Kamis, 12 Agustus 2021

W.S. Rendra, Sang penyair dan sang panglima

Goenawan Mohamad
majalah.tempointeraktif.com
 
PADA suatu malam Agustus 1970 W.S. Rendra ditahan. Ia, bersama 10 orang lain, bersemadi di petak rumput di tengah Jalan Thamrin, Jakarta. Malam itu beberapa ratus mahasiswa menyiapkan secara massal aksi “Malam Tirakatan”, sementara gabungan pasukan bersenjata bermaksud menggagalkannya. Bentrokan kekerasan dikhawatirkan.
 
Rendra dan yang lain-lain telah berhasil membujuk para mahasiswa (di pimpin Arief Budiman) untuk mundur saja, dan sebagai ganti menawarkan diri untuk melakukan semadi dan tirakatan di tempat yang telah ditetapkan.
 
Fihak penguasa agaknya menyangka Rendra dkk sebagai demonstran yang bandel, dan ia ditahan 20 jam. Walaupun dalam interogasi yang dilakukan malam itu seorang tahanan menamakan tindakan mereka sebagai “tumbal” buat mencegah terjadinya bentrokan antara mahasiswa dan tentara, sedikit sekali difahami motif Rendra dkk malam itu.
 
Dalam suasana bertentangan, orang yang tak mengabungkan diri memang sering sulit direngerti. Apalagi oleh mereka yang fanatik. Dan cerita Mastodon & Burung Khondor adalah tentang semua itu.
 
Ada militer yang berkuasa dan melaksanakan pembangunan, ada mahasiswa yang melakukan perlawanan revolusioner dan ada seorang penyair yang menentang kedua hal itu sekaligus.
 
Ditaruh dalam latar nun jauh di Amerika Latin, cerita bikinan Yogya ini dengan sangat efektif sebenarnya berbicara tentang Indonesia. Atau mungkin lebih tepat: tentang pandangan Rendra mengenai sekitarnya dan dirinya.
 
Tokoh Jose Karosta, sang penyair, tidak silap lagi adalah semacam potret-diri. Kata “semacam” perlu dicantumkan di situ, jika kita terbiasa mengartikan potret-diri adalah seperti yang dibikin Affandi. Sebab bila Affandi mendramatiskan ketidak-elokan paras, Rendra memproyeksikan sebuah ideal dalam diri Jose Karosta. Bila Affandi tak tertarik untuk kontur, dalam tokohnya Rendra justru seperti membubuhkan aureole.
 
Jose adalah penyair yang dikagumi dan dikitari orang banyak, suka gadis semampai, suka eksperimen kesenian, pembaca sajak yang merangsang urat syaraf”, radikal dan suka mempertanyakan, “tidak memerlukan lembaga” dan boleh dibilang anti-politik dan anti revolusi tapi merupakan musuh bagi yang berkuasa dan menindas.
 
Terkadang terlintas gambaran yang nyaris kenabian dalam tokoh ini: dalam Bab V, Jose Karosta berada di atas bukit membacakan doa puitis, dikelilingi oleh para pengikutnya, sementara orang-orang yang ditindas dan dihinakan datang mengadu.
 
J.K. hampir berarti Jesus Kristus. Buat membangkitkan perlawanan rakyat kepada pemerintah kaum revolusioner bahkan menganggap penting untuk mengusahakan agar Karosta ditangkap. Mungkin di sini paralelisme antara Kristus dan Karosta tak terlalu kentara, walaupun bila kita mendasarkan perbandingannya dengan drama penyaliban yang pernah disusun Rendra di tahun 1963, Cinta Dalam Luka.
 
Tapi setidaknya sang penyair begitu penting, hingga di bagian akhir drama ini ia bisa mengancam kaum pemberontak: “Kalau sesuatu terjadi pada diri saya, barisan revolusi akan terpecah dua”. Katolik.
 
Sebenarnya tak perlu terlalu jauh untuk meninjau bayang-bayang kekristenan lakon ini. Pun tak teramat relevan buat mencoba mempertalikannya dengan lakon Paraguay Tercinta yang dipentaskan Rendra di tahun 1961 — juga tentang cita-cita keadilan & kemerdekaan, revolusi, dan kekuasaan kelembagaan (agama) di Amerika Latin.
 
Tapi yang patut dicatat ialah bahwa bagaimanapun Rendra kini tak lagi Katolik, ia masih bisa terus dengan imaji dan lambang pemikiran religius yang tumbuh melalui artikulasi Katolik. Ia tak bisa lain apabila ia hendak otentik, jujur dengan dirinya sendiri. Latarbelakang Katoliknya telah membantunya menciptakan sajak-sajak yang bagus.
 
Dan tak seorang penyairpun dapat begitu saja menanggalkan mithos-mithos yang menemaninya sejak kecil dalam pertumbuhan dirinya. Dunia kanak yang penuh dongeng dan amsal yang indah adalah perbendaharaan yang sah. Demikianlah kita lihat dalam Mastodon Rendra, dengan latarbelakang Katoliknya — apalagi Katolik Jawa bisa menampilkan fikirannya tentang dialektik antara badan dan roh, dengan tegas, yakin, wajar.
 
Dan lewat tokoh Jose Karosta jelas luka di mana Rendra berdiri: ia menghargai badan, tapi ia memihak roh, tak memilih lembaga dan kekuasaan. Dalam bahasa Injil, hal-hal terakhir itu milik Caesar. Mungkin karena perbendaharaan pengalamannya dengan agama Kaolik pula maka pilihan latar Amerika Latin untuk lakonnya ini merupakan pilihan yang lumrah bagi Rendra. Seperti halnya pilihan latar India dalam lakon Manusia Baru bagi Sanusi Pane yang menganut theosofi.
 
Tapi tentu tidak itu saja. Ada satu hal yang lebih penting: masalah Indonesia di tahun 1930-an memang mirip dengan masalah India pada saat itu, ketika lakon Manusia baru diciptakan. Masalah Indonesia di tahun 1970-an lebih mirip dengan masalah Amerika Latin, katakanlah Brazilia, ketika Mastodon digubah.
 
Tak mengherankan bila perbandingan antara Indonesia dengan Brazilia oleh seorang sastrawan lain pernah pula dilakukan Beb Vuyk mengemukakan itu dengan pandangan lain dalam bukunya yang mutakhir, Een Broet in Brazil.
 
Tapi bagi saya karya Rendra lebih menarik, karena seraya tak menyebut apa-apa tentang Indonesia, ia telah merumuskan masalah kita yang aktuil. Di satu fihak ada pertumbuhan ekonomi yang dalam lakon ini disebutkan dengan cara yang sengaja dilebih-lebihkan: 260%. Tapi di lain fihak penderitaan rakyat kecil tak berubah, bahkan memburuk.
 
Kata-kata Jose Karosta bukan saja menunjukkan kepandaian Rendra dalam metafor, tapi juga menampakkan persepsi dan pengetahuannya yang kuat tentang masalah sosial:
 
“Aku memberi kesaksian, bahwa dibangunnya pabrik-pabrik untuk kepentingan modal asing tidak berarti mengurangi jumlah pengangguran”, katanya Dan:
 
“Saya memberi kesaksian bahwa pemerintah telah bersungguh-sungguh membina tenaga tidak untuk mobilitas, tetapi untuk kekukuhan, tidak untuk dinamis, tetapi untuk teguh dan angker, tidak untuk mencipta barisan semut-semut yang bekerja, tetapi barisan gajah-gajah yang suka serba mempertahankan” Rakyat. Para gajah itulah yang kemudian dibayangkannya akan jadi mastodon-mastodon, yang akan “memusnahkan alam secara lahap”.
 
Dan siapakah burung khondor? Burung itu adalah lambang rakyat, juga diri penyair sendiri dan kawan-kawannya — atau lebih tepat: sukma mereka. “Dari pagi sampai siang, rakyat negeriku bergerak-gerak menggapai-gapai. Dari siang sampai sore, mereka menjadi onggokan sampah. Dan di malam hari, mereka terbanting di lantai dan sukmanya menjadi burung khondor”.
 
Meskipun tak selamanya jelas, Rendra – seperti dalam sajak-sajaknya yang dulu — menggunakan imaji “burung” untuk sesuatu yang bebas, dekat dengan alam, penuh mimpi, dan heroik.
 
“Beribu-ribu burung khondor, berjuta-juta burung khondor gumpalan-gumpalan awan burung khondor, bergerak menuju ke puncak gunung yang tinggi. Dan di sana mendapat hiburan dari sepi, karena hanya sepi yang mampu menghisap dendam dan sakit hati”.
 
Sepi, dan bukan revolusi. Yang membedakan pandangan Rendra dengan kaum Marxis atau Kiri Baru ialah bahwa sang penyair tidak mempercayai revolusi.
 
“Aku percaya pada jalarnya perubahan berdasarkan perkembangan kematangan kesadaran. Perubahan yang mendadak yang ditimbulkan oleh revolusi hanya akan menghasilkan perubahan semu”.
 
Apalagi bila kaum revolusioner menang, dalam lakon ini dipimpin oleh kaum mahasiswa, mereka akan jadi diktator dan rakyat tetap menderita.
 
Tak mengherankan bila Rendra pernah dikutip mengatakan lakonnya ini “anti-Revolusi”. Ia nampaknya kembali pada cerita Zeus dan Prometheus dalam mithologi Yunani: mereka berdua menumbangkan tirani, tapi kemudian Zeus menjadi tiran dan Prometheus yang membela kemerdekaan menjadi hukuman.
 
Sang penyair, sang intelektuil, dan pembela kehidupan rohani adalah Prometheus. Setelah kaum revolusioner hampir menang, Jose Karosta yang meskipun merupakan musuh rezim militer justru dibuang ke luar negeri. Kaum revolusioner telah jadi Zeus.
 
Di sini Rendra mengingatkan kita kembali pada pemikiran yang hidup di kalangan seniman dan cendekiawan penandatangan Manifes Kebudayaan di tahun 1963, yang menentang utopisme dari revolusi, menentang Politik Sebagai Panglima dan memandang komitmen kaum seniman kepada masyarakatnya sebagai yang dirumuskan Herbert Read: “the politics of the unpolitical” atau “politik” tanpa pamrih kekuasaan.
 
Mereka ingin selalu berada di luar kekuasaan sebagai salah satu pengontrolnya. Bagi mereka inilah peran dan tugas intelektuil. Fikiran-fikiran Arief Budiman, salah satu perumus Manifes, dengan jelas berpola pada sikap itu, berdasarkan dialektik badan dan roh yang serupa.
 
Rendra, yang selalu dengan rendah-hati mengatakan bahwa ia banyak dipengaruhi tulisan Arief, kini mengungkapkannya lewat Mastodon. Sukadji. Belum bisa dikatakan di sini bahwa lakon ini merupakan karya yang gemilang.
 
Rendra mungkin bisa dianggap melakukan “kesalahan” Albert Camus dalam Les Justes (diterjemahkan Arief Budiman sebagai Teotis) yang pernah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu yang lalu juga tentang konflik antara pilihan kekerasan dengan tanpa-kekerasan di kalangan pejoang keadilan.
 
Maksud saya: peran-peran lebih menarik sebagai penubuhan ide-ide daripada sebagai watak-watak yang berkembang. Tapi harus selalu diingat bahwa teater Rendra harus dinilai setelah dipentaskan – sebab dia adalah seorang maestto di situ.
 
Tapi setidaknya dari naskah saja sudah bisa dinilai bahwa ini merupakan langkah Rendra yang penting, bukan untuk riwayatnya sendiri setelah teater minikata, tapi untuk riwayat teater Indonesia dalam masyarakatnya.
 
Saya termasuk orang yang percaya bahwa teater kita akan mendapatkan tempat yang lebih penting dalam kehidupan publik dibandingkan dengan novel, berdasarkan kenyataan kebudayaan Indonesia sendiri.
 
Apalagi bila dalam teater itu pula publik menemukan dan menjadi lebih peka terhadap dunia mereka yang intim. Untunglah, bahwa Mastodon pada akhirnya tak jadi korban larangan Kepolisian Yogya dan korban alasan “proseduril” dari Rektor UGAMA Prof.
 
Sukadji ketika hendak dipentaskan di kampus. Untunglah, bahwa Pangkopkamtib sendiri, Jend. Sumitro, dan Kol. Leo Ngali dari Kodam VII, mengijinkan Rendra untuk terus.
 
Hanya kenyataan bahwa sebuah lakon teater perlu diputuskan nasibnya oleh seorang Panglima dari Pemerintah Pusat, dan seorang pemimpin universitas menunjukkan ketidak-pastian sikap menghadapi perkara itu, pada hemat saya bukanlah kenyataan yang sedap.
 
Saya menyenangi fikiran-fikiran Prof. Sukadji. Mudah-mudahan dalam soal Mastodon orang akan memanfaatkannya.
***

http://sastra-indonesia.com/2010/09/sang-penyair-dan-sang-panglima-ws-rendra/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons