Seingat saya pada tahun 1991 di Swedia terbit terjemahan Bumi Manusia Pramudya Ananta Toer dalam bahasa Swedia. Penterjemahnya seorang wanita keturunan Belanda kelahiran Surabaya dan menetap di Swedia. Dia adalah ibu kandung pengarang novel dan drama Agneta Pleijel, seorang Profesor bidang sastra dan filsafat. Ketika itu dia menjadi Ketua Pen-Club Swedia. Saat itu sastrawati Marianne Katoppo datang ke Swedia dan bertemu juga dengan Rondang Erlina Marpaung, mantan wartawan Sulindo dan salah seorang redaktur Berita Minggu di Jakarta sebelum kudeta militer atas pemerintah Sukarno. Marianne teman baik Agneta.
Kedatangannya itu dalam rangka mengusahakan agar Pram dapat menjadi calon yang akan memperoleh Hadiah Nobel sastra. Pada rapat penutupan tahun PEN-Club saat itu, Agneta mengundang Rondang dan saya untuk menghadirinya dan ketika itu juga kami didaftarkannya menjadi anggota baru PEN.
Yang menetapkan Hadiah Nobel adalah Akademi Ilmu Swedia. Di sana duduk para ahli dalam berbagai bidang, yang setiap tahun memilih siapa yang berhak mendapat Hadiah Nobel untuk sastra, fisika, ekonomi, dan lain-lain. Pen-Club sama sekali tidak dapat mempengaruhi para ilmuwan di Akademi itu, walaupun bisa saja mengajukan calonnya. Pen-Club punya daftar siapa saja pengarang-pengarang terkemuka di setiap negeri, termasuk di Indonesia. Akademi itu tentu juga punya sumbernya sendiri selain dari Pen tentang pengarang di berbagai negeri.
Suatu saat Agneta menaruh harapan, bila ada dari salah seorang mantan Ketua Pen-Club menjadi Ketua Komisi Hadiah Nobel sastra di Akademi itu, maka akan ada kesempatan untuk mencalonkan Pram sebagai penerima hadiahnya. Tetapi yang menentukan bukan siapa Ketuanya, melainkan imbangan atau komposisi dalam Komisi itu. Saya mendapat informasi dari orang yang sangat tahu seluk beluk kerja Komisi Hadiah Nobel, bahwa suatu saat yang menerima Hadiah pengarang dari Amerika Latin yang berbahasa Spanyol. Tepat kala itu, komposisi Komisinya didominasi oleh mereka yang menggunakan bahasa Spanyol.
Contoh lainnya, ketika yang terpilih sebagai penerima hadiah adalah seorang pengarang Tionghoa Gao Xingjian yang menetap di Perancis. Banyak reaksi; “Apa di Cina tidak ada pengarang sastra yang lebih baik dari dia?” Hal ini saya tanyakan kepada anak saya Nyala Baceh, Magister Sinologi, bagaimana pendapatnya. Katanya, Gao Xingjian yang di Perancis, yang setelah tinggal di Eropa banyak terpengaruh dengan gaya sastra pengarang Nordik (terutama drama), yang dianggap telah membuat pembaruan tehnik dalam karyanya, tetapi pengarang di Tiongkok lebih baik dari segi isi dan nilai estetikanya.
Di Tiongkok pun para pengarang mengadakan pembaruan juga, dan mestinya yang di Tiongkok itu lebih berhak mendapat Hadiah Nobel. Menurut Nyala, Hadiah Nobel tidak bebas dari motif politik juga. Yang di Perancis itu dianggap korban Komunis, sedangkan yang di Tiongkok berbau Komunis.
Guo Xingjian sendiri ketika di Tiongkok merupakan anggota Partai Komunis, kemudian banyak mengkritik bekas Partainya dan ideologi Komunis. Tidak semua hasil sastra di Tiongkok masa kini mempropagandakan ideologi Komunis. Memang ada kesamaan antara Guo Xingjian dengan pengarang yang di Tiongkok, yaitu, dalam melakukan kritik sosial sangat berani dan tajam. Ditambahkannya, mestinya pengarang kemanusiaan seperti Lu Shun dan Ba Chin di Tiongkok layak mendapat Hadiah Nobel, tetapi mereka dianggap penganut ideologi Komunis.
Beda dengan Pram, karya-karya Guo Xingjian diterjemahkan ke dalam Bahasa Swedia oleh Prof. Göran Malmqvist, seorang sinolog dan anggota Akademi. Dia menilai gaya Guo absurd, humoristis, satiris, tetapi mengandung rasa sendu yang lembut dan memancarkan lirik natural. Agaknya hubungan Prof. Göran dengan Guo, dan kedudukannya sebagai anggota Akademi, telah memainkan peranannya terhadap Guo Xingjian untuk mendapat Hadiah Nobel sastra. Apalagi Profesor itu membela gerakan mahasiswa Tiongkok pada tahun 1989 di Tian An Men, Beijing.
Saya pernah membaca pendapat Ramadhan KH. Katanya karya sastra Pram lebih menarik daripada karya Mahfud dari Mesir, tetapi Mahfud dapat Hadiah Nobel. Pendeknya, kejanggalan dalam pemberian Hadiah Nobel menjadi pembicaraan juga di Swedia setiap tahun.
Sehubungan dengan karya sastra Pram, baru Bumi Manusia yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Swedia, sehingga belum banyak diketahui oleh peminat sastra di Swedia karya-karyanya yang lain. Padahal faktor ini sangat penting. Soalnya, belum ada seorang pun penterjemah sastra Indonesia yang baik di Swedia. Namun, mestinya para ahli sastra di Akademi itu dapat membaca karya-karya Pram yang telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa lainnya. Bahwa ada kecurigaan tentang hubungan Pram dengan Komunis sebagai hambatan baginya untuk mendapat Hadiah Nobel sastra bukanlah hal yang mustahil.
Mengenai Pablo Neruda, pengarang Chili ini mempunyai kekhususannya sendiri. Selain pengarang yang berfaham Marxis, dia juga seorang diplomat dan menjadi duta besar di beberapa negeri. Lebih-lebih lagi, yang mengajukan dia untuk mendapat Hadiah Nobel sastra adalah pengarang yang bertaraf dunia, Sastre.
Saya pikir, kalau banyak ahli sastra dunia mempersoalkan masalah ini dan mengajukannya ke Akademi di Swedia, tentu mereka akan berfikir untuk mempertimbangkannya. Tetapi Hadiah Nobel apakah merupakan sebuah mukjizat bagi yang memperolehnya, sehingga dia menjadi pengarang agung dan legendaris di dunia, maka harus diperjuangkan dengan segala cara untuk meraihnya?
Saya pikir tentu tidak begitu, sebab begitu banyak pengarang di berbagai negeri yang mempunyai karya berkawalitas tidak kalah dengan yang dihasilkan oleh mereka yang memperoleh Hadiah Nobel. Lu Shun misalnya.
Pram saya rasa juga begitu.
***
NB: Sebagai tanggapan atas perbincangan Ikranagara, H. Ubes, Roni Wijaya, Ramses, dan lain-lain tentang Hadiah Nobel untuk Pramudya Ananta Toer.
24 September 2004. http://sastra-indonesia.com/2013/11/komentar-pramoedya-ananta-toer-dan-hadiah-nobel/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar