Selasa, 02 Februari 2021

Kekuatan Karya Sastra; Mengurai Keterkaitan Karya Sastra dan Perubahan Masyarakat

Aang Fatihul Islam *
 
Karya sastra merupakan letupan puing-puing mahakarya yang dieksekusi lewat suara- suara masyarakat. Barangkali itu merupakan ungkapan yang tepat untuk mengapresiasi kekaguman saya pada karya sastra. Ketika banyak digembor-gemborkan istilah agen perubahan (agen of change) di tengah-tengah Mahasiswa dari zaman orde lama hingga kini, maka saya disini ingin menguak sebuah agen of change yang berkaitan dengan karya sastra. Seringkali karya sastra dianggap sesuatu yang fiksi belaka dan apa yang dituangkan di dalamnya adalah hanya bualan sang pengarang saja. Benarkah karya sastra hanya berfungsi sebagai hiburan semata? Ada yang mengatakan karya sastra merupakan reportase realitas masyarakat yang dituangkan dalam keindahan kata-kata. Karya sastra adalah mediasi antara fakta dan fiksionalitas. Maka adakah keterkaitan antara karya sastra dengan perubahan masyarakat?
 
Ada beberapa literatur yang bisa kita pakai sebuah acuan bahwa memang karya sastra ada keterkaiatannya dengan kehidupan masyarakat antara lain; De Bonald dalam Buku “Theory of Literature” (1949,110) mengatakan bahwa sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat (literature is an expression of society).maka karya sastra adalah merupakan luapan hati masyarakat yang terwakili lewat rajutan sebuah tulisan. Begitu juga Hegel dan Taine (1949, 111) mengatakan bahwa kebesaran sejarah identik dengan kehebatan artistik melalui karya sastranya, sastrawan menyampaikan kebenaran sejarah dan kebenaran sosial, karya sastra merupakan dokumen (sejarah) dan karena itu, merupakan menumen (documents because they are monuments).
 
Ada tiga hal yang bisa juga dijadikan acuan antara keterkaitan karya sastra dengan masyarakat ini berkaitan dengan hubungan deskriptif (bukan normative) antara sastra dan masyarakat, antara lain: pertama: sosiologi pengarang, profesi pengarang, institusi sastra (Status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra), kedua: isi karya sastra, tujuan karya sastra, hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra dan berkaitan dengan masalah sosial, ketiga: persoalan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Atau secara sederhana intinya tiga butir di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat sosial, dan dampak sastra terhadap masyarakat.
 
Dalam keterkaitan karya sastra dengan realitas masyarakat, salah satu kritikus sastra Indonesia, H.B Jassin pernah menyampaikan kerinduhannya pada karya sastra Indonesia: “Bagi para pengarang sungguh masih banyak daerah yang belum dijelajah. Untuk menyebutkan beberapa contoh; kehidupan penyelam mutiara di sebelah timur kepulauan kita, kehidupan di tambang-tambang minyak dan batu bara, kehidupan suku bangsa yang terpencil jauh di pedalaman seperti pegunungan Kalimantan, kehidupan para nelayan mencari nafkah di tengah laut, alam dunia juru terbang yang kini mengarungi udara kita, kita tidak kehabisan bahan dan persoalan”. Demikian uraian H.B Jassin seperti yang dikutip A.A Navis dalam majalah sastra dan budaya Horison Edisi Januari 1994, halaman 9.
 
Karya sastra adalah realitas bumi dan masyarakat yang direkam dan dirajut dalam keindahan bahasa. Maka dalam memasukkan nilai-nilai di dalamnya pengarang punya jurus jitu dalam memikat para pembaca untuk membaca dan secara tidak langsung misi pengarang akan merasuk dalam otak para pembaca. Di sini pembaca akan melakukan pengembaraan wacana terhadap karya sastra, yang pada akhirnya mereka terinfeksi virus-virus wacana dan sedikit demi sedikit mereka akan banyak melihat realitas lewat keindahan bahasa karya sastra. Iilah bedanya karya sastra dengan liputan berita yang dalam penyuguhannya terkesan lugas dan formal. Tapi karya sastra menyuguhkan gambaran realitas lewat rajutan kata yang begitu indah, sehinggah disamping terhibur pembaca juga akan mendapatkan banyak nilai dan pesan di dalamnya.
 
Menurut Budi Darma para sastrawan dalam menuliskan karyanya punya dua hal, yaitu Worldview (pandangan terhadap dunia) dan Weltanschauung (misi/tujuan merombak masyarakat) Maka para para penggiat sastra dapat berperan disini yaitu menuangkan kegelisahannya dan misinya lewat karya sastra. Sebagaimana Pramudya Ananta Toer yang menuliskan kegelisahannya dan menuliskan misinya lewat Novelnya “Bumi dan Manusia”, Jejak Langka, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca, W.S. Rendra menyuarakan kegelisahannya dan misinya yang meledak-ledak lewat puisi-puisinya, misalnya “Sajak Sebatang Lisong”, dan “Yang Muda yang Bercinta”, N.H Dini menyuarakan kegelisahannya dan misinya lewat novelmnya “Salah Asuhan”, Budi Darma menyuarakan kegelisahan dan misinya lewat novelnya “ Olenka”, Bustan Maras Mandar menyuarakan kegelisahannya misinya lewat cerpennya “Ziarah Mandar” dan masih banyak lagi. Itulah manifesatasi dari para sastrawan yang menjadi obor penerang bagi bumi yang mulai gelap pekat ini. Karya mereka mampu menjadi percikan-percikan kecil yang merayap dan menjadi kekuatan besar dalam merubah paradigma dan perilaku masyarakat.
 
Lewat karya-karya sastra selain pembaca terhibur (ulce de at utile), mereka juga secara tidak langsung akan mengenyam nilai dan pesan yang ada di dalam karya sastra tersebut. Karena bagaimanapun juga di dalam karya sastra ada banyak nilai misalnya nilai budaya, ajaran moral, falsafah kehidupan, sejarah, psikologi, realism sosial dan sebagainya yang kesemuanya itu tercermin dalam karya sastra atau sering di sebut sebagai mimesis. Mimesis merupakan realita yang ada di masyarakat yang tercermin dalam karya sastra. Mimesis ini dapat kita temui pada buku “Tentang Sastra” karya Lexemburg (1991: 15). Mimesis mulai ada sejak zaman filsuf Plato dan muridnya Aristoteles. Nilai-nilai yang merupakan cerminan dari realita (memesis) inilah yang kemudian diramu dengan indah oleh pengarang dalam sebuah pertemuan antara realitas dengan fiksionalitas, maka jadilah karya sastra.
 
Warren (1949: 14) menguraikan bahwa Salah satu batasan “sastra” adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. “literature” berasal dari kata Latin litera/huruf)—seharusnya sastra lisan juga termasuk sastra, tapi karena sudah sejak lama sastra lisan di Barat ditulis menjadi sastra cetak, maka pandangan Barat mengenai “sastra” berbeda dengan pandangan kita / karena kebanyakan sastra lisan kita belum dicetak. Sastra kisan di Barat sudah banyak yang dicetak atau disadur, seperti misalnya Romeo dan Juliet karya Shakespeare adalah saduran dari sastra lisan Itali, dan Doctor Faustus karya Goethe adalah saduran dari sastra lisan Jerman. Karena sastra adalah sesuatu yang tertulis atau tercetak, maka semua hal yang tertulis dan tercetak dapat juga menjadi objek ilmu-ilmu lain, sepanjang ilmu-ilmu itu juga sudah ditulis atau dicetak. Ilmuwan sastra dapat mempelajari “profesi kedokteran. Pada abad ke-14,” “gerakan planet di Abad Pertengahan,” atau “Ilmu sihir di Inggris dan New England.”
 
Ilmuwan sastra “tidak terbatas pada belles letters”, dan karena itu kerja ilmuwan sastra harus dilihat dari “sumbangannya pada sejarah kebudayaan.” Hal ini dapat juga dilihat dari tokoh Rusia misalnya, Churcil yang pidatonya indah dan mampu menginspirasi para serdadu untuk bangkit melawan musuh, begitu juga Betran Russel, seorang Filsuf dan ahli matematika, essai-essainya indah dan tidak pernah menulis fiksi. Akan tetapi keduanya telah mendapatkan nobel sastrawan dunia.
 
Menurut Greenlaw, studi sastra bukan hanya berkaitan erat, tapi identik dengan sejarah kebudayaan. Warren (1949:12) menambahkan bahwa kalau Greenlaw benar, maka “studi sastra” menjadi kabur, karena studi sastra adalah sebuah studi khusus dengan metode-metodenya sendiri yang tidak sama dengan metode-metode cabang-cabang ilmn pengetahuan lain. Buku-buku sejarah, filsafat, atau ilmu pengetahuan lain sebetulnya bukan karya sastra, tapi ada juga buku-buku itu yang “karya yang berniali sastra,” tapi bukan karya sastra. Memang banyak sejarawan sastra memasukkan karya-karya ahli filsafat, sejarawan, ahli teologi dan moral, politikus dan ilmuwan dalam pembahasan, karena sastra pada hakikatnya adalah dunia pemikiran, dan cabang-cabang ilmu lain adalah juga dunia pemikiran.
 
Kalau Budi Darma menggambarkan Olenka dalam novelnya seperti Peta, maka karya sastra adalah peta heterogenitas realiatas masyarakat. Kita bisa melihat sudut-sudut fenomena social, sejarah dan budaya dalam karya sastra. Ada sebuah analogi yang bisa dijadikan motivator kita dalam mengapresiasi karya sastra. Di barat banyak tokoh-tokoh yang berlatar belakang non-sastra akan tetapi pada akhirnya menjadi sastrawan karena berawal dari membaca karya sastra.
 
Tokoh-tkoh itu antara lain Claude Levir Straus (bidang studi anthropology), Roland Barthes(bidang study sastra), Michael Faoucault (bidang study Sejarah), Jacques Lacan (bidang study Psikiater), Sigmund Freud (Ahli Kedokteran) dan sebagainya. Walaupun kebanyakan dari mereka berasal dari latar belakang non-sastra akan tetapi pada akhirnya mereka menjadi sastrawan yang hebat-hebat dengan mengembangkan latar belakang mereka lewat karya sastra, sehingga di dalam karya sastra akan ada nilai antropologi, sejarah, psikologi, kesehatan dan sebagainya. Sigmund Freud bisa menciptakan treori psikoanalitik karena membaca karya sastra yang berisi psikologi, di sanalah Sigmund Freud mempelajari psikologi masyarakat dan tercipalah teori psikoanalitik. Begitu juga tokoh-tokoh yang lain juga mendapatkan sesuatu yang baru dari membaca karya sastra.
 
Hipotes penulis kalau para politikus, pemerintah, sejarawan, budayawan, dokter, guru, mahasiswa, karyawan, tukang becak dan kaum miskin kota mau membaca karya sastra maka mereka akan kaya dengan nilai yang di dapatkan dalam karya sastra. Mereka akan mampu menembus keburaman akan realitas yang selama ini mengungkung mereka. Dengan membaca karya sastra sedikit demi sedikit paradigma dan kesadaran mereka akan realita akan terbuka. Ketika tabir yang selama ini menutupi mata hai mereka maka akan terjadi balancing antara elemen satu dengan yang lainnya. Inilah yang kemudian dinamakan dengan perubahan masyarakat.
 
Penulis percaya bahwa di dalam rajutan kata-kata ada sebuah kekuatan dahsyat yang mampu menggerakkan siapa saja yang membacanya. Sebagaimana rajutan kata-kata indah ayat-ayat suci Al-Qur’an di dalamnya mempunyai kekuatan yang luar biasa. Rajutan kata-kata dalam karya sastra pun tidak lepas dari manifestasi uraian keindahan ayat Al-Qur’an dalam konteks Islam, di dalamnya juga di selipkan suara gress root (arus bawah), yang oleh Pram di gambarkan lewat bukunya Realisme Sosial (2003: 34) yang mana dalam karya sastra ada upaya dalam memperjuangkan kelas Proletar (raykat bawah/kaum tertindas). Sebagaimana yang terdapat di dalam penggalan Surat Al-Ashr ayat (1) “ Wal Ashri Innal Insana Lafi Khusrin Illal Ladzina Amanu Wa’amilus Sholihati” yang berarti bahwa sesuangguhnya manusia telah benar-benar dalam keadaan merugi, kecuali orang yang beriman dan juga beramal sholeh. Saya ingin menggaris bawahi kata “Wa’amilush Sholihati” (beramal sholeh), yang bisa diartikan memperjuangkan kaum tertindas. Jadi di dalam beramal sholeh harus senantiasa memihak kau tertindas dan memperjuangkan keadilan.
 
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa bukan hanya para cendekiawan, aktivis dan intelektual saja yang dapat melakukan perubahan terhadap masyarakat, akan tetapi para sastrawan juga telah memberikan sumbangsih pemikiran yang cukup signifikan lewat karya sastra dalam melakukan perubahan terhadap masyarakat. Di sini yang perlu di garis bawahi adalah realitas masyarakat terekam secara rapi dalam karya sastra. Jadi karya satra telah mampu mempersuasi masyarakat untuk melihat realitas secara bijaksana tidak hanya pada kulit luarnya.
 
Berapa persen kadar persuasi tersebut adalah tidak lepas dari seberapa kuat sinyal gelombang membaca yang mampu pembaca tangkap di dalam karya sastra tersebut. Semoga karya sastra yang mulai bertebaran di mana-mana di Jombang pada khususnya dan di belahan bumi pada umumnya mampu memberikan sumbangsih pemikiran yang signifakan dalam perubahan paradigma masyarakat. Amin.
***

*) Penulis adalah Pimpinan Komunitas Lembah Pena “Endhut Ireng” Jombang. http://sastra-indonesia.com/2010/10/kekuatan-karya-sastra-mengurai-keterkaitan-karya-sastra-dan-perubahan-masyarakat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons