Angela Dewi
ruangbaca.com
Tidak lama setelah novel fenomenal Da Vinci Code (2004) karya Dan Brown terbit, beragam karya ‘tandingan’- nya muncul di pasaran. Mulai dari tulisan ilmiah yang membantah seluruh hipotesa dan ‘kegilaan’ Brown, hingga olok-olok semacam parodi. Di antara sekian karya ‘tandingan’ itu, Va Dinci Cod termasuk yang mencorong. Ditulis oleh Adam Roberts, novel ini mem-parodikan seluruh isi novel.
Dari alur sampai tokohnya. Tidak sekadar menjadi parodi, novel ini kemudian dengan lincah melompat menjelajahi dunia fiksi ilmiah. Mengajak pembaca berandai-andai tentang teori penciptaan semesta. Setahun setelah muncul di pasaran, novel ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Indonesia. Di Indonesia novel ini diterjemahkan akhir tahun silam oleh penerbit Pustaka Primatama.
Di luar Va Dinci Cod, Profesor Sastra Abad ke 15 Royal Halloway University, London, Inggris yang berusia 40 tahun ini sudah menelurkan banyak novel. Sebagian di antaranya parodi dari fiksi ilmiah dan fantasi epik terkenal, termasuk parodi karya Tolkien dan sekuel Star Wars karya George Lucas. Sementara sebagian lainnya adalah karya orisinal (novel, novelet, karya bertema fiksi ilmiah, dan esai fiksi ilmiah dan sastra Inggris klasik).
Lewat serangkaian obrolan surat elektronik, peraih gelar doktoral untuk disertasi karya Robert Browning dari Cambridge University ini menjawab pertanyaan panjang Ruang Baca Tempo. Dengan manis, pria yang mengisi waktu luangnya dengan menggambar sketsa ini mengawali obrolan dengan permintaan maaf karena terlambat membalas surat elektronik dan berterima kasih karena pujian yang memabukkan dan merontokkan jiwa.”
Berikut petikan wawancara panjang dengan pelahap karya Charles Dickens dan pujangga Inggris John Keats ini.
T: Novel Va Dinci Cod disebut- sebut banyak orang sangat liar dan jauh menjelajah meninggalkan tema aslinya.
R: Liar? Ha ha ha… Jika Anda membaca novel Brown, apalagi yang terlintas di benak Anda selain mengembang-biakkan gagasan liar untuk ermainmain dengan seluruh bagian novel? Saya hanya melihat, banyak sekali unsur fiksi ilmiah yang bisa dieksplorasi dari novel ini. Saya kemudian memasukkan unsur-unsur fiksi ilmiah. Mulai dari teori penciptaan alam semesta, pertanyaan tentang Opus Dei hingga ramuan thriller tekno-religius yang sudah ditawarkan Brown. (Roberts mengganti nama tokoh utama Brown, Robert Langdon, menjadi Robert Donglan, memelesetkan “Code” menjadi Cod untuk menunjuk konspirasi kejahatan dengan menggunakan ikan cod, dan bermain-main dengan karakter Mona Lisa dalam lukisan Leonardo Da Vinci?ia menyebut Mona Lisa sebagai karya adik Da Vinci yang bernama Eda Vinci dan tokoh dalam lukisan itu sebagai jelmaan lain Da Vinci dalam sosok perempuan)
T: Mengapa ada teori penciptaan alam semesta segala macam dalam novel Anda itu?
R: Saya melihat banyak sekali gugatan yang muncul karena Brown mengusung tema teknoreligius dalam novelnya. Saya tidak menyebut karya Brown sebagai fiksi ilmiah karena belum sampai ke sana. Teori Opus Dei, konstelasi tata surya, dan semacamnya itu hanya hendak menunjukkan banyak sekali kemungkinan dan pertanyaan terbuka jika Anda meragukan batas-batas keyakinan Anda. Saya hendak menunjukkan bahwa fiksi ilmiah jauh lebih banyak menawarkan kemungkinan untuk pertanyaan religius. Yang masuk akal atau yang sangat gila sekalipun.
T: Anda lebih suka menyebut novel Anda parodi atau fiksi ilmiah?
R: Dua-duanya. Di sanalah letak kepiawaian sebuah parodi dalam bermain-main. Jika dibuat dengan semangat tidak hanya mengolok-olok, parodi itu bisa lebih asyik ketimbang karya aslinya.
T: Anda piawai sekali mengeksplorasi sisi-sisi fiksi ilmiah. Mana yang lebih memikat Anda, sastra klasik atau fiksi ilmiah?
R: Sejak kecil saya gemar melahap karya fiksi ilmiah. Di kepala saya berputar-putar pertanyaan, mengapa ada sedotan udara ketika pintu pesawat dibuka, berapa jauh jarak ke Mars, apa yang ada di balik matahari. Semacam itu. Saya suka Ursula Le Guin karena karyanya banyak mengeksplorasi faktor fiksi ilmiah dan ramuan fantasi epik. Ada mitos, konstelasi bintang, hampir semuanya. Setelah itu, saya mulai menekuni sastra klasik. Sastra di masa ini kental sekali dengan unsur epik. Saya membaca Tolkien, lalu karya-karya yang lebih bertema sosial seperti Dickens, karya- karya romantis era Victoria juga saya suka. Saya membaca puisi-puisi Browning dan menjadikan itu salah satu spesialisasi saya. Kenikmatannya sama, hanya saja fiksi ilmiah lebih membuat saya tergelitik dan ingin menjelajah lebih jauh.
T: Parodi Anda lebih banyak tentang fiksi ilmiah. Sastra klasik tidak menggelitik untuk diekplorasi?
R: Saya memang lebih tertantang untuk menggali banyak hal jika membaca fiksi ilmiah. Itu kesempatan saya untuk memunculkan banyak karakter. Saya bisa jadi jenius, saya bisa jadi terbelakang sekalipun. Saya bebas.
T: Saya menilai fiksi ilmiah Anda berbeda dengan kebanyakan. Anda tampaknya punya kemampuan untuk memberi “rasa seni” pada karya Anda. Bahkan yang parodi sekalipun.
R: Saya memang punya latar belakang seni dan humanistik, bahkan gelar PhD saya dapat dari sastra Inggris, saya juga mengajar sastra. Jadi saya menceburkan diri ke dunia penulisan dengan latar belakang sastra dan sisi estetik itu. Selain itu, saya melihat hal-hal yang berkaitan dengan sains akan menarik jika diekplorasi dari sisi metafora. Selebihnya, sebuah karya fantasi ilmiah akan berubah menjadi keras karena penulisnya adalah orang-orang yang berhadapan langsung dengan dunia sains. Mereka berpikir hanya dengan sisi sains, lalu membuatnya menjadi fiksi. Itu juga tidak buruk, tapi segi artistiknya tidak begitu tertangani dengan baik. Di sanalah saya masuk. (Tiga novel orisinal Roberts memadukan fiksi ilmiah dengan tema-tema yang lebih ‘membumi’. Sebagian besar dengan sangat jelas menampakkan unsur seni. Salt, yang seirama dengan novel karya Frank Herbert, Dune, berkisah tentang negeri yang dipenuhi lautan garam. Ia meminjam seting Serbia sebagai negeri yang baru dicabik perang. Dalam satu bagian digambarkan bagaimana perempuan disiksa oleh segerombolan penjahat. Stone berkisah tentang konstelasi bintang dan proses yang berhubungan dengan terjadinya tata surya. Novel terbarunya, Snow berkisah tentang kembalinya abad es dalam kehidupan manusia dan pembantaian masal. Situs fiksi ilmiah Inggris Alienonline menyebut novel ini sebagai yang terbaik yang pernah dihasilkan Roberts)
T: Sebagai akademisi Anda menghasilkan kritik yang banyak dipuji. Bagaimana Adam Roberts yang kritikus fiksi ilmiah melihat Adam Roberts yang penulis fiksi ilmiah?
R: Mereka punya hak asuh bersama atas otak saya, jadi mereka harus saling berbaik-baik, setidaknya setiap akhir pekan. Ha ha ha…
T: Bagaimana Anda melihat pengakuan publik atas novelnovel Anda? Bukankah ada anggapan penulis parodi hanya bisa menghasilkan karya dengan membonceng ide orang lain?
R: Saya harus berhati-hati dengan pertanyaan ini. Ha ha ha… Dalam banyak hal memang nikmat menulis parodi, tapi saya tidak ingin dikenang sebagai pemutarbalik atau pencemooh karya orang. Itu saya buktikan dengan menulis novel yang lebih serius, katakanlah lebih mengekplorasi akar kemampuan saya. Saya juga mengasah kemampuan dengan menerbitkan banyak kumpulan tulisan, esai, kritik sastra. Terus membaca karya-karya klasik. Orang tidak akan dapat menggambarkan satu sisi dalam diri saya. (Roberts berkali-kali masuk nominasi penghargaan fiksi ilmiah bergengsi Inggris. Pada 2001, novelnya Salt masuk dalam daftar C. Clarke Award. Tahun ini, Snow masuk nominasi British Science Fiction Award untuk kategori novel bergengsi fiksi ilmiah terbaik. Ia juga lumayan intens menelurkan esai fiksi ilmiah dan sastra klasik. Yang terbaru Reading The Lord of The Rings mengantarkan pembaca memahami Tolkien. Di salah satu esainya, Roberts menyebut simbol cincin yang digunakan Tolkien menunjukkan betapa kuat pengaruh ikatan perkawinan dan nilai-nilai Katolik dalam novel klasik itu)
T: Va Dinci Cod sudah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Mengapa novel serius Anda sukar meraih hal yang sama?
R: Orang mungkin lebih melihat momennya. Lagipula untuk Va Dinci Cod, penerbit saya PS Publishing pandai memanjakan penerbit kecil di seluruh dunia. Jadi mudah bagi mereka untuk mengakses novel ini. Tapi, soal akses, novel-novel serius saya akan segera masuk ke Amerika lewat penerbit Gollancz. Mungkin itu jalan paling cerdas untuk masuk pasar dunia. Siapa tahu?
T: Anda kelihatannya sibuk sekali. Profesor Sastra Inggris, pembicara di forum fiksi ilmiah, kritikus, penulis novel. Waktu luang Anda diisi apa?
R: Saya tergila-gila internet dan mulai melukis. Anak saya Lily,4, sering jadi model. Dia mulai menunjukkan tanda-tanda yang ‘membahayakan.’ Mulai suka hal-hal yang berbau luar angkasa. Ia membayangkan saya, ibunya, dan dia punya hubungan keluarga dengan ‘sesuatu’ di Mars sana. (Roberts sangat mencintai anaknya. Sebuah puisi berbahasa Latin dengan translasi bahasa Inggris ia sertakan di akhir percakapan. “Oh Anakku. Yang lahir dari anyaman zaman. Bebas dari segala macam kungkungan. Biar kudendangkan lagu masa silam dan masa depan untukmu. Sekadar menunjukkan apa yang sudah terjadi dan apa itu menjadi sesuatu.” Di akhir surat, ia menyertakan kalimat yang sama manisnya seperti ketika membuka surat. “Saya senang mendengar kita menjadikan anak sebagai penyeimbang di dunia yang gagap ini,” tulisnya).
***
http://sastra-indonesia.com/2010/06/parodi-harus-lebih-asyik-ketimbang-karya-asli/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar