Penulis : Leo Tolstoy
Penerjemah : Atta Verin
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta
Edisi : Pertama, Februari 2011
Tebal : 200 halaman
Peresensi : Wildani Hefni
Lampung Post, 17 Juli 2011
TAK bisa dibayangkan, ketika kehidupan dipenuhi dengan cobaan, dijejali penderitaan, diisi kesepian, mesti akan terasa hampa. Kehidupan akan berbalik dari bahagia menjadi melankolis, dari perasaan senang menjadi sedih, dari senyum dan canda tawa akan beralih menjadi gelisah dan duka. Tentu semua orang menginginkan kebahagiaan, kesenangan, keceriaan, dan keindahan. Tapi apa daya jika pada kenyataannya tak sesuai dengan apa yang diinginkan, jauh dari apa yang diharapkan.
Jika sudah demikian, siapa yang patut disalahkan? Apakah mengubur diri dalam ketidakpastian, atau menyalahkan orang di sekeliling kita, atau bahkan berdemonstrasi pada Tuhan dengan omelan-omelan yang kasar?
Tentu tak demikian caranya. Leo Tolstoy, seorang sastrawan besar Rusia dalam novel ini memberikan cara yang baik dengan menunjukkan bahwa dalam setiap sendi kehidupan, di sana terdapat kasih Tuhan yang selalu menemani setiap hamba. Novel ini terdiri dari lima cerita terbaik Leo Tolstoy yang semuanya berisi ajaran untuk mengampuni dan berdamai dengan orang lain.
Salah satu cerita dalam novel ini berkisah tentang seorang perajin sepatu bernama Martin Adveich, yang merasa kesepian setelah ditinggal mati istri dan putra semata wayangnya. Istri Martin meninggal dunia ketika ia masih tinggal dengan majikannya. Anak Martin tak ada yang hidup, semua anak yang lebih tua meninggal sejak masih kanak-kanak, yang hidup hanya anak terakhirnya, Kapiton. Apa yang terjadi, lambat laun Kapiton jatuh sakit, merana selama dua minggu dan akhirnya meninggal dunia.
Anak semata wayang yang mulai membantu Martin juga telah tiada. Hal ini menjadikan hidup Martin Melankolis dan selalu mengeluh kepada Tuhan, mengomel agar Tuhan menghentikan hidupnya. Martin yang awalnya rajin ke gereja, menjadi malas karena merasa disiksa oleh Tuhan.
Setelah tujuh tahun Martin tak datang ke gereja, akhirnya ada seorang lelaki tua datang dari Biara Trinitas untuk menjenguk Martin.
Lelaki itu menanyakan perihal ketidakmunculan Martin di gereja. Martin pun mengeluhkan akan kepedihan hidup yang ia alami. Akhirnya, lelaki tua itu menyuruh Martin untuk tak putus asa karena hidup hanya untuk Tuhan. Ketika hidup dipasrahkan pada Tuhan, tak akan pernah mengalami putus asa karena kesengsaraan hidup. Lelaki itu menyuruh Martin untuk membeli Alkitab agar hidup Martin benar-benar untuk Tuhan.
Tak ayal, pagi hari dalam setiap degup Martin, hanya bayangan akan sosok Tuhan. Aktivitas Martin tak lain duduk di ambang jendela dan lebih banyak memandang keluar jendela dari pada bekerja. Setiap ada orang, ia melongok ke jendela. Banyak orang yang melewati rumahnya, tapi tak seorang pun yang berhenti, apalagi singgah.
Harapan untuk bertemu dengan Tuhan kembali menjadi pikiran Martin. Namun, orang kedua yang ada adalah seorang wanita dengan bayi di gendongannya yang tampak kedinginan, tak mampu melindungi anaknya. Maka, Martin mengundang wanita itu masuk untuk menghangatkan diri. Hidangan roti dan sup hangat menemani percakapan Martin dan wanita itu. Dengan penuh kegetiran, wanita itu bertutur tentang kemalangan dirinya yang ditinggal suaminya perang hingga ia jatuh miskin, bahkan selendang untuk menghangatkan diri pun harus ia gadaikan.
Martin memberinya uang sekadarnya untuk bisa menebus kembali selendangnya, dan membekalinya mantel usang untuk dapat melindunginya dan si bayi dari kedinginan.
Hari itu ternyata berlalu dan tak mempertemukan Martin dengan sosok Tuhan. Yang ada hanya kejadian-kejadian kecil yang menuntut Martin untuk menolong penderitaan mereka. Cerita ini tentu mengajarkan kebajikan mulia. Dikemas dengan piawai, apik nan indah.
Buku ini adalah sebuah karya kitab klasik karya maestro sastra dunia, tak hanya melipur hati, tapi mencerahkan dan menusuk relung jiwa dengan menyadarkan bahwa Tuhan tak perlu dicari-cari, ia hadir dalam diri setiap orang yang membutuhkan. Setiap detik, menit, jam, hari, dan setiap saat. Maka bergantung pada diri kita, jika kita peka terhadap eksistensi Tuhan yang selalu menolong hambanya, kita akan selalu dibarengi cinta, bukan hanya cinta biasa, melainkan cinta spritual dari Tuhan.
*) Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca Pesma Darun Najah, IAIN Walisongo, Semarang. http://sastra-indonesia.com/2011/07/perjalanan-mencari-cinta-spritual/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar