Sabtu, 14 Agustus 2021

Berthold Damshauser: Sastra Indonesia Kurang Dikenal

Berthold Damshauser
Pewawancara: Seno Joko Suyono, Ibnu Rusydi
korantempo.com
 
Ia menjepit rokok dengan telunjuk dan jempol tangan kanan. Di sela-sela kalimat-kalimat Indonesianya yang lancar, ia mengisap kretek A Mild itu dalam-dalam. Berthold Damshauser, 52 tahun, adalah salah satu ahli sastra Indonesia di Jerman yang tersisa. Sejak 1986, dia menerjemahkan sastra Indonesia ke bahasa Jerman dan sebaliknya.
 
Ia datang lagi ke Jakarta sebagai pendiri Komisi Indonesia-Jerman dalam bidang bahasa dan sastra. Pada Oktober 1996, Kanselir Helmut Kohl berkunjung ke Indonesia. Saat itu disepakati dibentuk komisi bilateral Indonesia-Jerman dalam bidang bahasa dan sastra. Sayangnya, komisi itu bertepuk sebelah tangan. Hingga kini hanya pihak Jerman yang aktif.
 
Senin sore lalu, wartawan Tempo, Seno Joko Suyono dan Ibnu Rusydi, serta fotografer Panca Syurkani menemui Damshauser. Ia bercerita mengenai betapa sastra Indonesia sesungguhnya marginal di dunia.
 
Bisa Anda ceritakan Komisi Indonesia-Jerman ini?
 
Komisi ini dibentuk oleh mantan Kanselir Helmut Kohl dan mantan Presiden Soeharto. Komisi ini bertujuan menyebarkan sastra Jerman di Indonesia dan sastra Indonesia di Jerman. Tapi cuma pihak Jerman yang berupaya mewujudkan cita-cita komisi itu. Indonesia masih pasif. Saya harapkan pihak Indonesia mau bergerak.
 
Apa produknya?
 
Saya telah menerjemahkan puisi Paul Celan, Bertold Brecht, dan Goethe. Kini saya sedang menerjemahkan puisi-puisi Nietzche, Zarathustra. Saya kini juga menyiapkan antologi puisi penyair Indonesia periode 1980 hingga 2005. Ada 10 penyair dalam antologi itu. Ini bakal diterbitkan oleh Pusat Bahasa Indonesia.
 
Tahun depan saya berencana akan membawa delegasi penyair Indonesia ke Jerman. Mungkin ini pertama kali delegasi penyair diutus negara. Perkenalan kebudayaan jangan dengan tarian melulu, tapi dengan aksara. Sudah saatnya Indonesia membuktikan kepada dunia mempunyai budaya modern, khususnya budaya aksara. Saya harap Pusat Bahasa bisa mencarikan sponsor.
 
Sudah berapa novel Indonesia yang diterjemahkan dalam bahasa Jerman?
 
Mungkin (total) sekitar 25. Sekitar 6-7 karya Pram (Pramoedya Ananta Toer), Umar Kayam, Ayu Utami, dan Oka Rusmini.
 
Bagaimana tanggapan masyarakat Jerman atas novel Indonesia?
 
Harus diketahui bahwa sastra Indonesia di Jerman terbit di penerbit kecil. Buku-bukunya tak muncul di toko-toko. Tirasnya hanya 1.000-2.000, jelas tidak laris dan jarang dibicarakan kritikus terkenal di harian nasional Jerman ternama, seperti Frankfurt Allgemeine Zeitung. Terjemahan novel Ayu Utami, misalnya, belum banyak tanggapan. Bahkan karya Pram tidak diresensi dari segi sastra, tapi lebih kepada dia sebagai korban politik Orde Baru.
 
Bukankah Pram saat bertemu Gunter Grass mendapat perhatian besar media di sana?
 
Oh tidak, sama sekali tidak.
 
Dibanding novelis Afrika atau Asia lain, Indonesia bagaimana?
 
Cina dan Jepang agresif memperkenalkan sastranya. Juga India dan Korea. Turki dengan sendirinya dilirik karena Orhan Pamuk meraih Nobel. Sastra Amerika Latin bahkan best seller. Dengan Vietnam saja, Indonesia masih kalah.
 
Bagaimana kajian sastra Indonesia di universitas di Jerman?
 
Ada perkembangan yang merisaukan. Jurusan-jurusan itu digeser program studi baru, yaitu studi kawasan. Akibatnya, pengkaji sastra Indonesia berkurang, diganti oleh ahli etnologi, antropologi, dan ekonomi. Bahasa dan sastra hanya jadi pelengkap pengetahuan para ahli kawasan, misalnya kawasan Asia Tenggara.
 
Di Bonn dulu, misalnya, ada program studi penerjemahan yang saya pimpin selama 20 tahun. Namun, sekarang tak ada lagi. Bahkan kini saya jadi abdi untuk (studi) kawasan itu. Dulu masih ada mahasiswa saya yang menulis skripsi tentang sastra Indonesia, sekarang tak ada lagi.
 
Di Jerman, sekarang Anda sendirian menekuni sastra Indonesia?
 
Di Bonn, ya. Di Koln dan Hamburg mungkin masih ada (penggiat lain).
 
Bagaimana Anda melihat fenomena meledaknya novel populer Indonesia?
 
Saya baca Ayat-ayat Cinta tahun lalu. Saya tergiur membaca novel ini. Sebab, ada yang menyebut novel ini layak dinominasikan Nobel karena mengembangkan sastra Islami. Pada 10-20 halaman pertama, novel ini mengalir tanpa kerikil, tapi gaya bahasanya sangat pop.
 
Yang mengganggu saya adalah penggambaran hitam-putih si tokoh pemuda Indonesia di Mesir, seperti insanulkamil. Sempurna betul. Dia berpoligami untuk menyelamatkan perempuan Koptik yang mencintainya. Saya terganggu pesan utama novel itu bahwa yang bisa masuk surga cuma orang Islam. Saat si perempuan Koptik itu sakit, ia bermimpi melihat sebuah gedung indah. Banyak orang berpakaian putih masuk, tapi dia dihalangi.
 
Itu merupakan sikap eksklusif yang agak berlebihan, sama sekali tak sesuai dengan jiwa rakyat Indonesia. Saya sempat ceritakan novel ini kepada seorang teman di Jerman. Dia katakan ini pelecehan terhadap Tuhan. Mengapa? Sebab, novel ini membayangkan Tuhan menerima makhluknya berdasarkan semacam KTP.
 
Bagaimana Anda membandingkan penyair mutakhir Indonesia dengan penyair Jerman?
 
Sastra Jerman berkembang sangat gemilang sejak ratusan tahun lalu. Puisi Jerman sudah mencapai puncak luar biasa pada Goethe dan Nietzche. Di sekolah-sekolah juga diajarkan penulisan esai. Setiap penulis muda ada dalam tradisi yang sangat kaya itu. Para penulis di Jerman juga memiliki kemampuan beberapa bahasa. Saya melihat sastrawan (Indonesia) kurang menguasai bahasa-bahasa lain. Sastrawan Indonesia berkembang otodidak. Kalau boleh kritis, ini tak enak, mutu sastra Jerman rata-rata di atas mutu di sini.
 
Anda lihat peran negara penting untuk penyebaran sastra?
 
Ya. Di Jerman, misalnya, Departemen Luar Negeri wajib (memperkenalkan karya Jerman). Makanya didirikanlah Goethe Institute. Tugasnya menyebarkan kebudayaan Jerman.
 
Saya usulkan agar Indonesia membentuk Pusat Budaya Indonesia di Eropa. Pemimpinnya adalah budayawan, bukan birokrat atau diplomat biasa. Cina, misalnya, sudah mulai mendirikan pusat-pusat Konfusius. Indonesia sudah menganggap diri kebudayaannya penting, tapi tak menyadari bahwa sesungguhnya marginal. Wah!
***
http://sastra-indonesia.com/2009/04/berthold-damshauser-sastra-indonesia-kurang-dikenal/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons