja. Dalam soal kritik, kita belum modern.
 
Kalau kritik itu dilakukan secara predikatif juga, akibatnya sering menimbulkan ‘kemarahan’ bagi yang kena kritik. Mengapa marah? Ada dua kemungkinan. Pertama, si kritik sendiri tak memenuhi syarat sebagai karya kritik yang baik. Kedua, yang kena kritik merasa ‘ditelanjangi’. Inilah sebabnya kritik ‘berjarak’ yang dilakukan oleh orang luar negeri yang tradisi kritiknya telah mapan (boleh dianggap sebagai kritik yang baik) masih sering juga ‘dilarang masuk’.
 
Rupanya kritik harus dilakukan secara profesional. Karena tradisi kritik baru saja tumbuh bersama maraknya budaya modern, sikap profesional ini juga masih dalam taraf belajar, taraf transformasi. Kepercayaan kepada kritik dari dalam negeri sering amat tipis. Kondisi demikian itu dapat dipahami, sebab lembaga kritik memang belum mapan di Indonesia sehingga dapat saja menjadi ajang petualangan bagi yang kurang mampu memberikan kritik. Orang dapat memprotes wasit di lapangan. Orang dapat menyatakan belum ada kritik seni. Sudah adakah lembaga kritik kenegaraan?
 
Yang menerima kritik pun masih dalam taraf transformasi pula. Yang diinginkan adalah kritik positif, kritik yang sesuai antara norma kritik dan kenyataan yang dikritik. Kritik negatif tidak diinginkan karena hal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara norma yang dipilih kritikus dan kenyataan yang dikritik. Sebuah kenyataan itu dapat dinilai dari berbagai sudut dengan norma-normanya sendiri. Dari satu sudut mungkin saja tampak hidungnya tidak mancung, tetapi dari sudut lain justru ketidakmancungan itu memberi aksentuasi kemanisan wajahnya. Kalau masih mau memelihara cinta lebih baik melihatnya dari sudut yang positif. Akan tetapi, jelas ini tidak menunjukkan sikap cinta kebenaran. Kita tidak mau hanya dipuji dari satu sisi, sementara diam-diam orang mentertawakan kenyataan kita. Ya, siapa yang sempurna? Tetapi, semua orang maunya pergi ke sana.
 
Lembaga kritik tetap harus dibangun, meskipun sekarang ini kita sedang akil balig. Di satu pihak persyaratan kritik harus semakin ditingkatkan, dan di pihak lain orang harus belajar hidup dengan kritik kalau mau maju. Sebab, kritik bukanlah kata final. Ia hanya melihat dari satu sisi. Padahal, kenyataan itu bersisi banyak. Orang tidak mau mengawini wanita yang hanya dilihatnya melalui foto yang dikirimkan oleh ibunya. Ia baru bisa memutuskan mengawini atau tidak apabila telah melihat kenyataan seutuhnya, baik yang dapat direkam, difoto maupun yang tidak dapat direkam oleh alat apa pun.
 
Jadi, kawinlah dengan kenyataan, bukan dengan kritik.
***
 
[Dalam Kumpulan Esai “Orang Baik Sulit Dicari”, Penerbit ITB: 1997] http://sastra-indonesia.com/2020/12/kritik-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons