Rabu, 18 Agustus 2021

Seorang Seniman Lapar, Franz Kafka


Sigit Susanto
 
Puluhan tahun silam daya tarik masyarakat pada seniman lapar terjadi penurunan. Padahal dulu pertunjukan itu sangat besar peminatnya. Tapi sekarang ini sangatlah tak mungkin.
 
Dahulu itu seluruh warga kota sibuk dengan pertunjukan seniman lapar. Pengunjungnya dari hari ke hari selalu meningkat, bahkan sampai ada penonton yang berlangganan untuk menyaksikan seniman lapar yang duduk di dalam sangkar besi. Paling tidak tiap orang ingin melihat seniman lapar itu sekali dalam sehari.
 
Pada cuaca yang cerah, sangkar itu dibuka dan terutama bagi anak-anak menjadi tontonan yang menarik. Bagi orang dewasa ya dianggap sebagai hiburan saja. Berbeda kalau anak-anak menonton dengan sangat takjub, bahkan mulutnya menganga dan saling bergandengan tangan satu sama yang lain.
 
Seniman lapar itu mengenakan kaus hitam duduk di jerami tampak tulang iganya memalukan sekali mengangguk dengan ramah menjawab pertanyaan dengan senyuman yang berat. Ia meregangkan lengannya di jeruji sambil merasakan kelaparannya yang menjadikannya kurus itu, lalu menenggelamkan diri. Tak ada orang yang peduli, tak sedetak jam yang dianggap penting, kecuali mebel kursi di sangkar besi itu. Dengan mata tertutup ia menenggak air dari gelas mungil supaya bisa membasahi bibirnya.
 
Penonton silih berganti. Penjaga yang terus menerus mengamati seniman lapar siang dan malam. Penjaga itu punya tiga pekerjaan lain yang dijalankan secara bersama-sama, salah satunya sebagai tukang penjual daging. Tugas utama penjaga itu melarang, supaya seniman lapar itu tidak mendapatkan makanan dari penonton.
 
Untuk mengalihkan perhatian kelaparannya sang seniman lapar kadang menyanyi, supaya penonton tahu ia masih bisa bergerak. Sebenarnya Sang Seniman Lapar lebih senang kalau dirinya dan penjaga di aula itu disorot lampu elektronik yang disediakan oleh panitia. Lampu yang terang buatnya tidak mengganggu, toh semalaman bersama penjaga itu dia tak tidur.
 
Seniman lapar itu bercerita tentang pengalaman petualangannya. Ini semata-mata untuk meyakinkan penonton untuk terus menyaksikan, bahwa dirinya tak ada makanan di sangkar jeruji yang tak bisa dilakukan oleh yang lain.
 
Yang paling membahagiakan jika pagi tiba datang berlimpah sarapan. Tapi tak ada penjaga yang sanggup siang dan malam selalu mengawasinya.
 
Penonton bisa dibilang puas menyaksikan seniman lapar, sebaliknya Sang Seniman anggap tak ada penonton yang puas. Kemungkinan tubuhnya yang kurus itu bukan karena dari kelaparan. Ada anggapan, karena ketidakpuasan pada diri sendiri. Cuma sayangnya, penonton menyaksikannya agak jauh dari sangkar besi itu.
 
Ia sadari betapa mudahnya orang menjadi lapar dan dianggap sebagai peristiwa paling mudah di dunia. Panitia memberikan waktu 40 hari bagi penonton untuk menyaksikan seniman lapar. Penonton dari kota dan desa berbondong-bondong untuk menyaksikan. Jika hari ke 40 tiba, maka sangkar besi itu dibuka dan dihias bunga.
 
Di saat sangkar dibuka itu diumumkan memakai toa, ada parade militer, dokter disiapkan untuk mengontrol kesehatannya. Makanan di meja kecil dengan sangat hati-hati disiapkan oleh dua perempuan. Perempuan itu merasa bahagia, bahwa masa tayang seniman lapar diakhiri. Mereka menjulurkan tangan untuk membantu Seniman Lapar keluar dari sangkarnya, tapi Seniman Lapar itu enggak mau bangun. Bahkan ia mempermasalahkan kenapa baru 40 hari sudah berhenti, padahal ia merasa masih bisa bertahan lebih lama lagi.
 
Harusnya Seniman Lapar itu tetap duduk di jerami dan diberi makan. Seniman Lapar itu tak mampu mengangkat kaki dan tubuh bagiaan atas. Sementara dua perempuan itu pucat melihatnya. Ia tergeletak di dadanya. Tentu saja seorang perempuan yang bantu itu kepayahan.
 
Seniman Lapar itu tangannya menggigil. Kedua kakinya tertekan ke bawah seperti berlutut.
 
Kontan saja yang tadinyaa penonton tertawa kecil berubah seketika menjadi isak tangis.
 
Saat musik bergema, tentu saja percakapan antara panitia dengan Seniman Lapar menjadi terganggu. Seniman Lapar itu kelak akan beristirahat secara teratur dalam beberapa tahun, maka pertunjukan itu akan lebih berhasil dan dihormati di seluruh dunia.
 
Kenapa Seniman Lapar perlu dihibur? Mungkin ia bisa menjelaskan peristiwa paling berat yang dialami, apakah di saat puncak kelaparan? Namun ia menjawab dengan marah seperti hewan yang menggoyang-goyangkan sangkarnya.
 
Kejadian itu membuat panitia harus meminta maaf di depan penonton banyak. Akan tetapi sikap Seniman Lapar itu masih bisa dimaafkan. Pada saat itu pun dijual foto saat Seniman Lapar itu tergeletak tanpa daya.
 
Pertunjukan Seniman Lapar itu dihentikan, karena ada pihak yang tak paham yang dianggap bertentangan dengan pemahaman seisi dunia ini. Tapi penonton segera bergembira, karena Seniman Lapar itu bisa bergerak-gerak dan bisa meninggalkan sangkarnya kapanpun dia suka.
 
Suatu saat Seniman Lapar yang manja ini ditinggalkan banyak penonton. Para penonton beralih menonton di tempat lain. Panitia sampai keliling di separuh Eropa mempertanyakan apakah penonton masih setia menonton Seniman Lapar?
 
Lalu apa yang harus dilakukan oleh Seniman Lapar? Panitia membawanya ke sebuah sirkus besar. Sirkus besar ini memiliki banyak penonton. Harapannya penonton akan berbondong-bondong ke sangkar binatang dan melewati sangkar Seniman Lapar. Barangkali mereka akan berhenti sejenak atau berlama-lama menikmati tontonan Seniman Lapar. Di sangkar Seniman Lapar memukau penonton.
 
Ada seorang bapak dengan anak-anaknya ikut menonton. Sang bapak menunjuk dengan telunjuknya ke arah Seniman Lapar, menjelaskan kenapa orang itu ada di dalam sangkar? Kenapa harus lapar?
 
Suasana menjadi ramai karena suara binatang yang tak tenang di waktu malam dan juga saat diberi makan.
 
Timbul keributan baru, penonton menyukai hiburan yang aneh, sementara Seniman Lapar hanya melakukan yang ia mampui. Ia merasa ditipu, padahal dia melakukan dengan sejujurnya. Dunia menipunya pada jumlah bayarannya.
 
Hari berikutnya penjaga membuka sangkar dan pelayan ditanya, kenapa sangkar yang berisi jerami usang itu tidak dipakai? Seorang memakai tongkat mengaduk-aduk jerami itu, didapati ada Seniman Lapar di situ.
 
Dialog: Penjaga dan Seniman Lapar
 
Pada halaman terakhir prosa ini diisi dialog. Penjaga bertanya kepada Seniman Lapar, “Kamu masih ingin selalu kelaparan dan kapan akan mengakhiri?“  Seniman Lapar menjawab dengan berbisik “Maafkan, semuanya.“ Penjaga itu menempelkan telinganya ke sangkar jeruji, “Tentu,“ sambil menaruh jarinya ke dahi, biar orang yang bertugas mengurusnya memahami keadaan Seniman Lapar. “Kami memaafkan kamu.“ “Saya masih ingin melanjutkan, supaya kalian mengagumi,“ kata Seniman Lapar. “Kami mengagumi kamu juga,“ kata penjaga itu. “Tapi kalian tidak perlu mengagumi,“ kata Seniman Lapar itu. “Sekarang ini, kami juga tak mengagumi,“ kata penjaga. “kenapa kami harus tak mengagumi?“ “Karena saya harus lapar, saya tak bisa melakukan yang lain,“ kata Seniman Lapar. “Itu hanya tampak satu sisi saja,“ kata penjaga, “Kenapa kau tak bisa melakukan yang lain?“ “Karena saya,“ kata Seniman Lapar sambil mengangkat sedikit kepalanya dan bicara kepada penjaga dengan cara meruncingkan bibirnya ke telinga seperti hendak mencium, supaya kata-katanya terdengar, “karena saya tak bisa menemukan makanan yang saya sukai. Seandainya saya temukan, percayalah, tanpa pikir panjang, pasti saya lahap seperti kamu dan semua orang.“
 
Itu kata-kata terakhirnya dengan mata yang sayu, meskipun tidak lagi optimis, bahwa dia akan melanjutkan melakukan aksi kelaparan.
 
“Tapi sekarang, kita rapikan,“ kata penjaga dan Seniman Lapar itu dengan sangat berhati-hati dikubur dengan jerami. Tetapi di dalam sangkar itu ada binatang buas panter muda. Tentu saja itu bermakna kreatif sebagai hiburan yang menyenangkan. Dari sebuah sangkar yang tak dihiraukan terlihat ada binatang buas di dalamnya.
 
Makanan yang disukai Seniman Lapar itu tanpa banyak pertimbangan diantar oleh penjaga. Sepertinya Seniman Lapar itu tidak merasa rindu pada kebebasan. Tapi minat dalam hidup semakin membara yang berasal dari rasa dendamnya. Tentu saja bagi penonton sulit memahaminya. Mereka paham tak merangsek ke sangkar dan benar-benar tak ingin melanjutkan menonton lagi.
 
Komentar:
 
Prosa panjang ini selesai ditulis oleh Kafka pada tahun 1922. Pada saat Kafka menjelang ajal, hanya ada dua karya yang sedang dikerjakan 1). Josefin, Sang Penyanyi atau Masyarakat Tikus 2). Seorang Seniman Lapar. Karya Josefin selesai ditulis, tetapi Seorang Seniman Lapar masih diperbaiki susunan kalimatnya. 3 juni 1924 ia meninggal di sanatorium, Kierling, Wina, Austria pada usia 41 tahun.
***
Keterangan Foto: Franz Kafka, gambar dari dwdotcom

http://sastra-indonesia.com/2021/08/seorang-seniman-lapar-franz-kafka/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons