Angela
korantempo.com
Karya Lorca memadukan unsur tradisional dan tema kontroversial.
Sekali waktu, Joko Pinurbo, penyair sederhana yang disayangi banyak orang,
pernah berkata tentang puisi. “Kerja bermalam-malam membangunkan alam bawah
sadar, mencatat kehidupan sekeliling, memain-mainkan kata, memadukan paradoks
dan ironi dengan usaha keras luar biasa”. Dan setelah itu menyihir pembacanya.
Pinurbo sedang bicara tentang puisinya sendiri. Tapi bermain-main dengan
perangkat kata yang dikumpulkan dari alam bawah sadar serta paradoks dan ironi
luar biasa itu juga sudah lebih dulu melambungkan nama Federico Garcia Lorca.
Kekuatan Lorca terletak pada kemampuannya menjadikan puisi sebagai alat
untuk memukul pembacanya, mengajarkan sesuatu, menuntun orang untuk kembali ke
suatu tempat. Jauh-jauh hari, Lorca memang mengakui kemampuannya “membangunkan
unsur mistik dalam puisinya”. Lorca menyebutnya duende. Roh suci orang-orang
gipsi. Semacam roh penjaga yang mengendap dalam puisinya. Kadang-kadang ia
membangunkannya lewat kata-kata yang dahsyat, tidak jarang pula hanya berwujud
dalam kalimat-kalimat sederhana.
Kemampuan Lorca itu lahir dari kesukaannya pada Flamenco, seni musik rakyat
Spanyol. Flamenco berawal dari tradisi gipsi, Deep Song. Orang Spanyol
menyebutnya cante jondo. Irama inilah yang tampak pada banyak karyanya. Rima
yang berulang-ulang, yang tidak muncul pada kebanyakan puisi pada pengujung
tahun 1920-an dan awal 1930-an. Tidak heran jika saat berdiam di New York, ia
dikenal sebagai penyair Andalusia, seniman gipsi yang berdendang lewat
puisinya.
Puisinya yang berjudul City That Does Not Sleep (1929)–yang berkisah
tentang New York–dengan jelas menguarkan gaya berdendang:
Careful! Be careful! Be Careful!
The Men who still have marks of the claw and the thunderstorm
Pengaruh itu juga tampak pada banyak naskah drama yang ia bikin. Selain
Gypsy Ballad yang sudah banyak dikenal publik, ia juga memasukkan elemen
tradisional Andalusia pada Thus Five Years Pass, The Public (yang secara
gamblang menggambarkan kehidupan homoseksual), dan Donna Rosita.
Tidak hanya dalam karya, ketertarikannya pada tradisi gipsi itu tampak pula
pada kepeduliannya pada aktivitas yang berhubungan dengan itu. Salah satu
kuliah terkenalnya yang disampaikan di Argentina–tiga tahun sebelum meregang
maut–berjudul Theory and Play of the Duende. Dalam kuliah itu ia mengekplorasi
kaitan duende dan puisi.
Ketertarikannya pada unsur tradisional berkembang lebih luas saat ia
bermukim di New York. Di kota itu ia menggali unsur surealisme dan spiritual
budaya Afrika-Amerika. Ia mengeksplorasi jazz, musik Latin, yang diakuinya
sendiri banyak berkaitan dengan budaya nenek moyangnya. Tidak heran jika
membaca puisi Lorca orang tidak ubahnya memelototi sebentang lansekap yang kaya
detail dan ornamen.
Meski napas tradisional sangat menguasai karya-karya Lorca, tema yang ia
tampilkan sesungguhnya amat beragam. Saat menjalin pertemanan dengan seniman
Salvador Dali dan sineas Luis Bu?uel, aroma surealis menguar dengan jelas. Kali
yang lain ia asyik dengan puisi cinta yang suram dan penantian akan maut yang
mencekam. Duo puisi Gaciela of the Memory of Love dan Gaciela of Distracted
Love adalah puisi cinta sekaligus maut yang menggambarkan kemuraman hidup
Lorca.
Tema-tema yang kontroversial, seperti kehidupan percintaan sejenis, gugatan
atas nilai-nilai sosial, juga mendominasi karya-karya puisi dan naskah
panggungnya. Ini pula yang mendatangkan nasib buruk pada karyanya, bahkan
setelah bertahun-tahun ia menjemput maut. Banyak naskah yang terpaksa disensor dan
tidak beredar di kalangan luas karena dianggap tidak layak dibaca. Ini
diperburuk pula dengan banyaknya naskah yang raib dan terbakar pada tahun
kematiannya.
Ada sebuah naskah drama yang ia beri judul Oda a Walt Whitman, yang
mengendap belasan tahun dan hanya bisa ditampilkan di tengah kalangan terbatas.
Penggalan soneta Sonetos Amor Oscuro yang memuat kehidupan homoseksual Lorca
bahkan tidak bisa dibaca hingga awal 1980-an.
Teks-teks berkonotasi seksual yang sangat pekat kabarnya sempat pula
dicerabut dari bagian Poet in New York yang diterbitkan pada awal 1930-an.
Puisi Habla la sant?sima Virgen bahkan tidak ditemukan lagi hingga sekarang.
Kabarnya, teks pada puisi itu memuat hubungan seks dan agama.
Ada pula yang tidak kalah nyentrik dari sisi alur ceritanya. Sebuah naskah
drama yang dibikin di ujung usianya, Lorca bahkan membikin tokoh utamanya mati
digebuki penonton. Tidak aneh, bahkan saat ia masih memimpin teater keliling La
Barraca, banyak naskah yang tidak bisa dimainkan di atas panggung.
Meski sensor pemerintah Spanyol lenyap setelah kekuasaan Jenderal Franco
berakhir pada 1975, sensor institusi keagamaan tetap berlaku jauh setelah itu.
Sebagian besar tidak terlalu nyaman dengan eksplorasi tema seks yang begitu
gamblang, sebagian tidak siap menyerap pikiran-pikiran baru milik Lorca.
Meski penolakan dan penyumpalan naskahnya terjadi bertahun-tahun lamanya,
Lorca tidak kehilangan pengikut. Sejarah mencatat ia menjadi satu-satunya
penyair Spanyol paling berpengaruh pada rentang masa yang sangat panjang.
Lorca tidak bisa memberi kesaksian pada pengaruh karyanya itu. Namun
puluhan tahun setelah kematiannya, banyak penyair yang mengikuti jejaknya.
Vicente Aleixandre, Pablo Neruda, Francisco Ayala, Luis Cernuda, Cipriano Rivas
Cherif, Rafael Mart?nez Nadal, Giner de los R?os, Guillermo de Torre, Manuel
Altolaguirre, Jos? Bergam?n, dan Manuel Ben?tez Inglott, menjadi rangkaian
panjang pemuja Lorca.
Di Indonesia, orang tidak bisa tidak harus mengakui citraan Lorca mengalir
dalam darah Rendra. Sebagaimana Lorca, Rendra juga bisa membikin puisi menjadi
sebuah pertunjukan spektakular. Serupa Lorca pula, Rendra menunjukkan balada
sebagai kekuatan puisi tak terbantahkan.
Karena terlampau identik itu pula, tidak heran jika banyak yang menduga
Rendra sudah tidak sanggup lepas dari bayang-bayang Lorca. Mendiang Subagio
Sastrowardoyo yang penyair dan kritikus sastra menyebut Rendra terlampau kuyup
terbenam dalam pengaruh Lorca. Ia menunjukkan “dakwaan” itu dalam studi
komparatif karya keduanya. Subagio juga membeberkan studi komparatif itu dalam
bukunya Sosok Pribadi dalam Sajak (1980). Subagio melihat banyak citraan pada
balada Rendra yang memikat itu sebagai alih bahasa dari citra-citra sajak
Lorca.
Rendra, dalam banyak kesempatan, mengakui ia membaca puisi-puisi Lorca.
Namun untuk menyebutnya menjiplak, “Itu yang harus dibuktikan,” katanya.
Selain Rendra, yang tampak terpesona pada karya Lorca adalah mendiang
Ramadhan KH dan Asrul Sani. Sebagai dramawan, Asrul banyak menyadur dan
menerjemahkan karya Lorca, di samping ssejumlah karya lainnya.
Sementara ketertarikan Ramadhan menemukan jalannya setelah ia berkunjung k
Spanyol. Pada 1952, Ramadhan KH mendapat undangan dari Sticusa (Yayasan
Kerjasama Kebudayaan) untuk berkunjung ke Belanda bersamaan waktunya dengan
Asrul Sani. Untuk beberapa lama dia bekerja sebagai penerjemah di Kantor Pusat
Sticusa, dan sebagai hasilnya dia bisa tinggal beberapa lama di El Salir,
Spanyol, untuk memperdalam bahasa Spanyol karena dia jatuh hati kepada sastra
Spanyol.
Karya-karya Frederico Garcia Lorca termasuk yang gemar dilahap Ramadhan,
untuk kemudian dia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan begitu,
keindahan Lorca–di tengah kontroversinya yang tidak berkesudahan–menyebar dan
menemukan penggemarnya di zamannya masing-masing.
***
the spaces of world figures, literature studies, new school of thought in the world of literature (art, letters, etc.)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.C. Andre Tanama
Aang Fatihul Islam
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Adam Roberts
Adelbert von Chamisso
Adreas Anggit W.
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus R. Sarjono
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Albert Camus
Albrecht Goes
Alexander Pushkin
Alit S. Rini
Amien Kamil
Amy Lowell
Andra Nur Oktaviani
André Chénier
Andy Warhol
Angela
Angela Dewi
Angrok
Anindita S. Thayf
Anton Bruckner
Anton Kurnia
Anwar Holid
Arif Saifudin Yudistira
Arthur Rimbaud
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asep Sambodja
Awalludin GD Mualif
Axel Grube
Bambang Kariyawan Ys
Basoeki Abdullah
Beethoven
Ben Okri
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Berto Tukan
BI Purwantari
Birgit Lattenkamp
Blaise Cendrars
Book Cover
Brunel University London
Budi Darma
Buku Kritik Sastra
C.C. Berg
Candra Kurnia
Cecep Syamsul Hari
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Charles Baudelaire
Claude Debussy
Cristina Lambert
D. Zawawi Imron
Damhuri Muhammad
Dana Gioia
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darwin
Dea Anugrah
Denny Mizhar
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dwi Cipta
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Edgar Allan Poe
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Emha Ainun Nadjib
Emily Dickinson
Enda Menzies
Endorsement
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Essay
Evan Ys
Fahmi Faqih
Fatah Anshori
Fazabinal Alim
Feby Indirani
François Villon
François-Marie Arouet (Voltaire)
Frankfurt Book Fair 2015
Franz Kafka
Franz Schubert
Franz Wisner
Frederick Delius
Friedrich Nietzsche
Friedrich Schiller
Fritz Senn
FX Rudy Gunawan
G. J. Resink
Gabriel García Márquez
Gabriela Mistral
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Goethe
Hamid Dabashi
Hardi Hamzah
Hasan Junus
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier
Henry Lawson
Hera Khaerani
Hermann Hesse
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ignas Kleden
Igor Stravinsky
Imam Nawawi
Indra Tjahyadi
Inspiring Writer
Interview
Iskandar Noe
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rumi
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jiero Cafe
Johann Sebastian Bach
Johannes Brahms
John H. McGlynn
John Keats
José de Espronceda
Jostein Gaarder
Kamran Dikarma
Katrin Bandel
Khalil Gibran (1883-1931)
Koesoema Affandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Koskow
Kulya in the Niche of Philosophjy
Laksmi Pamuntjak
Laksmi Shitaresmi
Lathifa Akmaliyah
Laurencius Simanjuntak
Leila S Chudori
Leo Tolstoy
Lontar Foundation
Lorca
Lord Byron
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lutfi Mardiansyah
Luthfi Assyaukanie
M. Yoesoef
M.S. Arifin
Mahmoud Darwish
Mahmud Ali Jauhari
Mahmudi
Maman S. Mahayana
Marco Polo
Martin Aleida
Mathori A Elwa
Max Dauthendey
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Michael Kumpfmüller
Michelangelo
Milan Djordjevic
Minamoto Yorimasa
Modest Petrovich Mussorgsky
Mozart
Mpu Gandring
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mulla Shadra
Nenden Lilis A
Nikmah Sarjono
Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Notes
Novel Pekik
Nunung Deni Puspitasari
Nurel Javissyarqi
Octavio Paz
Orasi Budaya
Orhan Pamuk
Pablo Neruda
Panos Ioannides
Patricia Pawestri
Paul Valéry
Paul van Ostaijen
PDS H.B. Jassin
Penerbit SastraSewu
Percy Bysshe Shelley
Pierre de Ronsard
Poems
Poetry
Pramoedya Ananta Toer
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Setia
Pyotr Ilyich Tchaikovsky
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Radhar Panca Dahana
Rainer Maria Rilke
Rakai Lukman
Rama Dira J
Rambuana
Read Ravel
Rengga AP
Resensi
reviewer
RF. Dhonna
Richard Strauss
Richard Wagner
Ridha al Qadri
Robert Desnos
Robert Marcuse
Ronny Agustinus
Rosalía de Castro
Ruth Martin
S. Gunawan
Sabine Müller
Samsul Anam
Santa Teresa
Sapardi Djoko Damono
Sara Teasdale
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Schreibinsel
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Short Story
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Solo Exhibition Rengga AP
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Stefan Zweig
Stefanus P. Elu
Subagio Sastrowardoyo
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
T.S. Eliot
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Thales
The World Readers Award
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
To Take Delight
Toeti Heraty
Tunggul Ametung
Ulysses
Umar Junus
Unknown Poet From Yugoslavia
Usman Arrumy
Utami Widowati
Vladimir Nabokov
W.S. Rendra
Walter Savage Landor (1775-1864)
Watercolour Paint
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Welly Kuswanto
Wildani Hefni
William Blake
William Butler Yeats
Wizna Hidayati Umam
World Letters
X.J. Kennedy
Yasraf Amir Piliang
Yasunari Kawabata
Yogas Ardiansyah
Yona Primadesi
Yuja Wang
Yukio Mishima
Z. Afif
Zadie Smith
Zeynita Gibbons
Tidak ada komentar:
Posting Komentar