Abdul Hadi W. M.
Syahruddin El-Fikri (Pewawancara)
republika.co.id
Sistem pendidikan modern telah mengajarkan paham materialistik sehingga
menafikan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah bahasa.
Agama Islam banyak memengaruhi kebudayaan bangsa Indonesia, khususnya
bidang sastra. Munculnya sastra Melayu juga dipengaruhi oleh sastra Islam. Tak
heran bila kemudian bangsa ini melahirkan banyak tokoh sastra yang andal.
Sayangnya, kini kesusastraan Melayu yang menjadi ciri khas bangsa ini mulai kehilangan
arah. ”Indonesia sudah tak memiliki rumah secara kultural lagi,” kata Prof Dr
Abdul Hadi WM, guru besar Universitas Paramadina Mulya (UPM), Jakarta, kepada
Syahruddin El-Fikri, wartawan Republika.
Hal ini disebabkan adanya kesalahan dalam sistem pendidikan Indonesia yang
mengajarkan bahasa hanya sebagai alat komunikasi dan cenderung materialistik.
Berikut petikannya.
Bagaimana sejarah masuknya Islam di Melayu dan pengaruhnya terhadap
kebudayaan setempat?
Islam mulai berkembang pesat pada masa berdirinya Kerajaan Samudera Pasai
di Indonesia sekitar akhir abad ke-13 M. Dan, bersamaan dengan selesainya
perang salib serta penaklukan Baghdad oleh tentara Mongol yang dipimpin Hulago
Khan. Itu menimbulkan banyak pengungsian besar-besaran. Di antara mereka ada
intelektual, ulama, dan lainnya dari India hingga Indonesia. Mereka yang pindah
tersebut bukan hanya dari Arab, tetapi Islam dari pemerintahan masa Abbasiyah
di Baghdad dengan kebudayaan Persia. Dan, mazhabnya menganut Mazhab Syafi’i.
Dari sini, kemudian, agama Islam masuk ke Indonesia melalui Kerajaan
Samudera Pasai. Dengan berdirinya kerajaan tersebut, institusi Islam terus
berkembang, termasuk institusi pendidikannya dan kesusastraan. Pendidikan pada
masa itu pertama kali mengenalkan huruf Arab (Melayu). Kemudian, bahasa Melayu
menjadi pengantar bahasa pendidikan. Itulah yang berkembang pesat waktu itu.
Seiring dengan dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan,
bahasa Melayu pun makin berkembang luas. Karena itu, bahasa Melayu dijadikan
sarana untuk menafsirkan, menerjemahkan, atau menyadur karya-karyta penulis
Arab dan Persia ke dalam bahasa yang ada di Nusantara. Dari sinilah
kesusastraan berkembang.
Pada abad ke-13, berkembang bahasa Melayu dan orang menulis dalam huruf
Arab. Bagaimana awal mulanya?
Kita tidak terlalu banyak mengetahui. Tapi, tulisan-tulisan pada makam
raja-raja itu telah menunjukkan hal tersebut. Misalnya, dalam Prasasti
Trengganu di Kedah (Malaysia) atau makam di Binjei Tujuh, itu masih bercampur
dengan bahasa Melayu lama. Kemudian, kita mengetahui teks pertama yang sampai
kepada kita sekarang, yaitu satu teks kuno pada zaman raja Pasai setelah
Samudera Pasai ditaklukkan Majapahit pada 1380. Dari sini, kita bisa lihat
peralihan bahasa Melayu dalam prasasti di Trengganu ke Binjei Tujuh. Kondisi
ini menujukkan bahwa bahasa Melayu telah berkembang luas.
Bukti-bukti ini sering kali diabaikan oleh peneliti sastra. Bukan sengaja
diabaikan. Tapi, karena kurang fokus. Padahal, bahasa Melayu sekarang ini
adalah hasil perkembangan agama Islam di Nusantara.
Jadi, bahasa Melayu itu dipengaruhi oleh perkembangan agama Islam ketika
masuk ke Indonesia?
Ya. Pertama, sebuah bahasa harus menampung konsep-konsep sebelumnya. Jadi,
bahasa Melayu mengandung muatan bahasa Arab yang sangat banyak. Istilahnya,
kata-kata dalam bahasa Arab dan Parsi (Persia) paling banyak diserap oleh
bahasa Melayu. Sedangkan, bahasa Jawa lebih banyak menyerap bahasa Sansekerta
yang berafiliasi dalam bahasa Hindu.
Bagaimana kondisi sastra Arab-Melayu saat ini bila dibandingkan sebelumnya
atau awal masuknya Islam?
Khazanah sastra Melayu yang dihasilkan atau berasal dari Islam itu sangat
banyak, terutama yang ditulis sejak abad ke-14 sampai abad ke-19.
Saat itu, banyak sekali bahasa Arab yang ditulis dalam bahasa Melayu. Itu
hampir sebagian besar khazanah yang ada dalam sastra Persia dan Arab karena ada
pengaruhnya ke Persia secara kultur. Kalau mazhab, baru ke Arab. Kita kaya
sekali dengan khazanah dalam saduran sastra Arab yang ditulis dalam sastra
Melayu.
Ada dua jenis sastra, yaitu sastra kitab dan sastra fiksi. Sastra kitab
adalah karya-karya mengenai fikih, ushuluddin, kalam, tasawuf, tafsir, dan
hadis yang ditulis dalam bahasa sastra. Bahkan, bahasa sastra juga masuk dalam
bahasa undang-undang (yurisprudensi), seperti yurisprudensi pemerintahan, adat,
dan sebagainya. Karena itu, tidak mengherankan bila Undang-Undang Minangkabau
atau UU Aceh terdapat syair-syair di dalamnya. Sedangkan, UU kita sekarang ini
sangat kering dari nilai-nilai sastra.
Adapun sastra fiksi terdapat prosa dan puisi, termasuk sastra hikayat dan
syair. Ada sastra Adab (undang-undang politik dan pemerintahan). Ini memang
tidak ada sangkut pautnya dengan agama, tetapi punya tata pemerintahan,
undang-undang, dan lainnya. Di sinilah sumber adat. Karena itu, ada istilah
“adat bersandi syarak dan syarak bersandi kitabullah”. Sastra adab dan fiksi
sumbernya dari Alquran dan hadis.
Di dunia Melayu, ada dua pilar kebudayaan, yaitu syariah dan tasawuf.
Selain budaya lokal, juga diperkuat dengan syariah dan tasawuf. Inilah pilar
utama kebudayaan di Indonesia. Karena itu, kebudayaan Islam di Indonesia dan
kesusastraannya tidak bisa melupakan syariah dan tasawuf.
Orang-orang yang lex pengetahuannya tentang ini tidak mengerti bahasa dan
kesusastraan Melayu. Mereka juga menurunkan masalah estetika dan etika (ilmu
jiwa dan psikologi) tentang pentingnya hati dan perasaan dari tasawuf. Tetapi,
pucuknya metafisika, pandangan yang tersembunyi di balik intuisi kita.
Ketika sastra Melayu dipengaruhi dengan dua pilar tadi, bagaimana dengan
sastra yang dilakukan Hamzah Fansuri?
Sastra Hamzah Fansuri itu macam-macam. Dia masuk pada sastra sufi. Ketika
dia belajar tentang asas metafisik dalam melihat kehidupan ini, hal itu
diimplementasikan dalam estitika dan etika.
Estetika sufi melihat bahwa apa yang ada dalam dunia ini merupakan
kendaraan untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Jadi, bagaimana seni
dijadikan kendaraan untuk membebaskan diri dari tiga hawa nafsu. Nafsu
lawwamah, amarah, dan sufiyah dari badaniah untuk mencapai nafsu muthmainnah
(ketenangan jiwa). Mereka membebaskan diri dari hal-hal kebendaan yang dapat
merusak alam pikiran dan kesadaran mereka dengan hal-hal yang bersifat
keduniawian.
Jadi, ketika kemudian ada orang menganggap Hamzah Fansuri terlalu
melebih-lebihkan kedekatan dirinya kepada Tuhan, sebenarnya pandangan itu
salah?
Ya, itu nggak apa-apa. Hal itu tidak masalah. Bahasa berlebih-lebihan
adalah melampaui batas. Artinya, kalau kita berlebih-lebihan dan melampaui
batas, memang dilarang. Tetapi, apa yang dilakukan oleh seorang Hamzah Fansuri
karena nilai-nilai dan semangat keberagamaannya dalam bidang tasawuf sehingga
dia dekat dengan Tuhannya. Bukan berarti hal ini berlebih-lebihan. Dalam bidang
lain pun, kalau kita berlebih-lebihan, itu salah. Jadi, orang yang menyamakan
Hamzah Fansuri dengan paham wujudiyah karena orang tersebut belum sampai pada
maqam seperti yang dialami Hamzah Fansuri. Kalau kamu mampu, tidak apa-apa.
Artinya, mampu itu tidak sampai merusak.
Berarti, semuanya tergantung cara memandangnya dalam pendekatan apa.
Begitu?
Y. Apakah kalau saya membaca 1000 buku sastra dianggap berlebih-lebihan?
Tidak karena saya mampu. Tapi, kalau anak kecil membaca buku sebanyak itu,
tentu akan berlebih-lebihan karena mereka tidak mampu.
Jadi, seperti Al-Hallaj, karena adanya orang yang salah dalam memahaminya?
Selama sesuatu itu bisa ditafsirkan, tidak hanya secara formal (takwil),
hal itu masih boleh. Tapi, kalau tidak bisa, akan lain masalahnya. Misalnya,
Alquran mengatakan, ”Ke mana pun kamu memandang, akan senantiasa tampak wajah
Allah.”
Lalu, pertanyaannya, wajah Allah itu seperti apa? Kalau kalimat wajah Allah
di sini ditafsirkan dengan harfiah atau panteistik, semuanya akan kacau. Di
sinilah perlunya pandangan lain yang menjelaskan secara nyata maksud dari wajah
Allah itu yang bermakna, wajah batin. Wajah batin bahwa Allah itu mempunyai
berbagai macam sifat. Sifat Tuhan itu seperti apa, Rahman dan Rahim serta
lainnya. Jadi, melihat sifat itu dengan mata hati.
Begitu juga kalau orang memaknai hadis Nabi. Misalnya, ”Malaikat tidak akan
masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya terdapat gambar binatang.” Kalau
begitu, malaikat maut tidak akan masuk. Jadi, ini bisa ditafsirkan. Maksudnya
adalah hadis ini lebih bersifat khusus. Begitu juga ketika Sulaiman membuat
gambar patung dan lainnya.
Al-Ghazali dalam menafsirkan hadis ini menjelaskan, janganlah membuat
gambar yang menjijikkan atau mengajarkan orang seperti sifat kebinatangan.
Secara umum, hadis itu bisa dimaknai bahwa malaikat tidak akan masuk ke rumah
orang yang memiliki hati atau sifat-sifat binatang. Jadi, maknanya sangat luas.
Kembali ke sastra Melayu. Agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam
membangun kebudayaan dan kesusastraan Melayu?
Ya. Pertama, jika kita membaca sastra Melayu, itu sangat luar biasa. Namun,
untuk kondisi sekarang ini, bangsa Indonesia tercerabut dari akarnya setelah
pendidikan modern. Contohnya, ketika kita menggunakan huruf Latin, generasi
Indonesia abad ke-20 ini tak bisa lagi membaca warisan nenek moyang mereka yang
ditulis dalam bahasa Arab-Melayu atau Pegon, huruf Lampung, huruf Bugis, dan
lainnya.
Kedua, kita tidak diajarkan tentang sejarah dengan benar. Dan, ketiga,
bahasa hanya dijadikan sebagai alat komunikasi semata. Padahal, bahasa
menyimpan wacana warisan yang sangat penting dalam membentuk karakter budaya
bangsa. Jadi, seharusnya yang dikenalkan kepada peserta didik adalah bagaimana
teks-teks di zaman dulu untuk menumbuhkan semangat anak didik untuk mempelajari
sastra.
Anak-anak di Jepang bisa menulis huruf kanji. Begitu juga di India. Tapi,
di Indonesia, anak-anak kita tak ada yang mengetahui lagi bagaimana huruf
Melayu, seperti Pegon, huruf Jawi, dan lainnya.
Berarti, ada kesalahan dalam sistem pendidikan kita saat ini?
Jepang tidak mengubah huruf. Jepang menjadi modern karena keberanian mereka
mengenalkan kebudayaan dan kesusastraan Jepang kepada anak didiknya, tapi
mengubah kebudayaannya. Sementara itu, di Indonesia, hal itu tidak lagi
dilakukan.
Bagaimana dengan sistem pendidikan sekarang yang mencoba mengenalkan bahasa
daerah di sekolah masing-masing?
Ya, ini bagus. Namun, bahasa tersebut masih diajarkan sebagai bahasa
komunikasi semata, bukan sebagai bahasa yang memiliki nilai-nilai yang sangat
tinggi.
Ketika dulu saya masih sekolah rendah (SR), kita sudah mendapatkan bahasa
pengantar dalam bahasa ibu (Madura), baru masuk kelas tiga dipelajari bahasa
Indonesia. Bahasa ibu itu sangat membantu kita untuk mengenal suatu
konsep-konsep kehidupan dunia sekitar. Kemudian ketika SMP dan SMA, saya
belajar sastra Jawa kuno sastra Melayu, dan Indonesia.
Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab dalam masalah ini ketika anak-anak
Jawa sudah tidak lagi mengenal, bahkan menulis huruf Honocoroko?
Mestinya, pertanyaan ini diajukan pada pemegang kebijakan bangsa ini. Sudah
benarkah sistem pendidikan modern kita sekarang? Sejak beberapa tahun Orde Baru
berkuasa, sistem pendidikan kita menjadi ala Amerika. Padahal, Amerika itu
tidak punya sejarah, seperti Eropa. Pendidikan Amerika itu pragmatis dan
tertuju pada hal yang konkret dan tidak belajar tentang sesuatu yang abstrak.
Akibatnya, dalam menyelesaikan masalah, selalu yang konkret saja.
Berbeda dengan Jepang, gonta-ganti perdana menteri dan dimasuki kebudayaan
Hindu dan Buddha. Namun, mereka tidak terpengaruh dengan kebudayaan itu,
apalagi mengubah kebijakan yang sudah baik. Ibarat software, sekarang ini
kondisi kita sudah rusak.
Apakah karena masyarakat kita yang terpengaruh dengan sesuatu yang instan
(sesaat) juga?
Iya. Ini karena masalah pendidikan juga. Zaman Belanda mengajarkan materi
tentang kebudayaan hingga 90 persen budaya barat dibandingkan kebudayaan
sendiri.
Anak-anak muda Indonesia saat ini lebih familiar dengan tarian balet, jazz,
disko, dan sebagainya ketimbang Reog Ponogoro. Ini kan nggak lucu.
Bagaimana membenahi sastra Melayu agar bisa lebih diterima kembali?
Saat ini, di Sumatra sudah mulai dilakukan. Batasan sejarahnya jelas.
Paling baik diutamakan karya-karya unggul, misalnya puncak-puncaknya dulu.
Selanjutnya, baru masuk pada karya-karya lainnya. Jadi, anak didik itu mengenal
kebudayaan mereka sendiri-sendiri. Ajarkan kembali sastra Melayu dan kebudayaan
bangsa sendiri. Bahasa bukan alat komunikasi saja. Bagaimana mau mempelajari
karya Bung Karno atau Bung Hatta kalau tidak memahami perkembangan bahasa.
Jadi, akibat ini adalah banyak anak didik kita yang perilakunya menjadi
menyimpang?
Ya. Akhirnya, akhlak dan pendidikan budi pekerti terabaikan karena lebih
mengejar persoalan materi. Saat ini, kita tidak memiliki rumah secara
kebudayaan. Secara politik sudah kacau balau, ekonomi tidak punya, lebih parah
lagi tidak punya rumah kebudayaan.
Pemahaman terhadap agama juga makin hari makin dangkal. Agama dipelajari
cuma sebatas ritual, bukan penghayatan. Agama dipandang sudah cukup bila sering
mengikuti pengajian di kantor-kantor, hotel, dan gedung mewah. Mereka mengukur
keberagamaan seseorang dari banyaknya orang mengikuti pengajian, bukan dari
kualitas yang diajarkan.
Apa yang membedakan sastra Islam dan sastra Islami di Indonesia?
Sastra Islam di Indonesia sudah ada sejak masuknya Islam ke Indonesia.
Kemudian, hal ini dikenal dengan sastra Melayu yang mengadopsi kebudayaan
Islam. Sastra Islam itu lebih luas, sedangkan sastra Islami itu lebih terbatas.
Sementara itu, sastra religi lebih luas lagi karena dia bisa berupa sastra
Hindu, Islam, Buddha, dan sebagainya.
***
the spaces of world figures, literature studies, new school of thought in the world of literature (art, letters, etc.)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.C. Andre Tanama
Aang Fatihul Islam
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Adam Roberts
Adelbert von Chamisso
Adreas Anggit W.
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus R. Sarjono
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Albert Camus
Albrecht Goes
Alexander Pushkin
Alit S. Rini
Amien Kamil
Amy Lowell
Andra Nur Oktaviani
André Chénier
Andy Warhol
Angela
Angela Dewi
Angrok
Anindita S. Thayf
Anton Bruckner
Anton Kurnia
Anwar Holid
Arif Saifudin Yudistira
Arthur Rimbaud
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asep Sambodja
Awalludin GD Mualif
Axel Grube
Bambang Kariyawan Ys
Basoeki Abdullah
Beethoven
Ben Okri
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Berto Tukan
BI Purwantari
Birgit Lattenkamp
Blaise Cendrars
Book Cover
Brunel University London
Budi Darma
Buku Kritik Sastra
C.C. Berg
Candra Kurnia
Cecep Syamsul Hari
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Charles Baudelaire
Claude Debussy
Cristina Lambert
D. Zawawi Imron
Damhuri Muhammad
Dana Gioia
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darwin
Dea Anugrah
Denny Mizhar
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dwi Cipta
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Edgar Allan Poe
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Emha Ainun Nadjib
Emily Dickinson
Enda Menzies
Endorsement
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Essay
Evan Ys
Fahmi Faqih
Fatah Anshori
Fazabinal Alim
Feby Indirani
François Villon
François-Marie Arouet (Voltaire)
Frankfurt Book Fair 2015
Franz Kafka
Franz Schubert
Franz Wisner
Frederick Delius
Friedrich Nietzsche
Friedrich Schiller
Fritz Senn
FX Rudy Gunawan
G. J. Resink
Gabriel García Márquez
Gabriela Mistral
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Goethe
Hamid Dabashi
Hardi Hamzah
Hasan Junus
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier
Henry Lawson
Hera Khaerani
Hermann Hesse
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ignas Kleden
Igor Stravinsky
Imam Nawawi
Indra Tjahyadi
Inspiring Writer
Interview
Iskandar Noe
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rumi
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jiero Cafe
Johann Sebastian Bach
Johannes Brahms
John H. McGlynn
John Keats
José de Espronceda
Jostein Gaarder
Kamran Dikarma
Katrin Bandel
Khalil Gibran (1883-1931)
Koesoema Affandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Koskow
Kulya in the Niche of Philosophjy
Laksmi Pamuntjak
Laksmi Shitaresmi
Lathifa Akmaliyah
Laurencius Simanjuntak
Leila S Chudori
Leo Tolstoy
Lontar Foundation
Lorca
Lord Byron
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lutfi Mardiansyah
Luthfi Assyaukanie
M. Yoesoef
M.S. Arifin
Mahmoud Darwish
Mahmud Ali Jauhari
Mahmudi
Maman S. Mahayana
Marco Polo
Martin Aleida
Mathori A Elwa
Max Dauthendey
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Michael Kumpfmüller
Michelangelo
Milan Djordjevic
Minamoto Yorimasa
Modest Petrovich Mussorgsky
Mozart
Mpu Gandring
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mulla Shadra
Nenden Lilis A
Nikmah Sarjono
Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Notes
Novel Pekik
Nunung Deni Puspitasari
Nurel Javissyarqi
Octavio Paz
Orasi Budaya
Orhan Pamuk
Pablo Neruda
Panos Ioannides
Patricia Pawestri
Paul Valéry
Paul van Ostaijen
PDS H.B. Jassin
Penerbit SastraSewu
Percy Bysshe Shelley
Pierre de Ronsard
Poems
Poetry
Pramoedya Ananta Toer
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Setia
Pyotr Ilyich Tchaikovsky
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Radhar Panca Dahana
Rainer Maria Rilke
Rakai Lukman
Rama Dira J
Rambuana
Read Ravel
Rengga AP
Resensi
reviewer
RF. Dhonna
Richard Strauss
Richard Wagner
Ridha al Qadri
Robert Desnos
Robert Marcuse
Ronny Agustinus
Rosalía de Castro
Ruth Martin
S. Gunawan
Sabine Müller
Samsul Anam
Santa Teresa
Sapardi Djoko Damono
Sara Teasdale
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Schreibinsel
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Short Story
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Solo Exhibition Rengga AP
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Stefan Zweig
Stefanus P. Elu
Subagio Sastrowardoyo
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
T.S. Eliot
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Thales
The World Readers Award
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
To Take Delight
Toeti Heraty
Tunggul Ametung
Ulysses
Umar Junus
Unknown Poet From Yugoslavia
Usman Arrumy
Utami Widowati
Vladimir Nabokov
W.S. Rendra
Walter Savage Landor (1775-1864)
Watercolour Paint
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Welly Kuswanto
Wildani Hefni
William Blake
William Butler Yeats
Wizna Hidayati Umam
World Letters
X.J. Kennedy
Yasraf Amir Piliang
Yasunari Kawabata
Yogas Ardiansyah
Yona Primadesi
Yuja Wang
Yukio Mishima
Z. Afif
Zadie Smith
Zeynita Gibbons
Tidak ada komentar:
Posting Komentar