Selasa, 02 Februari 2021

Balzac dan Fantasi Global

Eka Kurniawan *
Jawa Pos, 7 Mar 2020
 
Honoré de Balzac, salah satu penulis besar Prancis, pernah menulis sebuah catatan perjalanan berjudul Voyage de Paris à Java. Perjalanan dari Paris ke Jawa, tanpa pernah sekali pun menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Lho, maksudnya?
 
Yang mengaku pernah pergi ke Hindia Belanda di masa itu, di abad kedelapan belas, adalah temannya. Balzac hanya mendengarnya. Mungkin temannya mengarang bebas alias ngibul atau Balzac sendiri yang berfantasi gila-gilaan.
 
Bagaimana tidak. Di dalam bukunya, ia berkisah tentang pohon upas yang tumbuh di tanah Jawa. Pohon beracun yang tumbuh di bekas gunung berapi. Saking beracunnya, kriminal yang dihukum mati hanya perlu disuruh membacok batang pohon itu.
 
Tak lupa fantasi seksual lelaki Eropa atas perempuan Jawa yang ”semua putih, hanya alis mereka yang hitam pekat dan mata cokelat mereka membentuk kontras atas wajah pucat ajaib ini”. Dan menambahkan, ”Sebagian besar perempuan ini kaya, banyak di antaranya janda.”
 
Di luar konteks soal watak orientalismenya, saya justru bertanya-tanya: kenapa orang senang berfantasi? Bahkan tiga abad kemudian, ketika kita di tanah Jawa membaca buku ini dan tahu isinya agak berlebihan, kita masih bisa terhibur oleh fantasinya.
 
Saya rasa itu alasan yang sama kenapa kita membaca novel-novel Jules Verne. Kita senang, mungkin juga penasaran, bagaimana rasanya bertualang ke perut bumi. Bagaimana rasanya berkeliling dunia dengan balon udara.
 
Fantasi, jelas berguna dalam urusan melemparkan diri kita dari kenyataan yang ada. Katakanlah dalam bayangan Balzac, ”Segera setelah datang, seorang lelaki Eropa bisa langsung kawin (dengan janda Jawa), menjadi kaya sebagaimana mereka impikan di malam-malam panjang dan dingin di negeri sendiri.”
 
Di luar itu, fantasi juga membantu manusia melakukan simulasi bagaimana dunia di waktu dan tempat yang berbeda. Barangkali terpesona oleh buku Balzac ini, penyair Prancis Arthur Rimbaud sampai mendaftar jadi tentara Belanda dan dikirim ke Jawa.
 
Apakah Jawa yang dialaminya sama dengan Jawa yang dibacanya, itu soal lain. Yang jelas, fantasi bisa menggerakkan manusia untuk menggapai apa yang ada dalam fantasinya. Tak hanya membebaskan diri dari kepahitan, tapi juga keluar dari kenyamanan hidup.
 
Di tengah suasana penuh kecemasan karena merebaknya virus korona hampir di seluruh dunia, saya teringat novel Jose Saramago, Blindness. Kita bisa menempatkan novel ini juga sebagai fantasi, ia menyimulasikan bagaimana jika terjadi wabah?
 
Di novel itu yang dimaksud adalah wabah kebutaan, yang dengan cepat menular dari satu manusia ke manusia lain. Penyakitnya dalam tingkat tertentu mungkin bisa diganti, tapi yang jelas, ia menggambarkan apa yang bakal terjadi dalam situasi seperti itu.
 
Mencoba menahan persebaran, pemerintah berusaha bertangan besi, menyeret siapa pun yang terkena wabah ke karantina. Korban memperoleh stigma. Masyarakat menjadi keos, panik. Makanan jadi rebutan, petugas kewalahan.
 
Bukankah itu yang terjadi sekarang? Pasta menghilang di supermarket beberapa kota di Australia. Barang-barang menghilang di toko-toko kelontong Kota Milan. Ibadah umrah dihentikan di Arab Saudi. Kota Wuhan, sumber wabah korona, sudah berminggu-minggu dikunci.
 
Novel-novel semacam itu, atau film-film sejenis, jelas (atau seharusnya) mengajari kita bagaimana bereaksi jika hal demikian terjadi dalam kehidupan nyata. Kita sudah membayangkannya, melakukan simulasi, dan itu sisi baik dari fantasi.
 
Saya ingin kembali ke buku Balzac. Selain menggambarkan eksotisme dunia Timur yang asing, saya rasa buku ini juga merupakan bagian dari fantasi tentang dunia global. Tentang petualangan ke negeri-negeri asing, membuka batas-batas. Tentang pertemuan.
 
Fantasi itu telah menjadi kenyataan hari ini. Orang dengan mudah bepergian dari satu negeri ke negeri lain. Barang yang kita miliki didesain di California, dirakit di Vietnam, dan bahan bakunya dari Nigeria. Anak saya bisa ”berjalan-jalan” ke Menara Eiffel dengan Street View Google berkat jaringan serat optik lintas benua.
 
Fantasi yang dibawa buku semacam Voyage de Paris à Java telah membawa dunia sejauh ini. Sekaligus pada akhirnya ia membawa kecemasan baru. Gerakan anti-imigran merebak di mana-mana, diikuti politik identitas yang sektarian, hingga di beberapa tempat menjurus ke kekerasan.
 
Tentu ia juga memberi kita kejutan, yang tak terbayangkan sebelumnya, termasuk wabah korona yang menyebar dalam skala global. Persebaran luas ini hanya bisa terjadi karena adanya pergerakan manusia dan barang lintas negara, lintas benua. Apakah kita harus mengutuk fantasi Balzac? Tidak.
 
Kita hanya perlu memiliki fantasi lain, harapan lain, rasa penasaran lain dan tergerak olehnya. Setidaknya dari Blindness, kita bisa mencegah wabah tak berujung menjadi situasi anarkistis di mana, siapa yang punya uang lebih, bisa memborong masker dan mi instan lebih banyak.
***

*) Eka Kurniawan, lahir di Tasikmalaya, 1975, menyelesaikan pendidikan dari Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tahun 1999. Pada tahun itu ia menerbitkan buku pertamanya yang berasal dari tugas akhir kuliah, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Ia menulis cerita pendek, novel, maupun esai di berbagai media. http://sastra-indonesia.com/2020/04/balzac-dan-fantasi-global/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons