Sabtu, 14 Agustus 2021

Prof Dr Abdul Hadi WM: Indonesia tak Punya Rumah Kebudayaan Sendiri

Abdul Hadi W. M.
Syahruddin El-Fikri (Pewawancara)
republika.co.id
 
Sistem pendidikan modern telah mengajarkan paham materialistik sehingga menafikan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah bahasa.
 
Agama Islam banyak memengaruhi kebudayaan bangsa Indonesia, khususnya bidang sastra. Munculnya sastra Melayu juga dipengaruhi oleh sastra Islam. Tak heran bila kemudian bangsa ini melahirkan banyak tokoh sastra yang andal. Sayangnya, kini kesusastraan Melayu yang menjadi ciri khas bangsa ini mulai kehilangan arah. ”Indonesia sudah tak memiliki rumah secara kultural lagi,” kata Prof Dr Abdul Hadi WM, guru besar Universitas Paramadina Mulya (UPM), Jakarta, kepada Syahruddin El-Fikri, wartawan Republika.
 
Hal ini disebabkan adanya kesalahan dalam sistem pendidikan Indonesia yang mengajarkan bahasa hanya sebagai alat komunikasi dan cenderung materialistik. Berikut petikannya.
 
Bagaimana sejarah masuknya Islam di Melayu dan pengaruhnya terhadap kebudayaan setempat?
 
Islam mulai berkembang pesat pada masa berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Indonesia sekitar akhir abad ke-13 M. Dan, bersamaan dengan selesainya perang salib serta penaklukan Baghdad oleh tentara Mongol yang dipimpin Hulago Khan. Itu menimbulkan banyak pengungsian besar-besaran. Di antara mereka ada intelektual, ulama, dan lainnya dari India hingga Indonesia. Mereka yang pindah tersebut bukan hanya dari Arab, tetapi Islam dari pemerintahan masa Abbasiyah di Baghdad dengan kebudayaan Persia. Dan, mazhabnya menganut Mazhab Syafi’i.
 
Dari sini, kemudian, agama Islam masuk ke Indonesia melalui Kerajaan Samudera Pasai. Dengan berdirinya kerajaan tersebut, institusi Islam terus berkembang, termasuk institusi pendidikannya dan kesusastraan. Pendidikan pada masa itu pertama kali mengenalkan huruf Arab (Melayu). Kemudian, bahasa Melayu menjadi pengantar bahasa pendidikan. Itulah yang berkembang pesat waktu itu.
Seiring dengan dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan, bahasa Melayu pun makin berkembang luas. Karena itu, bahasa Melayu dijadikan sarana untuk menafsirkan, menerjemahkan, atau menyadur karya-karyta penulis Arab dan Persia ke dalam bahasa yang ada di Nusantara. Dari sinilah kesusastraan berkembang.
 
Pada abad ke-13, berkembang bahasa Melayu dan orang menulis dalam huruf Arab. Bagaimana awal mulanya?
 
Kita tidak terlalu banyak mengetahui. Tapi, tulisan-tulisan pada makam raja-raja itu telah menunjukkan hal tersebut. Misalnya, dalam Prasasti Trengganu di Kedah (Malaysia) atau makam di Binjei Tujuh, itu masih bercampur dengan bahasa Melayu lama. Kemudian, kita mengetahui teks pertama yang sampai kepada kita sekarang, yaitu satu teks kuno pada zaman raja Pasai setelah Samudera Pasai ditaklukkan Majapahit pada 1380. Dari sini, kita bisa lihat peralihan bahasa Melayu dalam prasasti di Trengganu ke Binjei Tujuh. Kondisi ini menujukkan bahwa bahasa Melayu telah berkembang luas.
Bukti-bukti ini sering kali diabaikan oleh peneliti sastra. Bukan sengaja diabaikan. Tapi, karena kurang fokus. Padahal, bahasa Melayu sekarang ini adalah hasil perkembangan agama Islam di Nusantara.
 
Jadi, bahasa Melayu itu dipengaruhi oleh perkembangan agama Islam ketika masuk ke Indonesia?
 
Ya. Pertama, sebuah bahasa harus menampung konsep-konsep sebelumnya. Jadi, bahasa Melayu mengandung muatan bahasa Arab yang sangat banyak. Istilahnya, kata-kata dalam bahasa Arab dan Parsi (Persia) paling banyak diserap oleh bahasa Melayu. Sedangkan, bahasa Jawa lebih banyak menyerap bahasa Sansekerta yang berafiliasi dalam bahasa Hindu.
 
Bagaimana kondisi sastra Arab-Melayu saat ini bila dibandingkan sebelumnya atau awal masuknya Islam?
 
Khazanah sastra Melayu yang dihasilkan atau berasal dari Islam itu sangat banyak, terutama yang ditulis sejak abad ke-14 sampai abad ke-19.
 
Saat itu, banyak sekali bahasa Arab yang ditulis dalam bahasa Melayu. Itu hampir sebagian besar khazanah yang ada dalam sastra Persia dan Arab karena ada pengaruhnya ke Persia secara kultur. Kalau mazhab, baru ke Arab. Kita kaya sekali dengan khazanah dalam saduran sastra Arab yang ditulis dalam sastra Melayu.
 
Ada dua jenis sastra, yaitu sastra kitab dan sastra fiksi. Sastra kitab adalah karya-karya mengenai fikih, ushuluddin, kalam, tasawuf, tafsir, dan hadis yang ditulis dalam bahasa sastra. Bahkan, bahasa sastra juga masuk dalam bahasa undang-undang (yurisprudensi), seperti yurisprudensi pemerintahan, adat, dan sebagainya. Karena itu, tidak mengherankan bila Undang-Undang Minangkabau atau UU Aceh terdapat syair-syair di dalamnya. Sedangkan, UU kita sekarang ini sangat kering dari nilai-nilai sastra.
 
Adapun sastra fiksi terdapat prosa dan puisi, termasuk sastra hikayat dan syair. Ada sastra Adab (undang-undang politik dan pemerintahan). Ini memang tidak ada sangkut pautnya dengan agama, tetapi punya tata pemerintahan, undang-undang, dan lainnya. Di sinilah sumber adat. Karena itu, ada istilah “adat bersandi syarak dan syarak bersandi kitabullah”. Sastra adab dan fiksi sumbernya dari Alquran dan hadis.
 
Di dunia Melayu, ada dua pilar kebudayaan, yaitu syariah dan tasawuf. Selain budaya lokal, juga diperkuat dengan syariah dan tasawuf. Inilah pilar utama kebudayaan di Indonesia. Karena itu, kebudayaan Islam di Indonesia dan kesusastraannya tidak bisa melupakan syariah dan tasawuf.
Orang-orang yang lex pengetahuannya tentang ini tidak mengerti bahasa dan kesusastraan Melayu. Mereka juga menurunkan masalah estetika dan etika (ilmu jiwa dan psikologi) tentang pentingnya hati dan perasaan dari tasawuf. Tetapi, pucuknya metafisika, pandangan yang tersembunyi di balik intuisi kita.
 
Ketika sastra Melayu dipengaruhi dengan dua pilar tadi, bagaimana dengan sastra yang dilakukan Hamzah Fansuri?
 
Sastra Hamzah Fansuri itu macam-macam. Dia masuk pada sastra sufi. Ketika dia belajar tentang asas metafisik dalam melihat kehidupan ini, hal itu diimplementasikan dalam estitika dan etika.
Estetika sufi melihat bahwa apa yang ada dalam dunia ini merupakan kendaraan untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Jadi, bagaimana seni dijadikan kendaraan untuk membebaskan diri dari tiga hawa nafsu. Nafsu lawwamah, amarah, dan sufiyah dari badaniah untuk mencapai nafsu muthmainnah (ketenangan jiwa). Mereka membebaskan diri dari hal-hal kebendaan yang dapat merusak alam pikiran dan kesadaran mereka dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.
 
Jadi, ketika kemudian ada orang menganggap Hamzah Fansuri terlalu melebih-lebihkan kedekatan dirinya kepada Tuhan, sebenarnya pandangan itu salah?
 
Ya, itu nggak apa-apa. Hal itu tidak masalah. Bahasa berlebih-lebihan adalah melampaui batas. Artinya, kalau kita berlebih-lebihan dan melampaui batas, memang dilarang. Tetapi, apa yang dilakukan oleh seorang Hamzah Fansuri karena nilai-nilai dan semangat keberagamaannya dalam bidang tasawuf sehingga dia dekat dengan Tuhannya. Bukan berarti hal ini berlebih-lebihan. Dalam bidang lain pun, kalau kita berlebih-lebihan, itu salah. Jadi, orang yang menyamakan Hamzah Fansuri dengan paham wujudiyah karena orang tersebut belum sampai pada maqam seperti yang dialami Hamzah Fansuri. Kalau kamu mampu, tidak apa-apa. Artinya, mampu itu tidak sampai merusak.
 
Berarti, semuanya tergantung cara memandangnya dalam pendekatan apa. Begitu?
 
Y. Apakah kalau saya membaca 1000 buku sastra dianggap berlebih-lebihan? Tidak karena saya mampu. Tapi, kalau anak kecil membaca buku sebanyak itu, tentu akan berlebih-lebihan karena mereka tidak mampu.
 
Jadi, seperti Al-Hallaj, karena adanya orang yang salah dalam memahaminya?
 
Selama sesuatu itu bisa ditafsirkan, tidak hanya secara formal (takwil), hal itu masih boleh. Tapi, kalau tidak bisa, akan lain masalahnya. Misalnya, Alquran mengatakan, ”Ke mana pun kamu memandang, akan senantiasa tampak wajah Allah.”
 
Lalu, pertanyaannya, wajah Allah itu seperti apa? Kalau kalimat wajah Allah di sini ditafsirkan dengan harfiah atau panteistik, semuanya akan kacau. Di sinilah perlunya pandangan lain yang menjelaskan secara nyata maksud dari wajah Allah itu yang bermakna, wajah batin. Wajah batin bahwa Allah itu mempunyai berbagai macam sifat. Sifat Tuhan itu seperti apa, Rahman dan Rahim serta lainnya. Jadi, melihat sifat itu dengan mata hati.
 
Begitu juga kalau orang memaknai hadis Nabi. Misalnya, ”Malaikat tidak akan masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya terdapat gambar binatang.” Kalau begitu, malaikat maut tidak akan masuk. Jadi, ini bisa ditafsirkan. Maksudnya adalah hadis ini lebih bersifat khusus. Begitu juga ketika Sulaiman membuat gambar patung dan lainnya.
 
Al-Ghazali dalam menafsirkan hadis ini menjelaskan, janganlah membuat gambar yang menjijikkan atau mengajarkan orang seperti sifat kebinatangan. Secara umum, hadis itu bisa dimaknai bahwa malaikat tidak akan masuk ke rumah orang yang memiliki hati atau sifat-sifat binatang. Jadi, maknanya sangat luas.
 
Kembali ke sastra Melayu. Agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam membangun kebudayaan dan kesusastraan Melayu?
 
Ya. Pertama, jika kita membaca sastra Melayu, itu sangat luar biasa. Namun, untuk kondisi sekarang ini, bangsa Indonesia tercerabut dari akarnya setelah pendidikan modern. Contohnya, ketika kita menggunakan huruf Latin, generasi Indonesia abad ke-20 ini tak bisa lagi membaca warisan nenek moyang mereka yang ditulis dalam bahasa Arab-Melayu atau Pegon, huruf Lampung, huruf Bugis, dan lainnya.
 
Kedua, kita tidak diajarkan tentang sejarah dengan benar. Dan, ketiga, bahasa hanya dijadikan sebagai alat komunikasi semata. Padahal, bahasa menyimpan wacana warisan yang sangat penting dalam membentuk karakter budaya bangsa. Jadi, seharusnya yang dikenalkan kepada peserta didik adalah bagaimana teks-teks di zaman dulu untuk menumbuhkan semangat anak didik untuk mempelajari sastra.
 
Anak-anak di Jepang bisa menulis huruf kanji. Begitu juga di India. Tapi, di Indonesia, anak-anak kita tak ada yang mengetahui lagi bagaimana huruf Melayu, seperti Pegon, huruf Jawi, dan lainnya.
 
Berarti, ada kesalahan dalam sistem pendidikan kita saat ini?
 
Jepang tidak mengubah huruf. Jepang menjadi modern karena keberanian mereka mengenalkan kebudayaan dan kesusastraan Jepang kepada anak didiknya, tapi mengubah kebudayaannya. Sementara itu, di Indonesia, hal itu tidak lagi dilakukan.
 
Bagaimana dengan sistem pendidikan sekarang yang mencoba mengenalkan bahasa daerah di sekolah masing-masing?
 
Ya, ini bagus. Namun, bahasa tersebut masih diajarkan sebagai bahasa komunikasi semata, bukan sebagai bahasa yang memiliki nilai-nilai yang sangat tinggi.
Ketika dulu saya masih sekolah rendah (SR), kita sudah mendapatkan bahasa pengantar dalam bahasa ibu (Madura), baru masuk kelas tiga dipelajari bahasa Indonesia. Bahasa ibu itu sangat membantu kita untuk mengenal suatu konsep-konsep kehidupan dunia sekitar. Kemudian ketika SMP dan SMA, saya belajar sastra Jawa kuno sastra Melayu, dan Indonesia.
 
Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab dalam masalah ini ketika anak-anak Jawa sudah tidak lagi mengenal, bahkan menulis huruf Honocoroko?
 
Mestinya, pertanyaan ini diajukan pada pemegang kebijakan bangsa ini. Sudah benarkah sistem pendidikan modern kita sekarang? Sejak beberapa tahun Orde Baru berkuasa, sistem pendidikan kita menjadi ala Amerika. Padahal, Amerika itu tidak punya sejarah, seperti Eropa. Pendidikan Amerika itu pragmatis dan tertuju pada hal yang konkret dan tidak belajar tentang sesuatu yang abstrak. Akibatnya, dalam menyelesaikan masalah, selalu yang konkret saja.
 
Berbeda dengan Jepang, gonta-ganti perdana menteri dan dimasuki kebudayaan Hindu dan Buddha. Namun, mereka tidak terpengaruh dengan kebudayaan itu, apalagi mengubah kebijakan yang sudah baik. Ibarat software, sekarang ini kondisi kita sudah rusak.
 
Apakah karena masyarakat kita yang terpengaruh dengan sesuatu yang instan (sesaat) juga?
 
Iya. Ini karena masalah pendidikan juga. Zaman Belanda mengajarkan materi tentang kebudayaan hingga 90 persen budaya barat dibandingkan kebudayaan sendiri.
Anak-anak muda Indonesia saat ini lebih familiar dengan tarian balet, jazz, disko, dan sebagainya ketimbang Reog Ponogoro. Ini kan nggak lucu.
 
Bagaimana membenahi sastra Melayu agar bisa lebih diterima kembali?
 
Saat ini, di Sumatra sudah mulai dilakukan. Batasan sejarahnya jelas. Paling baik diutamakan karya-karya unggul, misalnya puncak-puncaknya dulu. Selanjutnya, baru masuk pada karya-karya lainnya. Jadi, anak didik itu mengenal kebudayaan mereka sendiri-sendiri. Ajarkan kembali sastra Melayu dan kebudayaan bangsa sendiri. Bahasa bukan alat komunikasi saja. Bagaimana mau mempelajari karya Bung Karno atau Bung Hatta kalau tidak memahami perkembangan bahasa.
 
Jadi, akibat ini adalah banyak anak didik kita yang perilakunya menjadi menyimpang?
 
Ya. Akhirnya, akhlak dan pendidikan budi pekerti terabaikan karena lebih mengejar persoalan materi. Saat ini, kita tidak memiliki rumah secara kebudayaan. Secara politik sudah kacau balau, ekonomi tidak punya, lebih parah lagi tidak punya rumah kebudayaan.
 
Pemahaman terhadap agama juga makin hari makin dangkal. Agama dipelajari cuma sebatas ritual, bukan penghayatan. Agama dipandang sudah cukup bila sering mengikuti pengajian di kantor-kantor, hotel, dan gedung mewah. Mereka mengukur keberagamaan seseorang dari banyaknya orang mengikuti pengajian, bukan dari kualitas yang diajarkan.
 
Apa yang membedakan sastra Islam dan sastra Islami di Indonesia?
 
Sastra Islam di Indonesia sudah ada sejak masuknya Islam ke Indonesia. Kemudian, hal ini dikenal dengan sastra Melayu yang mengadopsi kebudayaan Islam. Sastra Islam itu lebih luas, sedangkan sastra Islami itu lebih terbatas.
Sementara itu, sastra religi lebih luas lagi karena dia bisa berupa sastra Hindu, Islam, Buddha, dan sebagainya.
***

http://sastra-indonesia.com/2009/04/prof-dr-abdul-hadi-wm-indonesia-tak-punya-rumah-kebudayaan-sendiri/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons