majalah.tempointeraktif.com
Sutradara Teddy Soeriaatmadja melahirkan film terbarunya sebagai alternatif dalam peta perfilman Indonesia. Para aktor senior menyalakan cahaya dalam film ini.
BANYU BIRU Sutradara: Teddy Soeriaatmadja Skenario: Rayya Makarim, Prima Rusdi, Jujur Prananto Pemain: Tora Sudiro, Slamet Rahardjo, Didi Petet, Butet Kertaredjasa, Dian Sastrowardoyo Produksi: Salto Films dan M&M Entertainment.
Perjalanan melalui gelombang biru laut itu terasa tak akan pernah usai. Perjalanan menemui ayahnya yang pernah ditemuinya selama 10 tahun adalah perjalanannya menguak sebuah ruang gelap bernama “masa kecil” yang ditutupnya rapat-rapat. Hanya, kali ini, setelah 10 tahun yang penuh amarah, Banyu baru berani membuka kotak pandora yang selalu dikuncinya rapat: tentang kematian adiknya, Biru, tentang kematian ibunya, tentang cinta ayahnya pada mereka semua.
Pertemuan Banyu (Tora Sudiro) dengan sang ayah (Slamet Rahardjo dalam penampilan yang luar biasa) adalah sebuah klimaks yang menjelaskan seluruh isi film, sekaligus menuju pada sebuah konklusi yang -insya Allah- akan membuat penonton ternganga sejak awal film karena tak memahami gerak langkah sutradara Teddy Soeriaatmadja, itu new kid on the block yang baru saja menelurkan debutnya yang dianggap “aneh” dan “ndak mudeng” (sebelumnya, Teddy sudah pernah melahirkan film Culik, yang tidak beredar di bioskop?Red).
Film Banyu Biru diklaim oleh para sineasnya sebagai tayangan visual yang “terinspirasi oleh pakem realisme magis (magic realism), sebuah gaya penulisan sastra yang terkenal antara lain lewat karya Gabriel Garcia Marquez”. Demikianlah bunyi berita pers yang dikeluarkan produsernya.
Saran saya? Mungkin Teddy dan semua sineas serta produsernya akan lebih baik melupakan isme-isme itu, mencoba tidak terlalu terpesona oleh label-label itu, karena karyanya sendiri sudah memiliki pesona dan tak perlu lagi penjelasan-penjelasan yang membutuhkan nama.
Terminologi magical realism, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi realisme magis, mulai menggema ketika pemenang Nobel Sastra, Miguel Angel Asturias, menggunakan istilah ini untuk menjelaskan novel-novelnya. Tetapi sesungguhnya pada akhir tahun 1920-an, kritikus seni dari Jerman, Franz Roh, sudah menggunakan istilah realisme magis untuk menggambarkan lukisan yang berupaya menggambarkan realitas dengan cara yang baru. Istilah ini kemudian digunakan kritikus sastra asal Venezuela, Uslar Pietri, untuk menggambarkan kecenderungan sastra Amerika Latin saat itu. Sejak itu, novel-novel dunia- bukan hanya Gabriel Garcia Marquez dengan One Hundred Years of Solitude, tapi juga Salman Rushdie (Midnight’s Children dan Shame), Umberto Eco (Foucault’s Pendulum), Milan Kundera (Immortality)-kemudian dianggap sebagai novel yang memiliki unsur realisme magis. Realisme magis tentu saja bukan sebuah cara bertutur yang serta-merta harus menampilkan segala sesuatu yang menampilkan keajaiban atau keahlian memanipulasi realitas-seperti sosok penyihir atau lampu aladin- tetapi lebih pada kemampuan melebihi batasan realitas hingga menciptakan sebuah realitas baru dengan dunia yang baru.
Syahdan, Teddy Soeriaatmadja menendang realitas baru itu, mendorong melebihi batasan-batasan realitas itu, dengan sebuah dunia baru dalam perjalanan Banyu. Pada awal cerita, Teddy menampilkan sosok kecil di awal film sebagai saksi kematian adiknya diiringi Juwita Malam karya Ismail Marzuki (dinyanyikan Slank, dahsyat!). Kamera beralih pada Banyu dewasa, yang diperankan Tora Sudiro, dalam penampilan yang diam, sunyi, bingung, dan terus-menerus didera migrain yang jahanam. Sebagai seorang pelayan customer service sebuah hipermarket, Banyu kemudian mencari penyebab migrainnya pada seorang dokter, dan dokter menyarankan dia mencari jawaban masa lalunya itu dengan berdamai dengan dirinya sendiri. Demikianlah para penulis skenario memberi alasan bagi perjalanan “road movie” ini. Perjalanan ini melibatkan pertemuannya dengan gadis tetangga yang jelita, Sula (Dian Sastrowardoyo), seorang peramal yang terus-menerus menatap matanya membaca masa depan (Ladya Cheryl), agen perjalanan yang komikal (Butet Kertaredjasa), seorang penjaga warung yang senantiasa mengorek ketiaknya, sebuah kampung yang hanya berpenduduk waria, teman masa kecil, Arief (dengan penampilan Oscar Lawalata yang flamboyan), yang menghapus demarkasi gender dalam tubuhnya, lalu Om Wahyu (Didi Petet yang tampil gila-gilaan dan, by the way, mengapa tak ada produser yang menampilkan aktor dahsyat ini sebagai pemain utama?) yang tengah sibuk menikah untuk kelima kalinya.
Di dalam berbagai pertemuan Banyu itu, sosok Banyu kemudian hilang. Kamera lebih sibuk pada visual sebuah negara antah-berantah, sebuah mimpi yang menampilkan warna-warni pada batang pohon, langit yang tak bertepi, dan daun-daun yang berguguran entah pada musim apa. Teddy memberikan perhatian yang detail pada sosok-sosok aneh yang timbul-tenggelam di hadap-an Banyu hingga kita sendiri kemudian melupakan reaksi Banyu, perasaan hatinya yang berdarah-darah oleh dua kematian yang menghantamnya. Padahal, sosok itu seharusnya menjadi faktor sekunder. Banyu adalah subyek utama pembawa dunia baru itu, dari sebuah dunia lama yang nyata menuju pada sebuah pencerahan dirinya.
Jika Teddy berupaya memberikan alternatif baru dalam perfilman Indonesia, dia telah berhasil. Dia tak perlu menggunakan label realisme magis atau memusingkan pengaruh Woody Allen. Itu adalah bagian dari autodidaknya. Karyanya sendiri menjadi sesuatu yang baru, yang agak sinting (karena ada produser seperti Shanty Harmayn yang bersedia memberi ruang pada kesintingan ini), dan sekaligus memberi gelora kebahagiaan kepada mereka yang percaya pada penciptaan.
Tentu ada beberapa catatan: bintang dalam film ini tetap saja bintang-bintang lama. Bukan saja pada persoalan latar belakang teater, tetapi Slamet Rahardjo, Didi Petet, dan Butet Kertaredjasa bak pelari maraton yang dengan santai berlari sembari terkekeh mencari-cari lawan main mereka yang sangat jauh tertinggal di belakang. Lihat bagaimana Didi Petet cengar-cengir menceritakan perkawinannya yang kelima sembari duduk mengorek mata kakinya. Ini didikan teater seorang aktor yang mempunyai jam terbang sangat tinggi. Tugas Teddy sebagai sutradara adalah menggeber para pemain “baru” (tanda kutip ini hanya untuk membedakan mereka yang jauh lebih muda daripada trio oldies Slamet-Didi-Butet tadi) dengan disiplin yang lebih ketat dan lebih keras.
Catatan lain, Teddy dan para penulis skenario, sebagai sineas yang baru saja memasukkan diri dalam sebuah cara bertutur yang tak lazim, tentu sangat menyadari bahwa kata “magis” dalam “realisme magis” tak berarti kisah itu bisa membelok ke mana saja dengan menampilkan sosok apa saja. Tokoh agen perjalanan yang judes, tokoh Arief yang gemulai, dan tokoh sopir yang dramatis memang penting sebagai bagian dari perjalanan emosi Banyu. Tokoh Om Wahyu penting untuk “penunjuk jalan” bagi Banyu dari masa lalu ke masa depan, sekaligus memasukkan unsur jenaka (percaya atau tidak, film ajaib ini sangat lucu dan penuh ger-geran). Tetapi tokoh peramal yang diperankan Ladya Cheryl itu jika dibuang juga tak melukai jalan cerita. Jika pertemuan antara Sula dan Banyu mampu memberi getaran kepada penonton- melebihi sekadar persoalan ciuman- pasti kita akan langsung memahami: Banyu menemukan cinta pada akhir perjalanannya. Cinta ayahnya, dan cinta seorang perempuan.
Di luar catatan itu, selamat datang, Teddy!
***
http://sastra-indonesia.com/2009/03/perjalanan-mencari-cinta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar