Djoko Saryono *
/1/
Sampai sekarang pada umumnya masyarakat atau kita memandang boga dan puisi-fiksi merupakan dua dunia yang berbeda, bahkan terpisah sangat jauh, yang mustahil bertemu, apalagi bersatu bahu-membahu. Dunia boga merupakan urusan tata boga dan ‘perut dan mulut’, sedangkan dunia puisi-fiksi merupakan urusan seni atau sastra dan ‘rasa dan jiwa’. Di samping itu, dunia boga ditempatkan sebagai bagian gastronomi, sedangkan dunia puisi-fiksi ditempatkan sebagai bagian teori sastra atau kritik sastra. Tak heran, dalam beberapa kurun belakangan, hampir-hampir tidak ada kitab, artikel, makalah, kertas kerja, dan atau wacana, yang mengulas dan membahas perjumpaan dan pertemuan serta kerja sama antara boga dan puisi-fiksi (sastra), apalagi memaparkan perpautan dan perjodohan antara boga dan puisi, gastronomi dan kritik sastra atau kajian sastra. Setahu saya perbincangan khalayak tentang boga dan puisi-fiksi belum pernah berlangsung, bahkan secara sambil lalu pun belum terbetik berita.
Benarkah boga dan puisi-fiksi memang tidak bisa bertemu dan berjumpa, lebih-lebih berpaut dan berjodoh secara serasi, saling mengada dengan mesra? Jika memandang (perjalanan) kehidupan susastra lokal, susastra Indonesia, apalagi susastra mancanegara niscaya kita ‘mau tak mau harus membuang’ pertanyaan tersebut. Menghikmati perjalanan kehidupan susastra lokal (daerah), Indonesia, dan mancanegara, yang sudah terlaksana berpuluh tahun, laksana menjelajahi perjumpaan dan pertemuan boga dan puisi-fiksi yang selalu berlangsung mesra dan penuh keindahan, bahkan kita menyaksikan perpautan dan perjodohan boga dan puisi-fiksi dalam dulang (ke)seni(an) sekaligus penghidupan; keduanya saling mengada (koeksistensi) dalam arung budaya khususnya arung kehidupan sastra dan boga di dunia. Tidak berlebihan dikatakan di sini bahwa keduanya merupakan representasi nyata perpautan dan pertautan dunia boga dengan dunia puisi-fiksi, perjodohan nyata gastronomi (tata boga) dengan kritik sastra (kajian sastra). Perpautan, pertautan atau perjodohan gastronomi dan kritik sastra tersebut saya beri nama atau istilah frasal gastrokritik sastra: kajian sastra gastronomis atau gastrocriticism: gastronomic literary studies (biar tampak gagah).
Sudah barang tentu istilah atau frasa gastrocriticism: gastronomic literary studies atau gastrokritik sastra belum akrab di telinga parapihak (stakeholder) yang berkecimpung di dunia sastra, terutama di kalangan gastronomi dan kritik sastra atau kajian sastra karena setahu saya belum pernah dikemukakan atau dipakai oleh berbagai kalangan, setidak-tidaknya berdasarkan penelusuran saya melalui mesin pencari google dan penelusuran saya di berbagai laman digital. Artikel dan makalah, apalagi buku bertajuk gastrocriticism dan atau gastronomic literary studies pun belum dapat saya termukan. Istilah atau frasa tersebut saya pakai (perkenalkan?) dengan menganalogi istilah ecocriticism yang merupakan perpautan, pertautan atau perjodohan antara ekologi/lingkungan dan kritik sastra; dan atau geocriticism: spatial literay studies yang merupakan perpautan, pertautan atau perjodohan antara keruangan (spasialitas) dan kritik sastra.
Kedua istilah tersebut (baik ecocriticism maupun geocriticism) sudah dikenal di dunia sastra dan diperkenalkan oleh beberapa pihak (baca antara lain tulisan Cheryll Glotfelty, Gregg Garrad, Robert J Tally Jr, dan Betrand Westphal) meskipun di dunia sastra Indonesia khususnya dunia kritik atau kajian sastra Indonesia juga masih ‘sayup-sayup’. Oleh sebab itu, tulisan tentang gastrocriticism: gastronomic literary studies ini masih merupakan eksplorasi dini atau perkenalan awal kepada peminat, penikmat, penghikmat, pencinta, dan atau pengkaji sastra Indonesia. Sebagai eksplorasi dini atau perkenalan awal, esai ini mencoba menguraikan konsep dasar atau definisi gastrocriticism, nalar pentingnya gastrocriticism, dan wilayah garapan (subject matter) gastrocriticism serta asas-asas utama gastrocriticism: gastronomic literary studies.
/2/
Sudah disinggung di atas, secara terminologis, gastrocriticism atau dapat diindonesiakan menjadi gastrokritikisme atau gastrokritik sastra merupakan paduan atau gabungan istilah (terma) gastronomy dengan literary criticism/literary studies. Gastronomy atau gastronomi yang sudah lazim juga disebut tata boga merupakan bidang yang mengurusi hal-ihwal makanan-minuman yang baik, sedang literary criticisme/literary studies atau kritik sastra/kajian sastra merupakan bidang yang mengurusi hal-ihwal karya sastra. Dengan menganalogi paduan atau gabungan istilah geography atau geografi spasial dengan literary criticism/literary studies atau kritik sastra/kajian sastra yang menghasilkan frasa spatial literary studies yang berarti bidang kajian atau kritik sastra yang memusatkan perhatian pada matra spasialitas atau geografi sastra, maka paduan atau gabungan istilah gastronomy dengan literary criticism/literary studies dapat membuahkan frasa gastrocriticism/gastronomic literary studies, yang berarti bidang kajian atau kritik sastra yang memusatkan perhatian pada matra-matra gastronomis atau boga dalam sastra. Dengan demikian, secara bahasawi dapat dikatakan di sini bahwa gastrocriticism/gastronomic literary studies adalah bidang kajian atau kritik sastra transdisipliner yang memusatkan perhatian pada dan mempelajari hal-ihwal saling paut dan jalin-kelindan gastronomi atau boga dengan sastra.
Saling-paut dan jalin-kelindan gastronomi dengan sastra yang dipelajari dan digarap gastrocriticism tersebut bukan hanya hal-ihwal boga yang terefleksi atau terepresentasi dalam teks sastra (baca: boga sebagai isi karya sastra), melainkan juga hal-ihwal boga yang menjadi elemen pembentukan teks sastra (baca: boga sebagai imajinasi, metafora, bahasa figuratif, dan sejenisnya). Bahkan tradisi dan budaya boga, terentang mulai perlakuan terhadap jenis-jenis minuman dan makanan sampai dengan cara-cara dan kebiasaan memasak dan makan juga dapat dijadikan bidang yang digarap dan dipelajari oleh gastrocriticism.
Sebagai contoh, kalau kita baca secara lengkap dan cerat Serat Centhini yang merupakan karya sastra klasik Jawa yang legendaris, niscaya kita temukan taburan dan bauran boga atau kuliner yang luar biasa, bisa menjadi satu kajian tersendiri. Demikian juga jika kita simak dan selidiki secara cermat kolom karya Umar Kayam, yaitu Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Banda, dan Madhep Ngalor Sugih Madhep Ngidul Sugih, yang amat naratif dan literer, kita bisa menjumpai taburan unsur gastronomis baik penganan, minuman, makanan maupun cara-cara memasak dan makan di dalam kolom-kolom tersebut. Novel Para Priyayi dan Jalan Menikung karya Umar Kayam juga mengandung banyak tebaran unsur gastronomis atau boga di dalamnya. Di samping itu, jika baca, simak, dan selidiki secara jeli novel Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak malah dapat kita saksikan semarak karnaval atau parade gastronomis. Novel Aruna dan Lidahnya bukan sekadar menjadikan boga sebagai latar, melainkan sebagai tema, pokok persoalan, bahkan kunci cerita. Lebih lanjut, antologi cerita dan prosa Filosofi Kopi karya Dee, terutama cerita Filosofi Kopi dan Sepotong Kue Kuning, yang dinobatkan Majalah Mingguan Tempo sebagai karya sastra terbaik tahun 2006, menjadikan kopi dan kue sebagai tema, pokok persoalan, pusat penceritaan, imajinasi, dan metafora yang membentuk, mengendalikan, dan menggerakkan cerita dan alur. Dalam Filosofi Kopi boga telah menjadi sumbu cerita dan alur. Anatomi Rasanya Ayu Utami contoh punya kandungan kuat boga.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa (a) unsur boga atau gastronomis bisa direpresentasikan di dalam teks sastra, (b) unsur boga atau gastronomis bisa dijadikan pembentuk teks (dijadikan imajinasi, metafora, dan gaya), dan (c) unsur boga atau gastronomis beserta tradisi dan budaya yang menyertainya bisa dijadikan penanda keberadaan teks secara tersurat, tersirat, dan tersorot. Pendek kata, boga dapat menjadi tanda, lambang, metafora, imajinasi, dan bagian struktur karya sastra.
/3/
Gastrocriticism: gastronomic literary studies tersebut masih merupakan tawaran sangat dini. Pengembangan lebih lanjut secara konseptual dan sistematis harus dilakukan. Pengembangan tersebut sangat penting sebagai alternatif perspektif kajian sastra. Mengapa penting? Paling tidak ada 4 (empat) alasan berikut. Pertama, secara historis puisi-fiksi dan boga sesungguhnya merupakan sejoli di rahim yang sama karena kata gastronomi pertama kali muncul pada zaman modern tepatnya di Prancis pada puisi yang dikarang oleh Jacques Berchoux (1804). Kedua, ilmu-ilmu disipliner termasuk di dalamnya teori formalisme, strukturalisme, dan kritik sastra baru (dalam kajian sastra) sekarang semakin memudar, bahkan menuju kematian sebagaimana dijelaskan oleh Spivak dalam The Death of Disciplines, Terry Eagleton dalam After Theory, dan Raman Selden dalam post-theory. Ketiga, kajian-kajian ilmu kemanusiaan sekarang semakin mengarah pada transdisiplinaritas sehingga kajian gastrokritik sastra memiliki kecocokan (kompatibilitas) dengan tren besar kajian ilmu kemanusiaan. Keempat, kajian gastrokritik sastra atau kajian sastra gastronomis dapat memperkaya khazanah teori sastra transdisipliner sekaligus memperluas ruang-ruang kajian sastra di Indonesia. Bahkan dapat menjadi pilihan pemikiran dan kajian sastra setelah (apa yang disebut Raman Selden dalam bab akhir bukunya) kecenderungan “after theory”. Siapa berani mengembangkan lebih lanjut?
______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional. https://sastra-indonesia.com/2020/07/gastrokritik-sastra-kajian-sastra-gastronomis/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar