Selasa, 02 Februari 2021

Humanisme Mahmoud Darwish

Cecep Syamsul Hari *
Pikiran Rakyat, 13 Sep 2008
 
DALAM pidato penerimaan Prince Claus Awards (2004), Mahmoud Darwish, penyair nasional Palestina, berkata: “Seseorang hanya dapat dilahirkan di satu tempat. Namun demikian, ia bisa saja mati berkali-kali di tempat lain: di pengasingan dan penjara, dan bahkan di negeri kelahiran yang telah diubah menjadi mimpi buruk oleh penjajahan dan penindasan. Puisi mengajarkan kepada kita untuk memelihara ilusi penuh pesona itu: bagaimana melahirkan diri kita sendiri berkali-kali dan menggunakan kata-kata untuk membangun dunia yang lebih baik, sebuah dunia bersifat fiksi yang memungkinkan kita menandatangani suatu perjanjian perdamaian yang langgeng dan menyeluruh dengan kehidupan.”
 
Pemikiran atau mungkin harapan tentang “perdamaian yang langgeng dan menyeluruh dengan kehidupan” itu telah menjadi nafas pencarian sajak-sajak Mahmoud Darwish sejak awal. Di masa kanak-kanaknya, Darwish menulis sebuah puisi yang ditujukan kepada seorang anak Israel. Puisi itu adalah tugas sekolah untuk merayakan “hari jadi” negeri zionisme Israel. Bertahun-tahun kemudian Darwish sendiri, menurut penuturan Peter Clarck dalam The Guardian edisi 11 Agustus 2008, mengatakan bahwa ia lupa sajak itu tetapi masih dengan jelas mengingat ide dasarnya, “Kau bebas bermain di bawah cahaya matahari, tapi aku tidak; kau punya banyak boneka, tapi aku tidak; kau punya rumah, tapi aku tidak; kau punya banyak hari perayaan, tapi aku tidak. Mengapa kita tidak boleh bermain bersama?”
 
Masih jelas dalam kenangan Mahmoud Darwish, gara-gara menulis puisi itu ia dipaksa menghadap gubernur militer yang mengancamnya seperti ini, “Jika kau menulis puisi-puisi seperti itu lagi, akan aku pecat ayahmu.”
 
Mahmoud Darwish tetap menulis “puisi-puisi seperti itu” hingga akhir hayatnya. Ia memproklamasikan dirinya sebagai seorang humanis. Ia menulis puisi-puisi yang didasarkan pada penghormatan total dan penghayatan mendalam terhadap kemanusiaan. Ia, seperti dikutip Maya Jaggi dalam The Guardian edisi 8 Juni 2002, berkata, “Aku akan terus memanusiawikan bahkan musuhku sendiri..Guru pertamaku yang mengajari bahasa Hebrew adalah orang Yahudi. Cinta pertamaku adalah seorang gadis Yahudi. Jaksa yang pertama kali mengirimku ke penjara adalah seorang perempuan Yahudi. Jadi sejak awal, aku tidak melihat orang-orang Yahudi sebagai iblis atau malaikat melainkan sebagai manusia.”
***
 
MENGENANG Mahmoud Darwish yang meninggal dalam usia 67 tahun, 9 Agustus 2008, tiga hari setelah operasi bedah jantung di Memorial Hermann Hospital, Houston, Texas, tak lain tak bukan mengenang nasib bangsa Palestina. Bagi Darwish, Palestina, sebagaimana bagi saudara-saudara sebangsanya, bukan lagi sebuah negeri atau komunitas yang dibayangkan melainkan sebuah ruh yang mengalir di dalam tubuh dan menjadi elan vital bagi tubuh itu untuk bertahan di bawah kezaliman zionisme Israel.
 
Ada sebuah puisi Mahmoud Darwish yang tidak pernah bisa hilang dari ingatan saya sejak saya menerjemahkannya beberapa tahun silam. Puisi itu berjudul I Have Witnessed the Massacre, pertama kali dipublikasikan di Beirut 1977 dalam bahasa Arab dan edisi Inggrisnya muncul pertama kali dalam Modern Poetry of the Arab World (1986: 129) yang dieditori Abdullah al-Udhari. Puisi itu dengan terang melukiskan metamorfosis jiwa Mahmoud Darwish dari seorang saksi menjadi seorang korban yang kemudian memutuskan untuk menjadi seorang yang melawan. Namun demikian, pada bagian akhir sajak itu dengan simbolisme yang halus, ia memperlihatkan optimismenya yang subtil bahwa pada suatu ketika harapannya tentang “perdamaian yang langgeng dan menyeluruh dengan kehidupan” itu akan tumbuh dan mekar di bumi Palestina:
 
Aku menjadi saksi pembantaian
Aku seorang korban dari peta buatan
Aku anak lelaki dari kata-kata tanpa hiasan
Aku melihat koral beterbangan
Aku melihat embun berubah jadi bom berjatuhan
Ketika mereka menutup pintu-pintu hatiku
Memasang barikade dan menetapkan jam malam
Hatiku berubah jadi lembah
Sulbiku menjelma batu
Dan bunga-bunga anyelir tumbuh
Dan kembang-kembang anyelir mekar
***
 
MAHMOUD Darwish lahir di kampung Birwa, di timur Acre di barat Galilee, 13 Maret 1941. Pada saat ia berumur 6 tahun, kampung itu dibumihanguskan tentara Israel. Darwish dan keluarganya melarikan diri ke Lebanon. Tahun berikutnya, ketika keluarganya kembali ke tanah yang telah diduduki, mereka mendapati kampung lamanya telah dilenyapkan. Mereka kemudian pindah dan tinggal di Deir al-Assad. Tidak ada buku di rumah Darwish dan perkenalan pertamanya dengan puisi adalah melalui para penyanyi-pengembara yang melarikan diri dari kejaran tentara Israel. Abangnyalah yang mendorongnya untuk menulis puisi.
 
Periode awal kumpulan puisinya Leaves of the Olive Tree (1964), A Lover from Palestine (1966), dan End of the Night (1967) dipublikasikan di Israel. Pada masa itu, Darwish menjadi anggota Partai Israel, Rakah, dan editor edisi bahasa Arab koran partai, Al-Ittihad.
 
Pada 1971, Mahmoud Darwish meninggalkan Israel dan melanjutkan studi di Universitas Moskow. Setelah tinggal sebentar di Kairo, ia pergi ke Beirut dan menangani sejumlah pekerjaan di Pusat Riset Palestina. Ia tetap tinggal di kota itu selama fase pertama perang sipil sebelum hijrah bersama Yasser Arafat dan PLO pada 1982. Ia pindah ke Tunisia, lalu ke Paris, dan menjadi pemimpin redaksi majalah sastra berpengaruh, Al-Karmel. Meskipun pada 1987 ia menjadi anggota komite eksekutif PLO dan ikut menulis draf Deklarasi Kemerdekaan Palestina, ia tetap menjauhkan dirinya dari konflik kepentingan kelompok di dalam tubuh PLO sendiri. Ia pada banyak kesempatan mengungkapkan sikapnya bahwa ia seorang penyair “dengan perspektif khusus atas realitas.”
 
Selama berada di Paris, Mahmoud Darwish menulis Memory of Forgetfulness (1987) yang edisi Inggrisnya terbit pertama kali delapan tahun kemudian. Memoar itu mengisahkan situasi kota Beirut di bawah hujan bom Israel pada 1982.
 
Selama karier kepenyairannya, Mahmoud Darwish telah menerima berbagai penghargaan, antara lain: The Lotus Prize (1969); Lenin Peace Prize (1983); The Knight of the Order of Arts and Letters (1993); dan Prince Claus Awards (2004).
***

*) Cecep Syamsul Hari, Penyair dan Redaktur majalah sastra “Horison”. http://sastra-indonesia.com/2011/10/humanisme-mahmoud-darwish/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons