Kamis, 12 Agustus 2021

Malaikat Bernama Armagedon

Soeprijadi Tomodihardjo *
jawapos.com
 
KETIKA gereja berperan sebagai penggerak kekerasan terhadap para pembela kebebasan, Friedrich Schiller (1759-1805) justru tampil dengan mengambil sikap sebaliknya. Dia menjunjung tinggi kebebasan. Dalam sebuah analisis filosofisnya, sastrawan klasik Jerman itu berujar: ”Bagi umat manusia, tak ada sesuatu yang lebih hina daripada membiarkan diri menjadi korban kekerasan. Bahkan, siapa secara pengecut bertekuk-lutut di depan kekerasan, dia mencampakkan kemanusiaannya sendiri. Sebaliknya, siapa yang melakukan kekerasan terhadap sesama manusia, patut diragukan rasa kemanusiaannya.”
 
Sejak muda Schiller berani tampil membela asas kebebasan manusia terhadap ketidaksabaran dan fanatisme agama. Dalam karya romannya, Don Carlos, pengarang tersebut mengangkat kebencian dan fanatisme agama lewat narasi seorang pemuka agama: ”Maut lebih berharga dari kebebasan.” Khotbah atau dakwah yang digelar sang narator penuh dengan hujatan terhadap kebebasan yang dianggapnya mengancam dasar-dasar moral dan kepercayaan dalam ajaran gereja.
 
Friedrich Nietzsche (1844-1900) mungkin kebablasan ketika bermimpi tentang perkembangan manusia sebagai uebermensch (makhluk unggul) agar segala bentuk kekejian lenyap dari muka bumi dan manusia bisa hidup tenteram dalam kebebasan, sejahtera, dan bermartabat. Sayang, sang ?bermensch dalam mimpi Nietzsche justru menjelma fasisme Nazi yang antsemitis, penyulut perang dunia ke-II. Di depan ancaman Nazi, gereja Vatikan ternyata tidak berdaya dan kehilangan nyali untuk membela kebebasannya sendiri.
 
Persoalannya menjadi gawat ketika perbedaan pandangan (tentang kebebasan) itu merambah pada sengketa wilayah, moral, dan agama. Dalam wacana ini perbedaan itu sendiri merupakan bibit sengketa fisik (Perang Dunia pertama dan kedua) ketika pihak-pihak yang berlawanan kejangkitan fanatisme dan ketidaksabaran.
 
Pasca PD-II kebebasan dan demokrasi sangat dipuja di negara-negara Barat. Sebaliknya, kian dipertanyakan di belahan bumi lain ketika kebebasan ala Barat terbentur freedom to be free (Bung Karno, Nehru, Chou En-lai, dll), di antaranya berbentuk gerakan pembebasan 3A (Asia, Afrika, Amerika Latin) yang menghadangnya. Ini adalah sebuah kebangkitan baru sebagai reaksi terhadap sikap pihak Sekutu (Amerika, Inggris, Prancis, juga Uni Sovyet) dalam Perundingan Yalta (14 Agustus 1945) yang secara acak mengakui hak mereka sendiri untuk kembali menguasai bekas-bekas jajahan mereka sebelum PD II: Kuomintang di Tiongkok, Prancis di Indo China, Inggris di India, Belanda di Indonesia, dsb. (Han Suyin: Zhou Enlai, potret seorang intelektual revolusioner, hlm 189 dst).
 
Terkait dengan debat perihal kekerasan dan fanatisme agama di Eropa, Kanselir Jerman Angela Merkel bahkan tak beranjak dari ajaran filsafat kebebasan. Menjelang sidang Kelompok 8 Negara Industri di Jerman (Maret 2007), Merkel dengan lantang menantang, ”Kami menganut prinsip kebebasan: bebas untuk percaya dan untuk tidak percaya.” Sasarannya jelas nampak di depan mata, yakni ancaman teror Al Qaidah terhadap para tamu negara plus kelompok kiri penentang pengotoran cuaca oleh negara-negara industri.
 
Peristiwa-peristiwa mengerikan sepanjang zaman pertengahan (sekitar abad ke-5 dan 6), di mana kebencian terhadap lain agama dan kepercayaan memicu tindak kekerasan, sekarang terulang di zaman kita. Hal itu mencuat seiring dengan proses globalisasi. Sejak umat manusia mengenal negara sebagai wadah kesatuan bangsa, bahasa, dan wilayah, planet bumi hanya berisi komunitas-komunitas ras dan etnik dalam sekat-sekat negara.
 
Celakanya, umat manusia telah diganjar kodrat serakah sebagai ”anugerah alam”. Negara-negara besar dan kuat cenderung melakukan kekerasan dan perampokan terhadap negara-negara lemah, menjarah-rayah sumber daya manusia dan alam mereka. Perang sebagai bentuk tertinggi kekerasan menjadi sukar dihindari karena sumber dan penyebab-penyebab kekerasan selalu diabaikan.
 
Apakah malaikat bernama Armagedon telah berdiri di depan pintu rumah tangga kita? Namanya dikenal para penyair tenar kita, kadang tertuang dalam puisi-puisi mereka. Goenawan Mohamad, misalnya. Armagedon adalah tempat di mana ”perjuangan penghabisan” pernah berlangsung dengan akibat fatal. Kiamat? Barangkali belum lagi. Tetapi, umat manusia mulai memahami perlunya membangun peradaban baru: hidup bermartabat dalam kebebasan dan kesejahteraan jasmani-rohani. Peradaban Barat bukan tak memahami makna dan fenomena ini. Namun, selaku pihak dominan dalam proses globalisasi yang sangat merugikan negara-negara terbelakang, mereka wajib melangkah di depan dan tidak hanya menunggu hingga pihaknya sendiri tenggelam ke masa silam.
 
Gunther Nonnenmacher, seorang pengamat Barat, bahkan percaya bahwa peristiwa kehancuran Menara Kembar pada 11 September 2001 merupakan fenomena munculnya kembali Armagedon. Israel sedang kejangkitan fanatisme Testamen Lama kitab suci Nasrani. Mereka percaya dan merasa berhak memiliki kembali seluruh wilayah Palestina yang ribuan tahun telah ditinggalkan bangsa Yahudi. Sebaliknya, Palestina merasa sebagai bangsa penghuni dan pemilik wilayah di antara Lautan Tengah, Jazirah Sinai, dan Teluk Akaba.
 
Konsep Red Map hanya diterima di atas kertas. Wilayah negara tidak ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, melainkan oleh klaim masing-masing. Sengketa itu dengan cepat berubah sifat menjadi multidimensi karena kedua pihak mendapatkan dukungan sejumlah negara yang berbeda.
 
Tak heran, pusat sengketa dunia masa kini adalah masalah Timur Tengah (Palestina). Kehancuran WTC pada 11 September 2001, perang di Afghanistan dan Irak, maupun bom-bom bunuh diri di Spanyol, Inggris, Indonesia, Pakistan, dan banyak lagi hanya kelanjutan tragedi Armagedon yang masih berlanjut di masa depan.
 
Oh, Armagedon! Jangan biarkan kami bunuh diri seperti ini.

*) Soeprijadi Tomodihardjo, cerpenis, tinggal di Jerman. http://sastra-indonesia.com/2010/07/malaikat-bernama-armagedon/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons