Rabu, 09 Desember 2020

Mengenal Sosok John H. McGlynn, Co-Founder Yayasan Lontar

  

(Co-Founder Yayasan Lontar, John H. McGlynn berpose di perpustakaan miliknya, foto Imam Husein, JP)
 
Andra Nur Oktaviani
Jawa Pos, 8 Sep 2015
 
Mengenal John H. McGlynn, Penerjemah Ratusan Karya Sastra Indonesia
 
Melalui Yayasan Lontar, John H. McGlynn terlibat dalam penerjemahan ratusan karya sastra Indonesia. Dia berjibaku mempersiapkan Indonesia sebagai tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015.
 
Bagi pria yang rambutnya telah memutih itu, Teeuw Award adalah kegembiraan sekaligus kesedihan. Dia bangga karena terpilih memenangi penghargaan bergengsi tersebut. Tapi juga masygul, karena menjadi orang terakhir yang menerimanya.
 
“Teeuw Award itu turut berkontribusi untuk sastra Indonesia. Sayangnya, ini yang terakhir” katanya dengan nada sedih. Sastra Indonesia memang menjadi bagian dari keseharian pria bernama John H. McGlynn tersebut. Mungkin bukan cinta pertamanya, tapi hampir pasti akan menjadi cinta terakhirnya.
 
Puluhan tahun sudah McGlynn turut merawat puisi, novel, atau esai karya para sastrawan negeri yang telah ditinggalinya sejak 1976 itu melalui Yayasan Lontar. Dia mendirikan yayasan tersebut pada 28 Oktober 1987 bersama sejumlah pendekar sastra tanah air, yakni Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, dan Subagio Sastrowardoyo.
 
Di Lontar, pria kelahiran Cazenovia, Wisconsin, Amerika Serikat, itu menjadi penerjemah, editor, sekaligus penerbit. Pengabdian panjang itulah yang akhirnya membuat dia terpilih memenangi Teeuw Award bersama peneliti Belanda Hedi Hinzler.
 
“McGlynn menjadi orang non-Indonesia dan Belanda pertama yang dianugerahi award yang didedikasikan untuk mendiang Andries 'Hans' Teeuw itu. Dia adalah guru besar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Leiden, Belanda. Goenawan (Mohamad) yang pertama memenanginya (pada 1992). Saya yang memungkasinya,” katanya dalam bahasa Indonesia yang sangat lancar.
***
 
Sosok John H. McGlynn, Cinta Pertama Tertambat Melalui Wayang
 
Hingga kini, John H. McGlynn setidaknya sudah 200 buku dengan 500 pengarang yang telah dialihbahasakan dan diterbitkan Lontar. Mulai yang klasik seperti Sitti Nurbaya sampai yang kontemporer macam Supernova.   
 
Buku sastra pertama yang diterjemahkan McGlynn adalah kumpulan puisi karya Sapardi yang diberi judul Watercolor Poems. Sesudahnya, di fase awal berdiri, Lontar berfokus pada karya-karya klasik seperti milik Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armijn Pane.
 
“John (McGlynn) memang sangat berkomitmen memperkenalkan sastra Indonesia ke publik internasional,” ucap sastrawan Okky Madasari yang pernah bekerja sama dengan McGlynn di ASEAN Literary Festival 2015.
 
Padahal, cinta pertama McGlynn dengan Indonesia tertambat bukan lewat puisi, cerpen, atau novel, melainkan melalui wayang. Ketika itu, awal 1970-an, penggemar baju batik tersebut adalah mahasiswa Seni Desain dan Teater Universitas Wisconsin. 
 
Kebetulan, salah seorang dosennya yang habis berkunjung ke Indonesia membawa pulang wayang kulit. Begitu melihatnya, McGlynn langsung jatuh hati. Namun, dia tidak tahu bagaimana cara memainkannya. McGlynn pun lalu mencari guru. Ditemukanlah seorang dalang dari Indonesia yang sedang mengajar di California. Tanpa pikir panjang, McGlynn pun mendatangi sang dalang untuk belajar.
 
Pada 1976, setelah intensif belajar bahasa Indonesia, akhirnya McGlynn pergi ke Indonesia. Tujuan pertamanya adalah Malang. Tiga bulan belajar mendalang di sana, McGlynn lalu pindah ke Jakarta untuk belajar di Universitas Indonesia.
 
Tidak hanya belajar di kelas, McGlynn juga terbilang rajin menyaksikan berbagai pertunjukan budaya. Salah satunya yang digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM). Di sana juga dia berkenalan dengan banyak seniman dan penulis. “Semakin lama bahasa Indonesia saya semakin lancar. Saya jadi sering dimintai tolong untuk menerjemahkan,” kenangnya.
 
Pada awal berdirinya, Lontar hanya mampu menerjemahkan satu hingga dua karya dalam setahun. Maklum, McGlynn hanya bekerja sendiri. Kini karya terjemahan Lontar mencapai 10-15 buku dalam setahun dengan 250-300 penerjemah yang tercatat pernah bekerja sama. 
 
Tapi, bukannya tidak ada kendala. Menurut McGlynn, di antara ratusan penerjemah itu, yang benar-benar berkualitas hanya sekitar sepuluh. Sisanya, dia mengaku lebih banyak mengeluarkan energi untuk mengedit ketimbang menerjemahkan sendiri. Kendala lain adalah masalah klasik penerbit buku: tak gampang menjual buku sastra. Buku yang dipuji kritikus seperti karya Pramoedya Ananta Toer pun belum tentu diminati pasar.
 
Meski kualitas kerap kalah oleh popularitas untuk urusan penjualan, Lontar tetap menjadikannya yang pertama sebagai indikator utama memilih buku yang digarap. Parameter itu terutama diterapkan dalam sepuluh tahun terakhir.

Sumber: Jawa Pos http://sastra-indonesia.com/2020/12/mengenal-sosok-john-h-mcglynn-co-founder-yayasan-lontar/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons