Minggu, 03 Januari 2021

AKU TIDAK PERNAH PERGI KE BIOSKOP

Karya: Enrique Vila-Matas

untuk José Luis Vigil
Penerjemah: Erwin Setia *
 
Persis pada pukul sepuluh malam, ia berdiri di depan pintu rumah Rita Malú. Seorang pelayan yang bertubuh jangkung menghalangi jalannya. Pampanini berkata:
 
“Aku salah satu dari tamu undangan.”
 
“Kau termasuk di antara mereka?”
 
“Apakah di sana ada orang-orang lain?”
 
“Ayo, masuk.”
 
Pampanini berjalan menyusuri koridor yang menghadap sebuah ruang tamu kecil. Selagi ia diarahkan (hanya dengan kata-kata, sebab wujud si pelayan tiba-tiba sudah menghilang) melewati ruangan-ruangan yang bersambung secara rumit, ia mulai menyadari bahwa ini adalah sejenis tempat di mana kau tahu, pada suatu momen, seseorang akan menyuguhimu kejutan yang buruk. Dan memang begitulah. Tiba-tiba sebuah pintu berderit dan terbuka, menampakkan padanya Rita Malú, yang sedang menghadap rak buku, merapikannya begitu lama dan sempurna, dengan sarung tangan berwarna gading.
 
“Aku senang bisa hadir,” ujarnya menghampiri si empunya rumah.
 
“Begitu pula aku,” timpal Rita.
 
“Tapi, apa ini rumahmu?”
 
“Mari kita pergi ke lantai atas.”
 
Mereka menaiki tangga spiral menuju lantai atas. Di sana sudah ada beberapa kelompok tamu, lampu-lampu pesta yang mungil dan bercahaya merah, sebuah piano, dan suasana yang riang. Pemandangannya begitu semarak, tapi Pampanini merasa agak lengar. Sejak ia bertemu dengan pelayan barusan, ia merasa petaka akan datang. Ketika dua orang wanita saling melempar kue krim, seorang berkebangsaan Amerika yang bernama Glen mengira bahwa Pampanini adalah seorang sutradara film yang sudah wafat. Setelah menyambutnya dengan khidmat dan melupakan soal kue krim yang tengah dibagi-bagikan, si Amerika mengucapkan selamat kepada Pampanini atas filmnya yang sangat menakjubkan, dan memberi penekanan khusus mengenai adegan menegangkan di mana seorang budak wanita mandi telanjang di Sungai Tigris. Pampanini hendak melayangkan protes ketika seorang wanita tua mencacinya karena di film-film awalnya nilai-nilai atesime terpampang begitu jelas.
 
“Paling tidak nanti kau mesti mengubahnya menjadi Katolikisme,” kata si wanita tua.
 
“Kau salah orang, kau merancukan aku dengan orang lain,” balas Pampanini.
 
Glen si Amerika menyalakan sebatang rokok. Si wanita tua beranjak menuju seorang lelaki dengan dagu tebal dan perut buncit, si Rossi, dan memintanya untuk memainkan piano. Si lelaki mendesah, bangkit, tersandung kaki Pampanini sewaktu ia melewatinya, dan duduk menghadap piano. Ia menundukkan kepala dan terdiam sejenak. Kemudian, dengan pelan dan sangat berhati-hati, ia letakkan rokoknya di dalam asbak dan kembali menundukkan kepalanya. Ia tetap begitu untuk beberapa saat sampai akhirnya ia menengadah. Ia mendedikasikan penampilannya secara khusus untuk seorang sutradara terhormat yang malam itu telah bersedia hadir. Pampanini menginterupsi, dan berusaha menjelaskan kepada semua hadirin kerancuan perihal identitasnya.
“Sutradara itu sudah mati beberapa waktu lalu,” kata Pampanini.
 
Semua orang tertawa, berpikir bahwa Pampanini orang yang jenaka, bahkan sebagian bertepuk tangan. Pampanini meminta Rita untuk meluruskan semua kesalahpahaman ini.
 
“Kau bisa melakukannya lebih baik daripada aku,” ucap Rita agak angkuh.
 
Pampanini pergi ke arah piano, bersandar padanya, lantas berkata dengan suara yang tenang tapi tegas kepada Rossi:
 
“Kau merancukanku dengan seorang mayat. Aku seorang kaligrafer dan bekerja untuk dewan lokal. Namaku Alfredo Pampanini.”
 
Suara tawa dan tepuk tangan makin menggelegak.
 
“Aku tidak akan keberatan dengan kesalahpahaman yang celaka ini,” lanjut Pampanini. “tapi pada kenyataannya, Tuan dan Nyonya, aku bahkan tidak pernah pergi ke bioskop. Sungguh, aku tidak pernah masuk ke gedung bioskop, tidak pula ketika aku masih kanak-kanak, di mana waktu itu akan sangat modis apabila seseorang menghabiskan hari Minggu dengan pergi ke tempat-tempat yang remang. Dulu dan sekarang imajinasiku masih kelewat melimpah untuk buang-buang waktu dengan menatap sebuah layar dan menunggu potongan-potongan gambar yang hanya muncul sepintas.”
 
Itu betul. Semasa bocah, Pampanini terlalu asyik bermain-main sendirian sehingga orang tuanya tidak pernah menemukan waktu yang tepat untuk mengajaknya ke bioskop. Ketika beranjak besar, ia tetap tak terlihat ingin tahu soal bioskop. Tiap kali seseorang mengajaknya pergi, ia selalu bisa menemukan alasan yang meyakinkan untuk menghindari sesuatu yang baginya merupakan siksaan belaka itu. Menurutnya film adalah yang paling menipu dari semua jenis seni dan satu-satunya seni yang tidak mengandung sedikit pun kebenaran.
 
“Kau tidak bisa membodohi kami,” ujar si wanita tua.
 
Namun Pampanini telah beranjak. Di salah satu sudut ruangan, Rita memperkenalkan Pampanini pada dua teman wanitanya yang masih muda. Keduanya punya sebutan Genoveva. “Itu tidak benar,” pikir Pampanini. Salah seorang dari dua wanita muda itu yang parasnya lebih cantik berusaha menghangatkan Pampanini dari ancaman yang menggantung di udara.
 
“Kaulihat burung-burung itu?” tanyanya.
 
Ada cukup banyak burung sedang bertengger di atas kabel.
 
“Ada apa dengan burung-burung itu?” sahut Pampanini.
 
Rita menggaet lengan Pampanini dan membawanya ke sisi lain ruangan. Sambil berjalan, Rita bertanya apa betul Pampanini tidak pernah pergi nonton film ke bioskop. Pampanini berucap:
 
“Ya, itu benar, dan kautahu kenapa? Karena di dalam film-film tidak ada sedikit pun kebenaran.”
 
Selagi mengatakan itu, Pampanini tetap memandang ke belakang di mana Duo Genoveva berada. Ia sungguh menyukai salah satu di antara mereka yang wajahnya kurang cantik, dan saat ia membayangkan bisa ngobrol panjang bersama wanita itu, tiba-tiba Glen si Amerika memarah-marahi Rita lantaran ia cuma punya sedikit alkohol di pesta itu.
 
“Kenapa kau mau minum banyak-banyak?” tanya Pampanini.
 
“Biar mabuk, lah.”
 
“Dirimu? Mabuk?”
 
“Duduk!” seru Glen.
 
Glen menggeret Pampanini ke atas sebuah kursi, dan Pampanini yang tak berani menolak, segera duduk. Keterkejutan Pampanini belum benar-benar hilang ketika muncul sesuatu yang lebih mengejutkan. Ia melihat Glen cekcok dengan Rita lalu si Amerika itu menampar muka Rita begitu keras. Pampanini tercengang, ia tak pernah menyaksikan hal semacam itu sebelumnya. Ini tidak mungkin, pikirnya. Glen melarikan diri ke lantai teratas, sementara Rossi mengejarnya. Tak lama berselang, saat hendak melompat dari satu lantai ke lantai berikutnya, Rossi kehilangan pijakan dan tergelincir. Meski tergelincir, tangan Rossi berhasil meraih talang, sedangkan topinya jatuh ke lubang. Sejumlah tamu tertawa layaknya para maniak. Tidak, ini tidak mungkin, pikir Pampanini. Dan di sana Pampanini duduk, sungguh-sungguh tercengang.
***
 
Diterjemahkan dari cerpen “I Never Go to the Movies” karya Enrique Vila-Matas yang terhimpun dalam Vampire in Love and Other Stories (New Directions, 2016). Cerpen itu dialihbahasakan dari bahasa Spanyol ke bahasa Inggris oleh Margaret Jull Costa.
 
*) Erwin Setia lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini menempuh pendidikan di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Haluan, Koran Merapi, Padang Ekspres, dan Detik.com. Cerpennya terhimpun dalam Dosa di Hutan Terlarang (2018). Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14. http://sastra-indonesia.com/2021/01/aku-tidak-pernah-pergi-ke-bioskop/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons